Masuk"Mau berhenti dulu di minimarket? Beli minum sekalian beli es batu buat kompres pipi kamu."
Suara Om Dimas membuyarkan lamunanku.
Aku melirik pria itu dari ekor mata. Adik kandung Papa itu menatap dengan tatapan sendu. Mungkin iba melihat kondisiku, wajah sembab dan memar di sebagian wajah.
"Nggak usah Om, tapi... jika tidak keberatan bisa antarkan saya ke bandara saja?" pintaku dengan suara serak karena terlalu banyak menangis.
"Mau apa ke bandara?" tanya pria itu, kaget.
"Saya mau kembali ke Jerman."
"Kata Mamamu kamu sudah wisuda kemarin. Mau apa kembali ke sana?"
Aku tak menjawab, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Selain suasana hatiku yang sedang kacau, sebagai kerabat kami juga tidak begitu dekat. Meski Om Dimas adik kandung Papa, tapi dia tinggal di luar kota. Dan kami jarang bertemu.
Terdengar Om Dimas menghela nafas, mobil pun tiba-tiba menepi di pinggir jalan yang cukup sepi.
"Kamu tahu seperti apa Papamu. Turuti saja perintahnya. Jangan membuat masalah baru," katanya dengan suara pelan.
Entah kenapa hatiku merasa hangat. Gaya bicara Om Dimas mengingatkan aku pada almarhum kakek.
"Saya tahu sekarang kamu sedang sedih. Tapi melawan Papamu juga bukan pilihan yang bijak."
Lagi, ucapan pria itu seperti air yang menyejukkan hatiku yang sedang bergemuruh.
"Tapi saya nggak salah, Om. Mbak Nara dan Mas Arka yang mengkhianati saya, kenapa saya yang diusir dari rumah?"
Entah kenapa aku meluapkan amarah dan ketidakterimaan pada Oma Dimas. Namun dia tak marah, tangannya mengelus puncak kepalaku.
"Jangan salah paham. Papamu menyuruhmu pergi agar kamu bisa menenangkan diri. Merenungi kesalahanmu lalu meminta maaf."
Aku mendesah berat. "Merenungi kesalahan saya yang mana? Papa terus mengatakan saya mempermalukan keluarga, memangnya apa yang saya lakukan?"
"Kamu tidak tahu salah kamu apa?"
Aku menggeleng. "Kalau Om Dimas tahu, tolong katakan."
"Saya juga tidak tahu. Papamu tidak cerita apa-apa. Seminggu yang lalu, dia hanya menelpon memintaku datang menghadiri acara akad nikah Mbakmu."
Penjelasan Om Dimas tiba-tiba membuatku teringat dengan telepon Mama seminggu yang lalu.
Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Mama memberitahu tidak bisa datang ke acara wisudaku. Alasannya, Papa ada pekerjaan penting di luar kota dan Mbak Aluna juga ada acara yang tidak bisa ditinggal. Sementara Mama harus menemani Mbak Aluna.
Ternyata Mama bohong, sepertinya mereka memang sengaja menutupi pernikahan Mbak Aluna dariku.
"Kamu yakin mau kembali ke Jerman? Kamu sudah lulus kuliah, di sana kamu mau apa? Saudara tidak ada, kamu juga belum kerja, bagaimana kalau tiba-tiba papamu berhenti mengirim uang? Kamu mau makan apa?"
Panjang lebar Om Dimas menjelaskan situasinya. Dan semua yang dikatakannya itu memang benar.
Entah mimpi apa aku semalam sampai mengalami kejadian setragis ini. Tiga tahun kuliah di luar negeri dan saat aku pulang, disambut dengan kenyataan yang menghancurkan hati. Tak hanya dikhianati, aku juga merasa dipermalukan.
"Nara, bagaimana kalau kamu tinggal di rumah Om saja?" usul Om Dimas tiba-tiba.
Aku berpikir sebentar, menimang tawaran dari adik kandung Papa itu. Ya, untuk saat ini sepertinya tinggal di rumah Om Dimas adalah pilihan terbaik.
"Apa tidak merepotkan Om Dimas sekeluarga?"
Om Dimas tersenyum lebar. "Tentu saja tidak."
"Kalau begitu, terima kasih, Om," ucapku dan pria itu hanya tersenyum. Lalu, mobil pun mulai melaju kembali melanjutkan perjalanan.
"Kamu masih ingat rumah Om kan? Dulu kamu pernah tinggal di sana beberapa bulan sama Eyangmu."
"Masih Om."
Mana mungkin aku lupa, saat paling menyenangkan adalah tinggal bersama almarhum Eyang. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau tanpa terikat dengan peraturan yang Papa buat.
Setelah perjalanan selama 4 jam lebih, akhirnya mobil pun memasuki gapura desa.
Desa Sumber Asih, tertera pada gapura di pintu masuk desa.
