Share

Memberitahu Joy

Miranda mendesah. Dia teringat betapa bahagianya Astrid di hari pernikahannya dengan Lukas. Senyuman penuh sukacita tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang cantik. Sang kakak berusaha bersikap sama meskipun hatinya terluka. Demikian pula dengan Lukas. Beberapa kali Miranda memergoki mantan kekasihnya itu curi-curi pandang ke arahnya.

Oleh karena itulah Miranda selalu berusaha selalu menjenguk adiknya di rumah pada hari dan jam kerja. Di saat Lukas sedang tidak berada di rumah. Meskipun sesekali tak sengaja mereka berpapasan juga, namun Miranda selalu menekan perasaannya dan berusaha bersikap biasa saja.

Lukas pun demikian. Dia menyadari statusnya telah berubah. Astridlah istrinya yang sah. Dia berkewajiban menjaga perasaan perempuan itu dan membuatnya bahagia. Namun rupanya hal itu justru membuat batin Lukas tertekan. Lelah rasanya menanggung beban seberat itu di usianya yang masih sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun. Hati kecil pria itu menjerit setiap kali Astrid keceplosan mengeluh tentang rasa sakit yang mendera tubuhnya akibat mengurangi konsumsi obat-obat leukimia.

Akhirnya pria yang kedewasaannya belum matang itu terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Narkoba membuatnya bermimpi selama beberapa saat. Keluar sementara dari kehidupan nyata yang membuat batinnya tersiksa.

Miranda menghela napas panjang. Ditatapnya foto sang adik lekat-lekat.

“Astrid,” ucapnya sendu. “Kamu nggak keberatan kan, kalau kubiarkan Joy berhubungan dengan ayah kandungnya? Lukas sudah menjalani hukumannya. Anakmu juga membutuhkan figur seorang ayah. Aku sebagai tantenya Joy memang sangat menyayanginya. Juga berusaha melakukan yang terbaik baik baginya. Tapi tetap saja aku punya keterbatasan sebagai manusia. Yaitu tak mampu menjadi figur seorang ayah bagi Joy. Panutan bagi anakmu itu untuk menjadi laki-laki sejati.”

Gadis itu meraih tisu lagi. Diusapnya air mata yang mulai mengalir kembali. Entah kenapa hatinya mulai terasa tenang setelah mengungkapkan kegundahan hatinya di depan foto Astrid.

“Bicaralah melalui hati kecilku, Dik. Atau datanglah lewat mimpiku. Katakan saja kalau kamu menolak anakmu menjalin hubungan dekat ayah kandungnya. Janji ya, Dik. Aku tunggu. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda apapun darimu, maka kusimpulkan kamu tak mempermasalahkan aku membiarkan Lukas menjalin kedekatan dengan Joy.”

Kembali dipeluknya erat-erat foto Astrid. Setelah itu dikembalikannya pada tempat asalnya tergantung.

Hati Miranda terasa lapang. Dia lalu berbaring kembali di samping keponakannya yang masih terlelap. Wajahnya tersenyum tulus. Dipejamkannya matanya. Tak lama kemudian dia pun  tertidur.

***

Pukul enam pagi alarm ponsel Miranda berbunyi dengan nyaring. Gadis itu terbangun. Dimatikannya alarm. Lalu dia mengambil posisi duduk di atas ranjang. Joy masih pulas dalam tidurnya.

Miranda teringat pada kata-katanya tadi malam. Tentang permintaannya agar mendiang Astrid memberinya tanda jika tidak setuju kakaknya membiarkan Lukas mendekati Joy.

“Nggak ada pertanda apapun dari Astrid,” cetus gadis itu pada dirinya sendiri. “Baik lewat mimpi maupun hati kecilku. Apakah ini artinya dia nggak masalah Joy kuberitahu tentang Lukas dan menjalin kedekatan dengan ayahnya itu?”

Gadis itu memejamkan mata. Kemudian dihelanya napas panjang beberapa kali. Miranda berusaha menajamkan nalurinya. Menelisik jauh ke dalam relung-relung hati nuraninya. Siapa tahu mendiang adiknya menitipkan pesan.

Beberapa saat kemudian sepasang mata bulat berbulu lentik milik gadis itu terbuka. Hati nuraninya tak memberikan petunjuk apapun. Berarti sang adik tak menghalang-halangi niatnya untuk memperkenalkan Lukas sebagai ayah kandung Joy.

