Gerbong kereta bawah tanah melesat dan berguncang di sepanjang rel, setiap goncangan membangkitkan gejolak dalam diri Freya.
Freya duduk di salah satu sudut gerbong, bersandar di dinding. Ia menutup mata dan mencoba untuk menenangkan diri, tetapi setiap goncangan kereta hanya membuat pikirannya semakin kacau.
Ia merasa sendirian dan terisolasi di tengah keramaian. Seperti orang asing di dunia ini yang penuh sesak ini. Freya membuka mata dan menatap ke luar jendela
Kedua matanya mengamati dengan seksama terowongan yang telah dilalui. Ia melihat terowongan yang gelap dan berkelok-kelok. "Rasanya seperti sedang berada di dalam mimpi buruk" pikir Freya.
Ia membayangkan diri sendiri berjalan sendirian di terowongan yang gelap itu. Tidak tahu kemana ia harus pergi. Yang gadis itu tahu bahwa saat ini ia harus terus berjalan.
“Stasiun berikutnya Bellbarrow, pintu sebelah kanan akan terbuka”
Suara announcer membuyarkan lamunan Freya. Ia melihat ke luar jendela dan melihat bahwa kereta sudah mendekati stasiun.
Freya berdiri dan meraih tasnya. Ia siap untuk turun dari kereta dan menghadapi dunia nyata.
Saat kereta berhenti di stasiunnya, ia melangkah keluar ke peron.
Angin dingin yang menerpa wajahnya terasa seperti tamparan keras yang menyadarkannya akan kenyataan pahit yang baru saja dialaminya.
Ia mulai merasakan kesedihan dan rasa kecewa menyelimutinya kembali."Ah dadaku terasa sesak!" batin Freya.
Nafasnya mulai terasa berat saat ia berjalan menyusuri tangga stasiun, seolah paru-parunya sedang dihimpit oleh dua dinding besar.
Freya berusaha menaiki tangga dengan nafas yang terengah-engah, melewati labirin terowongan yang mengarah ke pintu keluar, bunyi ketukan sepatu haknya yang teratur menjadi irama bagi badai emosi di dalam dirinya.
Sesampainya di gedung apartemennya, Freya menaiki lift menuju lantai 27 dengan langkah yang mulai tidak beraturan, seolah-olah tubuhnya sedang dirasuki oleh kekuatan lain.
Sesampainya di depan pintu kamarnya, ia menempelkan akses dan menarik gagang pintu.
Pintu kamarnya berayun terbuka ke sebuah ruang yang dulunya terasa seperti surga. Sekarang, tempat itu tampak seperti medan perang di mana emosinya berkecamuk.
Freya melepas sepatunya dengan kasar, seolah-olah ingin melepaskan segala beban yang ada di tubuhnya. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan langkah yang tidak beraturan, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa seperti berada di sebuah dunia yang asing, dan tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
Freya menjatuhkan badannya dan duduk di sofa, wajahnya dibenamkan pada kedua telapak tangannya. Ia mulai menangis dengan keras, meluapkan segala emosi yang selama ini dipendamnya sejak di kantor.
Air matanya mulai berhenti mengalir, Freya mengangkat kepalanya dan menatap kosong ke depan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia bertekad untuk menghadapinya. Ia tidak akan membiarkan kenyataan pahit ini menghancurkannya.
Warna-warna furniture yang senada dan cahaya lampu yang lembut terasa seperti penghinaan bagi emosinya yang sedang meluap.
Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, beban hari itu terasa begitu berat, seolah-olah akan membuatnya runtuh.
Dengan rasa frustasi yang tiba-tiba meledak, Freya menarik mantelnya lalu melemparkannya ke sofa.
Freya berdiri di tengah ruang tamunya, memandangi mantelnya yang tergeletak di sofa. Ia merasa seperti ingin menghancurkannya, seolah-olah itu adalah penyebab semua masalahnya.
Kemarahan yang telah mendidih dari dasar kini meluap, dan ia mendapati dirinya melempar mantelnya kembali dengan sekuat tenaga.
Mantel itu melayang di udara, lalu jatuh ke lantai dengan suara berdebum. Freya menatapnya dengan puas, seolah-olah telah menyelesaikan sesuatu.
Freya berjalan ke arah kamar tidurnya. Ruangan yang dulunya terasa seperti surga, kini tampak seperti neraka baginya.
Rasa frustrasinya belum sepenuhnya hilang. Ia masih merasa marah dan kesal, seolah-olah ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.
