Beranda / Romansa / Cinta Usai Berpisah / Perempuan Bergelar Istri

Share

Perempuan Bergelar Istri

Penulis: Kardinah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 13:25:15

“Tapi, aku hanya ingin mengenalnya, tak lebih, dia lucu dan menggemaskan . Memang apa salahnya? Atau memang benar dia anakku?”

Cinta menghela nafas, rasanya percuma berdebat dengan lelaki di depannya. Lebih baik dia pulang bersama Ciara yang sepertinya sudah bosan menunggunya.

Cinta kembali menatapnya tajam, sorot matanya penuh luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. “Kalau kamu benar-benar peduli denganku” lanjutnya dengan suara bergetar menahan emosi, “Biarkan aku hidup damai, tanpa perlu dekat denganmu. Kamu cuma masa lalu yang sudah aku hapus.”

“Mulutmu mungkin bisa membohongiku, tapi sorot matamu tak bisa membohongiku begitu saja.”

Abrisam mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Setiap kata yang terlontar dari mulut Cinta seperti pisau yang mengguratkan penyesalan baru di hatinya.

Cinta memutar tubuhnya, berbalik dan berjalan menjauh menuju putrinya.

Ciara, dengan kepolosan yang tak ternoda oleh masa lalu kedua orang dewasa itu, melambaikan tangan kecilnya pada Abrisam. Senyumnya lebar, penuh kepercayaan.

Abrisam membalas lambaian itu dengan senyum kecil yang dipaksakan. Dalam hatinya, dia masih meyakini sesuatu yang harus diselidiknya sebelum hatinya semakin bimbang.

“Maafkan, Mama, Sayang. Apa kamu menunggu lama?”

Ciara menggeleng pelan saat Cinta mengajaknya bergegas pergi. Sebaliknya, ia menggenggam erat tangan ibunya, matanya berbinar penuh semangat. Dengan suara riang, Ciara mulai berceloteh tanpa henti, menceritakan apa saja yang dia lakukan bersama Abrisam di taman.

“Mama, tadi Om Abi ngajarin Cia bikin menara pasir!” serunya riang. “Awalnya Cia kesusahan, tapi Om Abi sabar banget ngajarin. Sama seperti ayah Alex. Akhirnya jadi bagus, Ma!”

Cinta memaksakan senyum, berusaha menyembunyikan gejolak yang bergolak dalam hatinya. Ia mendengarkan, sesekali mengangguk, hatinya terasa diremas-remas mendengar nama itu disebut dengan begitu polos dan penuh keceriaan.

“Terus, Om Abi bilang dia temannya Mama. Tapi Mama seperti tidak suka dengan Om Abi. Apa mama bertengkar dengannya?”

“Tentu saja tidak, Sayang.”

Cinta menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Namun Ciara terus bercerita, tanpa menyadari badai yang diam-diam bergulung di hati mamanya.

“Tapi ingat Ciara, jangan terlalu dekat dengan siapa pun, walaupun itu teman Mama. Ingat pesan Mama dan Ayah, mengerti.”

Ciara mengangguk, walau tak yakin putrinya mengerti setidaknya ada setitik rasa lega yang membuncah.

Baru saja dia hendak membuka pintu, ponsel Cinta berdering. Alex memintanya datang ke Restoran yang jauh dari rumah sakit. Mendengar hal itu Ciara sontak berteriak kegirangan.

Mereka berdua segera bersiap-siap. Tak butuh lama Cinta dan Ciara sudah berada di dalam taksi onlen yang membawa mereka ke restoran yang dimaksud Alex.

Cinta segera menelepon Alex saat dia sampai di tempat parkir restoran. Namun Alex yang masih sibuk memintanya masuk lebih dulu dan menunggunya di sana.

Sayangnya malang tak dapat ditolak, Cinta malah bertemu dengan Abrisam.

“Om Abi,” teriak Ciara senang.

Abrisam tersenyum dan melambaikan tangan.

