Share

Cinta Setelah Talak
Cinta Setelah Talak
Author: Afnasya

1. Satu Syarat

“Mana duit setoran hari ini?” tanya Ana sambil menadahkan tangan ketika melihat Sasi datang bersama sepeda bututnya.

Dengan takut-takut, Sasi mengangsurkan beberapa lembar uang hasil jualannya kepada Ana. Setelahnya, wanita muda itu menunduk sambil menuntun sepeda ke samping rumah. Dia berjalan memasuki rumah sambil membawa keranjang dagangan, tetapi suara Ana kembali menyapa rungu.

“Apa ini?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatap tajam Sasi dan menggoyangkan uang di tangannya.

“I-itu hasil jualan hari ini, Bu. Dagangan lagi sepi karena hujan.”

“Alasan aja. Itu daganganmu tinggal sedikit.” Ana melongok keranjang di tangan Sasi.

“Tadi Sasi sedekahkan sama orang yang kekurangan, Bu.”

“Dasar anak enggak tahu diri! Hidup kita aja susah malah sedekah-sedekah segala!" Ana menyeret Sasi ke dapur, lalu mendorongnya keras sehingga membuat wanita muda itu tersungkur. “Cuci baju, masak, dan bersihkan rumah sebelum bapakmu pulang!”

“I-iya, Bu.”

Sasi gegas melakukan perintah Ana. Bukan sekali dua kali dia mendapat perlakuan kasar dari ibu tirinya itu. Namun, sekuat tenaga dia mencoba bertahan karena ayahnya sangat mencintai Ana. Di balik sikap ketus Ana terselip kekaguman Sasi karena wanita itu yang merawatnya sejak kecil setelah ibu kandungnya meninggal.

Keringat masih membanjiri dahi dan punggung Sasi ketika melihat sang ayah datang sambil menyunggingkan senyum.

“Baru pulang, Yah?” tanya Sasi langsung mencium takzim punggung tangan pria itu. “Sasi bikinin kopi, ya?”

Pria itu mengangguk, lalu duduk di sofa sambil membuka sepatu dan melepaskan safari hitamnya. Dia menghela napas berat lalu menyandarkan kepala di sandaran sofa.

“Baru pulang, Mas?” tanya Ana keluar kamar sambil membawa kipas bambu. “Kipasnya mati lagi. Panas sampai bajuku lepek kena keringat.”

“Sabar, Bu. Nanti kalau aku dapat bonus kita beli kipas angin baru.”

“Kapan, Mas? Perasaan dari kemarin bonas-bonus terus, tapi enggak cair-cair juga sampai bosen aku dengernya!"

Ana lantas berlalu menuju dapur dan makan sambil mengangkat sebelah kakinya di kursi. Berkali-kali dia mendengkus kesal sambil memasukkan sesuap besar nasi ke mulutnya. Sasi yang melihat hanya geleng-geleng dan tersenyum.

“Ini kopinya, Yah. Ayah mau sekalian makan?” tanya Sasi yang dijawab dengan gelengan.

“Nanti saja, Sasi. Ayah mau istirahat dulu.”

Sasi mengangguk lalu berlalu menuju kamar mandi. Guyuran air dingin terasa menyejukkan ketika menyentuh kepala dan tubuh wanita muda itu. Rasa penat karena mencari tambahan uang untuk masuk kuliah perlahan menghilang. Usai mandi dan berpakaian, Sasi mengajak sang ayah untuk makan.

“Gimana daganganmu, Sasi? Habis?” tanya Darma sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

Sasi menggeleng lemah. “Masih ada sisa, Yah. Mungkin karena hujan tadi, jadinya Sasi bagi-bagiin ke orang-orang.”

“Enggak apa-apa, Sasi. Namanya berdagang, ya, begitu. Ada kalanya laris manis, ada kalanya sepi, bahkan enggak laku.”

Sasi mengangguk, lalu makan dalam diam. Dia menatap wajah Darma lekat dan mendung mulai menggelayut di matanya.

“Kenapa, Sasi?”

“Enggak, Yah. Enggak ada apa-apa. Sasi cuma ingat Ibu aja.”

“Habiskan makannya. Ayah mau istirahat dulu.”

Sasi mengangguk lalu meneruskan makan sampai habis dan mencuci piring sebelum beranjak ke kamar. Ketika hendak memejamkan mata, suara teriakan Ana terdengar memekakkan telinga, sehingga wanita muda itu segera berlari menuju kamar kedua orang tuanya.

“Mas, bangun! Bangun, Mas!” pekik Ana sambil menepuk pipi Darma, tetapi pria itu masih terpejam.

