Sore hari sekembalinya Alex ke rumah sakit, Ciara yang mulai merasa bosan mengajak mamanya pergi ke taman bermain.
“Mama, bolehkah Cia pergi ke taman bermain sebentar?” Cinta tak menjawab, dia tampak berpikir. Sejujurnya, setelah pertemuannya dengan Abrisam, dia merasa lebih aman berada di rumahnya ketimbang berkeliaran di luar. “Sebentar saja, Ma,” rajuk Ciara. “Baiklah,” kata Cinta pada akhirnya sembari tersenyum tipis. “Tapi hanya sebentar, ya? Dan Ciara harus hati-hati.” Ciara mengangguk cepat, wajahnya seketika langsung cerah. Ia meraih tangan mamanya dan menariknya keluar dari rumah seraya bersenandung kecil. Berjalan beriringan menuju taman yang tak jauh dari rumah. Ada beberapa ayunan, perosotan kecil, dan satu arena pasir tempat anak-anak membuat istana. Udara sore yang terasa sejuk, dan angin sepoi membawa aroma rerumputan basah. Begitu sampai, Ciara langsung berlari kecil ke arah ayunan. Cinta mengikuti dari belakang dan memilih duduk di bangku panjang sambil mengawasi. Untuk sesaat, Cinta merasa lega melihat Ciara tertawa lepas, menggunakan kedua kakinya mendorong dirinya sendiri di ayunan, rambutnya yang hitam panjang terbang tertiup angin. “Hati-hati, Cia. Jangan kencang-kencang.” “Iya, Mama.” Cinta membuka ponsel pintar miliknya, membalas satu demi satu surel yang masuk sejak kemarin. Tampaknya beberapa pekerjaan sudah mulai menunggunya. Dia sama sekali tak menyadari sosok Abrisam muncul di antara mereka. Ciara mengangkat wajahnya begitu melihat Abrisam. Seketika, senyuman kecil muncul di bibirnya. Abrisam membalas senyuman Ciara dan meletakkan jari telunjuk di tengah kedua bibirnya. Memberi isyarat pada Ciara untuk diam. Gadis kecil itu mengangguk, menuruti perintah Abrisam. “Om!” seru Ciara, setengah berbisik namun penuh semangat. Abrisam mendekat perlahan, menunduk agar sejajar dengan tinggi Ciara yang berada di atas ayunan. Ia tersenyum, bola matanya berbinar. “Hai, Ciara,” sapa Abrisam lembut. “Kamu lagi main sendirian?” Ciara mengangguk kecil. “Iya. Mama lagi di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah Cinta yang masih fokus dengan ponselnya. Abrisam melirik cepat ke arah Cinta, lalu kembali menatap Ciara. “Mau main bareng?” tawar Abrisam pelan, suaranya hampir seperti bisikan, seolah takut Cinta mendengarnya. Ciara tampak berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. “Mau!” katanya ceria. Dengan hati-hati, Abrisam mendorong ayunan Ciara perlahan, tidak terlalu kuat, cukup membuatnya berayun pelan, membuat tawa kecil Ciara pecah “Aku hampir bisa terbang!” kata Ciara riang sambil tertawa. “Ya, pegangan erat-erat, Cia. Kalau tidak, nanti kamu benar-benar terbang,” jawab Abrisam ikut tertawa kecil. Mereka melanjutkan permainan itu sebentar, lalu Abrisam memegangi ayunan, dan membiarkan Ciara turun perlahan. “Sekarang mau main apa?” Ciara menarik tangan Abrisam dan mengajaknya ke area pasir, di mana beberapa anak sedang membangun istana pasir. “Ayo bikin istana pasir! Tapi Cia nggak bisa membuatnya,” katanya polos. “Kamu mau Om membantumu?” Ciara mengangguk, “Em.” Abrisam mengangguk dengan serius, seolah membuat istana pasir adalah misi besar yang sangat penting. Mereka