Aruna menempelkan ponselnya ke dada, mata terpejam dan bibirnya tersenyum setelah membalas pesan dari Leonhard padahal tidak ada kalimat romantis dalam percakapan singkat itu tapi Aruna rasanya seperti sedang pacaran dengan Leonhard.
Aruna pernah menyukai beberapa lelaki, tapi Leonhard berbeda. Pria matang itu berhasil membuat Aruna jadi aneh seperti ini. Aruna mengotak-ngatik ponselnya membuka lagi ruang pesan dengan Leonhard kemudian pergi ke profil pria itu untuk melihat dengan jelas foto profil Leonhard yang tengah main golf, padahal hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi dalam pandangan Aruna-Leonhard sungguh luar biasa tampan. Aruna mengusap layar ponselnya menggunakan ibu jari dan mata yang berbinar. Beberapa detik kemudian dia sadar akan kegilaan yang dilakukannya, Aruna terkekeh sembari menutup wajah menggunakan satu tangan lantas menjatuhkan punggung di atas kasur. “Kayanya papi pasti setuju kalau aku pacaran sama Leon ….” Aruna bicara sendiri. “Emm … tapi enggak, papi enggak boleh tahu apalagi keempat kakak bangsul … mereka pasti ngetes-ngetes Leon ….” Aruna bermonolog. “Ah … tapi cewek tipe Leon seperti apa sih?” Aruna mulai membuka sosial media mencari tahu pria seperti apa Leonhard sebenarnya. Zaman sekarang, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki sosial media minimal Twitter atau F******k. Lama Aruna mencari tapi dia tidak menemukan satupun media sosial milik Leonhard. “Gila, ini cowok manusia gua apa?” Aruna semakin penasaran, dia mengetik nama Leonhard di G****e lalu keluar fotonya tapi hanya foto-foto yang diambil paparazi saat dia menghadiri sebuah acara bergengsi dalam bidang bisnis dan ekonomi. Ada juga artikel tentang pria itu di berbagai kanal media online bisnis yang menceritakan pencapaiannya dalam bisnis. Aruna semakin kagum, dia semakin jatuh cinta setelah jatuh cinta pada pandangan pertama saat meeting kemarin. Malam ini, Aruna tidur sambil memeluk ponselnya dengan layar menampilkan foto Leonhard. Dia bangun setelah tiga alarm yang dipasangnya berbunyi, Aruna memang kesulitan bangun pagi tapi dia selalu berusaha untuk bangun pagi apalagi setelah bekerja di kantor papi Arkana. Usai melakukan ritual pagi di kamar mandi, Aruna mempersiapkan dirinya dengan baik. Memilih pakaian terbaik, memoles wajahnya dengan make up tipis tidak berlebihan tapi harus terlihat cantik, muda dan segar karena dia memiliki janji dengan Leonhard untuk pergi ke pabrik bahan baku yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Dan karena persiapannya yang luar biasa itu, Aruna jadi kesiangan sarapan pagi. Kedua orang tua dan kedua kakak laki-lakinya yang belum menikah hampir menyelesaikan sarapan pagi saat Aruna sampai di ruang makan. “Mi … Pi … Aruna enggak sempet sarapan pagi, Aruna ada janji sama pak Leon mau ke pabrik pagi ini ….” Aruna meraih satu helai roti kemudian mengecup pipi mami, papi dan kedua kakak laki-lakinya kemudian lari menuju ruang tamu di mana pintu utama berada dengan mulut mengapit roti. “Jangan pakai mobil aku ya, Na … aku juga buru-buru!” seru Narashima karena dia telah meminta driver untuk memposisikan mobilnya di bagian paling luar agar mudah keluar. Namun sayang, Aruna tidak mendengar pesan sang kakak jadi dia masuk ke dalam mobil yang berada paling luar karena kebetulan mesinnya menyala yang itu berarti kunci mobilnya ada di dalam. Aruna melesat membawa mobil milik Narashima keluar dari halaman rumah kedua orang tuanya yang luas. Tidak berapa lama, anggota keluarga yang tersisa berturut-turut keluar dari dalam rumah untuk pergi melakukan kegiatan hari ini. “Yaaaah, si Aruna kebangetan ya … mobil aku malah dipake!” Narashima