"Terima kasih sudah membantuku lagi, Tuan," ucap Veronika. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau Anda tidak datang menyelamatkanku." Sambil berkata demikian, Veronika mengeratkan jas atasannya itu di pundaknya.
"Pria tadi... pamanmu?" tanya atasannya, yang langsung diangguki oleh Veronika. "Echa adalah putrinya. Itulah yang membuatku takut saat di restoran. Aku takut dia memberitahukan keberadaanku pada Paman dan Bibi. Sungguh, aku tidak ingin kembali ke neraka itu." Veronika kembali memeluk atasannya sambil menangis. Menyadari kesalahannya, Veronika segera menjauhkan diri dari atasannya. "Ma-maafkan aku, Tuan," kata Veronika. "Aku sudah mengotori jas Anda dengan air mataku." "Tidak apa, hanya air mata, bukan kotoran hewan," canda Noah, yang membuat Veronika tersenyum. "Ya, aku tidak akan mungkin berani memberikannya, Tuan," kata Veronika, masih tersenyum dengan memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Namun, saat tatapan mereka saling bertemu, Veronika merasa ada ketegangan di udara. Wajah Noah begitu dekat, dan untuk sekejap, ia merasa cemas. Ia menutup matanya, mengira mungkin akan mendapatkan ciuman dari atasannya. Tetapi, bayangan Narendra yang mengkhianatinya muncul begitu saja di pikirannya, membuatnya terbangun dari lamunannya. Tanpa sadar, ia mendorong dada Noah dengan lembut, menciptakan jarak antara mereka. "Ada apa? Kau terganggu dengan bayangan mantan kekasihmu? Aku tahu! Pasti hal itu sangat sulit untuk kau lupakan," kata Noah sambil memegangi pundak Veronika, menguatkan wanita itu. Veronika mengangguk sebagai jawaban. Namun, ia merasa tenang karena atasannya tidak marah atas penolakan yang baru saja ia lakukan, justru menguatkannya. "Terima kasih karena Anda sudah mengerti, Tuan," kata Veronika, yang diangguki oleh Noah. "Boleh aku tahu? Kenapa Anda bersikap seperti ini padaku, Tuan?" tanya Veronika. "Kenapa Anda berbeda dari yang orang-orang ceritakan?" "Menurutmu? Apa kau percaya pada perkataan mereka tentangku?" tanya balik atasannya, membuat Veronika terdiam, seolah berpikir. "Awalnya... aku percaya!" kata Veronika. "Tapi, setelah sampai di tahap ini, aku merasa mereka semua tidak tahu bagaimana Anda yang sebenarnya." "Kau sendiri, tanggapan tentangku bagaimana?" tanya atasannya, tidak berpaling sedikit pun dari wajah Veronika. Hal itu justru membuat Veronika merasa gugup. "Aku memang tidak terlalu mengenal bagaimana Anda," kata Veronika. "Tapi, perlakuan Anda yang selalu ada di saat-saat aku merasa terintimidasi, membuatku berpikir kalau Anda adalah seorang pahlawan yang dikirim untukku," kata Veronika, menundukkan pandangannya. "Pahlawan? Aku akan selalu menjadi pahlawan untukmu, Veronika," balas atasannya, yang membuat Veronika menatapnya. Di wajah atasannya tidak ada candaan, benar-benar serius. "Jalin hubungan denganku, maka aku akan selalu melindungimu, tidak akan membiarkanmu meneteskan air mata dari kedua mata cantikmu itu," kata atasannya sambil menyeka air mata Veronika yang tersisa. Perlakuan atasannya sungguh membuat hati Veronika luluh, tapi ia masih sulit untuk menerima kehadiran orang baru. Ia masih trauma dan takut kejadian serupa terulang lagi. "Aku..." "Aku tidak meminta jawaban hari ini, Veronika," kata atasannya. "Aku butuh jawaban saat kau benar-benar bisa menerima kehadiran orang baru di hatimu itu." Mendengar perkataan atasannya, Veronika merasa begitu bersalah. Ia tidak tahu apakah atasannya akan setia menunggu atau justru menyerah menanti jawaban