Capek.
Itulah yang aku rasakan sekarang, bagaimana tidak. Aku sudah sekuat tenaga mengomel, berteriak bahkan menarik kakinya agar hempas dari tempat tidur. Tapi, dia bergerak sedikitpun tidak.Dan akhirnya aku mengalah, jadinya malam ini aku akan tidur di sofa.
Aku merasakan kalau tubuhku sudah lengket karena keringat, jadinya aku memutuskan untuk mandi.
"Awas ya kalau om ngintip!" Aku menimbulkan kepalaku dari ruang ganti baju. Dia tidak menjawab, tidak masalah yang penting aku sudah mengingatkan. Aku membuka lemari baju pintu kedua di depanku. Kalau aku tidak salah ingat, kemarin aku menyusun baju-bajuku di sini.
"Aaaaaa." Aku berteriak kuat, sumpah aku syok melihat isi lemariku. Baju-baju yang aku susun di sini menghilang semua. Sebagai gantinya ada beberapa baju-baju yang tampak kekurangan bahan dan pendek yang tergantung di situ. Aku memeriksa pintu lemari lainnya, hanya ada baju Om itu, selebihny kosong. Oh my god, ini pasti kerjaan mama. Mama kau sangat hebat mmbuat anakmu menderita.
"Kenapa?" dia tiba-tiba muncul di belakangku. Aku refleks menutup pintu lemari yang sedikit terbuka.
"Mmmmm." Aku bingung harus mengatakan apa.
"Kenapa?" dia mengulangnya lagi.
Aku diam, enggan mengatakannya. Aku bisa melihat wajahnya yang berubah jadi kesal karena aku mengabaikannya. Dia mendorong kuat bahuku, membuatku tergeser beberapa langkah dari posisiku.
Aku mengalihkan pandanganku saat dia membuka lemari yang tadi sempat aku tutup. Aku merasa malu.
"Oooo." dia menutup lagi pintu lemari.
Aku masih mengalihkan pandanganku sampai dia menepuk pelan pundakku. Aku melihatnya kaku. "Apa?" tanyaku sewot.
"Pakai ini!" dia menyodorkan baju padaku. Aku menatapnya bingung, itu kan baju miliknya, kenapa dia berikan padaku.
"Pakai!"
"Tapi-"
"Kau lebih memilih baju yang di lemari?" katanya seraya meletakkan baju itu di atas kepalaku lalu pergi begitu saja.
Aku meraba dadaku, apa ini? Kenapa jantungku berdetak begitu cepat? Tidak-tidak apa yang aku pikirkan. Setelah itu aku langsung pergi mandi.
Beberapa saat kemudian aku pun keluar dengan ke adaan yang lebih segar. Baju miliknya sangat besar, wah aku seperti orang-orangan sawah saja sekarang.
Aku meliriknya sekilas, ternyata dia sudah tidur. Tidak mandi dulu? Padahal tadi kalau dia mandi aku akan mengambil alih tempat tidur. Ternyata dia lebih pintar dari yang aku kira.
Dengan langkah kasar aku berjalan menuju tempat tidur, mengambil bantal lalu menarik selimut yang sedang di pakainya. Mau bagaimana lagi, selimutnya juga cuman satu.
Dia terbangun saat aku menarik paksa selimut yang di pakai nya. Menatapku dengan datarnya, dia tidak punya ekspresi lain apa selain wajah datar nya itu.
"Om, kau kan sudah tidur di tempat tidur, jadi kau tidak boleh serakah," sambil memeletkan lidah akupun berjalan cepat menuju sofa, takut kalau dia akan marah. Ternyata tidak, dia bahkan sudah tidur lagi sekarang. Dasar, selain wajah tripleks nya itu, dia juga seperti beruang kutub yang sedang berhibernasi.
Aku mulai merebahkan diriku di sofa. Ma, kau sungguh tega padaku.
"Selamat tidur," ujarku pelan pada diriku sendiri, itu sudah menjadi ritualku sebelum tidur.
***
Aku tersentak dan langsung membuka lebar mataku, saat aku merasakan tubuhku sudah berguling ke lantai.
"Aduh." Aku mengelus pelan kepalaku yang sedikit terasa sakit, hais bisa-bisanya aku jatuh dari sofa. Dasar nasibku sial sekali.
Dengan malas aku kembali naik ke atas sofa, melanjutkan tidurku yang sempat terganggu tadi. Beberapa kali aku mengganti posisi, mencari yang ternyaman untuk tidur, tapi tetap saja tidak bisa.
Aku terduduk saat menyadari sesuatu, mataku mengarah ke tempat tidur. Dimana sekarang dia sedang tidur dengan nyenyaknya.
Seketika ide gila muncul di pikiranku, dengan langkah pelan sambil menenteng bantal dan selimut aku berjalan pelan menuju tempat tidur. Ini harus aku lakukan, kalau tidak sampai besok pagipun aku tidak akan bisa tidur dengan nyaman.
Dengan gerakan yang sangat pelan aku menaiki tempat tidur, mencoba agar tidak membuat sedikitpun suara. Mengambil tempat paling ujung, lalu merebahkan tubuhku di sana.
Hah, rasanya nyaman sekali, sangat beda dengan sofa keras itu. Aku melirik wajahnya yang sedang tertidur, tepat sekali wajahnya sedang mengarah padaku. Melihatnya tidur begini, ia tak tampak tua, malah terkesan imut. Heh, apa yang kau pikirkan Yar? Tidak-tidak.
Dengan cepat aku kembali memejamkan mataku, berusaha melanjutkan tidurku tadi yang sempat terjeda sebentar.
***
Aku tersadar saat merasakan ada pergerakan di sampingku. Perlahan aku membuka mata.