bersungut-sungut saat tidak melihat mobilnya terparkir. “Maaf Pak … mobilnya tadi dibawa non Aruna saat saya lagi cuci tangan di toilet,” kata driver Narashima. Narashima mengembuskan nafas kasar, ada peraturan di mana setiap anggota keluarga dilarang keras memarahi pegawai apapun kesalahannya kecuali memberi teguran dengan nada rendah tapi untuk itu pun Narashima tidak memiliki waktu. “Pakai mobil Papi aja,” kata papi Arkana memberi solusi. “Ya udah, Nara pamit.” Narashima mengecup pipi mami lalu melakukan tos kepalan tangan dengan sang papi sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil yang terparkir paling luar. “Rey pergi ya, Pi … Mi ….” Reyzio pamit lantas masuk ke mobil miliknya dengan driver di kursi kemudi. “Kita pakai mobil Aruna, enggak apa-apa ‘kan sayang?” Papi Arkana membuka pintu penumpang di kabin depan untuk mami Zara. Mami Zara tergelak. “Mami sih enggak apa-apa, tapi masa Papi yang badan kekar dan macho gini nyetir mobil yang penuh dengan pernak-pernik cewek.” Mami Zara berujar seraya masuk ke dalam mobil. Papi Arkana baru sadar kalau interior mobil Aruna penuh dengan pernak-pernik lucu berwarna pink sampai kaca spion tengahnya saja terdapat banyak mute-mute termasuk tombol engine untuk menyalakan mesin. “Hadeuuuh ….” Papi Arkana tertawa menggelengkan kepalanya. “Pi … kasian Aruna, kayanya kita beliin dia apartemen yang deket sama kantor aja biar enggak keteteran setiap pergi kerja … soalnya Mami perhatikan, dia sering pulang malam terus pergi pagi banget … kalau dia tinggal di apartemen ‘kan dia enggak perlu buru-buru gini ….” Mami Zara mengungkapkan keresahannya. “Nanti dia bawa cowok masuk lagi ke apartemennya ….” Papi Arkana terdengar tidak setuju. “Cowok yang mana sih, Pi? Dia kerja keras gitu untuk membuktikan kalau dia juga bisa sehebat papi dan kakak-kakaknya, mana ada waktu untuk pacaran.” Mami Zara setengah bersarkasme. Papi Arkana tidak berkomentar, dia tengah berpikir sembari fokus mengemudi menuju rumah sakit milik sang istri. Salah satu perlakuan romantis papi Arkana kepada sang istri adalah setiap hari sebisa mungkin mengantarnya bekerja meski mereka memiliki mobil dan driver masing-masing.“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
Tok …Tok …Ceklek …Aruna dan Arumi yang sedang asyik mengobrol seketika menoleh ke arah pintu.Sosok Reynand masuk memunculkan senyum di bibir kedua perempuan cantik itu namun pudar ketika sosok perempuan ikut masuk mengikuti Reynand dari belakang.“Aruna … kamu udah makan malem? Aku bawain makanan ini, tadi Danisa yang beli.” Reynand menunjuk gadis yang kini berdiri di sampingnya.Arumi dan Aruna masih bingung, keduanya menatap Reynand dan gadis bernama Danisa secara bergantian.“Oh … ini Danisa, mamanya lagi dirawat di sini juga, beberapa hari lalu kami bertemu di coffe shop ….” Lalu Reynand beralih ke Danisa. “Danisa, kenalin ini Arumi adik aku dan Aruna kakak sepupu aku.” Danisa mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah.“Hallo … aku Danisa.” Danisa memperkenalkan diri.Meski masih heran karena setau mereka—Reynand adalah sosok pendiam, dingin dan tertutup kepada orang baru apalagi perempuan tapi Arumi dan Aruna mencoba menya