darinya. Atasannya itu kemudian menatap jam di pergelangan tangannya. "Baiklah! Aku harus pergi!" Veronika mengangguk sambil tersenyum. "Hati-hati di jalan, Tuan!" kata Veronika, yang dibalas dengan anggukan kepala oleh atasannya sambil tersenyum. Setelah kepergian atasannya, Veronika seketika membuang tubuhnya ke atas tempat tidur begitu saja. Ia tersenyum sambil membayangkan perilaku manis atasannya. "Aku salah tentangnya," gumam Veronika. "Rupanya, dia tidak seperti yang orang-orang katakan. Dia baik. Meskipun dia terlihat kejam dan begitu dingin, hatinya sangat baik." Sesaat setelah mengatakan hal itu, Veronika memukul pelan keningnya sendiri. Ia merasa bodoh karena justru memikirkan atasannya. "Jangan percaya cinta, Veronika!" gumamnya sambil menjauhkan jas Noah dari pundaknya. "Bagaimana jika dia sama seperti Narendra? Kau harus memikirkan ini baik-baik. Tidak ada pria yang benar-benar setia." Veronika kembali menguatkan pertahanannya terhadap cinta. Sejenak, Veronika menatap kamarnya. Sisa-sisa perkelahian antara atasannya dan pamannya masih terlihat. "Aku tidak bisa jika tetap di kamar ini. Aku harus pindah!" katanya sambil mengenakan sweater miliknya sendiri. Ia lalu beranjak turun untuk menemui resepsionis, berniat meminta perpindahan kamar. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis dengan ramah. "Bisakah aku meminta perpindahan kamar? Hidupku terancam jika terus berada di sana," ucap Veronika lirih, matanya tampak berkaca-kaca menahan rasa takut. "Saya akan cek dulu apakah masih ada kamar kosong, Nona. Mohon tunggu sebentar," jawab resepsionis itu. Veronika hanya mengangguk pelan. Tak lama berselang, resepsionis itu kembali berbicara, "Maaf, Nona, sepertinya semua kamar sudah penuh." Veronika menghela napas frustrasi. "Begitukah? Tolong cek lagi, ya. Aku benar-benar butuh pindah." "Nona, saya sudah—" Ucapan resepsionis itu tiba-tiba terhenti. Tatapannya melirik ke arah lain, seakan memperhatikan sesuatu. Penasaran, Veronika ikut melirik ke arah yang sama. Namun, yang terlihat hanya sudut ruangan yang kosong. Beberapa detik kemudian, resepsionis itu kembali menatap Veronika. "Ada satu kamar di lantai empat, Nona," katanya pelan. "Tempat itu adalah yang paling aman untuk Anda. Tapi, kamar di lantai itu hanya ada dua. Satunya lagi adalah milik pemilik apartemen ini." "Pemilik? Apa tidak apa-apa kalau aku pindah ke sana? Kau tidak menghubungi pemiliknya dulu?" tanya Veronika, ragu. Ia tak ingin disalahkan jika sampai menempati kamar itu tanpa izin. "Tenang saja, Nona. Anda tidak masalah jika pindah ke sana," jawab resepsionis, membuat Veronika menghela napas lega. "Kalau begitu, siapa yang bisa membantuku memindahkan barang-barangku?" Veronika kembali bertanya. "Saya akan hubungi petugas keamanan untuk membantu, Anda. Mohon tunggu sebentar." Setelah percakapannya dengan resepsionis tadi, Veronika kini sudah kembali ke dalam kamarnya. Ia tengah membereskan barang-barangnya untuk dipindahkan ke kamar di lantai empat. Di depan pintu, dua petugas keamanan sudah menunggu untuk membantunya mengangkat barang-barang. Tak butuh waktu lama, Veronika akhirnya tiba di kamar barunya di lantai empat. Ia tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih kepada kedua petugas keamanan yang telah membantunya. Setelah pintu kamar dibuka, pemandangan di dalamnya langsung membuat Veronika terpana. Interior kamar itu begitu indah dan nyaman, membuatnya merasa tidak sia-sia memutuskan pindah. "Aku menyukainya. Sepertinya