Perjodohan?Ungkapan yang benar-benar konyol apalagi di zaman modern seperti ini. Khususnya bagi Ayudia yang bahkan tidak pernah memikirkan tentang percintaan apalagi pernikahan. Namun Ayudia tidak pernah mengira jika ternyata ia akan menjadi salah satu wanita yang terikat dalam situasi seperti itu.Situasi perjodohan dimana ia akan dinikahkan dengan pria yang tidak dicintainya.Malam itu adalah malam ketiga sejak Ayudia menggantungkan pertanyaan yang diberikan Adam kepadanya. Dan ia sudah menimbang-nimbang selama berhari-hari meskipun hingga detik terakhir belum juga mampu memutuskan jawabannya.Lalu sesaat sebelum ia hendak terlelap tidur, ponselnya berdering bagaikan lonceng yang membangunkannya secara tiba-tiba. Ayudia mengernyitkan dahinya saat ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.“Bude? Tumben sekali Bude menelepon.” Gumam Ayudia saat menyadari panggilan dari siapa yang tengah masuk ke dalam ponselnya.Ia dengan cepat menjawab panggilan itu dan Ayudia begitu bingung
Cerita yang dituturkan Ayudia memang terdengar tidak masuk akal. Namun bukan sepenuhnya mustahil untuk terjadi. Karena Adam sendiripun pernah mengalaminya sebanyak tiga kali.Ibu Adam adalah wanita Jawa yang begitu konservatif dan menjunjung nilai tradisional dalam hidupnya. Tentu saja melihat puteranya yang tampan dan mapan tidak kunjung menikah di pertengahan tiga puluh membuatnya khawatir. Bagi ibunya, Adam adalah sosok sempurna yang tidak mungkin kesulitan menemukan isteri dimanapun.Bagaimana tidak? Puteranya tampan, memiliki tubuh yang atletis dan proporsional, karier yang gemilang, dan finansial yang sangat mapan. Tidak ada alasan yang membuat Adam belum menemukan calon isterinya hingga di usia sekarang.Sehingga tidak mengherankan jika ibu Adam sudah mencoba menjodohkannya dengan wanita pilihan ibunya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan sudah tiga kali Adam terjebak dalam situasi itu.Namun Adam terus saja menolak ketiganya dengan alasan yang sama.“Saya tidak menyukai mereka, Bu
Tiga hari sudah berselang sejak kembalinya Ayudia ke Bandung. Dan selama tiga hari itu pula, ponselnya tak pernah berhenti berdering bagaikan seorang debitur yang dikejar debt collector. Siapa lagi kalau bukan para tetua di keluarganya yang meminta Ayudia untuk mempertimbangkan lagi keputusannya.Ibunya.Budenya.Dan bahkan kakak kedua dari ibunya, Pakde Warto yang selama ini tidak pernah ambil pusing dengan urusan pribadi keponakannya.Heran sekali, apa yang mendesak orang-orang tua ini hingga mereka begitu memaksa Ayudia untuk menerima perjodohan itu?Ayudia memang sudah melihat foto calon suaminya. Pria itu tampan dengan kulit hitam manis dan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Kalau Ayudia bisa memberikan nilai, maka ia akan memberikan nilai delapan untuk penampilan Tomo.Tapi Ayudia tidak pernah mengenalnya. Bagaimana mungkin Ayudia bisa menikah dengannya? Bahkan pria itu tidak pernah muncul sekalipun di hadapannya seolah yang bersangkutan juga sama tidak tertariknya dengan perjodoh
