Share

Bab 8

Deni hanya bisa terdiam begitu Luna menghempaskan tangannya. Dia tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari putri kandungnya sendiri. Deni menyadari selama ini dia telah bersalah sebesar-besarnya pada Luna dan Rahma—istri pertama—yang belum diceraikannya sama sekali.

Disaat mereka membutuhkan kehadirannya, Deni justru dengan teganya menghilang tanpa jejak, memberikan tabir luka pada kedua orang terkasih yang pernah sangat dicintainya, sebelum dia mengenal Farida.

Seandainya segala sesuatu bisa diubah kembali, dia berharap kembali ke waktu 17 tahun yang lalu sebelum dia pergi meninggalkan Rahma dan Luna di kampung. Kembali menata ulang kehidupannya dari awal.

Bahkan pertanyaan yang Luna pertanyakan padanya, tak mampu dijawab oleh Deni. Dia benar-benar malu dan merasa gagal sebagai seorang suami serta ayah.

“Luna, Ayah memang bersalah pada kalian. Tapi tahukah kamu, Ayah ingin menebus semua dosa-dosa Ayah di masa lalu. Apakah tak ada sedikitpun pintu maaf terbuka untuk hatimu, Nak?”

Meski Luna merindu setengah mati akan sosok seorang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi selama belasan tahun ini, membuatnya sulit untuk mempercayai kata-kata pria yang berada di dekatnya saat ini.

“Seharusnya Ayah bukan hanya meminta maaf padaku,” jawab Luna dengan kedua mata berkaca-kaca, menatap Deni, berusaha tampak kuat. Meski sebetulnya, hati yang tersakiti oleh masa lalu, telah rapuh, dan sulit untuk berdamai seperti sebelumnya.

“Ayah akan melakukan, jika harus menemui ibumu, dan meminta maaf padanya. Ayah akui, aku terlalu terbawa nafsu duniawi, yang pada akhirnya membuatku berbuat dosa pada keluarga yang selalu menungguku dengan doanya,” ucap Deni dengan lirih. 

Dia bisa merasakan betapa kuat penolakan dan kebencian yang diberikan Luna padanya. Dia tak bisa marah, semua memang berasal dari keegoisan dan keserakahannya. Jadi bersimpuh seraya mengakui seluruh dosa-dosanya di hadapan Rahma pun, tak akan bisa mengurangi daftar kesalahannya selama belasan tahun lamanya.

“Pak Deni, mungkin seharusnya Tuhan tidak mempertemukan kita kembali. Pertemuan ini adalah sebuah kesalahan, Pak. Saya heran, kenapa Bapak bisa menikah lagi? Apakah Bu Farida Yang Terhormat tidak pernah mengetahui status Bapak sebelumnya?” tanya Luna dengan nada sinis, bahkan panggilannya pada Deni yang tiba-tiba berubah, membuat pria itu merasakan sakit yang sama dirasakan Luna.

“Aku yang bersalah. Aku menutupi identitasku, didukung oleh tanda pengenal yang masih belum berubah semenjak aku menikah dengan ibumu. Andai saja aku tak mengikuti bujukan setan saat itu, aku pasti masih bersama kalian, dan—“

“Dan hidup susah? Bukankah sudah jelas, kenapa Pak Deni lebih memilih Ibu Farida ketimbang kembali ke kampung dan merasakan susah bersama-sama?” Luna memotong perkataan Deni. Rasanya benar-benar muak, ketika harus membicarakan kembali masa lalu dimana ibunya menangis siang dan malam setiap doanya, berharap Deni kembali.

Entah berapa ribu malam Rahma mendoakan suami yang hingga kini masih lekat dalam rasa yang tak pernah pudar, rasa cinta itu ... masih sama, meski terbalut luka.

“Bagaimana rasanya, jika saya memberitahukan Ibu, jikalau suami yang dinanti-natikan sepanjang ribuan malam itu ternyata belum berkalang tanah, melainkan sudah bersama madu, berkalang harta, dan tahta? Apa yang akan Ibu saya katakan, apakah Anda bisa menebaknya Pak Deni?” 

Kalimat demi kalimat, meluncur manis serupa aksara yang tertata, namun menusuk. Deni tahu betapa banyak kesalahannya yang tak mungkin bisa ditebus semudah itu. 

“Sudah, Nak.Tak perlu lagi kamu bangkitkan. Aku sudah tahu, setiap titik kesalahan yang telah kuperbuat. Apakah tak ada kesempatan menebus dosa? Ayah ingin bertemu dengan Ibu, Nak. Apakah kamu akan mengijinkannya?”

Mengizinkan?

Jika saja semudah itu.

“Ibu berpikir, Anda sudah mati, Pak. Lalu bagaimana perasaan Ibu saya, jika dia tahu, lelaki yang selalu ditunggu dan didoakannya ternyata tidak mati, tapi main hati dengan perempuan lain. Apakah menurut Bapak yang akan terjadi setelahnya?”

Luna tak lagi memperdulikan detik demi detik yang terlewat. Mungkin sebaiknya hari ini dia meminta libur, suasana hatinya mendadak berubah, menjadi sangat kelabu, akibat laki-laki yang mengaku adalah ayahnya. Rasa sakit di hatinya tidak mampu ia tutupi, ia takut akan membuatnya tidak konsentrasi untuk bekerja dan berakibat pada pemecatannya kelak.

Luna mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk ke arah pagar, lalu berkata dengan lantang, “Silakan Bapak pergi, pintu itu sudah terbuka untuk mengantarkan Bapak keluar. Lupakan saja pertemuan kita. Aku tak akan pernah memberitahu Ibu, jika Anda masih hidup!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status