Share

Bab 2 : Denial

Cahaya yang menyilaukan dari layar komputer memantul pada kedua bola mata Freya yang tampak lelah. Freya harus menyipitkan matanya untuk bisa melihat keyboard. Tatapannya kosong dan tidak fokus.

Ketukan keyboard yang berirama sangat kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Freya merasa seperti akan tenggelam dalam lautan emosi yang begitu kuat. Dia merasakan kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan.

Bukti-bukti pengkhianatan Marcus yang begitu kuat terus membayangi pikirannya. Freya tidak bisa melupakannya. Seperti hantu yang terus membayanginya, hingga dia merasa seperti tidak bisa lagi hidup dengan tenang

Naluri jurnalistiknya yang biasanya tajam terasa tumpul, dan ia mendapati dirinya menatap layar dengan tatapan kosong, tersesat dalam lautan emosi.

“Kenapa dia tega melakukan hal ini?” Freya melempar pertanyaan retoris pada dirinya sendiri yang saat ini merasa kalut.

Rasa marah, kecewa dan kebingungan terjalin dalam sebuah simpul yang semakin mengencang setiap saat.

Jauh di lubuk hatinya, Freya mengetahui kebenarannya, tetapi entah bagaimana ada benih penyangkalan yang mengakar kuat, menolak untuk mengakui kenyataan yang menyakitkan itu

Freya menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Ia tidak ingin menangis. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada siapa pun.

Ponselnya berdengung. Freya melirik ke bawah, dan jantungnya berdetak kencang ketika ia melihat nama Marcus muncul di layar.

Freya ragu-ragu sejenak, lalu ia akhirnya membuka pesan teks itu.

"Hai, sayang" tulis Marcus. "Kamu lagi apa sekarang? Aku rindu."

Freya memejamkan matanya, menahan air matanya. Ia ingin membalas pesan itu, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa.

Ia membuka matanya dan menatap foto Marcus yang ada di layar kunci ponselnya. Wajah Marcus yang dulu selalu menjadi penyemangatnya kini membuatnya mual.

Ironi dari situasi ini menghantamnya seperti sebuah pukulan di perutnya. Bagaimana mungkin pria dalam foto itu adalah orang yang sama yang telah menghancurkan kepercayaannya? Wanita itu mengatupkan rahangnya, menahan air matanya.

Bulir air matanya berkumpul dan mencari celah untuk bisa terjun, Freya menahan nafasnya sebisa mungkin ia tidak menunjukkan emosinya di tempat kerja.

Ruang redaksi terlihat ramai di sekelilingnya, para reporter mengetik dengan gusar, telepon berdering, dan gumaman percakapan di kejauhan yang menyatu dalam hiruk-pikuk kehidupan yang terus berlanjut meskipun ia sedang mengalami gejolak batin.

Meja kerja Freya, yang biasanya menjadi pusat komando untuk berita-berita terbaru, kini terasa seperti sebuah pulau yang terombang-ambing di tengah badai emosi.

Pemimpin redaksinya, Sandra, mendekat, kekhawatiran tergambar di wajahnya. "Freya, aku lihat kamu tidak seperti biasanya. Apakah semuanya baik-baik saja?"

Freya memaksakan sebuah senyuman tipis, berusaha menutupi keresahan di dalam dirinya. "Aku hanya mengalami hari yang berat, Sandra. Banyak hal yang harus kukerjakan dengan kasus baru ini."

Sandra mengamati Freya sejenak, tatapannya menelusuri raut wajah yang sangat melekat pada Freya. "Kamu memang jurnalis yang luar biasa, Freya, tapi kamu bukan robot. Jika kamu butuh waktu untuk menenangkan diri, aku bisa mengatur semuanya di sini. Pulanglah lebih awal, beristirahatlah. Kita semua punya jatah cuti."

Freya ragu-ragu, beban emosinya hampir meledak. "Terima kasih atas perhatiannya Sandra, tapi aku bisa mengatasinya. Artikel ini sangat penting."

Sandra meletakkan tangannya di bahu Freya, ekspresinya melembut. "Beritanya akan tetap ada besok. Sayangi dirimu sendiri. Kamu berhak untuk beristirahat."

Saat Sandra berjalan pergi, Freya merasakan ada gumpalan di tenggorokannya. Pergulatan batin antara tampilan profesionalnya dan badai emosi di dalam dirinya telah mencapai titik puncaknya.

Dia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, dan sejenak, dia membiarkan tembok pertahanan dirinya runtuh.

“Aku tidak percaya pada apa yang telah terjadi hari ini, aku terlihat lemah. Tapi kenapa Marcus melakukan itu padaku? Sebenarnya apa yang terlintas di kepalanya saat melakukan itu?” gumam Freya.

Freya duduk lemas di kursinya, menatap kosong ke layar komputernya. Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang ke masa lalu.

Dia mengingat saat-saat bahagia bersama Marcus, dan bagaimana dia begitu yakin bahwa mereka akan bersama selamanya. Tapi sekarang, semua itu hanyalah mimpi.

Air mata mulai mengalir, menyusuri jalan sunyi di pipinya. Dia mencoba menahannya, tetapi tidak bisa. Dia merasa hancur dan kesepian. Dia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan apa yang telah tersisa dari kejadian ini.

Tiba-tiba ia teringat kata-kata Sandra, ia mengatakan kepadanya bahwa terkadang saat seseorang merasa terpojok tanpa jalan keluar, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mundur dan mengambil waktu untuk diri sendiri. Bukan karena lemah, tetapi untuk menemukan kekuatan baru.

Freya tahu bahwa Sandra benar. Dia tidak bisa terus bekerja dalam kondisi seperti ini. Dia perlu meluangkan waktu untuk menyembuhkan diri sendiri.

Ia melemparkan pandangannya ke sekeliling ruang redaksi. Semua orang tampak sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa Freya sedang berjuang dengan perasaannya.

Ruang redaksi terus berjalan tanpa henti, tetapi bagi Freya, momen penuh ketidakberdayaan yang tak terduga ini menandai awal dari sebuah perjalanan untuk mengakui kebenaran yang menyakitkan yang tidak bisa ia hindari selamanya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
192 Jihan Salsabila
bisa bisanya marcus ngomong kangen ...
goodnovel comment avatar
Wasini Handayani
Aduh Freya semoga tetep bisa profesional
goodnovel comment avatar
Anak Pertama
Hmmm masih tegar ya Freyaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status