Ayudia sebenarnya ragu dengan tawaran yang diberikan Adam.Bukan. Bukan karena ia tidak menghargainya. Hanya saja pergi ke konferensi bergengsi hanya sebagai asisten Adam bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ayudia sangat ingin pergi dan menampilkan pemikirannya sendiri. Menunjukkan kemampuannya pada deretan orang jenius di luar sana.Bukannya menjadi asisten Adam dan mengekor di belakangnya sepanjang hari. Alih-alih menelurkan pemikiran emas, yang akan dilakukan Ayudia hanyalah mencatat setiap kata-kata dan diskusi yang dicetuskan Adam. Lalu memindahkannya ke dalam laporan yang akan disetorkan sebagai laporan pertanggung jawaban.Namun sisi lain otaknya terus mendorongnya untuk menerima tawaran itu.Kapan lagi kamu bisa ke Sydney gratis? Dan konferensi ini akan memberimu kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu, Yu! – pikirnya demikian.Kebimbangan yang memenuhi kepalanya membuat Ayudia terus menimbang-nimbang. Sepanjang sore yang ia lakukan hanyalah memikirkan ke
Ayudia menatap selembar kertas di hadapannya. Namanya tertulis disana dan nama seorang lainnya tertulis sebagai dosen pembimbing tesisnya."Adam Mahendra? Pak Adam yang killer itu?" Seru Ayudia heboh.Kepalanya seketika terasa pusing. Ia kira perjalanan S2nya akan lebih baik dan mudah dibandingkan saat S1. Awalnya memang begitu. Tapi seharusnya Ayudia sudah curiga. Hidupnya tidak pernah manis jika berkaitan dengan hal akademis. Lulus terlambat saat S1 karena dosen pembimbing yang sensitif dan seringkali bersuasana hati buruk.Dan sekarang? Saat perjalanannya untuk meraih gelar S2 sudah di depan mata, hambatan satu lagi muncul di hadapannya! Dan hambatan itu bernama Adam Mahendra!"Serius, Yu? Dosen pembimbingmu sungguh Pak Adam?" Maya, sahabatnya, melirik ke arah kertas yang ia pegang.Ayudia mengangguk lemah. Seketika ia merasa lemas memikirkan betapa sulitnya ia akan menyelesaikan studi S2nya ini. Adam Mahendra adalah dosen paling terkenals seantero Fakultas Ekonomi Universitas Bhin
"Sialan! Sialan! Sialan!" Sejak tadi Ayudia terus menerus mengumpat seperti orang gila. Wajahnya memerah karena amarah dan nafasnya menderu bagaikan seseorang yang baru saja lari maraton sejauh sepuluh kilometer. Maya hanya menatapnya dengan perasaan campur aduk. Kasihan karena sahabatnya ini harus mengalami kesialan luar biasa siang tadi. Tapi Maya juga merasa lucu melihat Ayudia yang terus meracau seperti sebuah radio rusak. "Psikopat! Aku yakin Adam pasti psikopat!" Seru Ayudia lagi dengan emosi. Kali ini Maya tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan ajaib itu. Pipinya yang tembam tampak bergerak karen tawanya barusan. "Wah, gila, Yu! Psikopat? Bisa jadi!" Seru Maya memanas-manasi Ayudia. Ayudia meloncat dan duduk di kasur bersama Maya. "Benar, kan?! Mana mungkin ada manusia yang begitu kejam dan tidak berhati seperti Adam! Kalaupun ada, pasti dia adalah psikopat! Pasti ada mayat yang disembunyikan di rumahnya, May!" Balas Ayudia lagi tak mau kalah. Tawa Maya terdengar maki
"Gila, kamu gila sekali, Ayu!" Maya bertepuk tangan heboh saat melihat sahabatnya yang duduk termenung di kantin kampus. Gosipnya sudah menyebar luas ke seantero fakultas. Adam Mahendra baru saja dilabrak oleh seorang mahasiswi. Dan mahasiswi itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ayudia. "Iya, sepertinya aku memang sudah gila, May." Ujar Ayudia dengan tatapan kosong ke depan. "Loh? Kenapa? Kok kamu seperti tidak senang? Kamu baru saja jadi mahasiswa paling terkenal di kampus, Yu!" Seru Maya heboh. Ayudia meletakkan gelas yang ia pegang sejak tadi dengan heboh. Ia lalu menatap Maya dengan mendelik. "May! Aku baru saja melabrak Pak Adam, May! Pembimbingku! Aduh, bisa mati aku! Lagipula kenapa aku bisa sampai kesetanan seperti itu tadi?!" Keluh Ayudia dengan kepanikannya sendiri. Gadis itu meracau dalam rasa khawatir. Sepersekian detik setelah Adam menandatangani dokumen tersebut dan meninggalkannya, Ayudia baru menyadari kesalahan apa yang ia perbuat. Ia baru saja dengan gilanya m
