Share

Permintaan Bibi Sarah

Bab 7

Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya.

"Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu.

"Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang."

"Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.

Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu." Tangannya bergerak memperbaiki selimut istrinya.

Perempuan itu menatap kosong kepada sosok tampan di dekatnya. Ada selaksa makna terpancar di balik netra yang masih saja mengurai basah di sana. 

"Buang semua kecemasan dan pikiran buruk tentang Abang. Saat ini kita tak boleh memikirkan apapun kecuali untuk pemulihan diri Adek dan Ibrahim." Hafiz mengecup kening Azizah.

"Percaya pada Abang. Rumah seorang istri adalah hati suaminya. Dimanapun dia berada, selama suami masih mencintai dan menginginkan dirinya, itulah surganya."

***

Setelah menunaikan shalat Zuhur, Hafiz memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempat ini. Dia menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah perlahan. Otaknya masih mencoba mencerna ucapan Azizah barusan.

"Benarkah aku sudah mengabaikan dirinya? Selama ini aku selalu berusaha ada untuknya. Kalau tidak ada kegiatan di pesantren atau tempat lain, aku akan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama Azizah." Dia berbicara dengan hatinya

"Bahkan di saat aku masih menikah dengan Yasmin sekalipun, perhatianku pada Azizah tetap tidak berkurang. Meskipun dia harus berbagi waktu dengan Yasmin, tapi secara kualitas tidak ada yang berubah."

Ah, perasaan wanita memang seluas lautan yang tak mungkin bisa ia selami dengan baik. Sepeka apapun dirinya, ternyata masih tak cukup membuat Azizah bahagia bersamanya.

"Nak," Suara bibi Sarah mengagetkan Hafiz.

"Bibi," sahutnya. Sontak ia menghentikan langkah. Perempuan itu bergegas mendekat.

"Bibi mau bicara sama kamu," ungkapnya. Dia menunjuk sebuah bangku yang tidak jauh dari tempat   kami berdiri.

"Baiklah, Bibi." Hafiz mengikuti bibi Sarah duduk di bangku panjang itu.

 

"Bibi mau bicara apa?" Keningnya berkerut.

"Nak, jangan terlalu keras dengan Azizah. Dia baru melahirkan dan perasaannya masih belum stabil." Perempuan setengah baya itu menatapnya dengan serius.

"Maksud Bibi?" Hafiz masih mengerutkan kening.

"Bibi mendengar percakapan kalian tadi." Dia menggelengkan kepala. "Bibi tahu apa yang kamu katakan itu benar. Hanya saja Azizah belum siap untuk mendengarkannya, Nak."

"Dia tak akan siap kalau tidak di persiapkan, Bibi." Suara Hafiz tercekat. 

"Hafiz tak sekejam itu, Bi. Hafiz hanya ingin agar Azizah tak lagi memperturutkan perasaannya. Hafiz berharap agar Azizah bisa berpikir dengan menggunakan logika."

"Bibi tahu itu, Hafiz. Hanya saja, Azizah baru saja melahirkan."

"Andai Hafiz bisa membatalkan perjodohan itu, Bibi, pasti akan Hafiz lakukan," lirihnya. 

"Hafiz sudah menolak, tapi mereka masih terus mendesak. Tahu apa mereka dengan perasaan Azizah? Mereka hanya bilang kalau Azizah wanita baik-baik dan ia akan tetap baik-baik saja meskipun di poligami. Toh, kemarin saat Hafiz menikahi Yasmin, dia baik-baik saja. Itu kata mereka, Bibi." Sepasang netranya kosong menatap pemandangan di sekitarnya.

Beberapa petugas medis dan pengunjung lalu lalang di hadapan mereka.

"Dia akan tampak baik-baik saja, meskipun tidak dalam keadaan baik-baik saja," sanggah bibi Sarah. 

"Tak ada seorang wanita pun yang mau di madu meski itu istri ulama sekalipun."

"Hafiz tahu itu, Bibi," sahut Hafiz.

"Bolehkah Bibi mengajukan satu permintaan?"

"Permintaan? Apa permintaan Bibi?" tanya Hafiz. 

"Kalau memang memungkinkan, pasti akan Hafiz kabulkan."

"Bibi ingin bertemu dengan kiai Nawawi," tandasnya.

Pernyataan yang membuat Hafiz terlonjak dari tempat duduknya.

"Serius, Bi?" Matanya melotot.

"Iya, Nak. Kamu keberatan?"

"Tidak, Bibi. Hafiz hanya terkejut. Hafiz tidak menyangka kalau Bibi berpikiran seperti itu." Hafiz berusaha menetralisir debaran jantungnya.

"Nanti kita atur waktunya ya, Bi. Kemungkinan baru bisa bertemu beliau saat acara tasmiyahan Ibrahim. Itupun kalau beliau berkenan datang. Insya Allah. Hafiz tidak berani berjanji, Bibi."

"Iya, Hafiz. Semoga saja beliau bisa berhadir."

"Acara tasmiyahannya tunggu Azizah pulih dulu. Bibi saja yang mengatur ya. Azizah tidak punya keluarga selain Bibi." Hafiz menggeleng prihatin.