Mataku langsung tertarik pada pemandangan di luar mobil. Bak karpet hidup, hamparan sawah yang menghijau sepanjang jalan itu nampak rapi dan indah.
Ditambah lagi suasana sore hari dengan cahaya jingga yang menghiasi langit menambah keindahan tersendiri kampung yang masih sangat asri.
"Lihat itu!" Om Dimas menunjuk persawahan hijau yang luas di sisi jalan. "Itu sawah warisan nenekmu. Beras yang tiap hari kalian makan juga dari situ. Saya mengirimkannya setiap kali panen."
"Oh...." Aku mengangguk kagum.
"Kita sudah sampai."
Saat Mobil memasuki pelataran rumah, mataku langsung tertuju pada bangunan sederhana yang menyimpan banyak kenangan.
Lalu, dari dalam keluar seorang wanita berhijab. "Loh... kok sudah pulang, Mas?" tanya wanita itu dengan raut keheranan.
Dia Tante Ratih, istri Om Dimas.
"Iya. Selesai akad langsung pulang." Om Dimas lalu memberi isyarat agar aku keluar.
Aku pun menurut, membuka pintu mobil dan menyapa wanita itu. "Assalamu'alaikum, Tante."
"Kinara? Benar, kamu Kinara?" Tante Ratih terlihat kaget.
"Iya, Tante ini saya." Aku mengurai senyum.
Wanita itu langu memelukku. "Ya Allah... sekarang kamu sudah besar. Tambah can—" Tante Ratih menyipitkan matanya. "Wajahmu kenapa?"
"Dek, ajak Kinara masuk dulu," tegur Om Dimas.
Tante Ratih mengangguk, buru-buru membawaku masuk ke dalam rumah.
Disuruhnya aku duduk di sofa ruang tengah, lalu bergegas mengambilkan segelas air dingin.
"Minumlah," katanya ikut duduk di sebelahku.
"Makasih, Tante," ucapku setelah meneguk setengah gelas.
"Wajahmu kenapa? Siapa yang memukulmu?" tanyanya.
Aku melirik Om Dimas yang duduk tak jauh dari kami.
"Mas Rendy yang memukulnya," Om Dimas menjawab.
"Astaghfirullah... kok bisa? Memangnya kamu salah apa, Nak?" Mata wanita itu memerah, seolah hendak menangisiku.
"Aku juga gak tahu, Tante."
"Sudah, antar Nara ke kamar. Biar istirahat."
Tante Ratih pun mengantarku ke kamar.
"Istirahatlah dulu," ucap wanita itu lembut. Aku mengangguk samar.
Baru juga menutup pintu, ponsel di saku celana bergetar. Papa menelpon.
Apa lagi?
Keyra menarik paksa Nara masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya mendekati Tristan menjelaskan sesuatu, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. "Sebenarnya ada apa sih?" tanya Nara sambil mengeritkan dahi. Sikap Keyra membuatnya bingung juga takut. "Ini darurat. Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, kalau kamu gak mau menyesal nantinya." Nara menatap sepupunya itu tajam. "Kamu itu kalau bicara yang jelas! Jangan bikin orang takut dan panik gara-gara tingkahmu yang mendadak aneh. Sekarang jelasin siapa yang sakit?" omelnya. Ceritanya nanti saja di rumah sakit. Sekarang pasang sabuk pengamanmu. Aku mau ngebut," jawab Keyra menatap lurus ke depan. Jalanan pagi ini cukup ramai. Dia butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai lebih cepat. Detik berikutnya mobil pun melaju. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di rumah sakit kota. Keyra turun lebih dulu. Lalu menggandeng Nara masuk. "Tunggu!" Nara menahan tangannya. Dan seketika langkah keduanya terhenti. "Kamu belum jawab, sebenarnya
"Mana Mama, Pa?" tanya Nara saat melihat papanya sarapan seorang diri. "Sudah berangkat duluan," jawab Rendy di sela-sela mengunyah makanannya. "Kamu mau keluar?" lanjutnya memandang putri bungsunya yang sudah rapi. Nara mengurai senyum tipis sambil mengangguk. Tanganya menarik sandaran kursi dan mendudukkan dirinya. "Mau nambah, Pa?" tanyanya basa basi sembari menyendok nasi goreng ke atas piringnya. "Sudah cukup," tolak Rendy. Pria paruh baya itu menelan makanannya lalu menyesap jus jeruknya. Sementara Nara menikmati sarapannya sambil memainkan ponselnya. "Kamu mau kemana?" Nara mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali fokus dengan benda pintar di tangannya. "Mau fitting baju sama Tristan," jawabnya. Senyum lebar seketika muncul di bibir Rendy. Ada kelegaan di wajah yang sudah mulai keriput itu. "Papa lega, kamu memilih menikah dengan Tristan. Papa lihat dia benar-benar mencintaimu," Ucapan Rendy mengusik Nara. Ada rasa tak percaya mendengar kalimat yang kelua
