Beranda / Rumah Tangga / Cinta Tiga Bidadari / Permintaan Bibi Sarah

Share

Permintaan Bibi Sarah

Penulis: Jannah Zein
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-17 11:42:23

Bab 7

Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya.

"Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu.

"Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang."

"Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.

Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu." Tangannya bergerak memperbaiki selimut istrinya.

Perempuan itu menatap kosong kepada sosok tampan di dekatnya. Ada selaksa makna terpancar di balik netra yang masih saja mengurai basah di sana. 

"Buang semua kecemasan dan pikiran buruk tentang Abang. Saat ini kita tak boleh memikirkan apapun kecuali untuk pemulihan diri Adek dan Ibrahim." Hafiz mengecup kening Azizah.

"Percaya pada Abang. Rumah seorang istri adalah hati suaminya. Dimanapun dia berada, selama suami masih mencintai dan menginginkan dirinya, itulah surganya."

***

Setelah menunaikan shalat Zuhur, Hafiz memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempat ini. Dia menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah perlahan. Otaknya masih mencoba mencerna ucapan Azizah barusan.

"Benarkah aku sudah mengabaikan dirinya? Selama ini aku selalu berusaha ada untuknya. Kalau tidak ada kegiatan di pesantren atau tempat lain, aku akan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama Azizah." Dia berbicara dengan hatinya

"Bahkan di saat aku masih menikah dengan Yasmin sekalipun, perhatianku pada Azizah tetap tidak berkurang. Meskipun dia harus berbagi waktu dengan Yasmin, tapi secara kualitas tidak ada yang berubah."

Ah, perasaan wanita memang seluas lautan yang tak mungkin bisa ia selami dengan baik. Sepeka apapun dirinya, ternyata masih tak cukup membuat Azizah bahagia bersamanya.

"Nak," Suara bibi Sarah mengagetkan Hafiz.

"Bibi," sahutnya. Sontak ia menghentikan langkah. Perempuan itu bergegas mendekat.

"Bibi mau bicara sama kamu," ungkapnya. Dia menunjuk sebuah bangku yang tidak jauh dari tempat   kami berdiri.

"Baiklah, Bibi." Hafiz mengikuti bibi Sarah duduk di bangku panjang itu.

 

"Bibi mau bicara apa?" Keningnya berkerut.

"Nak, jangan terlalu keras dengan Azizah. Dia baru melahirkan dan perasaannya masih belum stabil." Perempuan setengah baya itu menatapnya dengan serius.

"Maksud Bibi?" Hafiz masih mengerutkan kening.

"Bibi mendengar percakapan kalian tadi." Dia menggelengkan kepala. "Bibi tahu apa yang kamu katakan itu benar. Hanya saja Azizah belum siap untuk mendengarkannya, Nak."

"Dia tak akan siap kalau tidak di persiapkan, Bibi." Suara Hafiz tercekat. 

"Hafiz tak sekejam itu, Bi. Hafiz hanya ingin agar Azizah tak lagi memperturutkan perasaannya. Hafiz berharap agar Azizah bisa berpikir dengan menggunakan logika."

"Bibi tahu itu, Hafiz. Hanya saja, Azizah baru saja melahirkan."

"Andai Hafiz bisa membatalkan perjodohan itu, Bibi, pasti akan Hafiz lakukan," lirihnya. 

"Hafiz sudah menolak, tapi mereka masih terus mendesak. Tahu apa mereka dengan perasaan Azizah? Mereka hanya bilang kalau Azizah wanita baik-baik dan ia akan tetap baik-baik saja meskipun di poligami. Toh, kemarin saat Hafiz menikahi Yasmin, dia baik-baik saja. Itu kata mereka, Bibi." Sepasang netranya kosong menatap pemandangan di sekitarnya.

Beberapa petugas medis dan pengunjung lalu lalang di hadapan mereka.

"Dia akan tampak baik-baik saja, meskipun tidak dalam keadaan baik-baik saja," sanggah bibi Sarah. 

"Tak ada seorang wanita pun yang mau di madu meski itu istri ulama sekalipun."

"Hafiz tahu itu, Bibi," sahut Hafiz.

"Bolehkah Bibi mengajukan satu permintaan?"

"Permintaan? Apa permintaan Bibi?" tanya Hafiz. 

"Kalau memang memungkinkan, pasti akan Hafiz kabulkan."

"Bibi ingin bertemu dengan kiai Nawawi," tandasnya.

Pernyataan yang membuat Hafiz terlonjak dari tempat duduknya.

"Serius, Bi?" Matanya melotot.

"Iya, Nak. Kamu keberatan?"

"Tidak, Bibi. Hafiz hanya terkejut. Hafiz tidak menyangka kalau Bibi berpikiran seperti itu." Hafiz berusaha menetralisir debaran jantungnya.

"Nanti kita atur waktunya ya, Bi. Kemungkinan baru bisa bertemu beliau saat acara tasmiyahan Ibrahim. Itupun kalau beliau berkenan datang. Insya Allah. Hafiz tidak berani berjanji, Bibi."

"Iya, Hafiz. Semoga saja beliau bisa berhadir."

"Acara tasmiyahannya tunggu Azizah pulih dulu. Bibi saja yang mengatur ya. Azizah tidak punya keluarga selain Bibi." Hafiz menggeleng prihatin.

