Share

Kesedihan Hati Miranda

Miranda terharu. Dia dapat merasakan pria ini masih menyimpan cinta terhadap dirinya. Sorot mata dan kata-kata yang dilontarkan Lukas menunjukkan hal itu.

Dia masih ingat kata-kata-kata yang kuucapkan dulu saat kami masih bersama, keluh gadis itu dalam hati. Ah, masa-masa itu memang indah. Tapi sudah berlalu. Aku rela berkorban demi kebahagiaan Astrid, adikku tercinta….

“Lalu gimana ceritanya kamu sampai bisa menjadi pemilik arena permainan ini?” tanya Miranda ingin tahu.

Lukas mendesah sejenak. Dia lalu menjawab, “Papa-mamaku meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat terbang, Mira. Mereka ternyata mempunyai asuransi jiwa yang uang pertanggungannya sangat besar. Tentu saja ahli warisnya adalah aku sebagai anak tunggal. Di samping itu juga ada kompensasi yang tidak sedikit dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Sejumlah dana itu kupakai buat membeli arena ini enam bulan yang lalu. Pemiliknya menjual tempat ini karena mau beralih pada bidang usaha lain….”

“Kamu sudah kaya sekarang. Dan jadi bos,” sindir Miranda sambil menyeringai.

Pria di hadapannya kembali meringis. “Kamu tahu sendiri, Mira. Aku bukan tipe orang yang mudah tergiur oleh harta benda. Kalau aku adalah orang seperti itu…sori, nggak mungkin aku bersedia menikah dengan Astrid.”

Miranda menelan ludah. Dia tahu maksud mantan kekasihnya ini. Demi memenuhi permintaan gadis itu untuk menjadi suami Astrid, Lukas sampai rela meninggalkan keluarganya sendiri. Padahal orang tuanya secara finansial jauh lebih mampu dibandingkan Astrid yang hanya hidup berdua dengan Miranda.

“Tante Mira!”

Gadis itu menoleh. Tampak Joy berlari mendekat ke arahnya. Bocah lucu itu tertawa-tawa senang. Kedua pipinya merona segar menandakan betapa dia banyak mengeluarkan keringat hari itu.

Miranda mengambil tisu. Disekanya peluh keponakannya tersebut. Padahal arena itu ber-AC, tapi Joy selalu berkeringat setiap kali bermain di sana. Gadis itu memberikan botol minum kepada si bocah. Joy menenggak isinya sampai tinggal separuh.

“Joy sudah selesai main, Tante. Kita makan yuk, sekarang. Perutku lapar sekali,” celetuk anak laki-laki itu lucu. Tangannya mengelus-elus perutnya yang agak buncit.

Si tante mengangguk setuju. Pandangannya beralih pada Lukas. “Aku mau ajak Joy makan,” ujarnya singkat.

“Bolehkah aku ikut, Mira?” tanya pria itu penuh harap. Dia ingin bercengkerama dengan putra kandung yang baru pertama kali ini dilihatnya.

Dan hati pria itu kecewa saat melihat mantan kekasihnya menggeleng pelan. “Sori, Kas. Jangan dulu,” pinta gadis itu tenang. “Aku masih butuh waktu untuk mencerna segala hal yang kamu ceritakan tadi. Jangan kuatir. Kamu bisa menghubungiku kapan saja kamu mau untuk mengetahui kabar Joy. Berapa nomor WA-mu? Akan kutelepon sekarang juga supaya kamu juga bisa tahu nomor WA-ku.”

Lukas girang sekali. Segera dikeluarkannya ponsel dari dalam kantung celananya. Hmm…, kehidupan Lukas benar-benar sudah membaik, komentar Miranda dalam hati melihat ponsel pria itu berlogo buah apel dan merupakan tipe terbaru.

Dulu pria itu tidak pernah mengikuti perkembangan gadget. Pendapatannya sebagai marketing bank banyak terpakai untuk kebutuhan rumah tangganya bersama Astrid. Apalagi setelah istrinya itu hamil. Lukaslah yang menanggung biaya kontrol dokter dan suplemen-suplemen ibu hamil yang dikonsumsi istrinya.

Semenjak divonis menderita penyakit leukimia, Miranda melarang Astrid bekerja lagi sebagai kasir di sebuah rumah makan. Dia ingin adiknya itu santai dan tidak terlalu lelah. Sesekali diberinya Astrid uang sebagai pegangan.

Ah, di dunia ini banyak sekali hal tak terduga yang terjadi, cetus Miranda dalam hati. Siapa yang menduga Lukas bisa muncul kembali di hadapannya? Padahal dia sudah berusaha untuk menghindari ayah kandung Joy itu dengan cara menjual rumah lamanya dan pindah ke hunian lain yang tak diketahui orang-orang yang mengenalnya!