Rasa gugup menyelimuti sekujur tubuh Ayudia. Ia berdiri di depan pintu kantor Adam dengan memeluk map berisi proposal tesisnya. Hari ini genap tiga hari sejak hari ia melabrak Adam di pagi hari. Dan sungguh, sekarang Ayudia tidak tahu harus berkata apa dan bereaksi bagaimana kepada dosen pembimbingnya itu. Ayudia menarik nafas dalam beberapa kali. Berusaha membuat rasa gugupnya menguap. "Tenang, Ayu! Prof. Eko kan sudah mengatakan judulmu luar biasa!" Batin Ayudia meyakinkan dirinya sendiri. Setelah merasa lebih baik, ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu di depannya dengan yakin. TOK! TOK! TOK! Tak perlu waktu lama, suara Adam terdengar dari dalam ruangan. "Iya, masuk saja." Ayudia menarik nafas dalam sekali lagi. Baiklah, sekarang atau tidak sama sekali. Lagipula Adam masih manusia dan bukannya monster yang akan memakan Ayudia dalam sedetik. Ayudia meyakinkan dirinya bahwa ia harus sedikit tenang dan melupakan semua kejadian itu. Semoga saja Adam juga melakukan hal yang
Ayudia sebenarnya ragu dengan tawaran yang diberikan Adam.Bukan. Bukan karena ia tidak menghargainya. Hanya saja pergi ke konferensi bergengsi hanya sebagai asisten Adam bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ayudia sangat ingin pergi dan menampilkan pemikirannya sendiri. Menunjukkan kemampuannya pada deretan orang jenius di luar sana.Bukannya menjadi asisten Adam dan mengekor di belakangnya sepanjang hari. Alih-alih menelurkan pemikiran emas, yang akan dilakukan Ayudia hanyalah mencatat setiap kata-kata dan diskusi yang dicetuskan Adam. Lalu memindahkannya ke dalam laporan yang akan disetorkan sebagai laporan pertanggung jawaban.Namun sisi lain otaknya terus mendorongnya untuk menerima tawaran itu.Kapan lagi kamu bisa ke Sydney gratis? Dan konferensi ini akan memberimu kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu, Yu! – pikirnya demikian.Kebimbangan yang memenuhi kepalanya membuat Ayudia terus menimbang-nimbang. Sepanjang sore yang ia lakukan hanyalah memikirkan ke
Tiga hari sudah berselang sejak kembalinya Ayudia ke Bandung. Dan selama tiga hari itu pula, ponselnya tak pernah berhenti berdering bagaikan seorang debitur yang dikejar debt collector. Siapa lagi kalau bukan para tetua di keluarganya yang meminta Ayudia untuk mempertimbangkan lagi keputusannya.Ibunya.Budenya.Dan bahkan kakak kedua dari ibunya, Pakde Warto yang selama ini tidak pernah ambil pusing dengan urusan pribadi keponakannya.Heran sekali, apa yang mendesak orang-orang tua ini hingga mereka begitu memaksa Ayudia untuk menerima perjodohan itu?Ayudia memang sudah melihat foto calon suaminya. Pria itu tampan dengan kulit hitam manis dan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Kalau Ayudia bisa memberikan nilai, maka ia akan memberikan nilai delapan untuk penampilan Tomo.Tapi Ayudia tidak pernah mengenalnya. Bagaimana mungkin Ayudia bisa menikah dengannya? Bahkan pria itu tidak pernah muncul sekalipun di hadapannya seolah yang bersangkutan juga sama tidak tertariknya dengan perjodoh
