Share

Pengakuan Lukas

“Kamu nggak berubah, Mira. Mudah panik kalau menangis di depan umum,” komentarnya jahil. Tapi mulutnya menutup otomatis begitu melihat mata gadis di hadapannya melotot tanda tidak senang.

“Sori, sori,” katanya meminta maaf. “Bukan maksudku membuatmu kesal. Jangan kuatir. Nggak ada orang yang berani menegurku di sini. Karena aku adalah pemilik tempat ini.”

Miranda terbelalak tak percaya. Mulutnya sampai ternganga saking terkejutnya. Lukas tersenyum sambil mengangguk. “Nggak pantes, ya? Aku jadi bos di tempat ini,” ucapnya tenang.

Mantan kekasihnya itu menjadi kikuk. Gila, batin Miranda masih shock. Bukan satu-dua kali aku mengajak Joy bermain di sini. Tapi kenapa baru sekarang kami bertemu dengan Lukas?

“Apa kamu dan Joy sering datang kemari, Mira?” tanya pria itu seolah-olah dapat membaca isi hatinya.

Perlahan gadis itu mengangguk. “Tempat ini merupakan arena permainan favorit Joy di mal ini. Kadang kami pergi ke mal-mal lain untuk ganti suasana. Tapi setidaknya empat bulan sekali aku pasti mengajaknya berkunjung ke sini.”

“Empat bulan sekali…,” cetus Lukas sembari mendesah. “Sudah tiga tahun aku bekerja di dunia arena bermain anak-anak. Berpindah-pindah dari satu arena ke arena lain di kota ini. Firasatku mengatakan kamu masih menetap di Surabaya, tidak pindah ke kota lain. Aku sudah putus asa dulu, mencari kalian ke mana-mana tapi tidak ketemu. Bahkan pernah kubuat pemberitahuan pencarian orang hilang di media sosial. Tapi nihil hasilnya. Suatu saat aku pergi ke sebuah mal dan melihat anak-anak kecil digandeng orang tua mereka masuk ke dalam suatu arena permainan. Akhirnya aku melamar bekerja di beberapa arena. Syukurlah aku diterima.”

Miranda manggut-manggut mendengar cerita pria tersebut. Tak disangkanya Lukas rupanya dengan gigih mencari-cari keberadaan dirinya dengan Joy. Lalu kemana perginya Lukas sewaktu Astrid masih hidup dan mengandung buah hati mereka?

“Kulihat kamu membesarkan Joy dengan baik, Mira,” puji Lukas tulus. “Anak itu tumbuh sehat dan mempunyai kepribadian yang menakjubkan. Ramah sekali sikapnya terhadap orang yang baru dikenalnya.”

Perempuan di hadapannya tersenyum getir. Aku berupaya semaksimal mungkin melaksanakan amanah adikku satu-satunya, cetus Miranda dalam hati. Banting tulang mencari nafkah sekaligus menjadi ibu yang baik bagi Joy. Tidak seperti kamu yang menghilang tanpa jejak saat istrimu sangat membutuhkan kehadiranmu!

Sorot mata Miranda yang seperti menyalahkan dirinya membuat Lukas merasa bersalah. Dia tahu apa yang tersirat dalam benak gadis itu. Hubungan asmara mereka dulu berlangsung cukup lama. Pria itu sering dapat menebak apa yang ada di pikiran Miranda meskipun gadis itu tak mengungkapkannya secara verbal.

“Sekali lagi aku minta maaf, Mira,” sesal pria itu. “Sebagaimana yang kamu ketahui, aku menikahi Astrid karena merasa kasihan dengan kondisinya yang menderita leukimia. Juga aku ingin menyenangkan hatimu. Ternyata mendampingi Astrid tak semudah yang kukira. Keluhan-keluhannya akan rasa sakit yang dirasakannya membuatku tertekan. Barangkali juga karena kepribadianku belum matang waktu itu sehingga masih bersikap egois dan mementingkan perasaanku sendiri. Tapi setelah aku ditangkap polisi, benar-benar menyesal rasanya….”

Miranda tersentak. “Kamu…kamu ditangkap polisi?” sergah gadis itu tak percaya. “Kenapa?”

Lukas menghela napas panjang. Wajahnya memerah. Dengan menahan rasa malu pria itu menjawab dengan jujur, “Akibat merasa depresi karena perkawinan yang tidak bahagia, aku terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Aku…ehm…mengkonsumsi narkoba….”

