Share

4. Malam Memilukan

Sagara menyentuh pipi Sasi sambil terus menggumamkan nama Laras. Sasi yang merasakan tangan seseorang gegas membuka mata dan membeliak melihat Sagara tersenyum sambil terus berusaha menyentuhnya.

“Aku sayang kamu, Laras. Jangan tinggalin aku lagi, ya?”

Sasi berusaha melepaskan tangan sang suami, tetapi Sagara makin keras ingin menyentuh wanita itu.

“Kamu mabuk, Mas?”

Sagara kembali tersenyum sambil memejamkan mata. “Kamu yang buat aku mabuk cintamu, Laras.”

“Aku Sasi, Mas. Bukan Laras.”

Sasi mengerahkan kekuatan untuk mendorong Sagara sekuat tenaga sampai membuatnya terjengkang. Wanita itu pun lari keluar kamar, tetapi Sagara mengejar dan mendekapnya dari belakang. Sekencang apa pun Sasi berteriak dan meronta, Sagara terus membawanya ke kamar. Pria itu menarik Sasi ke ranjang dan berusaha mencumbunya. Wanita itu meronta sambil menjauhkan wajah sang suami.

“Sadar, Mas. Aku Sasi bukan Laras!”

Wanita itu akhirnya terguguk. Sekelip mata Sagara tersadar dan melepaskan Sasi. Pria itu meraup kasar wajahnya. Dia bangkit dari ranjang dan langsung melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka.

“Aaargh!” pekik Sagara sambil menggebrak pinggiran wastafel. “Hampir saja aku bikin kesalahan!"

Sagara beranjak dari kamar mandi menuju sofa ruang tamu untuk merebahkan tubuh di sana. Pengaruh alkohol hampir saja membuatnya berbuat khilaf. Meskipun Sasi sudah halal untuk digauli, tetapi hati pria itu selalu menolak. Dia pun berusaha memejamkan mata dengan posisi tertelungkup. Sementara itu, Sasi masih terguguk di kamar dengan posisi memeluk lutut. Hatinya terasa sesak mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Bukan karena perlakuan Sagara, tetapi karena nama Laras yang selalu dia dengungkan.

Setelah tangisan dan sesak yang membebat raga mereda, Sasi turun dari ranjang dengan tubuh gemetar. Dia berjalan perlahan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil minum. Setelahnya, Sasi mengedarkan pandangan mencari keberadaan Sagara, tetapi pria itu tak ada. Dia pun berjalan ke depan dan terkejut ketika melihat sang suami sudah tertidur di sofa. Sasi kembali ke kamar untuk mengambil selimut dan melurubi tubuh pria itu dengan sangat hati-hati. Saat hendak berlalu Sagara kembali mengigau.

“Laras, kamu di mana sekarang? Kenapa kamu tinggalkan aku sendiri?”

Sasi membekap mulut dan geming sesaat sebelum akhirnya kembali ke kamar. Hatinya tak tenang setelah berkali-kali sang suami menyebut nama yang sama. Dia memutuskan untuk mengambil wudu dan melarikan kelesah hatinya lewat rapalan doa. Sasi terus mengucapkan zikir sambil bersandar pada kaki ranjang hingga lama-kelamaan dia tertidur.

Suara azan berkumandang membuat Sasi terjaga. Dia kembali menunaikan salat dua rakaat setelah mengambil wudu lagi. Setelahnya, dia ke dapur dan mulai memasak. Namun, rasa kecewa menyelimuti Sasi ketika membuka lemari pendingin.

“Kosong? Astaghfirullah kenapa kemarin aku enggak belanja aja daripada bengang-bengong di rumah, ya?” tanya Sasi sambil menepuk dahinya.

Dia pun melangkah ke depan, tetapi tepat saat itu, seseorang datang sambil membawa beberapa kotak makan.

“Assalamualaikum, Mbak Sasi?”

“Waalaikumsalam, iya saya.”

“Ada kiriman makanan dari Bapak. Takutnya Mbak Sasi sungkan mau ke rumah utama, makanya Bapak nyuruh saya bungkus aja bawa ke mari.”

Sasi tersenyum canggung sambil menerima kotak makan itu dan mengucapkan terima kasih. Dia beranjak ke meja makan dan menuang isinya ke piring dan mangkuk.

“Mashaallah, Pa. Sasi jadi enggak enak hati kalau begini.”

Setelah beres menata meja makan, wanita itu membangunkan Sagara yang masih saja terlelap di sofa.

“Mas, bangun. Udah siang waktunya berangkat kerja.”

Sagara menggeliat tanpa membuka mata untuk kembali pulas. Sasi kembali menaikkan nada suaranya sambil mengguncang tubuh sang suami.

“Mas, bangun! Nanti telat berangkat kerjanya!”

