Share

Tak mau tunduk.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 11:32:22

"Mau berhenti dulu di minimarket? Beli minum sekalian beli es batu buat kompres pipi kamu." 

Suara Om Dimas membuyarkan lamunanku. 

Aku melirik pria itu dari ekor mata. Adik kandung Papa itu menatap dengan tatapan sendu. Mungkin iba melihat kondisiku, wajah sembab dan memar di sebagian wajah.

"Nggak usah Om, tapi... jika tidak keberatan bisa antarkan saya ke bandara saja?" pintaku dengan suara serak karena terlalu banyak menangis.

"Mau apa ke bandara?" tanya pria itu, kaget.

"Saya mau kembali ke Jerman."

"Kata Mamamu kamu sudah wisuda kemarin. Mau apa kembali ke sana?"

Aku tak menjawab, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Selain suasana hatiku yang sedang kacau, sebagai kerabat kami juga tidak begitu dekat. Meski Om Dimas adik kandung Papa, tapi dia tinggal di luar kota. Dan kami jarang bertemu.

Terdengar Om Dimas menghela nafas, mobil pun tiba-tiba menepi di pinggir jalan yang cukup sepi.

"Kamu tahu seperti apa Papamu. Turuti saja perintahnya. Jangan membuat masalah baru," katanya dengan suara pelan.

Entah kenapa hatiku merasa hangat. Gaya bicara Om Dimas mengingatkan aku pada almarhum kakek.

"Saya tahu sekarang kamu sedang sedih. Tapi melawan Papamu juga bukan pilihan yang bijak."

Lagi, ucapan pria itu seperti air yang menyejukkan hatiku yang sedang bergemuruh.

"Tapi saya nggak salah, Om. Mbak Nara dan Mas Arka yang mengkhianati saya, kenapa saya yang diusir dari rumah?"

Entah kenapa aku meluapkan amarah dan ketidakterimaan pada Oma Dimas. Namun dia tak marah, tangannya mengelus puncak kepalaku.

"Jangan salah paham. Papamu menyuruhmu pergi agar kamu bisa menenangkan diri. Merenungi kesalahanmu lalu meminta maaf."

Aku mendesah berat. "Merenungi kesalahan saya yang mana? Papa terus mengatakan saya mempermalukan keluarga, memangnya apa yang saya lakukan?"

"Kamu tidak tahu salah kamu apa?"

Aku menggeleng. "Kalau Om Dimas tahu, tolong katakan."

"Saya juga tidak tahu. Papamu tidak cerita apa-apa. Seminggu yang lalu, dia hanya menelpon memintaku datang menghadiri acara akad nikah Mbakmu."

Penjelasan Om Dimas tiba-tiba membuatku teringat dengan telepon Mama seminggu yang lalu.

Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Mama memberitahu tidak bisa datang ke acara wisudaku. Alasannya, Papa ada pekerjaan penting di luar kota dan Mbak Aluna juga ada acara yang tidak bisa ditinggal. Sementara Mama harus menemani Mbak Aluna.

Ternyata Mama bohong, sepertinya mereka memang sengaja menutupi pernikahan Mbak Aluna dariku.

"Kamu yakin mau kembali ke Jerman? Kamu sudah lulus kuliah, di sana kamu mau apa? Saudara tidak ada, kamu juga belum kerja, bagaimana kalau tiba-tiba papamu berhenti mengirim uang? Kamu mau makan apa?"

Panjang lebar Om Dimas menjelaskan situasinya. Dan semua yang dikatakannya itu memang benar.

Entah mimpi apa aku semalam sampai mengalami kejadian setragis ini. Tiga tahun kuliah di luar negeri dan saat aku pulang, disambut dengan kenyataan yang menghancurkan hati. Tak hanya dikhianati, aku juga merasa dipermalukan.

"Nara, bagaimana kalau kamu tinggal di rumah Om saja?" usul Om Dimas tiba-tiba.

Aku berpikir sebentar, menimang tawaran dari adik kandung Papa itu. Ya, untuk saat ini sepertinya tinggal di rumah Om Dimas adalah pilihan terbaik.

"Apa tidak merepotkan Om Dimas sekeluarga?"

Om Dimas tersenyum lebar. "Tentu saja tidak."

"Kalau begitu, terima kasih, Om," ucapku dan pria itu hanya tersenyum. Lalu, mobil pun mulai melaju kembali melanjutkan perjalanan.

"Kamu masih ingat rumah Om kan? Dulu kamu pernah tinggal di sana beberapa bulan sama Eyangmu."

"Masih Om."

Mana mungkin aku lupa, saat paling menyenangkan adalah tinggal bersama almarhum Eyang. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau tanpa terikat dengan peraturan yang Papa buat.

Setelah perjalanan selama 4 jam lebih, akhirnya mobil pun memasuki gapura desa.

Desa Sumber Asih, tertera pada gapura di pintu masuk desa.

Mataku langsung tertarik pada pemandangan di luar mobil. Bak karpet hidup, hamparan sawah yang menghijau sepanjang jalan itu nampak rapi dan indah.

