Mobil yang ditumpangi Leonhard sampai di rumah, dia merogoh saku celana lalu memakai cincin nikahnya setelah melihat mobil sang istri terparkir di halaman.
Dia turun tepat ketika mobil mewah itu berhenti lalu melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Kepala asisten rumah tangga membukakan pintu. “Nyonya ada di ruang makan menunggu Tuan,” kata pria paruh baya itu seraya mengambil alih tas dari tangan Leonhard. Leonhard tidak memberikan respon, hanya menyerahkan tasnya dengan ekspresi malas. Seiring langkahnya menuju ruang makan, Leonhard berusaha melengkungkan senyum hingga akhirnya dia bisa memberikan senyum terbaik saat tatapannya bertemu dengan tatapan sang istri. “Hai Leon,” sapa Nova Lyra Handoko-anak dari crazy rich Surabaya yang dia nikahi setahun lalu karena perjodohan yang membawanya ke Indonesia-kampung halaman sang mami untuk mengelola perusahaan milik sang papi yang telah bergabung dengan perusahaan milik pak Handoko yang tidak lain adalah ayah mertuanya. “Hai Nova, kapan datang?” Leonhard balas menyapa disertai pertanyaan basa-basi. Langkah Leonhard sampai di samping kursi yang diduduki Nova lalu membungkuk untuk memberikan kecupan di kening wanita itu. “Barusan banget, kayanya mobil aku juga masih terparkir di luar.” Nova menjawab meski dia tahu kalau pertanyaan itu hanya basa-basi. “Papa dan mama apakabar?” Leonhard bertanya lagi sambil membuka piring, siap untuk makan malam. “Mereka baik, papa lagi sibuk sama bisnis barunya dan mama sibuk sama bisnisnya juga,” jawab Nova menceritakan. “Pantesan papa sulit aku hubungi,” kata Leonhard berkomentar. “Ya … kami semua sibuk, perekonomian di Negara ini sedang bangkit dan kita harus memanfaatkan peluang itu sebaik mungkin,” kata Nova yang belum juga memulai makan malamnya karena sibuk bercerita. Leonhard mengangguk setuju, pandangannya tertuju pada piring tanpa tertarik menatap wajah sang istri padahal hanya seminggu sekali dia temui. Leonhard tinggal di Jakarta sedangkan Nova di Surabaya karena bisnis Nova ada di sana dan mereka sepakat untuk long distance relationship tanpa drama. Makan malam kali ini tidak membosankan karena Nova banyak bercerita bahkan berkonsultasi meminta pendapat tentang bisnis yang meski Leonhard tahu kalau sebenarnya Nova tidak butuh itu, sang istri juga pebisnis ulung karena lahir dari sepasang orang tua yang jenius dalam bisnis. Leonhard menanggapi seperti biasa, tidak antusias juga tidak malas-malasan. Sedikit saran dia berikan agar makan malam tidak menciptakan hening. Sampai akhirnya makan malam selesai dan mereka harus melakukan ‘ritual rutin’ di kala weekend. “Aku mandi duluan ya,” cetus Leonhard karena dia tahu kalau Nova akan berendam setelah melakukan perjalanan dari Surabaya menggunakan jalur darat karena biasanya akan berhenti di Jogja, atau Pekalongan atau mungkin Cirebon karena beberapa kliennya tinggal di sana sehingga perjalanan Surabaya – Jakarta mungkin akan dia tempuh dalam beberapa hari jika menggunakan mobil. Tapi sering juga Nova datang ke Jakarta menggunakan jalur udara dan Leonhard yang akan menjemputnya di Bandara jika tidak ada meeting. “Oke,” sahut Nova yang sedang menanggalkan pakaiannya. Leonhard bergegas membersihkan tubuhnya tidak lama dia keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Tatapan teduh Nova dia dapatkan dengan smirk di sudut bibir. Nova semestinya beruntung memiliki suami tampan dengan tubuh atletis seperti Leonhard dan dia juga seharusnya tidak melepas Leonhard begitu saja di Jakarta karena mungkin banyak wanita yang ingin berada di posisinya. Setelah pintu kamar mandi tertutup, Nova menyandarkan punggungnya di sana. Tatapannya kosong ke langit-langit kamar mandi selama beberapa detik sebelum akhirnya dia