Share

Bab 6

Setelah kepergian Deni, Luna lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangkupkan tubuhnya ke atas kasur dan menumpahkan air mata yang tiba-tiba berhamburan keluar. 

“Lun, maafkan saya. Saya hanya ingin memastikan, apakah kamu mengenal orang yang ada di dalam foto ini?” Luna kembali teringat dengan pertanyaan Deni tadi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah foto yang telah usang dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. Foto itu sedikit terlipat di bagian ujungnya.

“Bapak dapat foto ini dari mana?” tanya Luna heran, ia pernah melihat foto yang sama dengan yang ada di tangannya kini, bahkan foto itu sekarang masih ada di dalam lemarinya. Terlihat di selembar kertas itu gambar sepasang suami istri dengan seorang anak kira-kira berumur satu tahun dipangku sang ibu. Sebuah keluarga kecil, itu adalah ayah, ibu dan Luna. Rahma dulu memberitahunya bahwa foto itu diambil beberapa hari sebelum ayahnya pergi ke kota. ‘bagaimana bisa foto ini ada padanya?’. Pikir Luna.

“Apa kamu tau itu foto siapa, Lun?” Deni balik bertanya.

“Ini adalah foto keluargaku, Pak” jawab Luna ragu, ia menatap Deni lekat, seolah ingin mencari sesuatu disana. Mendengar jawaban Luna, mata Deni berkaca-kaca membuat Luna kebingungan. Ia ingin sekali memeluk anak yang telah ia lupakan sekian tahun. Sementara Luna menatap aneh pada Deni ‘siapa dia? Apakah dia mengenalku? Atau dia adalah ….’ tanya Luna dalam hati. Ia menggelengkan kepala saat ia memikirkan bahwa yang di depannya kini mungkin adalah ayahnya.

Beberapa detik suasana menjadi hening, Deni bingung bagaimana cara memberi tahu pada Luna bahwa dirinya adalah ayah dari gadis di hadapannya. Sementara Luna masih sibuk dengan berbagai pertanyaan di pikirannya.

“Lun, saya adalah ayahmu, Nak!” ujar Deni akhirnya dengan suara bergetar, bening kristal tertahan di sudut matanya. Pernyataan Deni membuat Luna terbelalak. Ia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri ‘apa kupingku lagi rusak?

“Apa?!” pekik Luna, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut gadis berambut panjang sepundak itu. Ia tidak menyangka akan mendengar pengakuan itu dari mulut Deni. Ayah yang selama ini ia rindukan ada di depan matanya. Meski hal itu sempat terlintas di pikirannya, tapi ia tidak menduga akan mendengar pengakuan dari mulut Deni.

“Maafkan ayah, Nak!” Deni beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Luna. “ayah banyak salah sama kalian, "Deni duduk jongkok di hadapan Luna dan meraih tangan anaknya. Wajahnya kini basah, sudah sejak lama ia menyimpan rasa bersalah pada keluarganya yang ia tinggalkan belasan tahun lalu. “maafkan ayah,” kembali kalimat itu keluar dari bibir pria itu, ia tidak tahu kata apa yang pantas diucapkan selain kata ‘maaf’. Deni memberanikan diri untuk memeluk anak dari istri pertamanya itu. Perlakuan Deni meyakinkan Luna bahwa ia tidak salah mendengar.

 Luna yang dipeluk Deni merasakan ada kehangatan yang mengalir di dalam hatinya, dia membiarkan saja Deni memeluknya, ia ingin merasakan hangatnya pelukan seorang ayah yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Delapan belas tahun hidupnya, ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang lelaki bergelar ayah. Saat ia berusia setahun, ayahnya pergi meninggalkan ia dan ibunya, untuk mencari pekerjaan di kota. Namun, sekalipun ayahnya tidak pernah kembali, bahkan memberi kabar pun tidak.