aku orang yang beruntung bisa menempati kamar ini. Kamar pemilik apartemen ini langsung," ucapnya, kagum. Tak sabar, Veronika segera melangkah membuka pintu balkon. Ia merentangkan kedua tangannya, menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajah dan tubuhnya. Namun tanpa ia ketahui, keberadaannya di tempat itu adalah bagian dari rencana yang telah disiapkan oleh seseorang sejak awal.Veronika begitu asyik terpejam, ketika ia mulai terganggu oleh rasa gatal di tenggorokannya. Saat ia mencoba mengabaikannya, rasa itu justru semakin mengganggu, memaksanya membuka mata. Belum sepenuhnya sadar, tangan Veronika meraba-raba nakas, mencari botol minumnya. Sialnya, botol itu justru kosong. "Ah, sial. Kenapa harus kosong, sih? Sepertinya aku harus lebih memerhatikannya sebelum tidur," gerutunya, lalu beranjak turun dengan malas dari atas tempat tidur. Dengan langkah gontai, Veronika berjalan keluar sambil beberapa kali menguap. Ruang tengah itu gelap, membuatnya meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu. Begitu tiba di dapur, Veronika segera mengisi botol minumnya. Tak lama kemudian, suara benda terjatuh membuatnya terlonjak. Matanya langsung awas menatap ke sekeliling. "Si-siapa di sana?" tanyanya, menatap bayangan gorden yang tertiup angin. Veronika menyentuh tengkuknya. Tubuhnya meremang karena takut. "Tidak mungkin ada yang masuk ke kamar ini, kan? Aku su
Sore hari telah berlalu saat Veronika bersiap-siap untuk pulang dari kantor. Ya, hari ini ia menolak lamaran atasannya — tidak, lebih tepatnya, Veronika meminta satu hari lagi untuk menerima atau menolak lamaran tersebut. Alasan penolakan itu, tentu saja, karena ia trauma akan masa lalu pahitnya. Tidak hanya itu, Veronika juga merasa heran dengan atasannya sendiri. Ia merasa, atasannya begitu terburu-buru ingin memilikinya, padahal ia baru saja bekerja. Sesuatu yang tak masuk akal, jika atasannya secepat itu jatuh cinta. "Aku benar-benar bimbang," gumam Veronika. "Haruskah kuterima atau kutolak lamaran ini?" Saat Veronika melamun di dalam ruang kerjanya, atasannya itu jelas melihat sosoknya dari balik kaca transparan. Pria itu tersenyum ketika memandangi Veronika dari kejauhan lalu berbalik meninggalkan ruangan Veronika untuk kembali ke ruangannya sendiri. Veronika yang sempat melamun, kini tersadar. Ia segera bergegas menyiapkan barang-barangnya lalu keluar dari ruangannya. B
Di dalam kamar apartemen, Veronika terus memandangi jari manisnya yang kini dihiasi cincin pemberian atasannya. Sesekali, wanita itu tersenyum-senyum sendiri, saking bahagianya. Bagaimana tidak? Perlakuan atasannya begitu romantis. Meski bersikap dingin, pria itu tahu persis cara membuat Veronika merasa istimewa. "Lihat saja, Narendra! Kau akan kubuat bertekuk lutut setelah pernikahanku dengan Tuan Noah sah," ucap Veronika seraya menatap kaca yang memantulkan wajah cantiknya, lengkap dengan senyum sinis di sana. "Bodoh sekali! Aku terlalu buta oleh perasaan cinta yang kumiliki untukmu, sampai-sampai aku tak menyadari kalau kau bermain api di belakangku bersama Echa, sepupuku." Perkataan Veronika memancing air matanya kembali mengalir. Namun, merasa tak pantas menangisi pria seperti Narendra, ia buru-buru menyekanya. "Tak akan ada lagi air mata untuk pria seperti Narendra!" tegas Veronika pada dirinya sendiri. "Aku akan melupakan pria bajingan itu!" Namun, setelah mengatakan itu,
