Share

Bab 7

"Halo, Luna! Kenapa diam saja?"

"Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin.

"Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan.

"Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk. 

Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari orang-orang yang menyuruhnya untuk melupakan Deni, namun berkali-kali pula Rahma menolak karena ia sangat yakin jika Deni pasti akan pulang. 

Hingga akhirnya ibu berpikir ayah telah meninggal, setelah bertahun-tahun menunggu, namun tak pernah sekalipun ayah mengirimkan kabar. 

*****

"Lun," seseorang memanggil Luna tepat saat ia akan mengunci pintu rumah kostnya. Pagi itu ketika Luna akan berangkat kerja, Deni mengunjunginya. Luna menarik napas kuat, ia tidak suka dengan kehadiran lelaki itu.

"Ngapain kesini?" tanya gadis itu datar. 

"Ayah rindu, Lun!" jawab Deni, ia menatap wajah putrinya itu lekat. Ia tidak menyangka waktu akan mempertemukan mereka, setelah belasan tahun ia seolah melupakan darah dagingnya itu. Luna tersenyum sinis mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria yang dari dulu ingin ia temui, namun sepertinya sekarang ia malah tidak ingin lagi untuk bertemu dengannya.

"Rindu? Sama saya?" tanya Luna sambil menunjuk dirinya sendiri. Ia tertawa sumbang. "Maaf, mungkin anda salah orang, saya tidak mengenal anda! Dan saya yakin, anda pun tidak mengenal saya." sindir Luna. Hatinya sakit. Ia merasa kata-kata rindu yang diucapkan Deni barusan hanyalah omong kosong belaka. 'Seandainya ia memang merindukanku, harusnya ia gak akan meninggalkanku dan ibu.' Begitu pikir Luna. Sementara Deni merasa hancur melihat putrinya tidak menganggapnya.

"Maafkan ayah, Nak! Ayah tau, ayah salah telah meninggalkan kalian, tapi ayah sangat menyesal!" Hati Deni teriris mendengar Luna seolah tidak menginginkan kehadirannya. Ia tidak menyalahkan gadis itu karena tidak menganggapnya, ia pun sadar bahwa semua adalah kesalahannya. Ia mendekati Luna yang masih berdiri di depan pintu kostnya. Lelaki itu ingin sekali memeluk anak gadisnya untuk melepas rasa rindu yang selama ini ia abaikan. Namun Luna menyadari itu, ia pun bergerak menjauhi pintu itu, melihat hal itu Deni menghentikan langkahnya. Pria itu cukup tahu diri bahwa Luna tidak ingin ia mendekatinya. "Luna, ayah benar-benar menyesal." lirihnya. Ia menatap sendu pada anak yang ia tinggalkan saat masih berusia lebih dari setahun itu.

"Minta maaf untuk apa?" Lagi-lagi pertanyaan Luna yang dingin seolah membuat hati Deni beku, ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk mendapat maaf dari Luna.

"Untuk ..."

"Apakah setelah ku maafkan waktu yang hilang selama belasan tahun ini akan kembali?" Luna memotong ucapan Deni.Suaranya bergetar. Ia mencoba tegar, menahan rasa nyeri dan juga sesak yang ada di dadanya. " Setelah minta maaf, apa yang kau harapkan?" Sepertinya gadis itu telah melupakan kesopanan pada ayahnya yang membuatnya ada di dunia ini, atau anggap saja pada orang yang lebih tua darinya. Lagi-lagi Deni terpaku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Luna. Ia merasa ditampar, ia malu. Ia menyadari waktu yang dilalui Luna begitu berat tanpa seorang ayah. Dan sekarang ia hadir dengan pengakuan sebagai seorang ayah yang rindu pada anaknya. 

"Pulanglah, anggap kita gak pernah jumpa. Toh selama ini anda sangat bahagia tanpa ada aku dan ibuku, kan? Biarkan saja seperti semula, saat sebelum kita bertemu." Luna melangkah meninggalkan Deni yang hanya mampu menatapnya dengan rasa malu. 

Deni mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, ia sadar luka yang telah ia torehkan di hati anaknya begitu dalam, sehingga Luna mungkin akan sulit memaafkannya. Saat ia melihat Luna melangkah semakin jauh, ia tersadar bahwa ia tidak boleh membuang-buang waktu lagi untuk bersama anaknya, setidaknya untuk mengurangi rasa bersalah yang ia rasakan selama ini.

"Lun!" panggilnya seraya melangkah setengah berlari mengejar Luna. "tolong ijinkan ayah menebus kesalahan ayah, Lun!" mohonnya lagi, setelah ia tepat berada di belakang Luna dan berhasil meraih tangan putrinya. Mau tidak mau, Luna akhirnya berhenti, lalu menatap Deni dengan tatapan penuh luka.

"Ayah?" Deni yang mendengar Luna memanggilnya dengan 'ayah' berbinar. Ia merasa bahwa Luna akan memaafkannya. Bibirnya menyunggingkan senyum bahagia. "Apakah kau benar ayahku?" tanya Luna. Ia menatap mata Deni tajam.

"i-iya, Nak! Ini ayah," Deni terbata. Ada sesuatu yang membuncah dalam hatinya.

"Lalu kemana ayah selama ini? Kenapa baru sekarang?" tanya Luna sinis, lalu ia menghempaskan tangan Deni, membuat hati lelaki itu kembali ciut. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status