Share

Bab 3

Jovita POV

"Ini baru pulang, Mas."

"Kok lama banget? Rama kamu ajak?" tanya Mas Endrick di telepon. Bukan hal aneh mendengar pertanyaan itu. Mas Endrick memang selalu mengutamakan Rama . Aku senang dia menomorsatukan anak kami, tapi terkadang aku ingin juga diperhatikan.

"Iya, mas. Gak enak sama mbak Rara, dia kan jarang ke Jakarta."

"Lain kali kamu izin sama saya. Di salon kan banyak bakteri segala macam, kalo Rama sakit gimana?" tegur Mas Endrick. Memang sih, aku tidak izin kepadanya tapi kok rasanya sedikit sakit ya ketika Mas Endrick menegur ku seperti itu?

"Maaf mas, lain kali Vita izin kalo mau pergi sama mbak Rara atau orang lain." Ya sudahlah, lebih baik mengalah daripada memperpanjang urusan.

"Ya, saya pulang setelah seminar selesai. Telepon saya kalo Rama sakit," pamitnya. Ya ampun, dia takut sekali Rama sampai kenapa-kenapa. Pernah waktu itu Rama demam, wah Mas Endrick paniknya minta ampun. Malam itu juga langsung ke rumah sakit buat periksa si Rama padahal cuma demam biasa. Kata ibuku, Mas Endrick adalah ayah yang sigap.

Aku balik ke kamar, melihat keadaan Rama yang masih asyik tidur setelah ku susui. Merawat dan menjaga Rama seperti disuruh merawat berlian mahal. Lecet sedikit saja, aku pasti kena sembur.

"Haduh, nak... Enak banget Papa perhatiin kamu mulu ya? Kapan dong dia merhatiin mama?" tanyaku seperti orang bodoh. Ku usap kening Rama, membuatnya kian nyenyak tertidur di boks bayi.

Ya memang beginilah nasib menikah dengan laki-laki yang minim ekspresi. Sudah bersyukur aku bisa melihat senyumnya yang jarang itu. Kalau tidak beruntung, yang kudapat hanya wajah seperti tembok. Sangat rata.

...

Hari Minggu tentunya adalah hari yang bagus untuk bersantai-santai dari kegiatan yang penat. Oh tapi itu berlaku untukku saja, Mas Endrick jangan ditanya. Justru hari Minggu sering dia gunakan untuk menyelesaikan beberapa kerjaannya dari kampus. Entah itu memeriksa tugas-tugas mahasiswa ataupun anak bimbingannya. Aku bosan sendiri melihat rutinitas suamiku yang hampir tidak pernah berubah.

"Mas Endrick, ini Vita buatin kopi."

Aku masuk ke ruang kerjanya lalu meletakkan secangkir kopi dengan takaran gula yang tidak berlebihan. Biasanya Mas Hendrick memang ditemani kopi setiap kali bekerja.

Dia tidak melirik ku sama sekali, tapi suara gumam an di bibirnya sudah menjawab. Aku berdecak sebal, kenapa Mas Endrick ini sulit sekali mengucapkan "terima kasih", "tolong", dan "maaf" ? Aku penasaran ada berapa kosa kata di otaknya itu.

"Mas..."

"Hm?" balasnya sambil tetap menekuni kertas-kertas di tangannya.

"Vita boleh selingkuh ya?" tanyaku iseng.

Belum ada dua detik, mata tajam itu langsung menatapku setengah marah. Ampun, aku hanya iseng tapi sepertinya dia benar-benar marah.

"Maksud kamu apa ngomong gitu?" tanya Mas Hendrick. Nada bicaranya sangat dingin, aku takut sekali.

"Canda mas, canda... Soalnya mas Endrick serius mulu, jadi... Ehm..." Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimat ku karena ditatap sebegitu tajamnya. Astaga, dia marah karena ucapan ku atau cemburu? Ah tentunya dia hanya marah, mana mungkin dia cemburu kan?

"Saya gak suka lelucon kayak gitu ya, Vit. Itu sama sekali gak lucu, ingat ucapan itu doa. Kamu mesti hati-hati kalo ngomong," tegurnya lagi. Yah... Padahal cuma mau bermain-main berharap dia menangkap lelucon dariku, tapi malah dia benar-benar marah. Sungguh sial, aku harusnya tidak bercanda pada beruang kutub kalau tidak mau dicabik.

