Share

Bab 4

Jovita POV

Rumah ibu mertuaku memang tidak terlalu jauh dari rumah kami dibandingkan dengan rumah keluarga angkat ku. Harusnya aku bisa lebih sering datang kemari, tapi karena Bunda Septiah sangatlah irit bicara seperti Mas Endrick, aku jadi sungkan kemari. Takut melakukan kesalahan dan berujung dia emosi.

Mas Endrick sudah tidak punya ayah lagi, beliau meninggal sekitar lima tahun yang lalu makanya rumah ini terasa sepi ditinggali Bunda sendirian bersama asisten rumah tangga yang kebetulan sangat dekat dengan keluarga suamiku.

Untungnya Mbak Rara datang, jadi sedikit ramai karena kehadirannya di rumah ini.

Aku sedang mencuci piring bekas makan malam, ditemani Mbak Rara yang juga tengah mencuci piring. Seperti biasa kami bercerita banyak hal entah itu tentang pekerjaan mbak Rara ataupun cerita-cerita masa kecil suamiku yang lucu.

"Kalo sama Bang Endrick itu, ngebosenin banget deh pokoknya. Aku paling males kalo ajak dia ngobrol, lebih-lebih dari patung."

"Hehe, tapi Mas Endrick itu sekali ngomong langsung ke poinnya mbak. Jadi gak susah nebak-nebak dia maunya apa," bela ku. Tentu saja aku membela Mas Endrick, dia suami yang sangat aku cintai.

"Iya sih, tapi masa ke kamu juga irit bicara gitu sih, Vit? Bang Endrick keterlaluan banget kalo emang gitu ke kamu," celotehnya. Aku hanya membatin saja. Mbak Rara tidak tahu bagaimana cerewetnya Mas Endrick ketika kami bercinta. Semuanya dia komentari apalagi mulutnya tidak tahu yang namanya menyaring. Semua kata disebut.

"Ya kalo sifatnya udah gitu emang sulit mengubahnya, mbak. Yang penting Vita tau kalo Mas Endrick baik sama Vita dan Rama," balasku. Mbak Rara mengiyakan saja, dia terlihat masih kesal sepertinya karena sifat Mas Endrick tidak pernah berubah.

Selepas mencuci piring, aku pun pamit ke kamar Mas Endrick karena tadi aku meninggalkan Rama bersamanya.

Ceklek!

"Mas? Rama rewel?"

"Nggak, dia nungguin kamu."

Aku tersenyum kecil, putraku langsung tersenyum-senyum melihat ku muncul. Rama sangat menggemaskan, untungnya dia mudah mengekspresikan perasaan jadi aku bisa lebih tenang. Bisa stres lama-lama kalau sifatnya sama seperti Mas Endrick juga, hehe.

"Ah, Rama gak sabar lagi mau nenen ya?" candaku lalu berusaha meraih tubuh Rama, tapi suamiku menahan tanganku.

"Ganti dulu pakaian kamu. Kan habis dari dapur," titahnya. Ya ampun, suamiku ini sangat protektif kepada anak kami padahal pakaianku bersih. Tapi ada benarnya juga sih, lebih baik mengantisipasi.

"Iya, mas."

Aku berjalan ke arah tas yang aku bawa lalu memutuskan untuk mandi sekali lagi. Daripada suamiku berceloteh terus-menerus, ada baiknya aku mandi saja.

...

Jam 7 pagi kami sekeluarga pulang setelah menginap di rumah ibu mertuaku. Ketika berpamitan dengannya, wajah Bunda Septiah sangat kaku. Dia hanya mengangguk kecil dan menyampaikan pesan kalau kami harus sering-sering menginap di rumahnya. Aku tahu dia tidak mungkin membenciku, tapi karena sifatnya aku jadi sungkan sekali.

Mas Endrick saja jarang bercengkrama dengan Bunda Septiah, apalagi aku yang menantunya ini?

"Perlengkapan Rama masih ada semua, Vit? Susu, popok, sabun mandi?" tanyanya setelah mobil sampai di garasi. Setelah ini Mas Hendrick langsung pergi bekerja, jadi dia tidak bisa lama-lama di rumah.

"Stok susu aja yang mulai habis, mas."

"Ya sudah, nanti malam kita beli stok susu formula buat Rama ."

Aku mengangguk saja, memang sudah kebiasaan kami pergi bersama-sama untuk membeli keperluan Rama . Jangan lupakan kalau Mas Endrick itu selalu menomorsatukan anaknya. Apapun keperluan Rama , dia pasti selalu ingat.

"Saya berangkat dulu," pamitnya. Aku buru-buru mendekati Mas Endrick lalu mencium bibirnya sekilas. Hitung-hitung sebagai usahaku untuk merebut hati Mas Endrick yang sekeras dan sedingin es batu itu.