Gadis di hadapannya geleng-geleng kepala. Lukas memakai narkoba? batin Miranda terkejut. Sungguh tak pernah terpikir olehku dia bisa melakukannya! Apakah…apakah menjadi suami Astrid begitu menyiksa sehingga dia sampai mencari pelampiasan dengan memakai barang haram itu?

“Aku tertangkap bersama beberapa orang lainnya di dalam kamar kos temanku,” tutur pria itu melanjutkan ceritanya. “Satu hal yang langsung terpikir olehku adalah…jangan sampai Astrid tahu! Aku nggak mau kondisinya semakin parah akibat memikirkan kasusku. Akhirnya terpaksa kuhubungi orang tuaku, Mira. Ayahku menyewa pengacara handal untuk membebaskanku dari jeratan hukum. Konsekuensinya aku harus menurut pada kehendaknya. Yaitu menjalani rehabilitasi di rumah sakit ketergantungan obat di Jakarta dan….”

Kalimat Lukas terhenti. Tampak pria itu menelan ludah. Lalu meringis getir. Miranda menjadi penasaran. “Dan apa?” tanya gadis itu ingin tahu.

Pria itu mendesah pelan. “Seperti yang kita semua tahu, pernikahanku dengan Astrid tidak disetujui oleh papa-mamaku. Mereka heran kenapa aku mau menikah muda. Bahkan dengan gadis yang merupakan adik kandung dari pacarku. Akhirnya setelah kuceritakan tentang penyakit leukimia yang diderita Astrid, yah….”

“Orang tua mana yang bersedia menikahkan anak semata wayang mereka dengan gadis yang sakit kritis,” sela Miranda melanjutkan kata-kata mantan kekasihnya itu.

Lukas mengangguk. “Papa memintaku putus hubungan dengan Astrid. Aku terpaksa menyetujuinya. Bagiku yang penting aku bebas dulu dan menjalani rehabilitasi selama beberapa bulan. Kemudian aku akan kembali pada Astrid yang pasti telah melahirkan anak kami….”

Kepala Miranda terasa pening. Selama ini dia selalu berprasangka buruk terhadap suami mendiang adiknya ini. Dia menganggap Lukas sebagai suami yang tak bertanggung jawab. Tega menelantarkan istrinya yang tengah sakit kritis dan mengandung darah daging mereka pula. Tapi mendengar penjelasan laki-laki ini barusan, hatinya tersentuh juga. Ternyata Lukas tak seburuk dugaannya selama ini.

“Begitu keluar dari RSKO delapan bulan kemudian, aku dijemput orang tuaku dan diajak tinggal bersama mereka. Tentu saja aku menurut. Tapi dengan diam-diam aku mencari kesempatan untuk menemui Astrid di rumah kalian. Sayangnya bukan dia maupun kamu yang kutemui di sana. Tapi orang lain yang sudah menjadi penghuni baru rumah itu. Kata orang itu kamu sudah menjual rumah peninggalan orang tuamu itu padanya, Mira. Dan…adikmu sudah meninggal dunia….”

Lukas menghentikan ucapannya. Tampak jelas dia berusaha menahan tangis. Matanya mengerjap beberapa kali untuk mencegah air mata mengalir. Miranda jatuh iba.

Suasana menjadi hening selama beberapa saat. Kemudian gadis itu mulai bertutur, “Sebenarnya aku sengaja menjual rumah itu untuk membalas dendam padamu, Kas. Harapanku suatu saat nanti  kamu menyesali perbuatanmu meninggalkan Astrid. Lalu ketika kamu mencarinya ke rumah itu, semua sudah terlambat. Adikku sudah tiada dan kamu kehilangan jejak darah dagingmu. Begitulah caraku menghukummu!”

Pria itu tersenyum getir. Setelah menghela napas panjang, dia berkata, “Aku sudah mendapatkan hukumanku, Mira. Aku bagaikan mayat  hidup saat mengetahui adikmu sudah meninggal dunia, sedangkan kamu membawa anak kami entah kemana. Menurut informasi yang kuperoleh dari para tetangga, Astrid melahirkan bayi laki-laki. Aku bersumpah akan mencari kalian sampai ketemu. Dan setelah mencoba berbagai cara, akhirnya kuputuskan untuk bekerja di arena-arena permainan besar di segenap penjuru kota Surabaya. Aku yakin kamu masih tinggal di kota ini. Karena kamu dulu selalu bilang bahwa kota kelahiranmu ini akan menjadi rumahmu selamanya….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status