Share

5. Kembali Patah Hati!

Pov Kinanti Nur Cahyani.

Aahhh … aku tak bisa tidur. Memikirkan janji bertemu dengan rekan kerja kekasih Karenina, besok.  Entah kenapa membayangkan bertemu dengan seorang lelaki yang tak kukenal membuat jantungku berdebar-debar.

Kembali aku merubah posisi tidur. Miring ke kiri lalu miring ke kanan. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Lelaki itu tertarik dan mau melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Berta'aruf lalu segera menikah. Amiin.

Aku harus segera tidur. Besok ada janji bertemu dengan seseprang. Malam makin larut tetapi kenapa mataku rasanya tak ingin terpejam.

Kenapa hanya membayangkan bertemu dengan seorang lelaki saja membuat pipiku terasa panas?

Salahkah aku berharap? Aku tahu saat berharap terlalu tinggi, kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Sudah banyak lelaki kutemui. Namun, mereka semua mundur tak ingin melanjutkan proses ta'aruf.

Apa salahnya berharap? Setiap kata adalah doa. Siapa tahu dari sekian banyak munajah malamku besok akan terjawab dan menjadi nyata. Amiin.

Jarum pendek jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.45. Sudah larut malam rupanya. Jalanan beraspal di depan makin sepi. Kendaraan tak sepadat di siang atau sore hari. 

Kumatikan lampu duduk di atas nakas, "Selamat malam …."

***

"Selamat pagi, Kinanti."

"Pagi," sapaku pada seorang pengunjung yang sering meminjam buku. 

Bekerja selama lima tahun di perpustakaan ini membuatku hafal di luar kepala siapa saja yang sering meminjam buku. Nama serta alamat mereka.

"Hai Kinanti!" sapa seseorang.

Aku mendongak ke arah suara. Saat aku sedang menyalin kode data di komputer lalu menuliskannya pada buku-buku baru. Dia kembali datang, seorang lelaki tampan. Bekerja sebagai pengacara di sebuah instansi pemerintah. Seorang lulusan universitas terbaik di kota Bogor sana.

"Hai," jawabku cepat.

"Ini buku yang kupinjam minggu kemarin." Ia menyodorkan sebuah buku bersampul merah tua, "Terimakasih!"

"Sama-sama, sudah tugasku."

"Karena referensi buku darimu, aku dapat memenangkan kasusku. Sekali lagi terimakasih!"

Lelaki yang seumuran denganku itu mengusap kasar rambut di kepala. Darahku berdesir seketika, rasa panas menjalar di pipi dan ke seluruh wajah.

Dia adalah Abimanyu Permana, lelaki tampan dari keluarga terpandang. Seorang pengacara muda yang sedang meniti karir. Dia ramah dan selalu tersenyum. Pernah, aku berharap Tuhan menjodohkanku dengan lelaki sepertinya.

"Apa kamu bisa menolongku lagi?"

"Apa?" jawabku dengan cepat dan bersemangat.

"Minggu depan, akan ada acara ulang tahun keponakanku. Masalahnya badut yang kami sewa tidak bisa datang. Maukah kamu menggantikan tugasnya? Hanya beberapa jam saja." 

Ia mengatupkan kedua jemari di dada. Seakan-akan memohon. Aku tak kuasa menolak permintaanya. Tersenyum dan mengangguk. Siapa tahu ini adalah jalan agar hubungan kami lebih dekat. Lagi pula, membantu orang lain tak ada salahnya.

"Thanks, Dear." Kembali dia mengelus rambutku. Apa dia hobi membuat seorang perempuan kegeeran? Tapi aku suka perlakuan manis Abimanyu ini.

"Ini alamat yang harus kamu datangi. Kostumnya sudah tersedia di sana nanti. Datanglah pukul 18.00, atau kau mau kujemput?"

Kembali aku tersenyum dan mengangguk, menyetujui tawarannya. Kapan lagi seorang pria tampan dengan sebuah mobil sedan terbarunya akan menjemputku?

Selesai mengembalikan buku yang dipinjam dan mengucapkan maksud kedatangannya Abimanyu pamit. Ia tak meminjam buku lagi. Aku larut pada pekerjaanku. Melayani para peminjam buku hari itu.

"Kinanti, berikan pengumuman pada pengunjung. Sebentar lagi kita akan tutup!" perintah kak Fatma.

Tak terasa hari sudah mulai sore. Waktunya pulang, dan menutup perpustakaan ini. Aku memencet tombol hijau di pengeras suara. Mendekatkan mic kecil pada bibirku, "Selamat sore kepada para pengunjung Perpustakaan Ilmu. Sepuluh menit lagi perpustakaan akan tutup. Silakan segera menyelesaikan pekerjaan anda!"