menyalakan kram untuk mengisi bathub sedangkan Leonhard membuka MacBook usai mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Jemarinya menari indah di antara kumpulan angka dan huruf, tidak lama setelah itu dia meraih ponsel lalu membuka ruang pesan dengan seseorang. Leonhard : Bu Aruna, terlampir data yang sudah saya perbaiki. Leonhard mengirim pesan kepada Aruna karena kejeliannya-Aruna dapat mengoreksi jumlah unit bahan baku yang seharusnya digunakan untuk salah satu produk. Aruna : Baik, Pak Leonhard … Terimakasih dan selamat malam. Leonhard meletakan ponsel di atas nakas, dia memutar tubuh karena merasa seseorang berdiri di belakangnya. Ternyata benar, ada Nova dibalut lingery seksi sedang berdiri bersama senyum dan sorot mata teduh seperti tadi. Leonhard melangkah mengikis jarak, tangannya terangkat merangkum sisi wajah Nova, dia usap ibu jarinya di pipi halus dan lembut itu lantas menunduk dalam bersamaan dengan mendongakan kepala Nova sehingga bibir mereka bertemu. Saling melumat lalu terpagut diawali dengan sentuhan lembut lalu lama-lama menuntut. Perlahan Leonhard mendorong Nova ke atas ranjang dengan satu tangan merengkuh pinggang wanita itu. Setelah Nova berbaring di atas ranjang, Leonhard menarik turun tali spaghety di pundak Nova agar bongkahan di dadanya terekspose. Menggunakan telapak tangan besarnya Leonhard meremat salah satu bongkahan sementara satu tangannya lagi menurunkan celana dalam Nova yang kooperatif membantu dengan menggerakan kakinya. Kini satu jemari Leonhard bergerilya di bagian hangat dan lembab guna menstimulasi agar siap untuk dimasuki, sementara itu pandangan Leonhard selalu tertuju pada bagian bawah menghindari tatapan dengan Nova. Nova memejamkan mata, menggigit bibir bawah saat merasakan hasratnya mulai terbakar. Setelah dirasa Nova siap dimasuki, Leonhard menanggalkan kaos lalu menurunkan celana tanpa menyisakan sehelai benangpun di tubuhnya. Leonhard meletakan miliknya di atas milik Nova, menekan kemudian menggeseknya perlahan agar menegang dan membesar sehingga bisa masuk dengan mudah ke dalam Nova. Cukup lama Leonhard melakukan itu sampai miliknya siap untuk melakukan hentakan sementara Nova sudah kalang kabut menggerakan kepalanya ke kiri dan kanan. Desah lega tercetus dari bibir Nova tatkala Leonhard memenuhinya di bagian bawah. Pria itu menghentak pelan agar tidak melukai Nova. “Faster Leon! I want faster!!!” seru Nova yang justru menginginkan sebaliknya. Leonhard mengabulkan keinginan Nova, dia tumbuh Nova begitu dalam dan kencang. Matanya terpejam dengan nafas memburu sama dengan Nova yang kini mendekap erat Leonhard, melingkarkan kedua tangan di leher pria itu. Gerakan dari hentakan kencang di dalam pelukan mempertemukan bibir mereka. Leonhard memagut bibir Nova lagi dibalas pagutan dalam oleh Nova yang kemudian membuka mulutnya agar lidah Leonhard bisa masuk dan membelainya lebih dalam. Lama-lama Nova merasakan perutnya bergejolak hebat, sesuatu seperti menghantam kuat membuat perutnya mengetat lalu tubuhnya bergetar saat kenikmatan itu dapat diraihnya. Tahu kalau istrinya telah mendapatkan pelepasan, Leonhard menghentak kian kencang. Dia memejamkan matanya kembali sampai akhirnya dia juga dapat merasakan kenikmatan yang sama. Benihnya tercurah semua ke rahim Nova bersamaan dengan hentakan yang semakin melambat. Beberapa saat kemudian Leonhard menggulirkan tubuhnya ke samping sembari menarik selimut menutupi bagian bawah tubuhnya. Satu tangan dia letakan di atas kening dengan mata terpejam dan nafas memburu. “Masih kerasa benangnya?” tanya Nova sembari bergerak mendudukan tubuh. “Masih … kalau bisa kamu konsultasi ke dokter, cari cara lain untuk enggak bisa hamil, benang IUD menggangguku …,” keluh Leonhard