"Halo, Luna! Kenapa diam saja?"
"Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin.
"Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan.
"Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk.
Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari orang-orang yang menyuruhnya untuk melupakan Deni, namun berkali-kali pula Rahma menolak karena ia sangat yakin jika Deni pasti akan pulang.
Hingga akhirnya ibu berpikir ayah telah meninggal, setelah bertahun-tahun menunggu, namun tak pernah sekalipun ayah mengirimkan kabar.
*****
"Lun," seseorang memanggil Luna tepat saat ia akan mengunci pintu rumah kostnya. Pagi itu ketika Luna akan berangkat kerja, Deni mengunjunginya. Luna menarik napas kuat, ia tidak suka dengan kehadiran lelaki itu.
"Ngapain kesini?" tanya gadis itu datar.
"Ayah rindu, Lun!" jawab Deni, ia menatap wajah putrinya itu lekat. Ia tidak menyangka waktu akan mempertemukan mereka, setelah belasan tahun ia seolah melupakan darah dagingnya itu. Luna tersenyum sinis mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria yang dari dulu ingin ia temui, namun sepertinya sekarang ia malah tidak ingin lagi untuk bertemu dengannya.
"Rindu? Sama saya?" tanya Luna sambil menunjuk dirinya sendiri. Ia tertawa sumbang. "Maaf, mungkin anda salah orang, saya tidak mengenal anda! Dan saya yakin, anda pun tidak mengenal saya." sindir Luna. Hatinya sakit. Ia merasa kata-kata rindu yang diucapkan Deni barusan hanyalah omong kosong belaka. 'Seandainya ia memang merindukanku, harusnya ia gak akan meninggalkanku dan ibu.' Begitu pikir Luna. Sementara Deni merasa hancur melihat putrinya tidak menganggapnya.
"Maafkan ayah, Nak! Ayah tau, ayah salah telah meninggalkan kalian, tapi ayah sangat menyesal!" Hati Deni teriris mendengar Luna seolah tidak menginginkan kehadirannya. Ia tidak menyalahkan gadis itu karena tidak menganggapnya, ia pun sadar bahwa semua adalah kesalahannya. Ia mendekati Luna yang masih berdiri di depan pintu kostnya. Lelaki itu ingin sekali memeluk anak gadisnya untuk melepas rasa rindu yang selama ini ia abaikan. Namun Luna menyadari itu, ia pun bergerak menjauhi pintu itu, melihat hal itu Deni menghentikan langkahnya. Pria itu cukup tahu diri bahwa Luna tidak ingin ia mendekatinya. "Luna, ayah benar-benar menyesal." lirihnya. Ia menatap sendu pada anak yang ia tinggalkan saat masih berusia lebih dari setahun itu.
"Minta maaf untuk apa?" Lagi-lagi pertanyaan Luna yang dingin seolah membuat hati Deni beku, ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk mendapat maaf dari Luna.
"Untuk ..."
"Apakah setelah ku maafkan waktu yang hilang selama belasan tahun ini akan kembali?" Luna memotong ucapan Deni.Suaranya bergetar. Ia mencoba tegar, menahan rasa nyeri dan juga sesak yang ada di dadanya. " Setelah minta maaf, apa yang kau harapkan?" Sepertinya gadis itu telah melupakan kesopanan pada ayahnya yang membuatnya ada di dunia ini, atau anggap saja pada orang yang lebih tua darinya. Lagi-lagi Deni terpaku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Luna. Ia merasa ditampar, ia malu. Ia menyadari waktu yang dilalui Luna begitu berat tanpa seorang ayah. Dan sekarang ia hadir dengan pengakuan sebagai seorang ayah yang rindu pada anaknya.
"Pulanglah, anggap kita gak pernah jumpa. Toh selama ini anda sangat bahagia tanpa ada aku dan ibuku, kan? Biarkan saja seperti semula, saat sebelum kita bertemu." Luna melangkah meninggalkan Deni yang hanya mampu menatapnya dengan rasa malu.
Deni mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, ia sadar luka yang telah ia torehkan di hati anaknya begitu dalam, sehingga Luna mungkin akan sulit memaafkannya. Saat ia melihat Luna melangkah semakin jauh, ia tersadar bahwa ia tidak boleh membuang-buang waktu lagi untuk bersama anaknya, setidaknya untuk mengurangi rasa bersalah yang ia rasakan selama ini.
"Lun!" panggilnya seraya melangkah setengah berlari mengejar Luna. "tolong ijinkan ayah menebus kesalahan ayah, Lun!" mohonnya lagi, setelah ia tepat berada di belakang Luna dan berhasil meraih tangan putrinya. Mau tidak mau, Luna akhirnya berhenti, lalu menatap Deni dengan tatapan penuh luka.
"Ayah?" Deni yang mendengar Luna memanggilnya dengan 'ayah' berbinar. Ia merasa bahwa Luna akan memaafkannya. Bibirnya menyunggingkan senyum bahagia. "Apakah kau benar ayahku?" tanya Luna. Ia menatap mata Deni tajam.
"i-iya, Nak! Ini ayah," Deni terbata. Ada sesuatu yang membuncah dalam hatinya.
"Lalu kemana ayah selama ini? Kenapa baru sekarang?" tanya Luna sinis, lalu ia menghempaskan tangan Deni, membuat hati lelaki itu kembali ciut.
