Share

6. Awal Petaka.

Pov Kinanti

Aku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang.

"Tiga bulan lagi?"

Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?

Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?

Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. Namun, ayah sangat membencinya. Bagaimana ini?

Aku menatap jam dinding, jarum pendeknya menunjuk angka sembilan.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam. Ayah sama Ibu kok, baru datang?"

Sayup-sayup kudengar suara percakapan. Ayah dan ibu pasti baru pulang dari hajatan keluarga. Segera aku keluar dari kamar. Ikut bergabung dan duduk di ruang tamu, "Acaranya lancar Yah?" tanyaku.

"Lancar. Pengantin lelakinya seorang pengusaha sukses di bidang industri. Mereka mengelu-elukan sang pengantin lelaki."

"Untung kalian tidak ikut!" Ibu menatapku dan Karenina bergantian.

"Memangnya kenapa?" celetukku penasaran.

"Banyak keluarga bertanya tentang kamu Kinanti. Mana cucunya? Sudah menikah apa belum anak-anak gadisnya? Lalu mereka akan bertanya kapan! Menyebalkan sekali."

"Sudah Ayah, kita sudah di rumah jangan diingat lagi." Ibu berusaha menenangkan Ayah yang terlihat jengkel dan kesal.

Karenina terlihat tak begitu mempedulikan perkataan ayah dan ibu. Ia asyik menatap layar ponselnya. Pasti sedang berkirim pesan dengan kekasihnya.

Jangankan Ayah, kalau aku yang ada di posisi itu entah kuat atau tidak berada di sana lama-lama. Berhadapan dengan Cika yang sok cantik dan selalu mengkritikku saja, aku sakit hati. Namun, aku hanya mampu diam. Karena memang kenyataannya, aku memang seperti yang Cika katakan. Kampungan, tak pandai bergaul, ceroboh saat bekerja dan banyak hal lain lagi.

"Ayah mau istirahat!"

Ayah berdiri dari kursinya wajahnya terlihat mengantuk dan lelah.

"Ini sedikit oleh-oleh, kue kering dari tempat hajatan tadi. Kalian makanlah, ibu mau ke kamar dulu ganti pakaian." Ibu pun berlalu menuju kamarnya.

Karenina ikut berdiri dari bantalan sofa empuk, berjalan sambil tersenyum-senyum menatap layar ponsel. Aku yang terakhir datang ke ruang tamu ini dan aku juga yang pergi terakhir. Lebih baik aku cepat tidur ada sesuatu yang harus kulakukan nanti.

***

Aku menggeliat, mengerjapkan mata beberapa kali. Meraba ke atas nakas, mencari kacamata. Segera memakainya, mendongak menatap jam dinding di kamar. Sudah pukul empat pagi, aku harus cepat-cepat sebelum ayah dan ibu bangun.

Perlahan aku bangun dari ranjang, berjalan dengan mengendap-endap. Tak lupa membawa sebuah majalah kecantikan. Aku menekan gagang pintu dengan sangat hati-hati agar tak mengeluarkan bunyi. Setelah keluar dari kamar apartemen milik ayah aku menengok ke kiri dan kanan.

Sepi. Semoga tak ada yang melihatku atau semua akan jadi masalah!

Aku berlari kecil menuju barisan kamar di depan. Tepatnya menuju kamar 5076. Kuketuk pintu itu beberapa kali sambil terus menatap ke sekitar. Jangan sampai ada yang melihat perbuatanku ini.

Ceklek.

Pintu itu dibuka. Pria bertato muncul dengan ekspresi wajah datarnya. Menatapku penuh tanya. Lagi, ia tak memakai pakaian menutupi tubuh bagian atasnya. Terlihat dadanya basah, ia berkeringat.

"Apa? Ada apa?" tanyanya dengan kasar.

"Boleh aku meminta tolong? Ini, tolong pertemukan aku dengan perempuan ini, dia kekasihmu, 'kan?" 

Aku langsung mengungkapkan tujuanku datang ke kamarnya. Mengangkat majalah yang kubawa tadi, di gambar sampul bagian depan ada wajah seorang perempuan cantik dengan rambut kecokelatan. Itu adalah perempuan yang kujumpai saat di lift dengannya.

"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu menutup pintu kamarnya tanpa menatapku. Aku menahan pintu itu agar tak tertutup.

"Te-tetapi kenapa? Tolonglah!" pintaku dengan nada lebih memelas, hampir-hampir air mata ikut luruh karena memang aku tak punya jalan lain lagi. Aku putus asa.

Aku melangkah masuk ke kamar apartemen si lelaki. Takut ia akan tiba-tiba menutup pintu lagi. Ia hanya mengernyit melihat perbuatan nekatku memasuki kamarnya.

Tanpa menjawab lelaki bertato tadi berjalan masuk. Aku segera mengikutinya. Apartemen ini berantakan, gelas dan botol minuman tergeletak di atas meja. Bahkan ada sampah kertas tercecer di lantai. Sepertinya dia melemparnya ke dalam tempat sampah, tetapi tak masuk!

