Lima belas hari waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan sebuah cafe impian Ratna. Tentu saja dengan di bantu oleh Delon.
Ratna, Nay dan Rafi kini menyibukkan hari hari mereka di cafe, bertiga bergotong royong melakukan semuanya bersama, dari memasak, melayani hingga membersihkan cafe, dibantu oleh enam orang yang mereka terima untuk membantu bekerja di cafe.
Selain tempat yang sengaja di desain sangat menyenangkan, promosi yang mereka bertiga, lakukan pun sangat gencar, tidak heran bila setiap hari cafe selalu ramai.
"Maaf, cafe sebentar lagi mau tutup, jadi–"
"Ish, sombong banget! Mana owner-nya?" potong seorang tamu perempuan, yang datang bersama kedua temannya, yang tampak bukan asli pribumi.
Malam itu jam memang sudah hampir menunjukkan waktu tutup cafe. Jadi bukan salah karyawan perempuan itu, yang mengingatkan sang tamu.
"Maaf, ada yang bisa saya ban–" ujar Nay yang datang saat mendengar keramai
Malam ini Diandra setuju untuk pulang ke rumah bersama Ratna, setelah sebelumnya mengantar teman bulenya dulu ke hotel.Selama di perjalanan. Barulah Diandra memperkenalkan temannya yang bernama Carlos dan Ken pada Ratna, tentu saja menggunakan bahasa asing, tapi bukan bahasa Inggris."Nanti kita tidur di kamarmu, ya?" tanya Diandra, dengan tetap fokus mengendarai mobil."Eh, kenapa harus di kamarku? Kamarmu sendiri kan ada," seru Ratna yang tampaknya keberatan dengan permintaan Diandra."Akuu ....""Kamu masih istimewa di hati Bunda, Diandra." Ratna sepertinya paham dengan keadaan yang Diandra rasakan."Mmm ....""Sudahlah, jangan berprasangka yang jelek jelek dulu, kau belum pernah ketemu dengan Bunda sejak ada aku kan?" Saat mendengar Diandra hanya membuang nafas panjang dengan kasar"Bagaimana kamu tah
"Setelah sarapan, aku harap kalian tidak langsung pergi karena ada yang harus bunda katakan," pinta Bunda pagi itu, saat Delon, Diandra dan Ratna baru saja mauk ke dalam ruang makan.Diandra yang berdiri, melirik ke arah Ratna dan Delon yang saat itu juga melakukan hal yang sama.Semua duduk terdiam, kecuali Ratna, dia membantu ART yang ada untuk menyiapkan sajian yang akan di letakkan di meja makan.Hingga saat makan pun, hening! Semuanya terdiam sepertinya sibuk dengan pikirannya masing masing.Bunda menyelesaikan sarapannya dengan cepat, kemudian berdiri sambil berkata, "bunda tunggu di ruang kerja."Tak ada yang menjawab ujaran Bunda, ketiganya terdiam dan hanya saling pandang. Saat langkah kaki Bunda meninggalkan ruang makan.Dan seperti ada yang mengomando, ketiganya sontak berdiri dan meninggalkan makan pagi yang belum selesai merek
"Bun ...." Mata Diandra membesar, menatap Delon yang terlihat sama kagetnya. Kemudian beralih menatap sang Bunda, mencari kebenaran di binar mata perempuan yang sudah mengasuhnya itu."Kenapa, masih mau sembunyikan masalah ini dari Bunda? Mau berapa lama lagi?" goda Bunda yang menatap sinis ke arah Delon dan Diandra, bergantian.Namun, pandangan mata itu diartikan beda oleh Delon dan Diandra. Mereka menganggap itu pandangan kesal karena mereka berdua sudah tidak jujur pada Bunda"Mmm ... maaf, Bunda. Sebenarnya aku ingin mengatakan dari awal. Namun, tidak tahu harus di mulai dari mana? Aku hanya takut bunda tak mau merestui kami karena–" Delon menggantung ucapannya, tapi dia yakin Bunda dan Diandra tahu apa yang dimaksud oleh lelaki tampan yang menunduk, tak berani mengangkat kepalanya."Jadi ... kapan kalian akan menikah?" tanya Bunda yang kembali melangkah menuju kursinya."Bunda!?" pekik Diandra, matanya yang berkaca kaca