berdua duduk bersila di atas pasir, tangan mereka mulai mengeruk dan menumpuk pasir dengan penuh semangat. “Aku mau bikin menara tinggi!” kata Ciara antusias. Abrisam tertawa pelan. “Oke, kita bikin menara yang paling tinggi di taman ini!” Dengan hati-hati, mereka membuat gundukan pasir, menepuk-nepuk sisi-sisinya agar kuat. Sesekali Abrisam menggoda Ciara dengan menjatuhkan sedikit pasir di atas punggung tangan gadis kecil itu. Abrisam tertawa lebih keras. “Ups, maaf!” “Om....” Mereka terus bermain, berceloteh tentang bentuk istana yang mereka buat, menambahkan parit kecil di sekelilingnya, lalu membuat ‘jembatan’ dari ranting kecil yang ditemukan Ciara. Dunia di sekitar mereka seolah menghilang, yang ada hanya tawa, pasir, dan kebersamaan mereka. Setelah istana selesai dibuat, Ciara bangkit berdiri, menepuk-nepuk pasir dari celananya. “Ayo balapan ke perosotan!” ajaknya tiba-tiba. "Oke.” Mereka pun berlari menuju perosotan. Ciara tertawa keras saat melihat Abrisam berusaha berlari pelan agar tidak benar-benar mengalahkannya. Sampai di tangga perosotan, Ciara lebih dulu naik. "Om, lambat!" teriaknya dari atas. Abrisam terkekeh. Mereka berdua meluncur bergantian, Ciara dengan teriakan kegembiraannya, Abrisam dengan tawa kecilnya. Setelah beberapa kali meluncur, mereka beristirahat, duduk di atas rerumputan. “Om,” kata Ciara sambil memeluk lututnya, “Kenapa Om datang kemari?” Walaupun masih kecil Ciara memang cukup pintar, ditambah sejak awal mamanya selalu mengajarinya untuk berhati-hati saat bertemu orang asing. Namun entah kenapa Ciara begitu nyaman bersama Abrisam. “Itu karena Om suka bermain denganmu.” “Apa Om temannya Mama?” tanya Ciara polos. Abrisam mengacak rambut Ciara dengan lembut. “Tentu saja.” “Tapi sepertinya Mama tak suka dengan Om.” “Panggil Om Abi, Cia.” Ciara mengangguk, masih dengan tatapan yang polos dia menunggu jawaban Abrisam. Abrisam terdiam sejenak. Pertanyaan itu terasa seperti tusukan halus ke hatinya. “Karena... kadang orang dewasa harus menjaga jarak supaya tetap bisa berteman,” jawab Abrisam hati-hati. Ciara mengernyitkan kening. Ciara kelihatan belum sepenuhnya mengerti, tapi ia mengangguk kecil, menerima penjelasan Abrisam. Cinta yang memasukkan ponselnya ke dalam saku terkejut melihat Ciara dari kejauhan. Dadanya bergemuruh. Hatinya terasa campur aduk, antara bahagia melihat putrinya tersenyum lepas, dan cemas karena tahu siapa yang bersamanya. Ia menegakkan tubuhnya, melangkah mantap ke arah mereka. “Ciara,” panggil Cinta, suaranya tegas namun tetap berusaha terdengar lembut. “Ayo, kita pulang.” Ciara menoleh, raut wajahnya langsung berubah kecewa. “Tapi Ma, aku masih mau main sama Om Abi...” Cinta berjongkok, menatap mata putrinya dengan penuh kesabaran. “Sayang, sudah sore. Kita harus pulang. Besok kamu masih bisa main lagi di taman, kan?” Ciara mengerucutkan bibir, tanda tak puas, tapi akhirnya mengangguk. Ia meraih tangan mamanya, lalu dengan berat hati melambaikan tangan kecilnya ke arah Abrisam. “Bye, Om Abi,” katanya lirih. Abrisam mengangguk sambil tersenyum, “Sampai jumpa, Ciara.” “Cia, tunggu Mama di sana sebentar,” pinta Cinta pada putrinya. Ciara menurut, dia