Cinta menggenggam tangan Ciara dengan erat. Dia takut Ciara berlari ke arah Abrisam, sebab di samping lelaki itu berdiri seorang wanita anggun dengan ekspresi tajam menggandeng seorang anak laki-laki kecil. Sorot mata wanita yang Cinta kenal sebagai istri Abrisam, menatapnya penuh kebencian yang tak ditutup-tutupi.

“Cia, nggak boleh membuat orang lain tak nyaman.”

Ciara mengangguk patuh. “Cia ingat pesan Mama dan Ayah.”

Cinta tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. Dia mengajak Ciara masuk lebih dulu. Namun baru saja dia melangkahkan kaki. Suara yang sangat dia kenali cukup mengganggu pendengarannya.

“Aku pikir kamu sudah tahu tempatmu,” suara wanita itu meluncur dingin, cukup keras untuk didengar Cinta. “Tapi rupanya, kamu masih suka muncul seenaknya.”

Beberapa orang yang hendak masuk ke dalam melirik ke arah mereka. Sebab hawa ketegangan dan permusuhan begitu kentara.

Ciara memandang bingung ke arah mamanya, dia tak mengerti mengapa suasana mendadak menjadi tegang.

Cinta menegakkan tubuhnya, mencoba menjaga wibawa di hadapan putrinya. Ia menarik napas, menahan semua rasa sakit, malu, dan amarah yang mengaduk-aduk dadanya.

"Maaf, aku hanya ingin bertemu suamiku," jawabnya tenang, meski suaranya sedikit bergetar. "Jadi aku tidak pernah berniat mengganggu."

Wanita itu, Rania, dia tersenyum sinis. "Tentu saja. Kamu ahli dalam berpura-pura polos."

Abrisam akhirnya melangkah maju, wajahnya menegang. "Rania, cukup," katanya rendah, mencoba menghentikan keributan. “Jangan mempermalukan diri sendiri. Ingat, ini tempat umum.”

Bukannya menurut, Rania justru semakin berapi-api. "Jangan berpura-pura membela dia, Abrisam! Sudah cukup semua masalah yang dia bawa ke keluarga kita!"

Cinta menggertakkan giginya. Ia tidak akan membuat keributan di depan Ciara, dia tidak akan membiarkan anaknya menyaksikan dirinya mempermalukan diri sendiri dengan masa lalu kelamnya yang akan kembali mengoyak hidupnya.

“Ciara ayo masuk, Nak.”

Cinta berusaha menahan emosinya, membimbing Ciara masuk ke dalam sebelum semuanya berada di luar kendalinya. Namun belum sampai merek di tempat duduknya, Rania melontarkan kalimatnya kembali.

“Mau ke mana kamu,” hardik Rania. “Kamu bisa kabur sejauh mungkin, Cinta, tapi aibmu akan tetap membekas. Dengan kembalinya kamu ke sini kamu pikir bisa masuk kembali ke keluarga Abrisam. Jangan berharap bisa menyeret anak itu masuk ke dalam kehidupan kami.”

Cinta mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Dadanya bergemuruh, tapi melihat gadis kecil di sampingnya menyadarkan dirinya dari emosi yang mulai membuncah. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan kesalahan masa lalunya. Namun sekarang, perempuan bergelar istri dari mantan kekasihnya mengorek luka yang membekas hingga sekarang. Hingga pada akhirnya dia tak tahan dan mulai membuka mulut.

“Jaga ucapanmu, di mana sopan santunmu. Bukankah kalian berpendidikan, sudah seharusnya kalian memiliki etika dan adab yang bagus. Ini bukan pasar di mana kalian bebas berteriak menawarkan dagangan. Jangan seperti tong kosong, yang ketika ditendang nyaring bunyinya. Dengar baik-baik, dia anakku dan suamiku. Tak ada kaitannya dengan keluarga kalian. Ketimbang kamu sibuk mengomentari hidupku lebih baik urus saja suamimu, nasehati dia dengan baik. Katakan padanya untuk tidak menganggu kehidupan orang lain.”

Cinta terpaksa meladeni Rania. Sebab perempuan itu sudah cukup keterlaluan. Sejak tadi dia sudah cukup kesal mendengar ocehan Rania yang cukup mengganggu. Dengan penyesalan yang dalam Cinta meminta maaf pada putrinya.