"Pak Aldo ...."Berapa kagetnya Nay. Pagi itu Aldo berdiri di depan pintu, pas saat perempuan cantik itu membukanya.Banyak pertanyaan kini di kepala Nay, karena selama dia bekerja di salon, pak Aldo tak pernah menghampirinya ke rumah, apalagi sekarang dia sudah tak lagi bekerja pada lelaki yang berdiri di depannya.."Sudah mau berangkat, Nay?" tanya pak Aldo saat melihat Nay sudah siap, mengenakan sepatu, tas dan jaket."Iya sih, Pak. Tapi telat sedikit mungkin tak apa kok. Mari masuk." Nay menepi dan membuka pintunya lebih lebar. Memberikan ruang untuk pak Aldo bisa masuk ke dalam rumah."Bagaimana kalau aku antar kamu ke kafe, kita bicara di mobil saja?" usul pak Aldo, dengan tetap berdiri di luar pintu."Bo–boleh, boleh kok, Pak." Nay pun bergegas ke luar rumah, dengan tangan kanan menarik pintu dan menutupnya rapat."Sudah dari tadi, Pak?" tanya Nay yang melangkah beriringan dengan pak Aldo, menuju ke luar
"Nay ...."Ratna memandangi wajah sahabatnya itu dengan raut muka keheranan.Seharian ini Ratna sudah berulang kali menegur Nay yang kedapatan duduk dengan pandangan kosong di ruangan khusus–ruangan yang sengaja dibuat, hanya untuk Ratna Nay dan Rafi"Ada apa? Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ratna saat pandangan mata kosong milik perempuan yang duduk di depannya, itu kini beralih menatap dirinya."Siapa? Aku? Aku sedang tidak memikirkan apa apa kok?" elak Nay dengan menggelengkan kepalanya berulang kali."Ini sudah untuk kesekian kalinya aku melihatmu dengan pandangan kosong, jadi jangan bohong."Nay gaya bisa menghela nafas panjang, apa yang tadi dia bicarakan dengan pak Aldo belum dia laksanakan.Sejak menginjakkan kaki ke kafe, ucapan pak Aldo tentang Ronald terus menerus terngiang di telinganya.&nb
[ Kamu di mana? Kapan nyampai rumah?]Sebuah pesan di aplikasi hijau dari Diandra masuk ke ponsel milik Ratna. Hingga menimbulkan bunyi bip satu kali.Ratna hanya membaca notifnya, kemudian kembali meletakkan ponsel itu ke atas meja.Mata dan hidungnya tampak merah. Alasan inilah yang membuatnya memutuskan untuk di kantor malam ini, tidak pulang. Tak ingin orang lain tahu, betapa hancur kondisinya, saat ini.Entah berapa lama kemudian, ponselnya berbunyi lagi, terpampang jelas nama Delon di layar.Ratna bimbang, mengangkat atau membiarkan saja panggilan dari kakak lelakinya itu. Hingga akhirnya sinar dan bunyi dari benda pipih itu tak ada lagi.Ratna memejamkan matanya, dengan kepala bersandar di punggung kursi dan ke dua kaki yang sengaja ia angkat ke tepian meja. Hingga akhirnya terlelap."Kamu, bagaimana bisa masuk ke sini?" sentak Ratna yang terbangun saat merasa ada hembusan nafas di wajahnya. Entah sudah berapa lama
Ratna mencibir, mendengar pengakuan Aldo yang abu abu.Tanpa basa basi lagi, Aldo mendekat dengan kedua tangan membingkai wajah Ratna, dan langsung melumat bibir maanis yang kini menjadi candu baginya.Ratna membulatkan matanya, tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh pria yang sebenar sudah mempunyai tempat yang beda di hati sang calon janda.Lumatan itu sangat menggairahkan, tangan yang tadinya menahan badan Aldo dengan sekuat tenaga, akhirnya hanya bisa melemas, bahkan mulai mengelus dada bidang milik mantan bosnya.Hingga keduanya saling melepaskan pagutan. Namun, Aldo tak membiarkan Ratna lepas begitu saja, dia tetap memeluk dan menyatukan kening mereka, di antara deru nafas."Aku mencintaimu, Rat. Menikahlah denganku." Aldo meminta dengan nafas yang masih tersengal-sengal, kedua tangannya masih terus membingkai wajah cantik Ratna."Aku tidak bisa." Ratna sontak menolak permintaan Aldo, dan mulai melolos
"Rat ... kok kamu tidur di sini? Nggak pulang? Pasti ada masalah ya?" selidik Rafi, langsung tanpa basa basi."Mmm ...."Ratna terbangun tanpa membuka mata, saat badannya bergetar pelan karena tangan Rafi di pundak."Ada apa? Cerita dong.""Aku pusing, Fi.""Sebentar, ya."Terdengar langkah Rafi keluar dari ruangan berlari menuruni tangga.Ratna kembali memejamkan matanya, kepergian Aldo yang tanpa kata terus saja menari di benak perempuan yang mencepol rambutnya asal."Rat, ayo sarapan dulu."Ratna membuka matanya saat badannya teraasa sedikit berguncang karena tangan Rafi di bahunya untuk yang ke dua kali."Apa ini, Fi?" tanya Ratna saat melihat di depannya ada bungkusan di atas piring lengkap dengan sendok."Gado gado milik