Ditambah lagi suasana sore hari dengan cahaya jingga yang menghiasi langit menambah keindahan tersendiri kampung yang masih sangat asri.

"Lihat itu!" Om Dimas menunjuk persawahan hijau yang luas di sisi jalan. "Itu sawah warisan nenekmu. Beras yang tiap hari kalian makan juga dari situ. Saya mengirimkannya setiap kali panen."

"Oh...." Aku mengangguk kagum.

"Kita sudah sampai."

Saat Mobil memasuki pelataran rumah, mataku langsung tertuju pada bangunan sederhana yang menyimpan banyak kenangan.

Lalu, dari dalam keluar seorang wanita berhijab. "Loh... kok sudah pulang, Mas?" tanya wanita itu dengan raut keheranan. 

Dia Tante Ratih, istri Om Dimas.

"Iya. Selesai akad langsung pulang." Om Dimas lalu memberi isyarat agar aku keluar. 

Aku pun menurut, membuka pintu mobil dan menyapa wanita itu. "Assalamu'alaikum, Tante." 

"Kinara? Benar, kamu Kinara?" Tante Ratih terlihat kaget.

"Iya, Tante ini saya." Aku mengurai senyum.

Wanita itu langu memelukku. "Ya Allah... sekarang kamu sudah besar. Tambah can—" Tante Ratih menyipitkan matanya. "Wajahmu kenapa?"

"Dek, ajak Kinara masuk dulu," tegur Om Dimas.

Tante Ratih mengangguk, buru-buru membawaku masuk ke dalam rumah.

Disuruhnya aku duduk di sofa ruang tengah, lalu bergegas mengambilkan segelas air dingin.

"Minumlah," katanya ikut duduk di sebelahku.

"Makasih, Tante," ucapku setelah meneguk setengah gelas.

"Wajahmu kenapa? Siapa yang memukulmu?" tanyanya.

Aku melirik Om Dimas yang duduk tak jauh dari kami. 

"Mas Rendy yang memukulnya," Om Dimas menjawab.

"Astaghfirullah... kok bisa? Memangnya kamu salah apa, Nak?" Mata wanita itu memerah, seolah hendak menangisiku.

"Aku juga gak tahu, Tante."

"Sudah, antar Nara ke kamar. Biar istirahat."

Tante Ratih pun mengantarku ke kamar.

"Istirahatlah dulu," ucap wanita itu lembut. Aku mengangguk samar.

Baru juga menutup pintu, ponsel di saku celana bergetar. Papa menelpon.

Apa lagi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Setelah Luka   "Berani menyentuhnya, kupatahkan tanganmu!"

    Sepanjang jalan beberapa kali aku mengangguk, membalas sapaan ibu-ibu yang tak sengaja berpapasan denganku. "Mbak Nara," sapa beberapa orang sambil tersenyum ramah. Ya, mungkin karena Om Dimas termasuk orang yang cukup disegani di kampung, sehingga meski aku baru seminggu tinggal di sini tapi hampir semua warga mengenalku. "Iya Bu," kubalas sapaan ibu-ibu itu dengan senyum ramah pula. Meski sebenarnya dadakubsedang bergemuruh karena amarah. Ucapan Mas Arka masih terus terngiang di telinga. Belum lagi sikap Mbak Aluna yang seolah sengaja memojokkanku. Aku ingat betul, aku tidak mendorongnya sekeras itu sampai membuatnya terjatuh. "Neng cantik mau kemana?" tanya ibu-ibu paruh baya sambil membawa bakul anyaman. "Mau ke sawah nyusul Pak Dimas?" sambungnya sembari tersenyum. Tunggu, segera aku menoleh kiri dan kanan. Entah seberapa jauh aku bejalan, kini aku sudah berada di jalanan menuju pintu masuk desa. Gapura masuk desa hanya tinggal beberapa meter dari tempatku berdi

  • Cinta Setelah Luka   Tak bisa menahan lagi.

    "Mas Arka?" Mata Kinara melebar begitu melihat Arka yang berlari mendekat. Wajah pria itu terlihat panik. "Aluna kamu nggak papa?" katanya, lalu merunduk menyamakan posisinya denga Aluna yang terduduk di bawah. "Kakiku sakit, Mas." Mbak Aluna merengek manja. Wanita itu seperti sosok yang berbeda. Matanya memerah seperti hendak menangis. Mas Arka menoleh padaku. Matanya menatapku tajam. "Kamu mendorong Aluna!" bentaknya kasar sampai membuatku kaget. Saking kagetnya, tubuhku terhuyung kebelakangan. Beruntung ada Dirga yang segera memegangiku. "Kamu nggak papa?" tanya Dirga sembari memegang pundakku. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Bisa bicara baik-baik nggak?" ujar Dirga menatap Mas Arka datar. "Cih.. baik-baik?" Mas Arka mencibir. Lebih dari sebelumnya, kini wajah pria itu sudah memerah dan sorot matanya penuh amarah. "Apa lagi yang mau dibicarakan baik-baik? Jelas-jelas dari dalam mobil aku melihat dengan Aluna jatuh karena di dorong Nara," lanjutnya sinis. "Ak

  • Cinta Setelah Luka   Kedatangan Aluna.