Barangkali Tuhan menganggap hukuman bagi Lukas sudah selesai, batin gadis itu mengambil kesimpulan. Kalau memang demikian, aku harus memikirkan baik-baik langkah apa yang harus kuambil ke depannya. Demi kebaikan semua pihak. Terutama Joy….

***

Malam itu Miranda gelisah sekali. Joy sudah tidur pulas di sampingnya. Pelan-pelan gadis itu bangkit berdiri dari atas tempat tidurnya. Dia lalu berjalan perlahan menuju ke dinding tempat pigura foto Astrid tergantung.

Diambilnya foto tersebut. Dia lalu berjalan kembali ke tempat tidur. Setelah duduk di atas pembaringan, dia memperhatikan foto yang dipegangnya. Dielus-elusnya benda itu dengan penuh perasaan. Miranda menghela napas panjang.

“Astrid…,” desisnya getir. “Kamu tahu nggak, tadi siang aku ketemu siapa di mal? Ah, barangkali kamu sendiri juga sudah tahu, Dik. Di atas sana mungkin kamu dapat melihat apa saja yang terjadi pada Joy, putra tunggalmu….”

Mata Miranda mulai berkaca-kaca. Semakin lama semakin basah hingga jatuh berlinangan. Gadis itu menangis sesenggukan. Wajahnya merah sekali. Seakan-akan ini adalah akumulasi dari beban yang disimpannya dalam dada semenjak bertemu Lukas tadi siang.

“Lukas ternyata tidak sejahat yang kupikirkan, Trid,” tutur gadis itu di depan foto almarhumah adiknya. “Dia tersandung kasus narkoba lalu diselamatkan ayahnya. Tapi orang itu ternyata masih tak merestui perkawinan kalian. Dia mengajukan syarat agar Lukas putus hubungan denganmu. Suamimu terpaksa menyetujuinya. Tujuannya agar dia segera dibebaskan sehingga bisa kembali kepadamu. Ternyata Lukas harus menjalani rehabilitasi di RSKO Jakarta selama delapan bulan. Dan setelah bebas, rumah kita sudah dijual sehingga dia kehilangan jejak….”

Kalimat Miranda terhenti. Tangisannya semakin menjadi-jadi. Dipeluknya erat-erat foto Astrid. Pandangannya lalu berpaling pada Joy yang masih berbaring. Kedua mata anak itu masih tertutup rapat. Terdengar suara halus dengkurannya.

Miranda merasa lega. Diraihnya tisu yang terletak di atas bufet samping tempat tidurnya. Dihapusnya air matanya. Gadis itu menghela napas panjang. Sekali, dua kali, tiga kali. Perasaannya menjadi lebih tenang sekarang.

“Adikku Sayang, ternyata kamu lebih mengenal Lukas daripada kakakmu ini,” lanjutnya pelan seraya menatap foto Astrid penuh kerinduan. “Kamu dulu nggak pernah sekalipun menyalahkan Lukas. Katamu mungkin dia sedang ada masalah sehingga menghilang tanpa jejak. Tak sekalipun kamu meragukan integritasnya sebagai seorang laki-laki. Malah aku yang marah-marah karena dia tak kunjung pulang menemanimu yang kesakitan di rumah.”

Miranda teringat waktu itu dia datang mengunjungi adiknya di rumah peninggalan orang tua mereka. Astrid tampak pucat dan lemas. Sang kakak gemas sekali begitu mengetahui Lukas sudah tiga hari tidak pulang dan tak bisa dihubungi. Amarah menggelegak dalam hatinya. Itu tampak jelas tersirat pada ekspresi wajahnya.

Astrid sendiri berusaha meredakan kemarahan kakaknya. Dia bilang mungkin suaminya sedang ada masalah dan tak ingin merepotkan dirinya. Astrid sendiri merasa bersalah karena sering mengeluh kesakitan dan membuat Lukas serba salah.

Sejak hamil perempuan itu memang mengurangi konsumsi obat-obat leukimia. Hal itu dilakukannya atas petunjuk dokter demi mengurangi efek samping terhadap kesehatan janin dalam kandungannya. Namun rupanya hal itu berdampak terhadap rasa sakit yang diderita Astrid. Setiap hari dia mengeluh dan membuat suaminya tertekan.

Semenjak adik dan mantan kekasihnya menikah, Miranda memang keluar dari rumah peninggalan orang tuanya. Dia merasa harus menjaga perasaan adiknya. Jangan sampai Astrid cemburu kalau melihatnya berbicara dengan Lukas. Oleh karena itu Miranda memutuskan untuk kos namun tetap rutin berkunjung ke rumah yang ditempati Astrid dan Lukas tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status