tanpa membuka matanya. “Oke … mungkin aku akan minta benangnya dipotong lebih pendek yang pasti aku enggak mau minum pil,” kata Nova lalu bangkit dan menarik langkah menuju kamar mandi setelah memakai kembali lingery. “Apa memotong pendek benangnya akan menyakitimu?” Langkah Nova terhenti oleh pertanyaan yang terdengar perhatian di telinganya. “Aku belum tahu,” kata Nova mengangkat kedua pundak. “Kalau menyakiti kamu enggak usah …,” gumam Leonhard, matanya masih terpejam dan sesungguhnya dia tinggal selangkah lagi memasuki alam mimpi. “Kamu benar-benar peduli sama aku?” Nova membatin seolah tidak percaya sambil tersenyum pelik. Dia melanjutkan langkah menuju kamar mandi untuk membersihkan cairan cinta milik Leonhard yang tertinggal di bagian intinya. Saat Nova kembali ke area ranjang, dengkuran pelan dan halus terdengar dari hidung pria tampan dengan tubuh atletis yang hanya ditutupi selembar selimut tipis di bagian bawahnya saja. Nova mengembuskan nafas, melipat tangan di dada, matanya menatap Leonhard yang tertidur pulas dengan tatapan terbaca. Dia lantas merangkak naik ke atas tempat tidur, berbaring membelakangi Leonhard namun tidak lama kemudian Leonhard bergerak memeluk dari belakang, menenggelamkan wajah di tengkuknya. Nova tertegun sesaat, bibirnya tersenyum samar sebelum akhirnya perlahan matanya terpejam menyusul Leonhard ke alam mimpi.Aruna menempelkan ponselnya ke dada, mata terpejam dan bibirnya tersenyum setelah membalas pesan dari Leonhard padahal tidak ada kalimat romantis dalam percakapan singkat itu tapi Aruna rasanya seperti sedang pacaran dengan Leonhard.Aruna pernah menyukai beberapa lelaki, tapi Leonhard berbeda.Pria matang itu berhasil membuat Aruna jadi aneh seperti ini.Aruna mengotak-ngatik ponselnya membuka lagi ruang pesan dengan Leonhard kemudian pergi ke profil pria itu untuk melihat dengan jelas foto profil Leonhard yang tengah main golf, padahal hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi dalam pandangan Aruna-Leonhard sungguh luar biasa tampan.Aruna mengusap layar ponselnya menggunakan ibu jari dan mata yang berbinar.Beberapa detik kemudian dia sadar akan kegilaan yang dilakukannya, Aruna terkekeh sembari menutup wajah menggunakan satu tangan lantas menjatuhkan punggung di atas kasur.“Kayanya papi pasti setuju kalau aku pacaran sama Leon ….” Aruna bicara sendiri.“Emm … tapi enggak,
“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Tok …Tok …Ceklek …Aruna dan Arumi yang sedang asyik mengobrol seketika menoleh ke arah pintu.Sosok Reynand masuk memunculkan senyum di bibir kedua perempuan cantik itu namun pudar ketika sosok perempuan ikut masuk mengikuti Reynand dari belakang.“Aruna … kamu udah makan malem? Aku bawain makanan ini, tadi Danisa yang beli.” Reynand menunjuk gadis yang kini berdiri di sampingnya.Arumi dan Aruna masih bingung, keduanya menatap Reynand dan gadis bernama Danisa secara bergantian.“Oh … ini Danisa, mamanya lagi dirawat di sini juga, beberapa hari lalu kami bertemu di coffe shop ….” Lalu Reynand beralih ke Danisa. “Danisa, kenalin ini Arumi adik aku dan Aruna kakak sepupu aku.” Danisa mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah.“Hallo … aku Danisa.” Danisa memperkenalkan diri.Meski masih heran karena setau mereka—Reynand adalah sosok pendiam, dingin dan tertutup kepada orang baru apalagi perempuan tapi Arumi dan Aruna mencoba menya