Di saat Luna masih di dalam pelukan Deni, seseorang menarik tubuh Deni dari belakang. Luna terkejut saat mengetahui bahwa Farida, wanita yang telah menggantikan posisi ibunya kini ada di hadapannya. Ada rasa benci yang tiba-tiba terselip di dalam hati gadis itu. Wanita yang membuat Luna kehilangan kasih sayang seorang ayah itu kini memaki dan bahkan menampar wajah Luna. Ia dituduh telah merebut Deni. 

Mengingat hal itu Luna tersenyum sedih. ‘Dia yang merebut ayah, tapi dia malah menuduh aku merebut suaminya? Sedih sekali hidupku. Aku bahkan nggak tau bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Bodohnya aku, bagaimana mungkin aku tidak mengenal ayahku sendiri? Menyedihkan!’ Luna merutuki dirinya sendiri. Ia kembali menatap foto yang diberikan Deni tadi.

Ia melihat dengan seksama wajah ayahnya yang ada di kertas itu. Rambut yang sedikit panjang, dan kulit wajah yang hitam legam serta tubuh yang kurus, membuatnya tidak mengenali ayahnya saat pertama kali bertemu, ketika ia mulai bekerja di restoran milik Deni. Kini wajah Deni lebih tampan, bersih dan tubuhnya berisi, lelaki itu lebih terawat dengan potongan rambut yang rapi, sangat jauh berbeda dengan yang ada di foto. 

Entah mengapa setelah mengetahui Deni adalah ayahnya, Luna merasakan sakit di dalam hatinya. Rasa rindu yang dulu dirasakannya seperti menguap berubah menjadi kebencian. Rasa benci itu muncul karena ayahnya begitu tega membiarkannya hidup tanpa mengenal siapa ayahnya. Luna kecewa mengetahui ayahnya hidup bahagia dengan keluarga barunya, sementara ia dan Rahma harus hidup jauh dari kata layak. Ibunya harus berjuang sendiri untuk menghidupi dan menyekolahkan Luna. 

“Kapan ayah pulang, Bu?” pertanyaan itu kerap kali keluar dari mulut mungil Luna.

“Sabar ya, Nak! Ayah pasti pulang, kalau ayah sudah dapat kerja. Makanya Luna harus doakan ayah, supaya cepat dapat kerjaan dan banyak uang agar ayah bisa jemput kita.” Selalu jawaban itu yang keluar dari mulut Rahma untuk menenangkan hati anak satu-satunya.

Rasa rindu yang begitu dalam membuat Luna selalu menanyakan hal yang sama. Ia begitu iri melihat teman-temannya di gendong, di antar ke sekolah, berjalan-jalan bersama ayah mereka. Sementara Luna, jangankan memeluk ayahnya, melihat wajahnya pun Luna tidak pernah. Luna hanya mampu melukis wajah ayahnya seperti di foto yang selalu ibunya tunjukkan, di dalam hatinya. Namun hal itu ternyata tidak mampu membuatnya mengenali ayahnya ketika ia berjumpa dengan lelaki yang membuatnya hadir ke dunia ini. Berbulan-bulan Deni selalu berada di dekatnya namun tidak sekalipun terbersit di pikiran Luna bahwa orang itu adalah orang yang selama ini ia rindukan.

Ia benar-benar tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi. Ia menjadi teringat pada ibunya. ‘andai ibu tau kalau ayah telah menikah lagi, pasti hati ibu akan sangat sakit.’ Mengingat ibunya, kembali air mata membasahi pipi tirus gadis itu. Belasan tahun ibunya menunggu dengan setia tanpa ketidakpastian, ternyata berbuah sia-sia.

Saat Luna sedang terbayang wajah ibunya, tiba-tiba hp Luna berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, hati Luna semakin tidak karuan, gadis itu bingung harus bagaimana dengan perasaan yang ia sendiri tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Ia menarik nafas dalam sebelum ia mengangkat telepon.

 "Halo, Lun!" sapa orang dari seberang telepon. "halo!" Kembali terdengar suara, setelah ia menunggu beberapa saat suara Luna yang tidak ia dengar. Sementara Luna, begitu berat untuk mengeluarkan suaranya, seperti ada sesuatu dalam tenggorokannya yang membuatnya kesulitan berkata-kata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status