"Berani kau sentuh calon istriku, jangan harap masih bisa melihat dunia ini lagi." Saat Veronika melihat kedatangan atasannya, ia langsung berlari mendekat dan memeluk Noah. Tubuh Veronika bergetar saat memeluk atasannya dan hal itu dapat dirasakan oleh Noah sendiri. "Ada aku, Sayang," kata Noah. "Dia tidak akan bisa melukaimu." Mendengar perkataan atasannya yang menenangkan, Veronika berusaha mengendalikan ketakutannya. Sejujurnya, ia takut saat Narendra ingin memukulnya. Veronika benar-benar tidak menyangka akan perubahan pria yang sempat dicintainya itu. Narendra berani mengangkat tangan padanya, dan Veronika tidak tahu apakah pria itu benar-benar ingin memukulnya atau hanya menggertaknya saja. Narendra terkejut. "Calon istri? A-apa maksudmu?" tanyanya, begitu penasaran. "Veronika Anastasia, aku sudah melamar wanita cantik ini. Hanya menghitung hari, kami akan sah menjadi suami-istri." Atasannya menggenggam tangan Veronika sambil tersenyum. Veronika balas tersenyum. Melihat
Narendra baru hendak ikut mengejar Veronika, kala tangannya segera dicekal oleh Echa. "Kau ingin mengejarnya? Untuk apa, Narendra?" tanya Echa sambil memperbaiki tatanan dasi pria itu. Narendra menunduk. Hatinya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan dadanya. Suasana di lobby apartemen itu seketika terasa sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar pelan. "Bukankah aku tadi keterlaluan? Aku menyakitinya, Echa," kata Narendra, merasa sangat bersalah. Echa menarik napas perlahan. Tatapannya lembut, namun ada ketegasan di sana. Ia tahu, keputusan yang diambil Narendra barusan bukan tanpa alasan, meski caranya salah. Tangannya masih bertahan di pergelangan tangan pria itu, tak membiarkan Narendra pergi begitu saja. "Keterlaluan? Keterlaluan mana dengan dia yang sudah tidur bersama para laki-laki itu tanpa kau ketahui, hm? Bertahun-tahun kalian menjalin hubungan, bukan? Tapi... bertahun-tahun pula Veronika menyembunyikan hal kotor ini darimu," kata
Drrrtt... Drrrtt... Suara getaran ponsel di atas meja membuat Veronika tersentak. Ia yang tengah duduk di sofa ruang tamu segera meraih ponselnya, lalu mengernyit saat mendapati panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya hati-hati. "Benar, ini dengan Nona Veronika?" "Iya, itu saya. Ada apa?" balasnya, sedikit cemas. "Saya salah satu petugas rumah sakit. Ingin mengabarkan bahwa nenek Anda sudah siuman dan saat ini terus memanggil-manggil nama Anda," jawab suara di seberang. Veronika terdiam sejenak. Suara detik jam dinding terdengar begitu jelas di antara keheningan ruangan. Dadanya bergetar. Sekejap, air mata menetes di pipinya. Perasaan haru dan lega bercampur. "Te-terima kasih sudah memberikan kabar baik... Saya akan segera ke sana," ucap Veronika pelan, suaranya bergetar. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung saja memutus panggilan. Tak berselang lama, Veronika sudah siap dan berniat keluar dari apartemen. Namun, langkahnya terhenti saat mendap
Veronika baru saja menyelesaikan percakapan di ruang dokter. Saat ia kembali ke ruang rawat neneknya, sosok atasannya sudah tidak tampak di sana. Sejenak, mata Veronika menatap ke sekeliling, berharap masih bisa menemukannya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran Noah."Ke mana dia? Apa dia sudah kembali?" gumam Veronika pada dirinya sendiri.Di tengah kebingungan itu, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi di ponselnya. Veronika segera meraihnya dan mendapati sebuah pesan dari Noah.“Aku akan datang untuk menjemputmu lagi, Baby. Maaf, aku harus pergi sebentar untuk mengurus sesuatu.”Pesan itu sukses membuat senyum merekah di wajah Veronika."Dia benar-benar menunjukkan perhatian. Aku semakin dibuat terpesona oleh atasanku sendiri," gumamnya, sembari tersenyum-senyum sendiri dan sesekali memeluk ponselnya, seperti orang yang sedang jatuh cinta.Menyadari kegilaannya sendiri, Veronika segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ia lalu melangkah masuk ke ruang rawat neneknya,
