"Apa? Minta padaku? Gila, bagaimana itu mungkin?" Aldrich melotot, kaget saat dua perawat wanita tiba-tiba meminta uang padanya dengan senyum manis.Awalnya, Aldrich mengira mereka berdua hanya berbohong. Tapi keterkejutannya makin menjadi saat mereka kembali membuka mulut."Itu mungkin, Tuan, karena Tuan Noah sendiri yang memerintahkan begitu," ujar salah satu dari mereka santai, diiringi anggukan temannya."Sial," umpat Aldrich pelan. Kepalanya pening.Dia langsung tahu, kenapa tuannya melakukan hal itu. Pastilah bentuk hukuman halus karena kelancangan dia yang tadi."Ayolah, Tuan Aldrich," seru keduanya bersamaan. "Kami masih harus segera berangkat kerja lagi, dan harus ke rumah sakit. Bayarkan dulu hak kami."Aldrich menghela napas panjang. Dengan berat hati, dia mengeluarkan ponselnya."Baik, berikan nomor rekening kalian," katanya pasrah. Tanpa buang waktu, kedua perawat itu sigap menunjukkan nomor rekening masing-masing di layar ponsel mereka. Aldrich mengetik cepat, dan dala
Di depan ruang perawatan, Noah terus mondar-mandir tak karuan. Rasanya ... ia tidak bisa tenang. Melihat tuannya seperti itu, membuat Aldrich menyunggingkan senyum tipis. "Tuan, apa Anda tidak lelah terus-menerus seperti itu? Silahkan untuk duduk dahulu." Aldrich mencoba menghentikan tuannya. Bukan apa? Ia yang melihat saja sudah pusing, tidakkah tuannya merasa pusing mondar-mandir seperti itu."Aku tidak bisa tenang, Aldrich! Wanita itu sangat bodoh! Kau tahu? Sok jadi pahlawan." Noah mendengus. Meski ucapannya masih tajam, jauh di lubuk hatinya, ia begitu merasa bersalah."Itu bukan bodoh, Tuan," kata Aldrich. "Istri Anda sedang berkorban untuk suaminya saat ini. Nona melindungi Anda." Noah mengernyit. Bingung dengan sikap pengawal kepercayaannya itu. Melihat tuannya tak berkedip menatapnya, membuat Aldrich refleks berjalan mundur. "A-ada apa, Tuan? Kenapa melihat saya seperti itu? Anda tidak sedang berniat melecehkan saya, kan?" tanya Aldrich. Sempat-sempatnya dia berbicara mel
Tangan kasar Demon hampir menyentuh bahu Veronika, hendak menarik paksa pakaian wanita itu. Napas Veronika memburu, air matanya makin deras. Saat jarak itu tinggal seujung jari, suara berat nan tajam terdengar, membelah ketegangan di ruangan itu."Ada tamu rupanya."Langkah tegas bergema dari arah tangga. Noah turun dengan mata setajam pisau, sorot matanya menusuk ke arah Demon. "Kenapa tidak ada yang memberitahukanku?"Demon tersentak, tubuhnya kaku seketika. Ia berbalik, mencoba tersenyum meski jelas sekali ketakutan menyelimuti wajahnya."K-Kau … bukankah tadi tidak ada di mansion ini?"Noah mendengus pelan, tatapannya mengarah ke Veronika yang bersandar lemas di dinding, wajahnya pucat, air mata bercucuran."Kau … paman istriku, ya?" Noah menyeringai kecil, namun sorot matanya dingin. "Sampai segitunya kau merindukan keponakanmu, sampai membuatnya ketakutan seperti ini? Lihatlah!"Demon menelan ludah, buru-buru mengatur ekspresi, mencoba menenangkan dirinya yang panik."A-Aku … ha
Veronika masih terpaku di depan pintu kamarnya. Aldrich sudah berlalu, meninggalkan pertanyaan yang membayangi pikirannya."Siapa tamu yang harus ku sambut?" bisiknya pelan. Jemarinya meremas erat kain dress yang dikenakan. Ketakutan perlahan menyusupi relung hati Veronika."Apa dia ingin menjualku? Seperti di film-film itu ... di mana suaminya tak menginginkan istrinya, lalu menjualnya pada orang asing."Tubuh Veronika bergetar halus. Ia memeluk dirinya sendiri, merasa sesak dengan segala prasangka yang terus menari di benaknya.Yang tak ia sadari, di ruang kerja, Noah duduk santai di hadapan layar monitor besar yang menampilkan seluruh sudut mansion, termasuk kamar Veronika. Tatapannya tajam, menatap layar di mana istrinya tengah berdiri ketakutan seorang diri.Senyum simpul tercetak di wajah Noah. Ia menyandarkan punggung ke kursi sambil mengangkat gelas wine-nya."Ketakutanmu benar-benar menghiburku, Sayang," bisik Noah, suaranya nyaris tak terdengar. "Kita lihat berapa lama kau b
"Kau mau kemana, Sayang?" tanya Margareth, matanya menatap tajam saat melihat suaminya bersiap keluar."Ibu memerintahkanku untuk mengambil Veronika dari mansion pria itu," jawab Demon singkat. "Aku harus membawanya kembali."Margareth mendengus pelan, lalu menyilangkan tangan di dada. "Untuk apa?" tanyanya dingin. "Dia sudah menikah dengan pria itu, kita tidak punya hak membawa dia pulang tanpa izin suaminya."Demon menoleh cepat, tatapannya penuh heran. "Sejak kapan kau jadi bijak begini? Bukankah kau membencinya? Kenapa sekarang malah bersikap sok dewasa?""Justru karena aku membencinya," sahut Margareth, nada suaranya lebih keras. "Karena aku benci, aku tidak ingin dia kembali. Aku muak dengan wajahnya, muak dengan namanya. Jika kau benar-benar ingin menyingkirkan pria itu, sekalian lenyapkan saja perempuan itu bersamanya."Margareth menggeram pelan, matanya menyala amarah. "Aku tidak mau ada sisa-sisa yang mengotori keluarga kita.""Kau membencinya sedalam itu?" tanya Demon, nada
"Kalau pun aku gagal … kalau pun aku harus mati di tanganmu suatu hari nanti, aku tidak akan menyesal. Tidak akan pernah ada penyesalan karena telah menjadi istrimu!"Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Noah. Wajah Veronika, tatapan mata yang tak gentar meski dipenuhi air mata, seolah mengejarnya dalam diam."Sial!" Noah mengumpat, rahangnya mengeras. Dadanya sesak oleh amarah yang entah ditujukan pada siapa — Veronika, dirinya sendiri, atau masa lalu yang tak pernah bisa dia kubur."Memang itu yang kuinginkan!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan yang seketika terasa sempit. "Aku ingin kau mati! Aku tidak mencintaimu! Dan kau … kau tidak pantas bersamaku!"Tanpa pikir panjang, Noah menyambar vas di atas meja, melemparkannya ke dinding hingga pecah berantakan. Satu per satu barang di kamarnya dihancurkan, dipukul, dilempar, seolah itu bisa meredakan amarah yang membakar dirinya dari dalam.Namun, setelah semua hancur, setelah suara dentingan kaca tak lagi terdengar, Noah