Sikap Tasya berubah seratus delapan puluh derajat menghadapi Tezaar.Dia butuh waktu untuk menata hatinya setelah penolakan Tezaar kemarin dan tentunya menerima kenyataan kalau pria itu akan menikah.Karena pekerjaan mereka dilakukan tanpa mengobrol dan sungguh-sungguh jadi lah pekerjaan cepat selesai.Sebelum sore mereka sudah dalam perjalanan kembali ke Jakarta namun karena berbarengan dengan jam pulang kerja, jadilah Tasya dan Tezaar harus melewati kemacetan.Saat pergi tadi Tezaar sengaja duduk di depan di samping driver untuk memberi Tasya ruang agar bisa menerimanya kembali dan sekarang saat pulang Tezaar memilih duduk di kabin belakang bersama Tasya yang duduknya terlalu mepet ke pintu seakan enggan berdekatan dengannya.Tezaar menoleh menatap Tasya yang pandangannya lurus ke depan dengan kepala bersandar pada kaca jendela, gadis itu sedang melamun.“Hei … laper enggak?” Tezaar bertanya memulai pembicaraan karena sepanjang jalan baik pergi tadi maupun sekarang saat pulang
Sampai di depan ruangan Arumi, Aruna langsung membuka pintunya.Di dalam sana masih ada om Kaivan dan tante Zhafira.“Om … Tante … pulang aja, biar Arumi sama aku,” kata Aruna setelah menyalami kedua orang tua Arumi diikuti Leonhard.“Oke deh, kami pulang dulu ya … mungkin Tante sama om agak lama di Bandung jadi nanti Arumi ditemani Reynand.” Tante Zhafira memberitahu.“Oke Tante … Om, hati-hati di jalan.” “Titip Arumi, ya sayang.” Tante Zhafira berpesan.“Kami duluan Pak Leon,” ujar om Kaivan saat meninggalkan ruangan dan berbalas anggukan kepala dari pria itu.“Kapan mulai theraphy?” Aruna bertanya seraya meletakan paperbag berisi dessert kesukaan Arumi di atas meja.“Minggu depan.” Arumi menjawab.“Lekas sembuh ya Arumi.” Leonhard akhirnya buka suara.“Makasih Pak Leon.” Arumi menyahut.Leonhard mengangguk sambil tersenyum tipis.“Aku pulang ya.” Leonhard pamit kepada Aruna.Aruna mendekat kemudian memeluk Leonhard
“Amore ….” Enzo yang duduk di tepi ranjang meraih satu tangan Arumi yang bebas.Malam hampir larut, hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu karena papa dan mama sudah pulang untuk beristirahat.“Besok aku akan pulang ke Italia untuk menyelesaikan beberapa urusan di sana lalu aku akan kembali untuk membangun bisnis dengan papa kamu di sini dan menikahi kamu … kamu tunggu aku ya, aku usahakan hanya seminggu di Italia.” Arumi menggelengkan kepala. “Pergilah Enzo, tapi aku tidak akan menunggumu … jangan berjanji apa-apa … kamu bebas, aku tidak berharap apapun padamu.” Bukannya Arumi sok jual mahal tapi justru dia tidak ingin membuat Enzo terikat karena sadar diri dengan keadaannya.Menurutnya, Enzo adalah pria baik dan berhak mendapatkan wanita yang sempurna.Enzo terkekeh, dia tidak mengambil hati ucapan Arumi justru sangat mengerti makna tersembunyi dibalik ucapannya itu.Bergerak ringan, Enzo membaringkan tubuhnya di samping Arumi dalam posisi miring kebetulan ranjang pasi
Om Kaivan dan tante Zhafira baru saja keluar dari ruangan mami Zara setelah sebelumnya dokter Patologi menjelaskan hasil lab yang kini tengah tante Zhafira peluk.Keduanya melangkah pelan dengan tatapan kosong menuju kamar Arumi.Sampai di sana, mereka melihat Arumi sedang disuapi makan siang oleh Enzo.Pria itu begitu tekun merawat Arumi pagi siang malam tanpa lelah atau pun mengeluh padahal Arumi belum memutuskan menerima cintanya.“Mau Mama atau Papa aja yang sampaikan hasil lab ini ke Arumi?” Om Kaivan meminta pendapat istrinya.“Papa aja, Papa yang paling dekat dengan Arumi.” Tante Zhafira mengusap pundak suaminya kemudian mendorong pelan untuk masuk ke dalam ruang rawat itu.Enzo dan Arumi seketika menoleh saat sosok om Kaivan mendekat ke area ranjang pasien.Enzo tidak sengaja mengalihkan pandangan ke arah sofa set di mana di atas mejanya terdapat MacBook yang terbuka sebagai media Enzo memantau pekerjaan di Italia, di sana juga telah duduk tante Zhafira yang memberi kod