"Apa yang terjadi pada Nenek? Kenapa dia terlihat ketakutan saat melihat atasan ku?" gumam Veronika, yang tengah duduk merenung di balkon kamarnya. Ingatannya kembali melayang pada neneknya yang begitu ketakutan menatap atasannya.Flashback On...Saat itu, Veronika tersenyum kecil lalu menggandeng lengan Noah, membawanya masuk ke ruang rawat sang nenek."Nek, ini dia atasan Veronika," ucap Veronika, memperkenalkan Noah dengan penuh semangat."Halo, Nek!" sapa Noah ramah, sembari tersenyum.Namun, sapaan itu justru membuat Anne terkejut. Wajahnya pucat seketika, tangannya gemetar memegangi dadanya. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang berdiri di hadapannya, seolah melihat hantu dari masa lalu. Melihat wajah panik sang nenek, Veronika sontak bergegas mendekat. Ia membantu Anne yang tampak gelisah, lalu menuangkan segelas air putih dan menyodorkannya dengan wajah khawatir."Nek, tenangkan dirimu... ini, minum dulu," ucap Veronika pelan, berusaha menenangkan.Noah, yang sejak tadi be
Veronika baru saja memasuki ruang rawat neneknya ketika mendapati sang nenek meringkuk, dengan tubuh dan wajah yang tertutup rapat oleh selimut. Merasa ada sesuatu yang terjadi, Veronika segera menghampiri Anne, neneknya. "Nek, ada apa lagi? Kenapa Nenek meringkuk seperti itu? Apa ada yang mengganggu?" tanya Veronika bertubi-tubi. Anne hanya menggeleng pelan, tak sanggup memberikan jawaban. Melihat kondisi neneknya, Veronika segera meraih segelas air minum, lalu membantu neneknya duduk agar bisa meminumnya. Setelah dirasa Anne cukup tenang, Veronika duduk di sisi tempat tidur. Kekhawatiran begitu jelas tergambar di wajahnya saat menatap sang nenek. "Perlu Veronika panggilkan dokter, Nek?" tanya Veronika cemas, "Nenek tunggu sebentar, ya." Baru saja Veronika hendak bangkit, tangan Anne dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya, seolah memaksa Veronika tetap di tempat. Mata Anne sempat berpendar ke sekeliling ruangan, seakan mencari seseorang di sana. Gerak-geriknya membuat Ver
"Apa yang terjadi pada Nenek? Kenapa dia terlihat ketakutan saat melihat atasan ku?" gumam Veronika, yang tengah duduk merenung di balkon kamarnya. Ingatannya kembali melayang pada neneknya yang begitu ketakutan menatap atasannya.Flashback On...Saat itu, Veronika tersenyum kecil lalu menggandeng lengan Noah, membawanya masuk ke ruang rawat sang nenek."Nek, ini dia atasan Veronika," ucap Veronika, memperkenalkan Noah dengan penuh semangat."Halo, Nek!" sapa Noah ramah, sembari tersenyum.Namun, sapaan itu justru membuat Anne terkejut. Wajahnya pucat seketika, tangannya gemetar memegangi dadanya. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang berdiri di hadapannya, seolah melihat hantu dari masa lalu. Melihat wajah panik sang nenek, Veronika sontak bergegas mendekat. Ia membantu Anne yang tampak gelisah, lalu menuangkan segelas air putih dan menyodorkannya dengan wajah khawatir."Nek, tenangkan dirimu... ini, minum dulu," ucap Veronika pelan, berusaha menenangkan.Noah, yang sejak tadi be