"Bun, anterin ke rumah temanku," pinta Raka tiba-tiba merengek sambil menarik ujung jilbab bundanya yang sedang mencuci piring di dapur. "Mau apa ke rumah temanmu? Besok sekolah. Belajar sana," ujar Ratih masih sambil mlanjutjan pekerjaannya. "Buku aku kebawa temenku. Besok ada PR. Nanti aku kena hukum kalau gak ngumpulin." Raka menghentakkan kakinya. "Kok bisa kebawa teman kamu?" Ratih menghentikan kegiatannya. Mendelik pada putra bungsunya. "Kan Bunda sudah bilang kalau mau pulang buku-buku diberesin dimasukkan tas. Diperiksa ada yang ketinggalan nggak?" omel Ratih kesal. Sejak siang moodnya sudah rusak karena putra pertamanya. Dan sekarang putra bungsunya. "Maaf, Bundaku sayang.... Adek salah. Sekarang anterin ya Bun, nanti gak keburu ngerjain PR-nya," ucap Raka memelas. Bocah itu memegangi tangan bundanya sambil sesekali mencium punggung tangan yang basah itu. "Maaf ya Bun, besok gak lagi...." mohonnya yang membuat hati Ratih luluh. Putra bungsunya itu lebih pinta
"Bun, berikan ponselku," pinta Dirga menatap Bundanya tajam. Rasa kecewa di hatinya sudah tak terbendung lagi. Entah karena hasutan siapa wanita yang dulunya tak pernah berbohong itu kini malah mendukung kebohongan. Kalau bukan karena Raka, adiknya yang mengadu. Mungkin Dirga tidak akan tahu bundanya itu bersekongkol dengan Nirmala membohongi Nara. Ratih seperti menulikan diri. Tak sekalipun menyahut. Pandangannya lurus kedepan tanpa menghiraukan putra sulungnya yang sejak tadi menatapnya tajam. "Bun, kesabaranku juga ada batasnya. Tolong berikan ponselku. Aku harus menjelaskan semuanya pada Nara," katanya lagi dengan nafas yang sudah memburu karena menahan amarah yang berkumpul di dadanya. Rasa sakit ditubuhnya tak dihiraukannya. Baru semalam Dirga dibebaskan oleh ayahnya dan diizinkan pulang ke rumah. Dan itu karena penyakit tipes Dirga kambuh. Putra sulung Dimas itu menolak makan selama berhari-hari. Pagi tadi dia dibawa ke rumah sakit di kecamatan dan saat pulang Raka m
"Kamu sakit?" tanya Tristan pada Nara yang baru saja datang. Wajah gadis itu nampak lesu dan agak pucat. "Nggak," jawab Nara setelah mengambil duduk di hadapan Tristan. Dua orang itu bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka datangi. "Minumlah!" Tristan mengangsurkan segelas jus jambu yang sudah dia pesankan tadi. "Mau makan apa?" lanjutnya sembari membuka buku menu. Nara menggelengkan. "Aku sudah makan. Kamu saja," jawannya tak bersemangat. Tristan menutup kembali buku menu. Menatap sendu gadis yang hanya mengaduk minumannya. Ada yang berbeda dengannya hari ini. Sepertinya sedang ada masalah. "Soal Dirga.." Tristan urung melanjutkan kalimat. Ekspresi Nara yang tampak biasa saja membuatnya mengerutkan dahi. "Kamu sudah tahu?" Nara mengangguk. "Dia di desanya, kan?" "Iya. Maaf, tidak memberi info lebih cepat." "Nggak papa. Makasih sudah bantu." Tritstan mengangguk. "Sepertinya dia sengaja dikurung sama orang tunya." Nara tersenyum tipis, lalu menghela nafas. Dikurung?
"Ini tidak benar," gumam Nara tangan kaki gemetaran. Gdis itu bergegas masuk mobil setelah mengusir Arka dari rumahnya. Dia sudah tak sabar menunggu mamanya pulang. Dengan mengendarai mobil sendiri, gadis itu menuju pabrik untuk menemui mamanya untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Arka. Matanya fokus pada jalanan di depannya namun otaknya masih memutar memori percakapan dengan Arka beberapa menit yang lalu. "Mas Arka pasti berbohong. Dia sengaja ingin menjadika Mbak Aluna kambing hitam. Aku nggak percaya Mbak Aluna sejahat itu," gumamnya pada diri sendiri. Namun saat ingatanny kembali mengingat ucapan mamanya yang berulang kali mengatakan Aluna bukan putrinya, mendadak rasa takut menyergap hatinya. Takut benar Aluna itu bukan putri kandung mamanya. Takut, benar. Aluna ingin menguasainya harta warisan keluarganya. Takut, benar Aluna sengaja memfitnahnya demi mendapatkan semua warisan keluarga. "Astaga.. jika itu benar. Kasihan sekali Mama..." ujarnya mencengkeram erat stir.