Mengharapkan keluarga besarnya membantu, jelas tak mungkin. Mereka sudah angkat tangan dengan Azizah sesaat setelah mengetahui latar belakang wanita itu yang bukan keturunan ulama, bahkan sekolah pesantren pun tak tamat. Hafiz nekat menikahi Azizah dengan bermodal restu dari Abah. Sementara ibu, paman, bibi dan kakak-kakaknya bersikap acuh tak acuh.

"Sudah kewajiban Bibi untuk membantu kalian. Untuk sementara waktu Bibi akan tinggal di rumah kalian sampai kondisi Azizah pulih dan bisa mengurus bayinya sendiri."

"Tinggal selamanya juga tidak apa-apa, Bibi. Kasihan Azizah sering sendirian di rumah."

"Kita lihat saja nanti, Nak. Bibi tidak bisa berjanji."

Hafiz mengangguk, lantas bangkit dari tempat duduk. 

"Hafiz mau keluar dulu, Bi, mau beli makanan. Bibi minta di belikan apa?"

"Apa saja, Nak, yang penting bikin perut kenyang." Perempuan setengah baya itu tertawa kecil.

Hafiz merengkuh tangan bibi Sarah  dan menciumnya, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan halaman rumah sakit, banyak kios dan warung yang menjual berbagai makanan dan minuman. Hafiz memilih beberapa kue basah dan kering, serta satu dus air mineral.

Dia tidak tahu makanan kesukaan bibi Sarah. Hafiz membeli ayam goreng bumbu kuning dengan lalapan serta oseng kangkung campur jagung muda.

"Banyak sekali belanjaan kamu, Nak," tegur bibi Sarah. Perempuan itu menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa, Bibi. Bibi harus banyak makan. Mengurus Azizah memerlukan banyak tenaga," kelakarnya.

Bibi Sarah tertawa. Suaranya bahkan menggema di seisi ruangan.

"Baiklah. Kalau begitu mari kita makan dulu." Perempuan setengah tua itu mulai membuka bungkusan ayam goreng.

Hafiz menghampiri Azizah yang masih terbaring lemah di ranjang. Wanita itu tampak meringis kesakitan.

"Kenapa, Sayang?" tanyanya. Hafiz mendaratkan kecupan hangat di kening istrinya.

"Tahan sebentar sakitnya ya, Sayang. Insya Allah, Adek akan segera pulih."

Jari jemarinya bergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajah polos itu. Dalam keadaan apapun, Azizah selalu terlihat begitu cantik di matanya.

"Sakit, Bang," ucapnya manja.

"Abang tahu kalau Adek merasakan sakit. Namanya juga operasi. Kalau obat biusnya habis, ya terasa perihnya."

"Tahan sebentar ya, Sayang. Nanti pedihnya pasti hilang. Kan di obati sama dokter," hibur Hafiz.

"Adek tidak usah khawatir. Ada Abang di sini yang menemani Adek melewati semua ini. Abang tidak akan kemana-mana selama Adek ada di rumah sakit ini."

"Bagaimana dengan pondok?"

"Biar ustadz Zaki yang mengurus." Hafiz tersenyum tipis. Ustadz Zaki adalah suami dari kak Marwiah, kakak sulungnya.

"Syukurlah," sahut Azizah. "Terima kasih ya, Bang."

"Abang yang berterima kasih dengan Adek karena sudah memberikan putra yang sangat tampan." Lagi-lagi dia mengucapkan kalimat itu.

Azizah mengembangkan senyumnya. Senyuman yang teramat manis dalam pandangan Hafiz, serupa bibirnya yang senantiasa menjadi candunya di setiap kesempatan bermesraan.

Tatap matanya kemudian terpaku pada Ibrahim yang tertidur lelap di samping Azizah. Dia tampak begitu tenang di balik selimut yang membungkus tubuhnya.

Laki-laki itu begitu takjub memandang keindahan ciptaan Tuhan ini. Sesosok tubuh mungil dengan muka nan polos dan menggemaskan. Hafiz merasakan dirinya terbang ke awan. Dadanya gemuruh menahan rasa haru yang membuat netranya menjatuhkan setitik air bening. Ah, putranya sungguh mengagumkan!

Ibrahim bagaikan keajaiban buatnya. Raut wajah yang merupakan titisannya utuh, sangat mirip. Hidung, mata, alis, bibir, seluruh wajahnya adalah diri Hafiz dalam versi bayi.

"Dia seperti cermin diriku, Sayang." Pandangannya beralih kembali pada Azizah, lantas mengecup punggung tangannya.

***

Beberapa hari sudah berlalu. Kondisi Azizah sudah mulai pulih, meskipun tidak seratus persen. Setidaknya dia sudah bisa duduk dan berjalan. Hari ini adalah hari terakhir di rumah sakit. Hanya menunggu visit dokter Raisya dan seorang dokter anak untuk memastikan kondisi Azizah dan Ibrahim.

"Assalamu alaikum." Suara itu berasal dari arah pintu. 

"Wa alaikum salam. Abah...." Hafiz berteriak gembira.

Sesosok laki-laki tua berdiri di hadapan mereka. Seulas senyum terukir di bibirnya. Dia melangkah maju menghampiri Azizah yang tengah memangku Ibrahim.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status