Kulihat dia terdiam sejenak setelah mendapat ciuman dariku. Mungkin dia terkejut karena biasanya aku tidak pernah bersikap agresif seperti itu. Baguslah kalau dia sama sekali tidak menolak ciuman ku.

"Kok bengong, mas? Katanya tadi mau berangkat kerja?" tanyaku sambil menahan ketawa melihat wajahnya yang masih kebingungan. Dia tampak salah tingkah, aku bisa melihat semburat merah di pipinya meski tipis sekali! Kena juga dia akhirnya.

"Ya, ingatkan saya untuk beli kondom," celetuknya dan kini malah aku yang bersemu merah. Astaga, dia malah membicarakan soal kondom dan bukannya balik mencium kening ku.

Mas Endrick masuk lagi ke mobil dan perlahan mobilnya menjauh dari rumah. Aku menghela napas lelah, harus pintar-pintar memikirkan cara untuk membuat suamiku itu meleleh. Aku mulai bosan melihat dia yang kaku, aku ingin suamiku lebih mengekspresikan dirinya kepadaku. Tapi bukan berarti aku tidak mencintainya lagi, karena aku mencintai Mas Endrick makanya aku ingin dia bersikap berbeda.

Siang ini aku berencana untuk mencari kesibukan di rumah. Pilihan ku cuma membuat makanan-makanan yang resepnya aku temukan dari internet. Ya karena aku juga masih dalam tahapan belajar memasak, aku harus memperluas kemampuan ku. Waktu awal-awal menikah, masakan ku selalu keasinan dan hambar. Mas Endrick yang sangat perfeksionis itu selalu mengomentari masakan ku. Jika kurang di lidahnya, dia pasti selalu memberikan kritik dan saran. Beruntungnya aku, Mas Endrick selalu menghabiskan makanan yang aku buat. Walaupun keasinan, dia tetap memakannya. Haha, suamiku tidak romantis tapi tidak juga menyakitkan hati dengan kalimatnya.

Drrt! Drrt!

Dering ponselku terdengar, aku lekas mengangkatnya karena temanku semasa sekolah menelepon.

"Hai, Jovita! Apa kabar nih, kangen tau pengen ketemu," sapa nya.

"Baik kok, Lena. Kamu juga apa kabarnya?"

"Baik, eh besok mau gak kumpul sama temen-temen kita dulu? Itu Zahra katanya ngajakin karokean, udah lama kali Vit kita gak jalan bareng," ajaknya. Aku menggigit bibir karena bimbang, di antara teman-teman ku dulu memang cuma aku yang sudah menikah. Mereka semua sibuk kuliah dan bekerja, makanya aku jarang bertemu mereka yang sering kumpul-kumpul.

"Hmm, aku takut gak bisa Len. Tau sendiri aku udah ada bayi. Bingung nanti gimana," sesal ku.

"Yah, kan kita gak lama Vita. Kalo dititipkan sama mama kamu gak bisa ya?"

"Gak bisa sih, anak aku rewel kalo sama orang," jawabku kian murung. Ah, aku ingin sekali kumpul-kumpul dengan temanku tapi pasti Mas Endrick tidak membolehkan.

"Hmm ya udah deh, kalo kamu ngubah pikiran nanti telepon aku lagi ya? Aku jemput deh besok."

"Iya, makasih Len." Sambungan pun terputus, aku menatap ponselku dalam diam karena ingin sekali pergi dengan teman-teman ku tapi pasti tidak boleh.

...

Malam-malam kami pergi ke supermarket untuk membeli keperluan Rama. Mas Endrick memang selalu menepati janjinya.

" Udah cukup, Vit?

" Udah mas ini aja ..

Dia mengangguk lalu mendorong troli belanjaan ke meja kasir, dia membayar barang yang kami beli dengan kartu miliknya, itu uang yang berbeda dengan uang yang selalu dia berikan padaku, mas Endrick memang teroganisir mengenai segala hal.

Setelah selesai berbelanja, kami pun lekas pulang, ingat sekali lagi kalau urusan selesai maka waktunya pulang, jangan harap bisa jalan jalan ke tempat yang lain jika sedang bersama mas Endrick .

" Mas tadi siang temen Vita nelpon "

" Temen yang mana ?" tanya nya .

" Temen SMA , cewek kok, dia ngajak jalan boleh .."

" Gak boleh, rawat saja dirumah Rama " potong nya, aku melipat bibir ku, rasanya sedikit menyebalkan karena mas Endrick membatasi kegiatan ku seperti ini, dia memang jarang melarang ku melakukan sesuatu, tapi kenapa yang ini harus dia larang .

" Tapi kan cuma sebentar mas, Vita udah lama gak ketemu temen temen, jadi pengen ikut kumpul "

" Kalo saya bilang gak boleh ya berarti boleh, Vita saya gak suka hal seperti ini dibantah, Rama rentan sakit, temen temen kamu juga gak bisa dipastikan kebersihannya ,jadi saya gak bakal kasih izin kamu buat pergi, " tita nya semakin otoriter .