"Sudah bangun?" sebuah suara mengejutkanku. Aku sedikit mendongakkan wajahku dan langsung berteriak saat menyadari kalau jarak di antara kami sangatlah dekat. Atau lebih tepatnya sudah tidak berjarak lagi.
"Apa yang kau lakukan padaku om?" Aku masih teriak.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu," ujarnya pelan.
Aku baru tersadar kalau tangan dan kakiku sedang memeluknya seperti guling. "Hehehe." Aku langsung menjauh darinya. "Maafkan aku!" karena terlanjur malu aku langsung pergi ke luar kamar.
Ingin sekali aku menangis, jelas-jelas aku yang memeluknya, tapi aku malah menuduhnya yang tidak-tidak. Pasti sekarang dia berfikir kalau aku ini orang yang aneh. Makannya bersikap seperti itu padanya.
Dengan langkah gontai aku turun ke lantai satu, duduk malas di meja makan. Sudah jam berapa sekarang? Aku tidak tahu. Tapi di luar masih gelap.
Karena merasa lapar aku beranjak menuju kulkas, dan mengambil beberapa snak ringan yang memang sudah aku sediakan dari kemarin.
Sekarang aku sudah duduk santai lagi di meja makan. Sambil mengunyah pikiran berkelana entah kemana-mana.
Dulu aku sangat ingin punya pacar yang ganteng, baik dang membuatku merasa nyaman saat bersama dengannya, tidak kaya juga tidak masalah. Tapi, Tuhan tidak mengabulkan ke inginanku dan sekarang aku malah harus terpaksa menikah denga orang yang baru aku kenal selama seminggu.
Pertama kali berjumpa dengannya saat acara makan malam dengan keluarga tante Dela, sahabatnya mama yang umurnya lebih tua tiga belas tahun dengan mama. Berarti kalau aku tidak salah mengira umur tante Dela, sekarang itu lima puluh tiga tahun. Tapi wajahnya masih sangat awet muda, mungkin seperti itulah gambaran kalau orang punya banyak uang. Tidak akan pernah terlihat tua.
Aku kenal tante Dela dan Om David, karena mereka dulu sering main ke rumah kami. Tapi aku tidak tahu kalau mereka itu punya anak laki-laki yang umurnya sangat jauh dariku. Setauku mereka cuma punya anak cewek yang umurnya lebih muda setahun dariku.
Awalnya aku tidak curiga karena mama dan papa hanya mengatakan kalau akan mengajakku makan malam di rumah tante Dela. Jujur aku senang, karena anak tante Dela, Ayana namanya itu sangat baik padaku. Bahkan kami sudah menganggap kalau kami ini adalah saudara.
Tapi itu hanya tipu daya mama dan papa, karena sesampainya di sana barulah terbongkar maksud dari di adakannya makan malam itu. Makan malam terburuk yang akan aku ingat seumur hidupku.
Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara mendekat ke arahku. Aku sudah tau itu dia, tapi aku hanya mengabaikannya, lebih tepatnya aku masih malu atas kejadian di kamar tadi.
Aku memperhatikannya yang sekarang sudah sibuk dengan alat memasak. Dia mau memasak? Atau dia sedang mencari perhatianku.
Yara, kenapa kau begitu percaya diri, dari wajahnya saja terlihat jelas bahwa dia tidak menyukaimu.
Aku tidak memperhatikannya lagi, karena sudah kembali sibuk dengan cemilan.
Beberapa menit kemudian, dia siap dengan acara masak-memasaknya. Aku yakin, pasti masakannya itu sangat tidak enak.
Dia duduk di sebrangku, dengan sepiring mie instan yanh sudah di sulap seperi makanan-makanan mahal di restoran dengan segelas air putih. Dasar, pagi-pagi dia sudah makan makanan seperti itu, sakit perut baru tahu rasa. Hehehe apa peduliku.
Aku tak bisa berhenti meliriknya dari tadi, dia bahkan tidak menegur atau sekedar menawariku makan.
"Kenapa kau melirik ku terus?" tanyanya dingin.
Mampus, aku ketahuan.
"Siapa yang melirikmu, kau geer sekali," sergahku sewot.
"Beneran?" dia tersenyum sinis. Jangan tersenyum seperti itu, kau semakin terlihat menyeramkan tahu.
"Ya tentu saja, aku tidak suka padamu, jadi untuk apa aku melirik om-om tua sepertimu," jawabku angkuh. "Lagi pula aku tidak tertarik dengan orang sepertimu, kalau saja bukan karena mama yang memaksaku aku tidak akan mau menikah denganmu," akhirnya aku mengeluarkan unek-unekku juga.
Braakk.
Dia memukul meja dengan kuat.
Matanya menatap nyalang padaku, sepertinya aku sudah memancing kemarahanya. Jujur, kakiku sekarang sedang gemetar melihatnya seperti itu.
"Sudah selesai?" teriaknya begitu kuat.
Glek, untuk menelan ludah saja rasanya sangat susah. Aku tak berani menatapnya.
"Lihat aku!" dia berjalan cepat, dan sekarang sudah berdiri di sampingku.
"Heh," dia menarik daguku, membuatku mau tak mau melihatnya.
"Sudah puas menghina?" dia mencengkram kuat sekali daguku.
"Jawab!" bentaknya.
"A, aku," mataku terasa sangat panas, tak terasa air mataku sudah jatuh saja. Aku sungguh merasa takut.
Dengan kesal dia melepas cengkramannya dan itu adalah kesempatan baik untukku agar segera pergi dari sana.
Sedikit berlari aku kembali ke kamar utama dan langsung menguncinya.
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m