mengangguk. Saat Ciara mulai berjalan menjauh, Cinta menoleh, menatap Abrisam dengan tatapan dingin. Dengan suara rendah tapi tajam, Cinta berkata, “Abrisam, aku minta, jangan lagi dekati Ciara.” Abrisam mengangkat kepalanya, bertatapan langsung dengan mata Cinta yang berkilat oleh ketegasan. Ia bisa melihat jelas ketakutan di sana — ketakutan seorang ibu yang berusaha melindungi anaknya dengan segala cara. “Aku tidak bermaksud buruk, Cinta,” kata Abrisam perlahan. “Kenapa begitu ketakutan. Apa yang kamu sembunyikan?” “Aku tidak mau Ciara terjebak dalam situasi yang tidak nyaman. Kita sama-sama sudah memiliki kehidupan masing-masing.” Abrisam terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tamparan, tapi ia tahu Cinta benar. Dunia Abrisam bukan dunia yang layak disentuh oleh keceriaan polos seperti milik Ciara. “Jangan sampai keluargamu tahu apa yang kamu lakukan pada keluarga kami dan berakhir membahayakan Ciara.” Abrisam menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Aku mengerti. Tapi aku hanya ingin dekat dengannya.” “Kamu bukan siapa-siapa, dia punya ayah! Dia tak butuh kamu ada di dekatnya! Fokuslah pada keluargamu sendiri.” “Tapi....”Alex menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah hampir satu jam dia membolak-balik ponsel dengan logo apel digigit itu, membuka kontak, menatap nama “Cinta” yang terpampang jelas di layar, tapi jari-jarinya selalu berhenti sebelum menekan tombol hijau. Ada sesuatu yang menahan—sebuah rasa takut, rasa malu, dan segunung penyesalan.Alex tahu, dia salah.Bukan salah kecil, tapi kesalahan yang bisa saja membuat segalanya hancur. Alex kehilangan kendali saat melihat Abrisam berada di rumah Cinta. Rasa cemburu membutakan logikanya. Hanya karena melihat Cinta berbicara dan duduk berdua dengan Abrisam, dia langsung meledak. Kata-kata yang seharusnya tak pernah keluar dari mulutnya, terucap dengan kasar. Tatapan marahnya menorehkan luka yang bahkan bisa dia bayangkan sendiri betapa perihnya di hati Cinta.Dan kini, saat malam hendak berganti pagi, Alex duduk sendirian di balkon apartemennya. Malam ini dia tak perlu datang ke rumah sakit. Ditemani lampu kota yang berkelip di kejauhan, tapi hat
Abrisam senang, secara tak sengaja kalimat yang diucapkan Cinta mengisyaratkan bahwa wanita itu masih memiliki cinta untuknya. Abrisam menatap Cinta dengan sorot mata yang tak mampu dia sembunyikan lagi. Hangat, rindu, dan menyesal. Sementara Cinta, walau diam dan mencoba mengalihkan pandang, tak mampu menyembunyikan getaran di ujung bibirnya. Ada satu helaan napas panjang dari bibirnya yang membuat bahu Abrisam mengendur sedikit, seolah dia tahu, sesuatu dalam diri Cinta akhirnya menyerah pada perasaan itu juga.“Kamu nggak bisa bohong padaku, walaupun mulutmu membenciku bahkan mengutukku, tapi tatapan matamu dan tubuhmu tak mampu membohongi ku, Cinta.”Cinta mengernyit lembut. “Omong kosong!”“Aku sudah berhenti mencintaimu,” jawab Cinta lantang, berusaha melawan perasaannya.Ucapan itu membuat Abrisam membeku sejenak. Matanya berkaca. Jemarinya yang tadinya hanya bersandar di sisi sofa kini perlahan bergerak, menyentuh tangan Cinta yang sejak tadi gemetar di atas lututnya.