Cerita yang dituturkan Ayudia memang terdengar tidak masuk akal. Namun bukan sepenuhnya mustahil untuk terjadi. Karena Adam sendiripun pernah mengalaminya sebanyak tiga kali.Ibu Adam adalah wanita Jawa yang begitu konservatif dan menjunjung nilai tradisional dalam hidupnya. Tentu saja melihat puteranya yang tampan dan mapan tidak kunjung menikah di pertengahan tiga puluh membuatnya khawatir. Bagi ibunya, Adam adalah sosok sempurna yang tidak mungkin kesulitan menemukan isteri dimanapun.Bagaimana tidak? Puteranya tampan, memiliki tubuh yang atletis dan proporsional, karier yang gemilang, dan finansial yang sangat mapan. Tidak ada alasan yang membuat Adam belum menemukan calon isterinya hingga di usia sekarang.Sehingga tidak mengherankan jika ibu Adam sudah mencoba menjodohkannya dengan wanita pilihan ibunya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan sudah tiga kali Adam terjebak dalam situasi itu.Namun Adam terus saja menolak ketiganya dengan alasan yang sama.“Saya tidak menyukai mereka, Bu
Perjodohan?Ungkapan yang benar-benar konyol apalagi di zaman modern seperti ini. Khususnya bagi Ayudia yang bahkan tidak pernah memikirkan tentang percintaan apalagi pernikahan. Namun Ayudia tidak pernah mengira jika ternyata ia akan menjadi salah satu wanita yang terikat dalam situasi seperti itu.Situasi perjodohan dimana ia akan dinikahkan dengan pria yang tidak dicintainya.Malam itu adalah malam ketiga sejak Ayudia menggantungkan pertanyaan yang diberikan Adam kepadanya. Dan ia sudah menimbang-nimbang selama berhari-hari meskipun hingga detik terakhir belum juga mampu memutuskan jawabannya.Lalu sesaat sebelum ia hendak terlelap tidur, ponselnya berdering bagaikan lonceng yang membangunkannya secara tiba-tiba. Ayudia mengernyitkan dahinya saat ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.“Bude? Tumben sekali Bude menelepon.” Gumam Ayudia saat menyadari panggilan dari siapa yang tengah masuk ke dalam ponselnya.Ia dengan cepat menjawab panggilan itu dan Ayudia begitu bingung
Kesalahan pertama Adam adalah membiarkan tubuhnya bergerak lebih dulu dibandingkan pikirannya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan hampir selama hidupnya. Namun ketika ia mendengar kata Ayudia kembali ke kampung halamannya, seketika Adam kehilangan kemampuannya untuk berpikir jernih. Hatinya merasa gelisah dan ia yakin kegelisahan itu tidak akan hilang sebelum Adam bertemu dengan sosok gadis yang dicarinya.Kesalahan kedua Adam adalah pergi begitu saja ke kota kelahiran Ayudia, tanpa mengetahui dimana kediaman gadis itu berada. Demi Tuhan, dimana Adam akan mencari seorang gadis di sebuah kota yang bahkan baru pertama kali ia datangi?Entah sudah berapa kali ia mengutuki kebodohannya selama satu jam terakhir. Karena selama satu jam terakhir pula, yang Adam lakukan adalah berkeliling ke seluruh penjuru kota untuk mencari Ayudia.Bahkan kota Magelang bukanlah sebuah kota yang besar. Luasnya hanya kurang lebih sembilan belas kilometer!Tapi mengapa sangat sulit bagi Adam untuk menemukan
Adam begitu tidak sabar menanti tiga hari itu datang. Setiap pagi ia akan menghitung sisa waktu yang ia berikan kepada Ayudia sebelum memulai harinya. Di dalam hatinya, Adam sangat ingin mendesak gadis itu untuk segera memberikan jawaban atas pertanyaannya. Namun Adam bisa apa selain menunggu?Berkat kesabarannya, tiga hari akhirnya terlewati meskipun setiap malamnya terasa begitu menyiksa Adam. Di hari keempat, sesuai dengan yang diperjanjikan oleh Ayudia, Adam menyongsong harinya dengan senyum secerah matahari.Ia tidak sabar lagi untuk menjemput jawaban yang keluar dari bibir gadis yang begitu ia sukai.Sayangnya, penantian Adam tidak berbuah manis. Berbanding terbalik dari kesabarannya selama tiga hari belakangan. Di hari keempat, tak peduli meskipun Adam sudah menunggu hingga sore hari, Ayudia tak juga menampakkan batang hidungnya.Ayudia bahkan tidak terlihat dimanapun hari itu. Tidak di selasar kampus, tidak di ruang kelas, bahkan tidak juga di kantin. Kekecewaan menghantam ha