Tok …Tok …Tasya yang sedang mager akhirnya harus bangkit dari peraduannya karena mendengar suara pintu diketuk.“Siapa lagi sih hari sabtu gini ganggu aja.” Dia menggerutu karena merasa tidak memiliki janji dengan Rocky.Mengingat di Jakarta Tasya hanya memiliki om Roger dan kini sedang dekat dengan Rocky jadi kehidupannya hanya seputar mereka selain pekerjaan.Ceklek … “Tezaar.” Tasya bergumam dengan mata membulat dan kedua alis terangkat tidak pernah menyangka Tezaar akan berada di depan pintu kossannya.“Tasya … boleh aku masuk?” Raut wajah Tezaar tampak sendu.“Masuk aja ….” Tasya membuka pintu lebar-lebar.Tezaar duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana.Sofa yang menghadap televisi itu hanya cukup untuk dua orang jadi mau tidak mau Tasya dan Tezaar berdesakan di sofa itu.Tezaar merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah undangan pernikahan berwarna coklat.“Perut Marisa semakin besar, aku harus segera menikahi dia
Aruna tahu kalau papinya yang memiliki jasa keamanan swasta telah mengutus seseorang untuk mengawasi.Bisa jadi orang itu adalah Pilot dari privat jet sewaan tuan Lee yang akan ditumpanginya sekarang atau mungkin awak kabin atau bisa jadi driver yang menjemput mereka nanti di Korea, staf hotel atau mungkin mereka semua adalah orang suruhan papi Arkana.Dan Aruna tidak peduli, sama sekali tidak peduli.Mobil yang ditumpanginya bersama Leonhard berhenti di depan sebuah privat jet, Aruna turun dibantu Leonhard dan sampai naik ke dalam pesawat, pria itu tidak melepas genggaman tangannya.Di dalam sana sudah ada Nova dan Dewa yang duduk bersebelahan.Baru sekarang Aruna bertemu lagi dengan Nova dan seketika suasana menjadi canggung.Nova bangkit dari sofa mengulurkan tangan.“Apakabar Aruna,” sapanya ramah.“Kabar baik … kamu dan adik bayi apa kabar?” Aruna balas bertanya.Nova menundukan kepala mengusap perutnya lalu berkata, “Kami baik.” Dia pun menjawab.Tatapan Aruna beralih
“Papiiiii!!!!” Aruna berlarian dari lantai dua memburu papi yang baru saja masuk ke dalam rumah bersama mami.“Loh! Belum tidur.” Papi menghentikan langkahnya di ujung tangga paling bawah dan otomatis langkah mami juga terhenti.Aruna memeluk dada bidang papi yang dibalas beliau dengan pelukan erat.Papi terkekeh meningkahi sikap manja Aruna. “Ada apa?” Papi Arkana bertanya.“Papi, boleh besok Aruna ikut Leon anter istrinya kontrol kandungan ke Korea?” tanya Aruna mendongak sembari menunjukkan puppy eyes menggemaskan.Papi langsung mengalihkan pandangan ke mami yang masih berdiri di sampingnya.“Bilang enggak boleh, Pi.” Arnawarma yang menimpali dari sofa panjang.Aruna mencebikan bibirnya kesal bersama delikan sebal.“Kamu mau ganggu momen bahagia mereka?” Papi Arkana sedang bersarkasme.“Piiii, Dewa pacarnya Nova juga ikut kok … dia enggak mengijinkan Nova berdua aja sama Leon.” Aruna memohon.“Terus nanti ‘kan di sana Leon sama Nova pasti menginap di rumah keluarganya Leo
Baru kali ini Aruna melihat Arumi tampak putus asa padahal biasanya Arumi selalu bisa mengatasi beragam masalah yang muncul dalam hidup bahkan memberi saran terbaik layaknya wanita dewasa.“Kalau dia enggak mencintai kamu, dia enggak akan nungguin kamu di sini selama satu minggu.” Aruna memperkuat apa yang sudah Enzo katakan sebelumnya.Arumi terpekur lama sekali sampai ketika ditegur, dia memilih untuk pura-pura tidur.Hatinya sedang gundah gulana saat ini, dia yang mengalaminya jadi biarkan dia menikmatinya sendiri.Meski matanya terpejam tapi air mata Arumi tidak berhenti mengalir, diam-diam menyusut buliran kristal ungkapan kesedihan itu agar tidak ada yang menyadarinya.Tapi Enzo yang fokusnya hanya untuk Arumi seorang menangkap gerak-gerik ganjil tersebut.Setelah keluarga Arumi pulang menyisakan mereka berdua saja di ruangan itu, Enzo duduk di tepi ranjang Arumi.“Aku tahu kamu enggak tidur,” kata Enzo membuat kelopak mata Arumi terbuka.“Dari tadi kamu menangis tapi ka