    Dengan dibantu Dirga, Aku keluar untuk menemui Mbak Aluna. Di kursi teras rumah, Mbak Aluna duduk sembari memanin ponselnya. Wanita itu masih mengenakan setelan kantor. Aku sangat yakin kakakku itu dari kantor. Dan kemungkinan besar Papanya juga Mama tidak tahu kedatangannya kesini. "Khem.. " Dirga berdehem dan kakak perempuanku itu langsung mendongak. Matanya melebar, kaget. "Astaga Nara, kamu kenapa?" tanya Mbak Aluna dengan raut wajah terlihat khawatir. Namun, aku hanya menatapnya datar. Entahlah, mungkin karena masih kesal sama Mbak Aluna, jadilah aku merasa kekhawatirannya itu tidak tulus. "Sini biar aku bantu," katanya lagi lalu melangkah maju. Aku langsung mengankat tangan. "Tidak perlu," tolakku yang langsung membuat wajah cantik itu berubah muram. Sejujurnya aku juga tak tega bersikap sekasar itu pada Mbak Aluna. Selama ini dia adalah saudara yang baik. Tapi, apa yang dia lakukan padaku kali ini, sungguh sangat menyakitkan. Sampai aku duduk, Mbak Aluna masih

  • Cinta Setelah Luka   Apa itu cinta?

    "Tante belanja ke warung depan sebentar, kamu di kamar aja," kata Tante Ratih, setelah meletakkan segelas air putih di atas meja samping tempat tidur dan mengambil duduk di sisi ranjang tepat di sebelahku yang sedang terbaring sejak kemarin sore."Kaki kamu masih sakit?" tanyanya sambil memeriksa pergelangan kakiku yang diperban.Aku menggeleng. Setelah diurut semalam kaki kananku sudah tidak sesakit sebelumnya. "Sudah mendingan kok Te, maaf jadi merepotkan semua orang," ucapku menyesal."Tante yang harus minta maaf, harusnya gak nyuruh kamu ke sawah." Tante Ratih terlihat menyesal. "Sebenarnya Tante ingin kamu ada kegiatan agar tidak melamun saja, tapi kamu malah jatuh ke sawah dan kakimu keseleo. Bagaimana kalau Mamamu tahu, pasti marah sama Tante."Aku menggelengkan kepala. "Bukan salah Tante, aku aja yang gak hati-hati." Sedikitpun aku tidak menyalahkan Tante Ratih atas kejadian kemarin."Ya, sudah Tante tinggal sebentar ya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja Dirga. Dia ada di ruan

  • Cinta Setelah Luka   Bertemu orang baru

    Mendadak lidahku kelu, tatapan pria itu sangat tajam dan dingin.Namun detik berikutnya, wajah dingin itu tiba-tiba mengulum bibir menahan tawa. Membuatku mengernyit."Sudah gede, tapi tingkahnya kayak anak kecil." Pria itu mencibir.Mataku sontak melebar. Mendadak aku jadi kesal. Tatapan matanya itu seperti mengejekku. "Kamu siapa? Maksudnya apa bicara seperti itu?" tanyaku sambil mengangkat dagu."Harusnya aku yang tanya, kamu siapa? Berani sekali bermain di sawah milikku?" tanya balik pria itu.Aku mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Lestari. "Bukannya ini sawah Om Dimas?" bisikku."Bukan, Mbak Nara. Sawah Pak Dimas di sebelah sana. Yang sini milik Bu Rosidah. Neneknya Pak Tristan Elgara," jawab Lestari tak kalah lirih sambil melirik pria yang berdiri sambil berkacak pinggang."Oh…." Mengangguk agak malu tapi kucoba tetap bersikap angkuh. "Baru punya sawah aja sombong," gumamku yang mungkin terdengar oleh pria itu, terlihat wajahnya makin masam."Maaf, tadi aku nggak sengaja terja

  • Cinta Setelah Luka   Berusaha untuk ikhlas.

    Sudah satu minggu aku tinggal di rumah Om Dimas. Setiap pagi aku diajak Tante Ratih pergi ke pasar, entah untuk belanja bahan makanan, atau hanya sekedar membeli jajanan tradisional.Aku tahu Tante sengaja membawaku keluar untuk mengalihkan pikiranku dari masalah dan sakit hatiku.Lalu, sepulang dari pasar, Tante Ratih akan memintaku membantunya memasak. Mengajariku banyak hal tentang cara membuat makanan.Kadang aku juga diajak berkebun, menanam sayuran juga menanam bunga dan tanaman hias di halaman depan. Dan tak jarang diminta ikut Dirga ke kota untuk membeli pupuk dan bahan-bahan pertanian.Keluarga Om Dimas benar-benar menjagaku dengan baik. Aku tahu mereka tulus. Karena itu aku berusaha untuk terlihat kuat, meski setiap kali sendirian rasa sakit hati dan kecewa kembali menyerang. Membuatku seperti manusia yang kehilangan separuh jiwanya.Aku hampa, kosong, dan sepi.Saat semua kegiatan selesai aku memilih menikmati kesendirian di halaman belakang rumah. Menatap hamparan sawah d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status