Rahma benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Luna padanya. Hatinya benar-benar terasa sakit, bagai tertusuk sembilu, terluka begitu dalam. Selama ini dia mengira suami yang dicintainya setengah mati telah tiada.Tapi kenyataan yang hari ini didengarnya sendiri dari mulut Luna, benar-benar membuatnya tak percaya, jika takdir telah mempermainkan dengan bangga seluruh kehidupannya.“Lalu apakah Ayah sehat-sehat saja?” tanya Rahma pada puteri satu-satunya itu.Luna mendengus, rasanya dia sudah terlalu malas untuk membicarakan mengenai ayahnya. Hanya saja, jika dia tak menjawab pertanyaan ibunya, tentu Rahma akan merasa sedih. Meski sudah disakiti, Rahma masih saja mencintai Deni sepenuh hati, dan mendoakan kebahagiaan untuknya.“Dia sehat-sehat saja, Bu. Bahkan kehidupan Ayah jauh dari kata susah. Dia sudah mendapatkan segalanya, sehingga lupa pada kita,” ucap Luna dengan nada dingin.“Hmm, tapi kamu jangan kasar pada Ayah. Biar bagaimanapun, tanpa Ayah, kamu nggak aka
Deni ingin Luna mendapatkan yang terbaik. Dia ingin menebus semua kesalahan yang terjadi di masa lampau pada putrinya bersama Rahma. Hanya saja, rasa takut akan penolakan Luna padanya kembali mendera perasaan Deni.Beberapa hari berlalu sejak terakhir Deni bertemu dengan Luna. Deni tak tahu jika Farida—isterinya—berencana untuk menceraikan Deni. Jika saja Farida menceraikan Deni, maka Deni akan kehilangan segala yang telah diperolehnya selama belasan tahun hidup bersama Farida.Berkali-kali Deni berusaha menemui Luna, kejadian serupa sebelumnya terulang kembali. Tapi pria itu sama sekali tak merasa putus asa. Dia hanya ingin gadis itu bisa memaafkannya. Tidak ada hal lain yang diinginkannya selain kata maaf dari bibir Luna.Ponsel Luna berdering, sebuah nama yang selalu dirindukannya muncul di layar ponsel.“Bu?”“Luna, bagaimana keadaanmu, Nak?&rdqu
Luna mengangkat dagunya begitu melihat Deni masih berdiri mematung tanpa melakukan apa-apa.“Ada apa, Pak Deni?” tanya Luna dengan suara yang tegas. Hatinya mulai membatu, tak ada lagi rasa rindu yang semula dirasa olehnya.“Luna, Ayah akan pulang. Tapi ... pikirkanlah kembali, apa yang sudah Ayah katakan padamu, Nak. Ayah meminta permohonan maaf darimu,” ucap Deni dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dikatakan, istilah nasi sudah menjadi bubur pun berlaku bagi Deni.Sekian belas tahun menghilang, meninggalkan kedua orang yang menyayanginya, sedangkan dia?Bersama Farida, perempuan kaya, yang telah mengangkat derajatnya. Membuat Deni benar-benar lupa diri. Meski diakui dalam hatinya, rasa cinta untuk Rahma masih tetap ada.
Deni hanya bisa terdiam begitu Luna menghempaskan tangannya. Dia tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari putri kandungnya sendiri. Deni menyadari selama ini dia telah bersalah sebesar-besarnya pada Luna dan Rahma—istri pertama—yang belum diceraikannya sama sekali.Disaat mereka membutuhkan kehadirannya, Deni justru dengan teganya menghilang tanpa jejak, memberikan tabir luka pada kedua orang terkasih yang pernah sangat dicintainya, sebelum dia mengenal Farida.Seandainya segala sesuatu bisa diubah kembali, dia berharap kembali ke waktu 17 tahun yang lalu sebelum dia pergi meninggalkan Rahma dan Luna di kampung. Kembali menata ulang kehidupannya dari awal.Bahkan pertanyaan yang Luna pertanyakan padanya, tak mampu dijawab oleh Deni. Dia benar-benar malu dan merasa gagal sebagai seorang suami serta ayah.“Luna, Ayah memang bersalah pada kalian. Tapi tahukah kamu, Ayah ingin menebus semua dosa-dosa Ayah di masa lalu. Apakah tak ada se
"Halo, Luna! Kenapa diam saja?""Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin."Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan."Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk.Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari
Setelah kepergian Deni, Luna lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangkupkan tubuhnya ke atas kasur dan menumpahkan air mata yang tiba-tiba berhamburan keluar.“Lun, maafkan saya. Saya hanya ingin memastikan, apakah kamu mengenal orang yang ada di dalam foto ini?” Luna kembali teringat dengan pertanyaan Deni tadi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah foto yang telah usang dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. Foto itu sedikit terlipat di bagian ujungnya.“Bapak dapat foto ini dari mana?” tanya Luna heran, ia pernah melihat foto yang sama dengan yang ada di tangannya kini, bahkan foto itu sekarang masih ada di dalam lemarinya. Terlihat di selembar kertas itu gambar sepasang suami istri dengan seorang anak kira-kira berumur satu tahun dipangku sang ibu. Sebuah keluarga kecil, itu adalah ayah, ibu dan Luna. Rahma dulu memberitahunya bahwa foto itu diambil beberapa hari sebelum ayahnya pergi ke kota. ‘bagaimana bisa foto ini ada