Rasanya luapan emosi dalam dada Freya mulai meluap lagi, gadis itu langsung ambruk di tempat tidur. Kasur empuk menahan beban berat badannya, memberikan jeda sejenak dari kenyataan pahit yang dihadapinya.
Freya menarik lututnya mendekat ke dada dan meringkuk di tempat tidur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut yang tebal. Ia mulai menangis tersedu-sedu lagi, melepaskan segala emosi yang selama ini dipendamnya sejak kejadian tadi.
Bantal-bantal diatas kasurnya meredam tangisannya yang tersedu-sedu ketika ia bergulat dengan rasa sakit akibat pengkhianatan dan hancurnya cinta yang ia kira akan bertahan selamanya.
Freya merasa seperti dunianya telah runtuh. Ia merasa seperti telah dikhianati dan ditinggalkan. Ia merasa seperti tidak ada lagi yang bisa dipercaya.
Di dalam ruangan apartemennya, Freya menyerah pada kerentanan yang ada di balik penampilan luarnya yang profesional. Gelombang emosi meradang, meninggalkannya terkuras dan hampa.
Freya berbaring di tempat tidur selama berjam-jam, membiarkan emosinya mengalir. Ia tidak tahu berapa lama ia akan menangis, namun akhirnya ia merasa lega.
Saat tangisnya mulai mereda, ponselnya tiba-tiba berdengung di atas lemari.
"Sial, aku lupa menyalakan mode pesawat!" umpat Freya. Ia benci diganggu disaat ia ingin sendiri saja dengan pikirannya.
Dengan menghela napas berat, ia meraihnya, jari-jarinya mengusap layar dan melihat nama Marcus berkedip dalam huruf tebal.
Dering itu menggema di seluruh ruangan, dan untuk sesaat, Freya ragu-ragu. Kemudian, dengan menarik napas panjang, ia menjawab "Mau apa lagi kamu?"
Suara Marcus, yang dulunya merupakan sumber kenyamanan, kini terasa menggantung di udara, menjadi pengingat yang menghantui akan kenyataan pahit yang dihadapi Freya.
Mesin mengeluarkan rengekan frustrasi saat Adrian berulang kali menekan pedal gas dan memutar kunci, tetapi mobil itu tetap tidak bergerak. Dia melirik sekilas ke indikator bensin, memastikan bahwa bensinnya masih setengah penuh."Tangki bensinnya tidak kosong, jadi ada apa dengan mobil ini?" Adrian bergumam, alisnya berkerut kesal.Freya duduk di kursi penumpang, mengintip ke arahnya dengan perasaan khawatir dan tidak sabar. "Yah, kita tidak bisa membuat benda itu hidup hanya dengan menatapnya," katanya datar.Adrian menghela napas frustrasi, mengusap-usap rambutnya. "Aku tahu, aku tahu. Tapi ini hanya keberuntungan kita, bukan? Menemukan mobil di tempat antah berantah, dan ternyata tidak berfungsi," gerutunya, terdengar kecewa.Mereka memutuskan untuk meninggalkan mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, memasuki hutan lebat yang membentang di depan. Udara terasa pekat dengan aroma daun-daun basah, dan gemerisik samar satwa liar menambah suasana mencekam."Aku benci be
"Adrian, kau benar-benar orang tidak tahu diuntung. Sekarang kau tidak bisa lari kemanapun! Inilah akibatnya jika kau mengkhianatiku—"Brag!Mata Adrian terbelalak, sisa-sisa mimpi buruknya masih tersisa seperti rasa pahit di mulutnya. Dadanya berdebar-debar setiap kali menarik napas, ritme yang cepat menggambarkan kekacauan mimpinya. Tempat itu terasa sesak, udara terasa berat dengan bobot rasa takutnya.Adrian terbangun dengan sisa-sisa mimpinya yang mengerikan, bayangan samar seorang pria berbadan tegap dengan suara mengerikan masih menggema di telinganya.Ia beberapa kali memeriksa wajahnya untuk memastikan bahwa yang barusan terjadi hanya mimpi buruk. Pukulan keras yang ia rasakan dalam mimpinya seolah membawa nyawanya yang melayang menubruk tubuhnya dengan keras."Adrian, bangun! Adrian—apa jkau baik-baik saja?" bisikan Freya yang mendesak menembus kabut pikirannya, tangan lembutnya menggoyangkan bahu Adrian dengan tekanan yang lembut.Adrian mengerjap, mencoba melepaskan bayang