“Maaf, Cia, kamu harus melihat Mama marah pada orang lain, mama terpaksa melakukannya. Mama harap kamu mengerti.”

Ciara menggeleng dan menarik tangan Cinta hingga membuat Cinta terduduk.

“Mama hebat, Cia nggak marah sama Mama. Cia tahu, Mama melakukannya demi Ciara.”

Mendengar jawaban Ciara yang tak seperti gadis kecil membuatnya trenyuh. Mereka berdua berusaha mengembalikan mood yang sejak tadi jungkir balik karena ulah istri Abrisam. Sedangkan lelaki itu masih sama seperti dulu, diam saja melihat Cinta dipermalukan.

“Cinta...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Usai Berpisah   Telepon Penyesalan

    Alex menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah hampir satu jam dia membolak-balik ponsel dengan logo apel digigit itu, membuka kontak, menatap nama “Cinta” yang terpampang jelas di layar, tapi jari-jarinya selalu berhenti sebelum menekan tombol hijau. Ada sesuatu yang menahan—sebuah rasa takut, rasa malu, dan segunung penyesalan.Alex tahu, dia salah.Bukan salah kecil, tapi kesalahan yang bisa saja membuat segalanya hancur. Alex kehilangan kendali saat melihat Abrisam berada di rumah Cinta. Rasa cemburu membutakan logikanya. Hanya karena melihat Cinta berbicara dan duduk berdua dengan Abrisam, dia langsung meledak. Kata-kata yang seharusnya tak pernah keluar dari mulutnya, terucap dengan kasar. Tatapan marahnya menorehkan luka yang bahkan bisa dia bayangkan sendiri betapa perihnya di hati Cinta.Dan kini, saat malam hendak berganti pagi, Alex duduk sendirian di balkon apartemennya. Malam ini dia tak perlu datang ke rumah sakit. Ditemani lampu kota yang berkelip di kejauhan, tapi hat

  • Cinta Usai Berpisah    Dua Hati Yang Menyakitkan

    Abrisam senang, secara tak sengaja kalimat yang diucapkan Cinta mengisyaratkan bahwa wanita itu masih memiliki cinta untuknya. Abrisam menatap Cinta dengan sorot mata yang tak mampu dia sembunyikan lagi. Hangat, rindu, dan menyesal. Sementara Cinta, walau diam dan mencoba mengalihkan pandang, tak mampu menyembunyikan getaran di ujung bibirnya. Ada satu helaan napas panjang dari bibirnya yang membuat bahu Abrisam mengendur sedikit, seolah dia tahu, sesuatu dalam diri Cinta akhirnya menyerah pada perasaan itu juga.“Kamu nggak bisa bohong padaku, walaupun mulutmu membenciku bahkan mengutukku, tapi tatapan matamu dan tubuhmu tak mampu membohongi ku, Cinta.”Cinta mengernyit lembut. “Omong kosong!”“Aku sudah berhenti mencintaimu,” jawab Cinta lantang, berusaha melawan perasaannya.Ucapan itu membuat Abrisam membeku sejenak. Matanya berkaca. Jemarinya yang tadinya hanya bersandar di sisi sofa kini perlahan bergerak, menyentuh tangan Cinta yang sejak tadi gemetar di atas lututnya.

  • Cinta Usai Berpisah   Mendekat Bukan Menyentuh

    Abrisam, lelaki itu berlutut di depan Ciara. Mata pria itu, tajam seperti biasanya, tapi dengan Ciara tatapannya lembut dan hangat. Walaupun begitu dia tidak kehilangan tekad yang membara di baliknya. “Kalau kamu mau, Om bisa kasih semuanya ke kamu. Apa pun yang kamu suka. Boneka, taman bermain, rumah dengan anjing peliharaan, bahkan tas sekolah yang paling bagus.” Ciara hanya menatapnya. Datar. Diam. Tidak seperti biasanya. “...asal kamu mau dekat sama Om. Asal kamu percaya.” Cinta menahan napas. Kata-kata itu menusuk, tidak hanya karena maknanya, tetapi karena Abrisam mengatakannya seperti pria yang punya kuasa penuh—padahal kenyataannya, dia baru muncul setelah lima tahun membuang mereka. Ciara mengernyit. “Tapi aku bukan anak kecil yang bisa dibeli, Om.” Abrisam terdiam. Kaget, lalu tertawa pelan. “Kamu benar, Cia.” Ciara menunduk. “Kalau kamu benar-benar peduli dengan Ciara, Om tak akan menawarkan uang pada Ciara. Mama juga punya banyak uang. Iya, kan , Ma?