Sikap Tasya berubah seratus delapan puluh derajat menghadapi Tezaar.Dia butuh waktu untuk menata hatinya setelah penolakan Tezaar kemarin dan tentunya menerima kenyataan kalau pria itu akan menikah.Karena pekerjaan mereka dilakukan tanpa mengobrol dan sungguh-sungguh jadi lah pekerjaan cepat selesai.Sebelum sore mereka sudah dalam perjalanan kembali ke Jakarta namun karena berbarengan dengan jam pulang kerja, jadilah Tasya dan Tezaar harus melewati kemacetan.Saat pergi tadi Tezaar sengaja duduk di depan di samping driver untuk memberi Tasya ruang agar bisa menerimanya kembali dan sekarang saat pulang Tezaar memilih duduk di kabin belakang bersama Tasya yang duduknya terlalu mepet ke pintu seakan enggan berdekatan dengannya.Tezaar menoleh menatap Tasya yang pandangannya lurus ke depan dengan kepala bersandar pada kaca jendela, gadis itu sedang melamun.“Hei … laper enggak?” Tezaar bertanya memulai pembicaraan karena sepanjang jalan baik pergi tadi maupun sekarang saat pulang
Sampai di depan ruangan Arumi, Aruna langsung membuka pintunya.Di dalam sana masih ada om Kaivan dan tante Zhafira.“Om … Tante … pulang aja, biar Arumi sama aku,” kata Aruna setelah menyalami kedua orang tua Arumi diikuti Leonhard.“Oke deh, kami pulang dulu ya … mungkin Tante sama om agak lama di Bandung jadi nanti Arumi ditemani Reynand.” Tante Zhafira memberitahu.“Oke Tante … Om, hati-hati di jalan.” “Titip Arumi, ya sayang.” Tante Zhafira berpesan.“Kami duluan Pak Leon,” ujar om Kaivan saat meninggalkan ruangan dan berbalas anggukan kepala dari pria itu.“Kapan mulai theraphy?” Aruna bertanya seraya meletakan paperbag berisi dessert kesukaan Arumi di atas meja.“Minggu depan.” Arumi menjawab.“Lekas sembuh ya Arumi.” Leonhard akhirnya buka suara.“Makasih Pak Leon.” Arumi menyahut.Leonhard mengangguk sambil tersenyum tipis.“Aku pulang ya.” Leonhard pamit kepada Aruna.Aruna mendekat kemudian memeluk Leonhard
“Amore ….” Enzo yang duduk di tepi ranjang meraih satu tangan Arumi yang bebas.Malam hampir larut, hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu karena papa dan mama sudah pulang untuk beristirahat.“Besok aku akan pulang ke Italia untuk menyelesaikan beberapa urusan di sana lalu aku akan kembali untuk membangun bisnis dengan papa kamu di sini dan menikahi kamu … kamu tunggu aku ya, aku usahakan hanya seminggu di Italia.” Arumi menggelengkan kepala. “Pergilah Enzo, tapi aku tidak akan menunggumu … jangan berjanji apa-apa … kamu bebas, aku tidak berharap apapun padamu.” Bukannya Arumi sok jual mahal tapi justru dia tidak ingin membuat Enzo terikat karena sadar diri dengan keadaannya.Menurutnya, Enzo adalah pria baik dan berhak mendapatkan wanita yang sempurna.Enzo terkekeh, dia tidak mengambil hati ucapan Arumi justru sangat mengerti makna tersembunyi dibalik ucapannya itu.Bergerak ringan, Enzo membaringkan tubuhnya di samping Arumi dalam posisi miring kebetulan ranjang pasi
Om Kaivan dan tante Zhafira baru saja keluar dari ruangan mami Zara setelah sebelumnya dokter Patologi menjelaskan hasil lab yang kini tengah tante Zhafira peluk.Keduanya melangkah pelan dengan tatapan kosong menuju kamar Arumi.Sampai di sana, mereka melihat Arumi sedang disuapi makan siang oleh Enzo.Pria itu begitu tekun merawat Arumi pagi siang malam tanpa lelah atau pun mengeluh padahal Arumi belum memutuskan menerima cintanya.“Mau Mama atau Papa aja yang sampaikan hasil lab ini ke Arumi?” Om Kaivan meminta pendapat istrinya.“Papa aja, Papa yang paling dekat dengan Arumi.” Tante Zhafira mengusap pundak suaminya kemudian mendorong pelan untuk masuk ke dalam ruang rawat itu.Enzo dan Arumi seketika menoleh saat sosok om Kaivan mendekat ke area ranjang pasien.Enzo tidak sengaja mengalihkan pandangan ke arah sofa set di mana di atas mejanya terdapat MacBook yang terbuka sebagai media Enzo memantau pekerjaan di Italia, di sana juga telah duduk tante Zhafira yang memberi kod