Arus air yang deras menyelimuti mobil, menarik dan menyeretnya bagai pasukan musuh yang tak kenal lelah. Di dalam, jantung Adrian berdegup kencang dengan campuran rasa takut sekaligus teguh saat ia memeluk Freya erat-erat, tangannya menjadi perisai pelindung di sekeliling tubuh Freya yang gemetar. "Freya, pegang erat-erat," teriak Adrian di atas deru sungai, suaranya terdengar putus asa. Freya berpegangan erat pada Adrian, matanya terbelalak karena ketakutan tetapi juga ada tekad yang kuat yang tercermin dalam tatapannya. Dia mengangguk, kepercayaannya pada Adrian tidak tergoyahkan bahkan dalam menghadapi situasi yang berbahaya ini. Pikiran Adrian dipenuhi dengan berbagai kemungkinan saat dia mengamati bagian dalam mobil. Matanya tertuju pada jendela, penghalang kaca di antara mereka dan potensi keselamatan. Tanpa ragu-ragu, dia menguatkan diri dan memberikan pukulan kuat ke jendela dengan sikunya. Kaca itu awalnya memberikan perlawanan, keras kepala dan membatu. Adrian mengertakk
Saat mereka melesat menuju bangunan yang ditinggalkan, naluri Adrian tersentak oleh rasa tidak nyaman yang semakin meningkat. Nampaknya bayang-bayang malam membayang mengancam, menimbulkan keraguan akan keselamatan mereka. Freya melirik Adrian, sorot matanya menyiratkan kekhawatirannya. "Kita masih diikuti," gumam Adrian, genggaman tangannya menguat pada kemudi saat dia menelusuri jalanan yang gelap. Jantung Freya berdegup kencang, pikirannya berpacu dengan berbagai kemungkinan. "Bagaimana mereka bisa menemukan kita begitu cepat?" Pandangan Adrian beralih ke kaca spion, matanya menyipit ketika ia melihat sebuah mobil membuntuti mereka, lampu depannya seperti mata yang menyilaukan di malam hari. "Bukan hanya itu," kata Adrian dengan muram, suaranya terdengar gusar. "Ada alat pelacak di dalam mobil." ujarnya sambil melirik ke arah benda kecil yang tertempel di spion mobilnya. Mata Freya membelalak karena khawatir, menyadari betapa gawatnya situasi mereka. "Mereka mengetahui setiap
Saat sosok bayangan itu mendekati mobil Adrian, siluetnya yang mengancam tampak semakin besar, membayangi mereka seperti teror yang menakutkan. Udara menjadi pekat dengan ketegangan, setiap tarikan napas diwarnai dengan gelombang ketakutan. Jantung Adrian berdegup kencang di dalam rongga dadanya, suaranya seperti genderang yang menabuh kegelisahan di tengah keheningan malam. Tangan Freya mengencang di sekitar tangan Adrian, jari-jarinya dingin dan berkeringat dengan energi gugup. Cahaya lembut bulan memancarkan bayangan menakutkan, mempermainkan mata mereka saat sosok itu semakin mendekat. Apakah itu benar-benar makhluk yang tidak berbahaya, atau sesuatu yang lebih jahat yang bersembunyi di kegelapan? Tatapan mereka terkunci, terbelalak karena ketakutan, saat sosok itu mulai terlihat - makhluk kecil berbulu yang melesat melintasi jalan setapak yang diterangi cahaya bulan. Rasa lega membanjiri seluruh tubuh mereka. "Itu hanya tupai," seru Freya, tawanya membahana seperti lonceng di
Adrian tersentak dari tidurnya, napasnya tersengal-sengal dan terengah-engah, sisa-sisa dari mimpi buruk yang menjeratnya dalam cengkeraman. Bayangan menakutkan masih melekat di tepi kesadarannya, sebuah pengingat akan kegelapan yang menghantui mimpinya. Saat dia mengedipkan mata dari sisa-sisa tidurnya, Adrian mendapati dirinya diselimuti oleh cahaya lembut sinar bulan, dunia di sekelilingnya bermandikan pendaran cahaya yang lembut. Di sampingnya, kehadiran Freya terasa seperti mercusuar pelipur lara, sentuhannya terasa hangat di dahinya yang berkerut. Suaranyanya bagai melodi yang menenangkan di tengah kekacauan pikirannya, memecah keheningan seperti bisikan di malam hari. "Apakah semuanya baik-baik saja?" Kata-kata Freya menggantung di udara, menjadi pertanyaan lembut yang diwarnai dengan keprihatinan. Tatapannya, yang dipenuhi dengan intensitas yang tenang, mencari jejak-jejak gejolak yang mengganggu tidurnya. Tenggorokan Adrian tercekat oleh gelombang emosi, jantungnya tera