Aku menahan sesak, tubuhku merapat di sandaran mobil lalu mengalihkan mataku ke luar jendela, mas Endrick kejam sekali padahal aku cuma pergi bertemu teman-teman dan mana mungkin pula aku sengaja membuat Rama sakit.

Sesampainya di rumah, aku tetap diam saja , ku gendong Rama masuk kedalam rumah tanpa memerhatikan mas Hendrick yang membawa barang belanjaan kami , Dia pun sama sekali tidak berusaha bertanya soal aku yang diam, apa tidak ada sekali saja dia memikirkan aku di kepala nya ?

" Bobok sama mamah ya, sayang ? Ajak aku kepada Rama setelah pakaiannya aku ganti dan aku susui, biasanya Rama tidur di boks bayi dan selalu begitu, tapi malam ini aku ingin jauh jauh dari mas Endrick dulu, aku sedang dalam mode merajuk entah sampai kapan.

" Kenapa Rama tidur di ranjang kita ? Biarin dia tidur di boks bayi biar leluasa,"

" Gamau Vita mau bobok sama Rama pokoknya, mending mas Endrick aja yang tidur di boks bayi nya Rama, tolak aku mentah mentah,

" Saya gak suka sikap kamu yang begini Vita, belajar jadi dewasa sedikit " tegur mas Endrick.

Mataku memicing menatap nya, sesekali dia harus menerima amarahku juga, padahal aku cuma minta satu hal darinya, tapi dia tidak memenuhi keinginan ku, aku cuman bertemu teman apa salahnya ?

" Mas Endrick nyebelin, Vita males banget, jangan ganggu Vita sama Rama tidur " titah ku tapi sepertinya tidak dia dengar karena mas Endrick sesuka hatinya menggendong Rama lalu memindahkan nya ke dalam boks bayi .

" Iihh apaan sih , mas " bantah Ku berusaha menahan nya tapi sekali lagi dia tidak mendengarkan aku.

Tubuh menjulang mas Endrick berbalik ke arah ku, Dia dan tatapan matanya yang tajam itu malah membuat aku semakin ciut dan tidak percaya diri, bagaimana caranya untuk berani di tatap sedemikian rupa oleh mas Endrick?

" Jangan suka ngebantah saya, Vita , apa yang saya perintahkan itu untuk kebaikan kamu dan Rama , Bukan semata-mata demi menuruti keinginan saya sendiri. Jika saya tidak mengizinkan, maka harus kamu turuti."

Aku semakin menekukkan bibir. Kebaikan aku dan Adam? Yang aku tahu hanyalah Mas Endrick yang protektif terhadap Rama. Oh, mungkin dia memang sama sekali tidak peduli padaku.

"Mas Hendrick jahat sama Vita. Masa semua hal gak boleh dilakuin? Mas Endrick mau jadiin Vita tahanan?"

"Pikiran kamu dangkal banget ternyata. Saya bilang ini untuk kamu dan Rama, saya hanya berusaha melindungi kalian. Apa itu masih kamu anggap seperti dipenjara?"

Aku merasa terkena skak mat. Mas Endrick ada benarnya juga, tapi aku tidak mungkin menyerah kan?

"Untuk Rama doang kan? Mas Endrick mana peduli sama Vita," cicit ku. Mendengar itu, dia pasti merasa aku sangat memprihatinkan.

"Ngabisin waktu dan tenaga ngobrol sama kamu."

Kulihat Mas Endrick mengambil posisi tidur di sebelahku. Dia berbaring terlentang dan mulai memejamkan mata, beda denganku yang masih komat-kamit sendirian karena kesal.

Sengaja aku tidur memunggunginya, aku sangat kesal malam ini karena tidak diberi izin sama sekali padahal ini baru pertama kalinya aku ingin berpergian dengan teman-teman ku.

Kurasakan ranjang sedikit bergerak lalu pelukan hangat Mas Endrick terasa di belakang tubuhku. Memang biasanya dia tidur sambil memeluk ku, tapi rasanya kesal sekali malam ini.

"Jauh-jauh sana, mas. Vita lagi males sama Mas Hendrick, ngapain peluk-peluk segala?" celoteh ku. Mas Endrick tidak mengatakan apapun, tapi tangannya tetap bersikeras memelukku padahal sudah aku tepis berulangkali.

"Tidur, Vita. Atau kamu mau saya tidurin malam ini?" Mendengar ancamannya, aku lantas terpaku seperti patung. Tiba-tiba seperti ada kupu-kupu lagi di perutku dan kali ini jauh lebih brutal dari sebelumnya.

Oh Tuhan, padahal aku ingin memulai perang dingin dengan Mas Endrick tapi malah aku yang salah tingkah. Benar-benar hati perempuan sulit diterka.

.

Berlanjut...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status