Mengharapkan keluarga besarnya membantu, jelas tak mungkin. Mereka sudah angkat tangan dengan Azizah sesaat setelah mengetahui latar belakang wanita itu yang bukan keturunan ulama, bahkan sekolah pesantren pun tak tamat. Hafiz nekat menikahi Azizah dengan bermodal restu dari Abah. Sementara ibu, paman, bibi dan kakak-kakaknya bersikap acuh tak acuh.

"Sudah kewajiban Bibi untuk membantu kalian. Untuk sementara waktu Bibi akan tinggal di rumah kalian sampai kondisi Azizah pulih dan bisa mengurus bayinya sendiri."

"Tinggal selamanya juga tidak apa-apa, Bibi. Kasihan Azizah sering sendirian di rumah."

"Kita lihat saja nanti, Nak. Bibi tidak bisa berjanji."

Hafiz mengangguk, lantas bangkit dari tempat duduk. 

"Hafiz mau keluar dulu, Bi, mau beli makanan. Bibi minta di belikan apa?"

"Apa saja, Nak, yang penting bikin perut kenyang." Perempuan setengah baya itu tertawa kecil.

Hafiz merengkuh tangan bibi Sarah  dan menciumnya, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan halaman rumah sakit, banyak kios dan warung yang menjual berbagai makanan dan minuman. Hafiz memilih beberapa kue basah dan kering, serta satu dus air mineral.

Dia tidak tahu makanan kesukaan bibi Sarah. Hafiz membeli ayam goreng bumbu kuning dengan lalapan serta oseng kangkung campur jagung muda.

"Banyak sekali belanjaan kamu, Nak," tegur bibi Sarah. Perempuan itu menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa, Bibi. Bibi harus banyak makan. Mengurus Azizah memerlukan banyak tenaga," kelakarnya.

Bibi Sarah tertawa. Suaranya bahkan menggema di seisi ruangan.

"Baiklah. Kalau begitu mari kita makan dulu." Perempuan setengah tua itu mulai membuka bungkusan ayam goreng.

Hafiz menghampiri Azizah yang masih terbaring lemah di ranjang. Wanita itu tampak meringis kesakitan.

"Kenapa, Sayang?" tanyanya. Hafiz mendaratkan kecupan hangat di kening istrinya.

"Tahan sebentar sakitnya ya, Sayang. Insya Allah, Adek akan segera pulih."

Jari jemarinya bergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajah polos itu. Dalam keadaan apapun, Azizah selalu terlihat begitu cantik di matanya.

"Sakit, Bang," ucapnya manja.

"Abang tahu kalau Adek merasakan sakit. Namanya juga operasi. Kalau obat biusnya habis, ya terasa perihnya."

"Tahan sebentar ya, Sayang. Nanti pedihnya pasti hilang. Kan di obati sama dokter," hibur Hafiz.

"Adek tidak usah khawatir. Ada Abang di sini yang menemani Adek melewati semua ini. Abang tidak akan kemana-mana selama Adek ada di rumah sakit ini."

"Bagaimana dengan pondok?"

"Biar ustadz Zaki yang mengurus." Hafiz tersenyum tipis. Ustadz Zaki adalah suami dari kak Marwiah, kakak sulungnya.

"Syukurlah," sahut Azizah. "Terima kasih ya, Bang."

"Abang yang berterima kasih dengan Adek karena sudah memberikan putra yang sangat tampan." Lagi-lagi dia mengucapkan kalimat itu.

Azizah mengembangkan senyumnya. Senyuman yang teramat manis dalam pandangan Hafiz, serupa bibirnya yang senantiasa menjadi candunya di setiap kesempatan bermesraan.

Tatap matanya kemudian terpaku pada Ibrahim yang tertidur lelap di samping Azizah. Dia tampak begitu tenang di balik selimut yang membungkus tubuhnya.

Laki-laki itu begitu takjub memandang keindahan ciptaan Tuhan ini. Sesosok tubuh mungil dengan muka nan polos dan menggemaskan. Hafiz merasakan dirinya terbang ke awan. Dadanya gemuruh menahan rasa haru yang membuat netranya menjatuhkan setitik air bening. Ah, putranya sungguh mengagumkan!

Ibrahim bagaikan keajaiban buatnya. Raut wajah yang merupakan titisannya utuh, sangat mirip. Hidung, mata, alis, bibir, seluruh wajahnya adalah diri Hafiz dalam versi bayi.

"Dia seperti cermin diriku, Sayang." Pandangannya beralih kembali pada Azizah, lantas mengecup punggung tangannya.

***

Beberapa hari sudah berlalu. Kondisi Azizah sudah mulai pulih, meskipun tidak seratus persen. Setidaknya dia sudah bisa duduk dan berjalan. Hari ini adalah hari terakhir di rumah sakit. Hanya menunggu visit dokter Raisya dan seorang dokter anak untuk memastikan kondisi Azizah dan Ibrahim.

"Assalamu alaikum." Suara itu berasal dari arah pintu. 

"Wa alaikum salam. Abah...." Hafiz berteriak gembira.

Sesosok laki-laki tua berdiri di hadapan mereka. Seulas senyum terukir di bibirnya. Dia melangkah maju menghampiri Azizah yang tengah memangku Ibrahim.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Tiga Bidadari    Cinta Terakhir

    Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha

  • Cinta Tiga Bidadari    Lelaki Terbaik

    Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika

  • Cinta Tiga Bidadari    Kenangan Terindah

    Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor

  • Cinta Tiga Bidadari    My Hubb

    Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,

  • Cinta Tiga Bidadari    Teman Yang Baik

    Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A

  • Cinta Tiga Bidadari    Arloji Untuk Ayah

    Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status