"I-iya, maaf mas. Vita sama sekali gak ada niatan selingkuh kok. Tadi beneran cuma bercanda," bela ku. Mas Endrick menggeleng tidak percaya, dia kembali fokus pada kertas-kertasnya dan membuat aku tampak seperti orang bodoh yang baru saja melakukan pertunjukan sirkus yang sama bodohnya.

Aku segera meninggalkan ruang kerjanya untuk menyelamatkan diri. Astaga, masa cuma gara-gara candaan seperti itu kami jadi bertengkar? Aku sangat payah mencari perhatian suamiku.

Oh iya, dua bulan lagi Rama ulang tahun yang pertama. Aku bimbang antara ingin merayakannya atau tidak usah? Karena Rama tidak nyaman berada di keramaian apalagi banyak suara-suara keras, tapi kalau tidak dirayakan rasanya sayang sekali. Ini kan ulang tahun pertama anakku, masa tidak dirayakan?

Kulihat Rama masih sibuk bermain-main di tempat mainnya yang khusus agar menjaganya dari bahaya. Kata Mas Endrick, Rama harus diperhatikan tiap kali bermain karena dia gemar eksplorasi. Jika ditinggal sebentar, pasti sudah merangkak ke mana-mana.

"Uhh anak mama main sendiri ya? Main apa sih, nak?" Aku duduk di sampingnya lalu merentangkan tangan agar Rama bisa kupeluk. Benar seperti kata Mbak Rara, Rama montok sekali. Pipinya bahkan jadi sedikit turun gara-gara gemuk.

Aku bersandar di kaki sofa sambil merentangkan kakiku di atas karpet tebal ini. Ku dudukkan Rama menghadap ku lalu ku cium-cium pipi Rama . Teman bermain ku ya cuma Rama , mana mungkin aku mengajak Mas Endrick bermain. Orang dia kaku nya minta ampun. Tidak ada rasa humor juga, tapi tampannya tak ada lawan.

Indra penciuman ku menangkap wangi maskulin dari Mas Endrick. Aku menoleh dan mendapati dia duduk di sofa sambil menekan-nekan remote tv. Tumben sekali dia menonton di hari Minggu.

"Kamu lagi deket sama siapa, vita?"

Aku terkejut karena tiba-tiba dia bertanya. Entah kerasukan jin apa sehingga dia bertanya tentang diriku.

"Maksudnya, mas?"

"Iya, kamu lagi deket sama siapa? Temen kamu? Atau mantan kamu?" tanyanya dingin. Aku mulai berpikir keras dan sepertinya ini masih soal lelucon konyol ku tadi. Ah sialan!

"Gak ada, mas. Ih, mas Endrick marah ya sama Vita?" tanyaku mulai risau. Aku lantas duduk di samping Mas endrick sambil memangku Rama. Bagaimana mungkin dia mengira aku selingkuh?

"Mana ponsel kamu?" tanya Mas Endrick tanpa menjawab pertanyaan ku. Aku menipiskan bibir, rasa-rasanya dia ini aneh sekali. Terkadang bisa menggairahkan dan kadang-kadang sangat amat menyebalkan seperti sekarang!

"Mas kok gitu? Sumpah gak ada cowok manapun mas!"

Mata hitamnya menyipit lalu dia meraih daguku dengan telunjuknya. "Kamu gak boleh macem-macem di belakang saya, Vita. Ingat, kamu milik saya dan cuma saya yang berhak sama kamu."

Aku menelan ludah dengan susah payah tapi mengusahakan untuk mengangguk. Astaga, dia sangat mendominasi ku. Namun, aku tidak merasakan takut. Aku malah bangga! Itu artinya suamiku memang peduli padaku kan? Benar kan?

Wajahnya mendekat lalu dia melumat bibirku cukup lama. Jangan tanya bagaimana kabar jantungku, rasanya sudah mau copot. Baru kali ini dia bersikap layaknya suami posesif. Selama kami menikah, dia jarang menunjukkan sikap menggemaskan seperti ini.

"Ya sudah, jangan ulangi kesalahan kamu. Sini, Rama biar sama saya."

Tanpa basa-basi dia meraih tubuh gemuk Rama ke dalam pelukannya lalu kembali ke ruang kerjanya. Aku menyentuh dadaku, rasa geli semakin menghampiri dan aku suka rasa itu. Oh Mas Endrick, kamu memanglah sesuatu sekali.