Pria itu menyipitkan mata sebelum beringsut duduk sambil mengacak rambutnya. Dia terhuyung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Sasi menyiapkan baju untuk dipakai kerja Sagara di ranjang.

Usai mandi dan berpakaian pria itu hendak berlalu, tetapi dicegah oleh Sasi. “Sarapan dulu, Mas.”

“Aku enggak laper!"

“Kalau gitu aku buatin minum dulu, ya?”

“Enggak usah!”

Sagara terus berlalu, tetapi Sasi kembali menginterupsi langkahnya. “Siapa Laras itu, Mas?”

Pria itu menatap tajam sang istri sebelum mencengkeram erat dagu dan memepetnya ke dinding. “Jangan ikut campur urusan orang!”

Sasi ketakutan melihat sikap Sagara dan hanya bisa mengangguk lemah sambil meneteskan air mata. Pria itu melepaskan Sasi sebelum meninggalkan rumah dengan amarah yang bercokol di kepala.

“Tak bisakah kamu bersikap sedikit lunak padaku, Mas?"

Sasi lantas manghapus air mata dan menatap sendu makanan yang tersaji di meja tanpa berniat untuk menyentuhnya. Seharian itu, dia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga di sela-sela menjalankan salat lima waktu. Rasa bosan yang melanda, membuat Sasi melangkahkan kakinya menuju rumah utama.

“Mbak Sasi perlu apa? Biar saya ambilkan.” Seorang wanita paruh baya menyambut Sasi begitu melihatnya muncul di dapur.

“Eng-enggak ada, Bu. Saya hanya mau ke taman depan.”

“Oh … kalau misal nanti butuh apa-apa panggil saya aja, ya, Mbak? Nama saya Bi Minah.”

Sasi mengangguk sambil tersenyum sebelum berjalan menuju depan. Dia menatap taman yang menyejukkan mata sambil mengulas senyum.

“Minumnya, Mbak,” tawar Bi Minah sambil membawa nampan berisi segelas es jeruk dan menaruhnya di meja teras.

“Makasih, Bu. Maaf jadi ngerepotin.”

“Enggak, Mbak. Memang sudah tugas saya. Saya permisi dulu.”

“Tunggu dulu, Bu. Temani saya sebentar, ya?”

Bi Minah tersenyum, lalu duduk di kursi teras setelah Sasi. Rasa penasaran kepada sosok yang disebut sang suami semalam kembali berputar di kepala. Sasi pun melirik sekilas Bi Minah sebelum kembali menunduk sambil meremas jemarinya.

“Sepertinya ada yang mau dibicarakan, Mbak?”

“I-iya, Bu. Ehm, apa Ibu tahu siapa Laras?”

Wanita paruh baya yang duduk di samping Sasi langsung bergeming. Dia menunduk dan menjadi salah tingkah. “Kalau soal itu lebih baik Mbak tanya saja sama Mas Sagara, ya? Saya enggak berhak cerita, takut salah ngomong.”

Bi Minah bergegas berlalu, sehingga makin menambah rasa penasaran yang tadi bercokol di kepala Sasi.

"Mas Sagara saja marah kalau ditanya. Bi Minah juga enggak mau cerita. Terus Sasi harus nanya siapa?"

Sasi kembali ke rumahnya untuk mandi dan duduk di ruang tamu menunggu sang suami pulang. Namun, sampai larut malam pria itu belum juga menampakkan diri. Sasi menahan kantuk yang sejak tadi datang mendera, tetapi setelah tak mampu menahan, akhirnya dia menyerah juga. Wanita itu tertidur di sofa. Seperti kemarin tepat jam dua dini hari, Sagara tampak membuka pintu dan berjalan terhuyung memasuki rumah. Dia menyipitkan mata sambil mengedarkan pandangan. Dalam keremangan cahaya, dia tersenyum ketika melihat Sasi tertidur di sofa.

Pria itu mendekat sambil terus mengulas senyum, kemudian mengusap pipi Sasi dan menciumnya sekilas. Wanita itu tergagap bangun dan mendorong tubuh Sagara hingga tersungkur. Wanita itu segera bangkit dan berlari menuju pintu, tetapi Sagara berhasil mendekap Sasi dari belakang dan menyeretnya ke kamar.

“Lepasin, Mas!” teriak Sasi sambil terus meronta, tetapi tenaganya kalah kuat dengan sang suami. Sagara segera menutup pintu kamar dan kembali menarik paksa sang istri sebelum mengempaskannya ke ranjang. Pria itu menyeringai sambil membuka baju dan membuangnya ke sembarang arah.

"Malam ini kamu milikku, Laras."

Sagara segera merobek baju yang dipakai Sasi. Mencumbunya dengan kasar dan memaksanya untuk melayaninya. Perlawanan yang diberikan Sasi seolah-olah tak ada gunanya. Lalu, terdengar jerit memilukan wanita itu saat Sagara berhasil melukai kehormatannya.

Aaargh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status