Tok …Tok …Tasya yang sedang mager akhirnya harus bangkit dari peraduannya karena mendengar suara pintu diketuk.“Siapa lagi sih hari sabtu gini ganggu aja.” Dia menggerutu karena merasa tidak memiliki janji dengan Rocky.Mengingat di Jakarta Tasya hanya memiliki om Roger dan kini sedang dekat dengan Rocky jadi kehidupannya hanya seputar mereka selain pekerjaan.Ceklek … “Tezaar.” Tasya bergumam dengan mata membulat dan kedua alis terangkat tidak pernah menyangka Tezaar akan berada di depan pintu kossannya.“Tasya … boleh aku masuk?” Raut wajah Tezaar tampak sendu.“Masuk aja ….” Tasya membuka pintu lebar-lebar.Tezaar duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana.Sofa yang menghadap televisi itu hanya cukup untuk dua orang jadi mau tidak mau Tasya dan Tezaar berdesakan di sofa itu.Tezaar merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah undangan pernikahan berwarna coklat.“Perut Marisa semakin besar, aku harus segera menikahi dia
Aruna tahu kalau papinya yang memiliki jasa keamanan swasta telah mengutus seseorang untuk mengawasi.Bisa jadi orang itu adalah Pilot dari privat jet sewaan tuan Lee yang akan ditumpanginya sekarang atau mungkin awak kabin atau bisa jadi driver yang menjemput mereka nanti di Korea, staf hotel atau mungkin mereka semua adalah orang suruhan papi Arkana.Dan Aruna tidak peduli, sama sekali tidak peduli.Mobil yang ditumpanginya bersama Leonhard berhenti di depan sebuah privat jet, Aruna turun dibantu Leonhard dan sampai naik ke dalam pesawat, pria itu tidak melepas genggaman tangannya.Di dalam sana sudah ada Nova dan Dewa yang duduk bersebelahan.Baru sekarang Aruna bertemu lagi dengan Nova dan seketika suasana menjadi canggung.Nova bangkit dari sofa mengulurkan tangan.“Apakabar Aruna,” sapanya ramah.“Kabar baik … kamu dan adik bayi apa kabar?” Aruna balas bertanya.Nova menundukan kepala mengusap perutnya lalu berkata, “Kami baik.” Dia pun menjawab.Tatapan Aruna beralih
“Papiiiii!!!!” Aruna berlarian dari lantai dua memburu papi yang baru saja masuk ke dalam rumah bersama mami.“Loh! Belum tidur.” Papi menghentikan langkahnya di ujung tangga paling bawah dan otomatis langkah mami juga terhenti.Aruna memeluk dada bidang papi yang dibalas beliau dengan pelukan erat.Papi terkekeh meningkahi sikap manja Aruna. “Ada apa?” Papi Arkana bertanya.“Papi, boleh besok Aruna ikut Leon anter istrinya kontrol kandungan ke Korea?” tanya Aruna mendongak sembari menunjukkan puppy eyes menggemaskan.Papi langsung mengalihkan pandangan ke mami yang masih berdiri di sampingnya.“Bilang enggak boleh, Pi.” Arnawarma yang menimpali dari sofa panjang.Aruna mencebikan bibirnya kesal bersama delikan sebal.“Kamu mau ganggu momen bahagia mereka?” Papi Arkana sedang bersarkasme.“Piiii, Dewa pacarnya Nova juga ikut kok … dia enggak mengijinkan Nova berdua aja sama Leon.” Aruna memohon.“Terus nanti ‘kan di sana Leon sama Nova pasti menginap di rumah keluarganya Leo
Baru kali ini Aruna melihat Arumi tampak putus asa padahal biasanya Arumi selalu bisa mengatasi beragam masalah yang muncul dalam hidup bahkan memberi saran terbaik layaknya wanita dewasa.“Kalau dia enggak mencintai kamu, dia enggak akan nungguin kamu di sini selama satu minggu.” Aruna memperkuat apa yang sudah Enzo katakan sebelumnya.Arumi terpekur lama sekali sampai ketika ditegur, dia memilih untuk pura-pura tidur.Hatinya sedang gundah gulana saat ini, dia yang mengalaminya jadi biarkan dia menikmatinya sendiri.Meski matanya terpejam tapi air mata Arumi tidak berhenti mengalir, diam-diam menyusut buliran kristal ungkapan kesedihan itu agar tidak ada yang menyadarinya.Tapi Enzo yang fokusnya hanya untuk Arumi seorang menangkap gerak-gerik ganjil tersebut.Setelah keluarga Arumi pulang menyisakan mereka berdua saja di ruangan itu, Enzo duduk di tepi ranjang Arumi.“Aku tahu kamu enggak tidur,” kata Enzo membuat kelopak mata Arumi terbuka.“Dari tadi kamu menangis tapi ka