Abrisam, lelaki itu berlutut di depan Ciara. Mata pria itu, tajam seperti biasanya, tapi dengan Ciara tatapannya lembut dan hangat. Walaupun begitu dia tidak kehilangan tekad yang membara di baliknya. “Kalau kamu mau, Om bisa kasih semuanya ke kamu. Apa pun yang kamu suka. Boneka, taman bermain, rumah dengan anjing peliharaan, bahkan tas sekolah yang paling bagus.” Ciara hanya menatapnya. Datar. Diam. Tidak seperti biasanya. “...asal kamu mau dekat sama Om. Asal kamu percaya.” Cinta menahan napas. Kata-kata itu menusuk, tidak hanya karena maknanya, tetapi karena Abrisam mengatakannya seperti pria yang punya kuasa penuh—padahal kenyataannya, dia baru muncul setelah lima tahun membuang mereka. Ciara mengernyit. “Tapi aku bukan anak kecil yang bisa dibeli, Om.” Abrisam terdiam. Kaget, lalu tertawa pelan. “Kamu benar, Cia.” Ciara menunduk. “Kalau kamu benar-benar peduli dengan Ciara, Om tak akan menawarkan uang pada Ciara. Mama juga punya banyak uang. Iya, kan , Ma?
Cinta berdiri terpaku di samping mobilnya, tangan gemetar menggenggam tali tas kecil putrinya yang berwarna ungu. Wajahnya muram, pikirannya berantakan.Semuanya terjadi terlalu cepat. Cinta menoleh dan tersenyum begitu melihat Ciara berlari ke arahnya. Namun, senyuman itu cepat pudar ketika Ciara berbelok dan melihat Ciara justru berlari ke arah Abrisam, yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah dengan jaket gelap dan tatapan tajam yang sulit ditebak.Tanpa ragu, Ciara menggenggam tangan Abrisam. Matanya berbinar. "Om Abi, ayo kita pulang bareng! Aku udah janji sama temanku loh, kita mau makan di tempat yang enak. Om ikut, kan?"Cinta menahan napas. Hatinya terasa seperti diremas. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar. Dia tahu saat-saat seperti ini akan datang, namun dia tak siap menghadapinya, melihat bagaimana Ciara memilih pria itu tanpa ragu.Abrisam menatap Cinta, lalu menunduk pada Ciara. "Kalau Bunda kamu mengizinkan, Ayah akan ikut.""Ayah." Kata itu keluar begitu saj
Hujan tak berhenti sejak sore, langit kelabu menggantung di atas Jakarta seakan ikut menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama tertutup rapat. Abrisam menyetir perlahan di jalanan yang cukup licin, wajahnya kaku, matanya tajam menyusuri lalu lintas yang padat.Di jok sebelah, sebuah foto kecil tergeletak—bukan miliknya, bukan pula milik Cinta, tapi milik anak kecil yang mendadak menjadi poros kegelisahannya, Ciara.Bukan karena nama gadis kecil itu seperti nama yang pernah dia dan Cinta inginkan. Bukan karena sikapnya terlalu dewasa untuk usianya. Bukan juga karena mereka dekat akhir-akhir ini.Namun, karena setiap kali menatap mata Ciara, Abrisam merasa seperti sedang menatap bayangannya sendiri dari masa kecil. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—kejernihan yang penuh tanya. Dan setiap senyuman Ciara, menggerogoti batas logika yang selama ini Abrisam jaga.Dia bukan pria yang percaya firasat.Tapi setiap kali dia bersama Ciara sesuatu di dalam dirinya berontak. Menolak diam.Ciara b
Cinta melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul 11.20, waktu seolah lebih cepat dari biasanya. Hari ini sekolah Ciara memang pulang lebih awal karena miss ada rapat internal. Cinta sempat ragu bisa menjemput, mengingat pekerjaan cukup padat. Tapi rasa bersalah karena semalam dia tak sempat menemani putrinya tidur, membuatnya buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan meluncur ke sekolah.Mobil SUV miliknya berhenti di parkiran luas depan gerbang sekolah. Dia bergegas turun dan berdiri di bawah pohon flamboyan, tempat biasa orang tua menunggu anak-anak mereka keluar.Tak lama, gerombolan anak-anak mulai berhamburan keluar. Suara riuh rendah mereka bercampur tawa dan panggilan miss mereka.Cinta menatap dengan saksama hingga matanya menangkap sosok kecil yang dia tunggu kepulangannya.“Mamaaaaaa!” Ciara melambaikan tangan sambil berlari kecil. Tas ungu bergambar karakter kartun kesayangannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di punggung mungilnya.Cinta terseny