Ia kembali mengangkat barbel besi yang tergeletak di samping kursi. Rupanya tadi ia sedang berolahraga.

"Kumohon, tolonglah aku!"

"Maaf, aku tak bisa!" Lelaki itu berkata tanpa menoleh kepadaku. Ia menatap lengan otot, masih terus menaik dan menurunkan barbel besi di tangan kanannya. Tak memperdulikanku.

Tak mengapa, aku sudah terbiasa tak dipedulikan oleh para lelaki! Aku harus berusaha lebih keras, ini demi Karenina. Juga demi masa depanku, mau sampai kapan melajang? Umur berapa aku akan menikah, jika sampai sekarang saja tak bisa menarik perhatian seorang lelaki.

Aku berlutut, mengatupkan kedua tangan. Benar-benar putus asa, "Tolonglah …!"

Lelaki bertato itu melirikku sekilas, "Bangun, aku tak bisa menolongmu. Percuma saja apapun yang kamu lakukan!"

Ia bangun dari kursinya, meletakkan barbel besi di lantai. 

"Toloong aku, kumohon!"

Aku segera berdiri mengikutinya.

"Apa yang kalian lakukan?"

Aku terkesiap, suara seorang perempuan berteriak pada kami. Saat menoleh ke belakang ternyata perempuan itu adalah kekasih pemilik kamar ini. Ia menatap kami berdua dengan tajam. 

"Gio, apa yang kau lakukan? Kenapa tak memakai baju? Apa yang kau lakukan dengan gadis ini, hah?"

"Tenanglah, biar aku jelaskan dulu!"

"Tidak, aku tak terima kau berselingkuh dengan wanita ini!" 

Kekasih lelaki bertato itu mengacungkan telunjuk ke wajahku. Suaranya lebih keras dari sebelumnya.

"Tidak, tidak Kak, kau sa-salah paham!"

Aku berusaha menjelaskan sebelum situasi semakin runyam!"

"Diam kamu! Gadis sundal!"

Oh, Tuhan. Tolong aku. Bagaimana menjelaskan padanya? Ia salah paham, jangankan menggoda seorang lelaki, sampai sekarang saja aku tak pernah punya seorang kekasih. Justru aku datang kemari ingin meminta tolong pada perempuan cantik berambut kecokelatan itu.

"Dengar dulu Gisella, dia datang untuk meminta bantuanmu! Lihatlah majalah yang dibawanya …." Lelaki bertato mencoba menjelaskan alasanku ada di apartemennya.

"Diam!"

"Kau mau membohongiku? Di jam empat pagi seperti ini? Kau kira aku bodoh, hah?"

Wanita itu semakin terlihat marah. Tak terima lelaki bertato membelaku. Ia pikir aku telah berbuat macam-macam dengan kekasihnya.

Gadis itu meraih botol minuman di atas meja. Mengangkatnya dan bersiap akan melempar botol itu ke arahku.

"Jangan!" teriak lelaki bertato.

Prank!

Terlambat kekasihnya seperti orang kesetanan. Melempar botol tadi ke arahku. Lelaki bertato tadi dengan sigap menghalangi. Kami terjatuh di lantai bersamaan. Setelah melemparkan botol, kekasih lelaki bertato tadi keluar. Bunyi sepatu terdengar menjauh dari tempat kami.

"Aarrrgh …."

Apa yang terjadi, aku membuka mata. Mencoba bangkit dari lantai. Lelaki bertato tadi mengerang kesakitan. Astaga, di bagian punggung bagian kanannya tertancap serpihan pecahan botol minuman. Darah merembes dari tubuh Gio.

"Ka-kau terluka. Biar kubantu!"

Aku memapah lelaki itu menuju atas ranjangnya. Ia duduk lalu merebahkan dirinya perlahan, dengan punggung menghadap ke langit-langit.

Bagaimana ini? Dia terluka. Apa yang harus kulakukan?

Aku segera mengambil pakaian di atas kursi, membasahi kain itu dengan sedikit air. Perlahan membersihkan darah dan luka di tubuh lelaki bertato.

"Ka-kau tak apa? Apa sangat sakit rasanya?"

"Bagaimana kalau kita pergi ke dokter?"

Ini adalah kali pertama aku berdekatan dengan seorang pria dalam satu kamar. Canggung, nada suaraku bergetar sedari tadi.

Aku menatapnya lebih dekat. Alis matanya tebal, sorot mata tajam dan jarang tersenyum membuat ia terlihat angkuh.

Matanya terpejam rapat. Namun urat-urat di keningnya terlihat menyembul. Apa ia sedang menahan rasa sakit? Atau ia tidur? 

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

Aku terkesiap, kali ini suara datang dari arah pintu. Rupanya kekasih Gio tadi keluar tanpa menutup pintunya. Tak ada suara pintu yang dibuka, tiba-tiba ada pak Sanip si security apartemen, pak Burhan juga beberapa penghuni lain. Menatapku yang sedang berada seranjang dengan lelaki bertato.

"Jangan-jangan, kalian …?"

"Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!"

***

To be Continued… 

Ikuti terus kisahnya nya...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status