Veronika baru saja menyelesaikan percakapan di ruang dokter. Saat ia kembali ke ruang rawat neneknya, sosok atasannya sudah tidak tampak di sana. Sejenak, mata Veronika menatap ke sekeliling, berharap masih bisa menemukannya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran Noah."Ke mana dia? Apa dia sudah kembali?" gumam Veronika pada dirinya sendiri.Di tengah kebingungan itu, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi di ponselnya. Veronika segera meraihnya dan mendapati sebuah pesan dari Noah.“Aku akan datang untuk menjemputmu lagi, Baby. Maaf, aku harus pergi sebentar untuk mengurus sesuatu.”Pesan itu sukses membuat senyum merekah di wajah Veronika."Dia benar-benar menunjukkan perhatian. Aku semakin dibuat terpesona oleh atasanku sendiri," gumamnya, sembari tersenyum-senyum sendiri dan sesekali memeluk ponselnya, seperti orang yang sedang jatuh cinta.Menyadari kegilaannya sendiri, Veronika segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ia lalu melangkah masuk ke ruang rawat neneknya,
Drrrtt... Drrrtt... Suara getaran ponsel di atas meja membuat Veronika tersentak. Ia yang tengah duduk di sofa ruang tamu segera meraih ponselnya, lalu mengernyit saat mendapati panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya hati-hati. "Benar, ini dengan Nona Veronika?" "Iya, itu saya. Ada apa?" balasnya, sedikit cemas. "Saya salah satu petugas rumah sakit. Ingin mengabarkan bahwa nenek Anda sudah siuman dan saat ini terus memanggil-manggil nama Anda," jawab suara di seberang. Veronika terdiam sejenak. Suara detik jam dinding terdengar begitu jelas di antara keheningan ruangan. Dadanya bergetar. Sekejap, air mata menetes di pipinya. Perasaan haru dan lega bercampur. "Te-terima kasih sudah memberikan kabar baik... Saya akan segera ke sana," ucap Veronika pelan, suaranya bergetar. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung saja memutus panggilan. Tak berselang lama, Veronika sudah siap dan berniat keluar dari apartemen. Namun, langkahnya terhenti saat mendap
Narendra baru hendak ikut mengejar Veronika, kala tangannya segera dicekal oleh Echa. "Kau ingin mengejarnya? Untuk apa, Narendra?" tanya Echa sambil memperbaiki tatanan dasi pria itu. Narendra menunduk. Hatinya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan dadanya. Suasana di lobby apartemen itu seketika terasa sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar pelan. "Bukankah aku tadi keterlaluan? Aku menyakitinya, Echa," kata Narendra, merasa sangat bersalah. Echa menarik napas perlahan. Tatapannya lembut, namun ada ketegasan di sana. Ia tahu, keputusan yang diambil Narendra barusan bukan tanpa alasan, meski caranya salah. Tangannya masih bertahan di pergelangan tangan pria itu, tak membiarkan Narendra pergi begitu saja. "Keterlaluan? Keterlaluan mana dengan dia yang sudah tidur bersama para laki-laki itu tanpa kau ketahui, hm? Bertahun-tahun kalian menjalin hubungan, bukan? Tapi... bertahun-tahun pula Veronika menyembunyikan hal kotor ini darimu," kata