“Ayah kenapa, Bu?” tanya Sasi dengan mata yang mulai mengembun. Dia ikut berjongkok dan melihat pilu sang ayah.

“Enggak tahu. Cepet panggil orang dan bawa ke rumah sakit!”

Sasi gegas berlari ke luar rumah dan mencari pertolongan. Tak lama kemudian, beberapa tetangga datang dan membawa Darma ke rumah sakit. Selama perjalanan, Ana tak henti meraung sambil menatap sang suami yang terpejam di pangkuannya, sedangkan Sasi tak sanggup lagi berkata-kata, tetapi matanya sudah basah oleh air mata.

"Apa yang terjadi dengan Ayah? Ya Allah, tolong selamatkan Ayah, hanya dia yang Sasi punya di dunia ini." Sasi memohon dalam hati sambil terus menatap iba pria yang menjadi cinta pertamanya.

Sesampainya di rumah sakit, Darma segera mendapatkan penanganan. Ana tak henti menangis sambil memanggil nama sang suami, sedangkan Sasi mengusap punggung wanita itu untuk menenangkannya.

“Ayahmu tadi ngeluh sakit pinggangnya, enggak lama jatuh pingsan. Ibu enggak tahu kenapa, Sasi?”

“Sabar, Bu. Allah pasti menolong Ayah. Kita jangan berhenti berdoa, ya?”

Setengah jam berlalu, seorang dokter keluar dengan raut wajah pias. Dia menghela napas berat lalu menatap sendu Ana dan Sasi yang sudah berurai air mata.

“Gimana keadaan suami saya, Dok? Dia baik-baik aja, kan?”

“Maaf, Bu. Suami Anda menderita gagal ginjal kronis dan sekarang kondisinya sedang kritis.”

“Apa, Dok? Kritis? Enggak mungkin, dia tadi masih baik-baik saja. Dokter jangan bohongi saya. Enggak!” pekik Ana lalu meluruh ke lantai. Sasi yang mendengar tak kalah terkejut dan membekap mulut sambil terhuyung. Pandangannya mengabur dan tiba-tiba gelap datang menyapa.

🌹🌹🌹

“Sasi, bangun.” Ana berusaha menepuk pipi wanita muda yang terpejam di brankar UGD itu dengan mata sembab.

Dengan perlahan, Sasi membuka mata lalu mengedarkan pandangan. Dia beringsut duduk, lalu menatap sendu Ana yang kuyu.

“Ayah gimana, Bu?”

Ana menggeleng lemah, lalu menghela napas berat. “Apa yang terjadi sama ayahmu, kenapa dia bisa sampai kena gagal ginjal?”

Sasi menunduk dalam, lalu meremas jemari. Setetes bulir bening berhasil luruh membasahi jemarinya. Kedua wanita beda generasi itu masih larut dalam kesedihan sampai suara seorang perawat membuat mereka menoleh.

“Keluarga Bapak Darma?” tanya perawat itu sambil tersenyum. “Ada yang mau bertemu.”

Sasi turun dari brankar dan berjalan beriringan bersama Ana keluar ruang UGD mengikuti perawat tadi. Ternyata mereka diantar menemui seorang pria paruh baya yang tersenyum saat melihat mereka. Pria itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.

“Saya Prawira Dirga, orang yang selama ini mempekerjakan Darma.”

Ana dan Sasi mengangguk lalu menerima uluran tangan pria itu. “Saya Ana, istrinya Darma dan ini Sasi anaknya.”

“Wah, kamu sudah besar rupanya.” Prawira mengusap lembut kepala Sasi yang ditutupi hijab berwarna biru muda itu. “Semoga kamu jadi anak salihah, ya, Sasi.”

“Aamiin.”

“Sekarang di mana Darma?”

Prawira lantas diajak ke ruang perawatan Darma. Pria itu terenyuh melihat Darma yang terbaring lemah sambil memejamkan mata. Beberapa selang tampak menempel di tubuhnya. Prawira mendekat dan langsung berbisik di telinga pria itu.

“Aku datang, Darma. Akan aku tunaikan janji yang pernah kuucapkan kepadamu sepuluh tahun lalu.”

Prawira keluar ruangan, lalu menelepon seseorang. Tak lama kemudian, pria itu kembali dan mengajak Ana mengobrol di kursi tunggu yang terletak di luar ruangan.

“Saya yang akan menanggung semua biaya perawatan Darma selama di sini. Saya juga yang akan membiayai kuliah Sasi sampai dia lulus, tapi dengan satu syarat.”

Ana mengernyit, sedangkan Prawira tersenyum sambil menatap Sasi yang menggenggam erat ujung jilbabnya sambil terseduh. Wanita itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Apa syaratnya, Pak?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status