Para pengunjung yang masih berada di dalam perpustakaan pun bergegas menyelesaikan kesibukan mereka. Ada beberapa yang langsung  keluar tanpa menaruh buku yang mereka baca kembali ke dalam rak. 

Setelah semua pengunjung keluar ruangan. Kini, tugasku dan kak Fatma untuk membersihkan perpustakaan. Setelah semua bersih kami boleh pulang. Bagian kantor sudah pulang dua jam lebih awal tadi.

***

Pukul 18.00 WIB. Aku telah sampai rumah. Berjalan menuju dapur dan mengambil air minum dingin di dalam lemari pendingin.

"Ahh, segarnya!" seruku setelah menenggak habis segelas air dingin.

"Kakak!"

Aku terkejut dan menoleh ke arah suara. Karenina sudah berpakaian dengan rapi dan cantik. Ia melotot menatapku, "Apa? Kenapa?" tanyaku seketika.

"Kenapa baru sampai? Hari ini kita ada janji bertemu dengan Mas Prasetyo dan temannya. Cepat mandi dan siap-siap!"

"Astaga, Kakak lupa!"

Aku menepuk jidat dan menaruh gelas di atas meja dapur. Segera berlalu menuju kamar. Kuhempaskan tas kerja ke atas ranjang, mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Bagaimana aku bisa lupa hal sepenting ini?

Kuguyur badan dengan air dari pancuran shower. Mengambil sabun dan mempercepat prosesi mandi, tanpa berlama-lama apa lagi ditambah bernyanyi. Tahulah kebiasaan seorang wanita di dalam kamar mandi.

Segera meraih handuk dan keluar dari kamar mandi. Aku mendongak menatap jam dinding di kamar, lima menit. Waktu tercepat aku mandi. Ini rekor!

"Kakak …." Karenina melongok di pintu, "Lima belas menit lagi Mas Prasetyo dan temannya akan datang!"

"I-iya, sebentar lagi Kakak siap!"

Aku segera berpakaian. Tak ada waktu untuk memilih baju. Kuambil gamis berwarna kunyit dengan panjang semata kaki. Menyisir rambut dengan cepat, mengikatnya dengan tiga kali putaran seperti biasa.

Kini, aku beralih ke meja rias. Menyapukan bedak tanpa foundation karena waktu tak cukup. Mencoba menebalkan alis dan memakaikan maskara pada bulu mata.

"Kakak, Mas Pras, datang!"

Omeygad! Terburu-buru dan kaget. Aku hampir menusuk bola mata hitam. Mata sebelah kiri otomatis mengeluarkan air. Mana ketebalan alis yang kubuat tidak sama. Bagaimana ini? Aku belum selesai merias diri. Malu jika tampil sesederhana ini tetapi sudah tidak ada waktu.

Mana aku belum memakai lipstick?

"Sudah selesai siap-siapnya?" teriak Karenina lagi.

"S-sudah!"

Segera kuambil tisu basah, menghapus pensil alis dari wajah. Menyeka air mata di sudut mata. Kembali memakai kacamata minusku. Beberapa kali menatap layar cermin. Kecewa dengan penampilanku sendiri 

Aku terpaksa keluar dari kamar. Tak enak jika seorang tamu harus menunggu lama. Ini salahku juga, kenapa lupa ada janji bertemu. Harusnya tadi, aku meminta izin pulang lebih awal.

Karenina berjalan terlebih dahulu menuju ruang tamu, aku mengikutinya.

"Perkenalkan, ini kakakku Kinanti," ucapnya memperkenalkanku pada kedua tamu lelaki.

"Aku Bramasta, Hendra Bramasta."


Rekan kerja kekasih Karenina memperkenalkan diri, ia menjabat tanganku. 

Memakai kemeja putih berjas abu-abu  dasi hitam menghiasi lehernya. Tingginya sekitar 170cm, dengan kulit sawo matang. Ia tak begitu tampan. Tapi lesung pipit di kedua sisi bibirnya yang tebal cukup mempesona.

Aku duduk di sebelah Karenina. Sementara Prasetyo duduk bersebelahan dengan si Bramasta itu. Ayah dan Ibu sedang ada acara kondangan. Entah dimana!

"Dimana kamu bekerja Kinanti?" Bramasta menatap dan bertanya padaku.

"Di …." Kata-kataku terpotong.

"Kakakku bekerja di perpustakaan kota." 

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Karenina menjawabnya terlebih dahulu.