“Jangan kuatir, Astrid,” ucap gadis itu seraya memandang ke arah foto mendiang adiknya yang tergantung di dinding kamar. “Sebagaimana janjiku dulu padamu, Joy tetap berada dalam pengasuhanku. Takkan kuberikan dia pada siapapun. Kedekatannya dengan Lukas nanti akan kupantau….”

Setelah berkata demikian, Miranda meraih ponselnya kembali. Dikirimnya pesan WA pada Lukas.

[Selamat pagi, Lukas. Sori pagi-pagi WA. Kapan kamu bisa kutelepon?”]

Beberapa saat kemudian, muncul pesan balasan dari adik iparnya itu.

[Pagi, Mira. Kalau kamu nggak keberatan, aku saja yang meneleponmu sekarang….]

Dan hati pria itu girang sekali ketika Miranda membalas pesan WA-nya demikian:

[Ok.]

“Terima kasih, Tuhan!” seru Lukas di dalam kamar tidurnya. “Sungguh ini sebuah anugerah yang tak ternilai dariMu. Miranda mengirimiku pesan WA duluan dan bahkan bersedia kutelepon! Semoga ini menjadi awal yang baik bagiku untuk menjalin hubungan dengan anakku. Amin.”

Selanjutnya pria yang telah menanti sekian tahun untuk dapat bertemu kembali dengan buah hatinya itu menelepon Miranda. Pembicaraan mereka berlangsung dengan tenang, tanpa emosi. Semuanya demi kebaikan Joy Abraham. Seorang anak tak berdosa yang membutuhkan kasih sayang merata dari keluarganya.

***

“Halo, Om Lukas. Apa kabar?” sapa Joy ketika bertemu ayah kandungnya untuk yang kedua kali.

Hari itu dia diajak Miranda pergi ke arena permainan di mal lain. Lukas sudah menunggu di sana. Gadis itu mengizinkan adik iparnya tersebut menghabiskan waktu satu hingga dua jam bermain dengan Joy di arena permainan tersebut.

Lukas menerima maksud kakak iparnya itu dengan lapang dada. Dia tahu tak mudah bagi Miranda untuk langsung mempercayainya dengan memberikan alamat lengkapnya. Bagaimanapun juga mereka sudah bertahun-tahun tak bertemu. Gadis itu masih harus memantapkan hatinya untuk benar-benar percaya pada Lukas.

“Joy…. Mulai sekarang, jangan panggil dengan sebutan Om, ya,” ujar Miranda merevisi kata-kata keponakannya.

“Lho, kenapa memangnya, Tante?” tanya si bocah keheranan.

“Karena panggilan itu kurang tepat, Sayang,” jawab si tante sambil tersenyum.

Dada Lukas berdebar-debar mendengarnya. Sebentar lagi Miranda akan memberitahu Joy siapa aku yang sebenarnya, batin pria itu galau. Kira-kira gimana reaksi anak ini, ya?

“Terus Joy mesti manggil gimana?” cecar bocah itu tak puas. “Masa Kakak Lukas?”

Terdengar suara Miranda dan Lukas tertawa keras. Suasana tegang mencair sudah. Selanjutnya Miranda memangku keponakan tercintanya itu dan berkata, “Om ini sebenarnya ayahnya Joy. Jadi mulai sekarang Joy panggil Papa, ya?”

“Hah?!”

Joy terbelalak. Mulut bocah itu ternganga saking kagetnya. “Masa ini papanya Joy?” sergahnya tak percaya. “Kata Tante Mira, Papa pergi jauh nggak tahu kemana. Kok sekarang tiba-tiba muncul?”

Lukas tersentak. Dia merasa bersalah. Sembari menguatkan hatinya, pria itu mengelus-elus rambut putranya.

“Papa sudah pulang sekarang, Joy. Papa…Papa minta maaf sudah terlalu lama pergi meninggalkanmu. Papa…Papa bekerja mencari uang di tempat yang…ehm…jauh. Sekarang Papa sudah kembali dan nggak akan pergi-pergi lagi….”

Wajah tampan Lukas basah oleh air mata. Sungguh dia tak dapat menahan perasaannya lagi. Bahkan penjelasannya terhadap Joy tadi diucapkannya dengan terbata-bata. Penjelasan yang merupakan skenario yang dirancang Miranda untuknya.

“Sudah, sudah. Jangan nangis lagi, dong. Joy maafkan, deh. Iya kan, Tante?” tanya si bocah sembari menoleh ke arah Miranda.

Miranda mengangguk mantap. Lukas merasa tersentuh. Dipeluknya tubuh montok bocah itu sambil menangis tersedu-sedu. Joy sampai kebingungan melihat tangisan ayahnya semakin menjadi-jadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status