Keesokan paginya, hujan turun deras. Biasanya jika hujan begini, Mas Endrick akan pergi lebih terlambat. Katanya dia memikirkan mahasiswa nya yang kemungkinan hujan-hujanan, jadi lebih baik mengambil aman. Ah, walaupun dia terkesan mengerikan tapi dia adalah seorang dosen yang pengertian. Untunglah Mas Endrick sangat bijak.

"Mas, Vita dikabarin Mbak Rara, Katanya nanti malem di suruh Bunda nginep," lapor ku kepada Mas hendrick yang saat itu duduk santai bersama Rama.

"Ya udah, sore nanti kamu siap-siap sama Adam. Saya pulang sekitar jam tiga dari kampus."

Aku mengangguk lalu memilih duduk di dekatnya. Melihat dia dengan Rama, rasanya menyenangkan sekali. Selain karena aku bisa melihat senyumnya, aku juga bangga karena Mas Endrick sangat menyayangi anak kami. Perhatian seorang ayah kepada anaknya memang tidak pernah bisa tergantikan.

"Mas, stok kondom habis," celetuk ku. Aku memang ingat kalau kami sedang tidak ikut program hamil lagi jadi aku harus mengingatkan Mas Endrick.

"Hmm, nanti saya beli."

Irit sekali bicaranya ya, apalagi yang harus aku bahas?

"Ehm, kapan kita program hamil lagi mas?"

Dia melirik ku sejenak sebelum kembali fokus bermain-main dengan Rama. "Nanti, tunggu Rama cukup umur untuk dikasih adek."

"Iya sih mas, Rama masih kecil banget. Tapi kata Bunda, jangan suka nunda-nunda soalnya takut gak dikasih-kasih." Aku berkata benar, ibu mertuaku pernah berkata kalau jangan selalu menunda-nunda. Banyak kejadian pasangan suami istri menunda dan berujung mereka tidak bisa punya anak.

"Saya tau," balasnya singkat sekali. Astaga, rasanya mulutku berbuih karena berbicara terus menerus sedangkan dia tidak.

"Bwaaahhh!" Suara Rama membuatku teralihkan. Dia merentangkan tangannya kepadaku dan itu artinya dia ingin bersamaku.

"Anak ganteng kenapa bisa gemesin gini sih? Pipinya embul banget jadi pengen gigit deh," candaku begitu Rama sudah berada di dalam pelukan ku.

Berada di dekat Mas Endrick dan Rama adalah suatu ketenangan di hidupku. Aku beruntung sekali berada di dalam keluarga ini meskipun sulit bagiku mengetahui isi hati Mas Endrick.

"Mas Endrick, kenapa sih mas gak nikah lebih awal? Kenapa harus di usia sekarang?" tanyaku. Aku belum tahu alasannya, mungkin tidak ada salahnya bertanya.

"Saya selektif memilih pasangan hidup karena menikah itu bukan ikatan main-main. Saya tidak suka perempuan yang bertingkah atau bodoh. Saya ingin yang terbaik," jelasnya. Alasan yang masuk akal, tapi apa aku sudah termasuk kriterianya? Ah pasti begitu kan? Mana mungkin dia mau menikahi ku jika aku tidak memenuhi syarat.

"Emm, jadi menurut mas, Vita gak banyak tingkah?"

Dia mengangguk kecil. "Saya suka kamu yang independen."

Pipiku merona malu, tidak menyangka malah mendapatkan pujian darinya. Selama ini tidak pernah dia memujiku seperti itu.

"Kirain mas tertarik sama Vita cuma karena fisik."

"Itu bonus, lagipula gak ada salahnya jika saya mencari istri yang cantik," balasnya dan aku pun tidak bisa membantah. Luar biasa sekali jawaban itu, dia mengakui sendiri kalau aku cantik dan mandiri. Harusnya aku senang kan karena dua kali dipuji?

Sudah-sudah, aku bisa melayang karena pujian jika diteruskan. Menyenangkan sekali, rasanya seperti mendapatkan peringkat satu di kelas. Kata-kata Mas Endrick membuat aku kian termotivasi untuk menggali lebih dalam tentang perasaannya kepadaku. Entah apa dia tahu tentang cinta, tapi aku akan meraihnya.

.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status