"Berani kau sentuh calon istriku, jangan harap masih bisa melihat dunia ini lagi." Saat Veronika melihat kedatangan atasannya, ia langsung berlari mendekat dan memeluk Noah. Tubuh Veronika bergetar saat memeluk atasannya dan hal itu dapat dirasakan oleh Noah sendiri. "Ada aku, Sayang," kata Noah. "Dia tidak akan bisa melukaimu." Mendengar perkataan atasannya yang menenangkan, Veronika berusaha mengendalikan ketakutannya. Sejujurnya, ia takut saat Narendra ingin memukulnya. Veronika benar-benar tidak menyangka akan perubahan pria yang sempat dicintainya itu. Narendra berani mengangkat tangan padanya, dan Veronika tidak tahu apakah pria itu benar-benar ingin memukulnya atau hanya menggertaknya saja. Narendra terkejut. "Calon istri? A-apa maksudmu?" tanyanya, begitu penasaran. "Veronika Anastasia, aku sudah melamar wanita cantik ini. Hanya menghitung hari, kami akan sah menjadi suami-istri." Atasannya menggenggam tangan Veronika sambil tersenyum. Veronika balas tersenyum. Melihat
Di dalam kamar apartemen, Veronika terus memandangi jari manisnya yang kini dihiasi cincin pemberian atasannya. Sesekali, wanita itu tersenyum-senyum sendiri, saking bahagianya. Bagaimana tidak? Perlakuan atasannya begitu romantis. Meski bersikap dingin, pria itu tahu persis cara membuat Veronika merasa istimewa. "Lihat saja, Narendra! Kau akan kubuat bertekuk lutut setelah pernikahanku dengan Tuan Noah sah," ucap Veronika seraya menatap kaca yang memantulkan wajah cantiknya, lengkap dengan senyum sinis di sana. "Bodoh sekali! Aku terlalu buta oleh perasaan cinta yang kumiliki untukmu, sampai-sampai aku tak menyadari kalau kau bermain api di belakangku bersama Echa, sepupuku." Perkataan Veronika memancing air matanya kembali mengalir. Namun, merasa tak pantas menangisi pria seperti Narendra, ia buru-buru menyekanya. "Tak akan ada lagi air mata untuk pria seperti Narendra!" tegas Veronika pada dirinya sendiri. "Aku akan melupakan pria bajingan itu!" Namun, setelah mengatakan itu,
Sore hari telah berlalu saat Veronika bersiap-siap untuk pulang dari kantor. Ya, hari ini ia menolak lamaran atasannya — tidak, lebih tepatnya, Veronika meminta satu hari lagi untuk menerima atau menolak lamaran tersebut. Alasan penolakan itu, tentu saja, karena ia trauma akan masa lalu pahitnya. Tidak hanya itu, Veronika juga merasa heran dengan atasannya sendiri. Ia merasa, atasannya begitu terburu-buru ingin memilikinya, padahal ia baru saja bekerja. Sesuatu yang tak masuk akal, jika atasannya secepat itu jatuh cinta. "Aku benar-benar bimbang," gumam Veronika. "Haruskah kuterima atau kutolak lamaran ini?" Saat Veronika melamun di dalam ruang kerjanya, atasannya itu jelas melihat sosoknya dari balik kaca transparan. Pria itu tersenyum ketika memandangi Veronika dari kejauhan lalu berbalik meninggalkan ruangan Veronika untuk kembali ke ruangannya sendiri. Veronika yang sempat melamun, kini tersadar. Ia segera bergegas menyiapkan barang-barangnya lalu keluar dari ruangannya. B
Veronika begitu asyik terpejam, ketika ia mulai terganggu oleh rasa gatal di tenggorokannya. Saat ia mencoba mengabaikannya, rasa itu justru semakin mengganggu, memaksanya membuka mata. Belum sepenuhnya sadar, tangan Veronika meraba-raba nakas, mencari botol minumnya. Sialnya, botol itu justru kosong. "Ah, sial. Kenapa harus kosong, sih? Sepertinya aku harus lebih memerhatikannya sebelum tidur," gerutunya, lalu beranjak turun dengan malas dari atas tempat tidur. Dengan langkah gontai, Veronika berjalan keluar sambil beberapa kali menguap. Ruang tengah itu gelap, membuatnya meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu. Begitu tiba di dapur, Veronika segera mengisi botol minumnya. Tak lama kemudian, suara benda terjatuh membuatnya terlonjak. Matanya langsung awas menatap ke sekeliling. "Si-siapa di sana?" tanyanya, menatap bayangan gorden yang tertiup angin. Veronika menyentuh tengkuknya. Tubuhnya meremang karena takut. "Tidak mungkin ada yang masuk ke kamar ini, kan? Aku su