"Wah, tempat yang penuh ilmu. Apa kamu suka membaca?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Di acara pertemuan ini aku merasa canggung. Karenina, Prasetyo juga temannya lebih sering berbicara. Mereka terlihat sangat akrab. Aku bagai makhluk tak kasat mata berada di antara mereka. Tak dianggap.

"Sudah malam, kami pulang dulu." 

Kekasih Karenina berdiri dan berpamitan. Ia memeluk dan mencium adikku. Bramasta ikut berdiri, ia menyalamiku. Mereka berjalan keluar.

Tak terasa hampir satu jam mereka bertamu. Lumayan lama, seru sekali mereka mengobrol. Aku hanya mendengarkan. Sesekali ikut tersenyum saat obrolan mereka lucu.

"Hey, apa itu?"

Aku beralih ke tempat duduk Bramasta tadi. Ponselnya tertinggal. Aku segera berlari keluar dari apartemen, mengejar mereka. Segera masuk ke lift yang kebetulan kosong. Menekan tombol lantai dasar.

Di lobi mereka sudah tak terlihat. Cepat sekali para lelaki itu berjalan. 

'Ah itu dia!' batinku.

Mereka hampir keluar dari pintu apartemen. Aku berjalan agak cepat di belakang mereka.

"Gila kau Pras! Model emak-emak kayak Kinanti, dikenalin ke aku!"

Deg!


"Tolongin gue bro, udah lima belas kali Kakaknya dijodohin batal semua. Kalau Kinanti gak dapat-dapat jodoh. Karenina sama gue gak boleh nikah!"

Siapa? Akukah yang sedang mereka bicarakan?


"Emang gue pikirin. Giliran yang cantik dan sexy diembat duluan, kakaknya yang model emak-emak gitu dikasih gue. Ogah gue!"



Mereka sedang membicarakanku.

Apa aku sejelek itu?

Siapa yang memberitahukan semua tentangku? Karenina?

"Bramasta!" Panggilku. 

Kedua lelaki yang sedang membicarakanku itu menoleh. Mata mereka langsung terbelalang lebar. Tak menyangka jika aku berada di belakang keduanya.

"Ini ponselmu!" 

Bramasta mematung, ia menerima ponselnya tanpa berkata-kata.

Tanpa menunggu jawaban, aku segera membalikkan badan dan berlari menuju lift, ingin cepat tiba di kamarku. 

Di dalam lift air mata kembali merembes turun. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa mereka menilai hanya dari penampilan luarku? Aku sangat sedih.

Bahkan adikku sendiri membicarakanku kepada orang lain. Kuangkat kacamata sejenak. Menyeka air mata diselanya.

"Karenina …." Begitu tiba di dalam apartemen aku segera memanggil adik perempuanku.

Karenina sedang mencuci gelas teh bekas para tamu di westafel. Ia terperanjat dan segera membalikkan badan, "Ada apa, Kak?"

Tatapannya penuh tanya melihatku berlinang air mata.

"Kenapa? Kenapa kamu menceritakan semua tentangku pada kekasih dan temannya tadi?"

"Harus bagaimana lagi? Aku ingin segera menikah Kak, keluarga Mas Prasetyo menuntutku untuk segera menikah! Jika dalam tiga bulan kami tidak segera menikah ia akan meninggalkanku!" bebernya dengan suara bergetar.

Lihatlah, Karenina malah lebih emosional dariku. Air matanya berlinang menuruni pipi.

"Aku tak mau ditinggal Mas Prasetyo, karena itu aku berusaha mencarikanmu kekasih, Kak," terangnya lagi.

"Ja-jangan menangis. Maafkan Kakak!"

"Cepatlah menikah, agar aku bisa cepat menikah juga!" gerutu Karenina.

Aku memeluk Karenina. Ia menangis tersedu. Jadi semua itu dilakukan Karenina agar Bramasta mau menemuiku?

Tiga bulan? Prasetyo akan meninggalkan Karenina jika aku tak kunjung menikah setelah tiga bulan?

Aku senang karena memiliki Ayah yang berpendirian kuat. Ia mengharuskan aku menikah lebih dulu sebelum Karenina. Ayah tak ingin aku dilangkahi, dan menjadi perawan tua seumur hidup. Namun, masalahnya tak ada yang ingin menikahiku.

Para lelaki itu lebih memilih perempuan yang berhati cantik daripada yang cantik hatinya. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Dari jendela dapur aku melihat lelaki bertato yang tinggal di kamar 5076. Ia memberi minum kucing liar dengan sisa susu cair yang diminumnya. Ternyata perilakunya tak seseram penampilannya. Ia peduli dan penyayang binatang juga.

Mungkin aku bisa meminta tolong padanya?

***

To Be Continued…

Kira-kira Kinanti mau minta tolong apa sama si lelaki bertato ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status