Usai makan malam, lantunan musik dari pemain saxophone yang ada di sudut kabin terdengar semakin mendayu. Menggoda Adam untuk mengajak Ayudia berdansa meskipun gadis itu mati-matian menolaknya.“Ayo kita berdansa, Yu.” Ajak Adam mengulurkan tangannya kepada Ayudia.Ayudia mendelik dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tangannya mencengkeram bangku yang ia duduki seolah menolak dengan keras ajakan Adam untuk melantai.“Tidak! Saya tidak mau, Pak. Saya tidak bisa berdansa.” Protes Ayudia tidak setuju.Namun Adam bukanlah pria yang bisa ditolak. Ia selalu punya cara untuk mewujudkan keinginannya. Entah itu dengan kata-kata manis atau bujukan penuh keyakinan. Dan Ayudia pun akhirnya luluh dengan bujukan itu.“Saya akan mengajarimu, tenang saja. Tidak perlu merasa malu. Lagipula tidak ada siapapun disini, hmm?”Ayudia menghela nafas pelan dan mengangguk lemah. Ia bisa apa? Adam sudah mengajaknya makan di tempat yang begitu indah seperti ini. Rasanya menolak ajakan dansa dari dosennya itu
Adam seolah tidak ingin menyia-nyiakan waktunya bahkan sedetik pun. Seperti janjinya, tepat pukul tujuh malam ia tiba di depan rumah kost Ayudia. Lengkap dengan pakaian super rapi dan wangi serta mobilnya yang sudah dipoles hingga mengkilap.Adam tidak ingin satu kesalahan kecil merusak kencan pertamanya dengan Ayudia malam ini. Karena itu berkali-kali ia memeriksa semuanya sebelum berangkat untuk menjemput gadis kecintaannya.Dan sungguh, Adam sama sekali tidak menyesalinya. Terlebih lagi ketika ia melihat sosok Ayudia yang tampak begitu mempesona tengah berdiri di hadapannya. Gadis itu tersenyum tipis dengan wajah yang tersipu malu. Ayudia mengenakan dress selutut berwarna merah maroon dengan model kerah sabrina berbahu terbuka. Pakaian itu membungkus tubuh ramping Ayudia dengan begitu sempurna, memperlihatkan pundaknya yang simetris bagaikan model, dan kakinya yang jenjang dan menggoda.Ditambah lagi wajah cantiknya yang dipulas dengan riasan. Tidak terlalu mencolok tapi sangat pas
Sekembalinya di kost, Ayudia benar-benar menyesali keputusannya telah menerima ajakan Adam untuk berkencan. Entah apa yang ia pikirkan tadi sehingga ia mau menyetujuinya.Mungkin karena suasana di antara mereka yang terasa begitu intens.Mungkin juga karena rasionalitas Ayudia yang selalu tumpul jika bersama Adam.Atau mungkin karena Ayudia sudah terpikat pada tatapan dua mata indah itu.Ayudia tidak bisa memahami kegamangan yang ada di dalam dirinya sendiri. Sesuatu yang sangat jarang terjadi kepadanya. Selama ini Ayudia selalu mengerti apa yang ia inginkan dan apa yang ia rasakan. Namun kini semuanya tampak begitu samar.Bagaikan tulisan tinta yang terhapus air hujan. Bagaikan pepohonan yang bersembunyi di balik kabut. Dan bagaikan kaca yang dilapisi oleh embun.Semuanya buram. Semuanya tidak jelas. Dan Ayudia merasa tidak cukup pintar untuk menerjemahkan perasaannya sendiri.“Haruskah aku menelepon dan meminta saran Maya?”Ayudia baru hendak menelepon sahabatnya, namun sekejap kemu