  • Cinta Usai Berpisah   Ayah?

    Cinta berdiri terpaku di samping mobilnya, tangan gemetar menggenggam tali tas kecil putrinya yang berwarna ungu. Wajahnya muram, pikirannya berantakan.Semuanya terjadi terlalu cepat. Cinta menoleh dan tersenyum begitu melihat Ciara berlari ke arahnya. Namun, senyuman itu cepat pudar ketika Ciara berbelok dan melihat Ciara justru berlari ke arah Abrisam, yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah dengan jaket gelap dan tatapan tajam yang sulit ditebak.Tanpa ragu, Ciara menggenggam tangan Abrisam. Matanya berbinar. "Om Abi, ayo kita pulang bareng! Aku udah janji sama temanku loh, kita mau makan di tempat yang enak. Om ikut, kan?"Cinta menahan napas. Hatinya terasa seperti diremas. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar. Dia tahu saat-saat seperti ini akan datang, namun dia tak siap menghadapinya, melihat bagaimana Ciara memilih pria itu tanpa ragu.Abrisam menatap Cinta, lalu menunduk pada Ciara. "Kalau Bunda kamu mengizinkan, Ayah akan ikut.""Ayah." Kata itu keluar begitu saj

  • Cinta Usai Berpisah   Firasat

    Hujan tak berhenti sejak sore, langit kelabu menggantung di atas Jakarta seakan ikut menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama tertutup rapat. Abrisam menyetir perlahan di jalanan yang cukup licin, wajahnya kaku, matanya tajam menyusuri lalu lintas yang padat.Di jok sebelah, sebuah foto kecil tergeletak—bukan miliknya, bukan pula milik Cinta, tapi milik anak kecil yang mendadak menjadi poros kegelisahannya, Ciara.Bukan karena nama gadis kecil itu seperti nama yang pernah dia dan Cinta inginkan. Bukan karena sikapnya terlalu dewasa untuk usianya. Bukan juga karena mereka dekat akhir-akhir ini.Namun, karena setiap kali menatap mata Ciara, Abrisam merasa seperti sedang menatap bayangannya sendiri dari masa kecil. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—kejernihan yang penuh tanya. Dan setiap senyuman Ciara, menggerogoti batas logika yang selama ini Abrisam jaga.Dia bukan pria yang percaya firasat.Tapi setiap kali dia bersama Ciara sesuatu di dalam dirinya berontak. Menolak diam.Ciara b

  • Cinta Usai Berpisah   Ajakan Abrisam

    Cinta melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul 11.20, waktu seolah lebih cepat dari biasanya. Hari ini sekolah Ciara memang pulang lebih awal karena miss ada rapat internal. Cinta sempat ragu bisa menjemput, mengingat pekerjaan cukup padat. Tapi rasa bersalah karena semalam dia tak sempat menemani putrinya tidur, membuatnya buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan meluncur ke sekolah.Mobil SUV miliknya berhenti di parkiran luas depan gerbang sekolah. Dia bergegas turun dan berdiri di bawah pohon flamboyan, tempat biasa orang tua menunggu anak-anak mereka keluar.Tak lama, gerombolan anak-anak mulai berhamburan keluar. Suara riuh rendah mereka bercampur tawa dan panggilan miss mereka.Cinta menatap dengan saksama hingga matanya menangkap sosok kecil yang dia tunggu kepulangannya.“Mamaaaaaa!” Ciara melambaikan tangan sambil berlari kecil. Tas ungu bergambar karakter kartun kesayangannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di punggung mungilnya.Cinta terseny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status