"Ton, sebaiknya istrimu segera dibawa ke dokter!" seru kak Novi menatapku, tangannya terulur mengusap wajah serta leherku. "Kayanya kamu beneran sakit, Intan," sambung Kak Novi lagi dengan nada pelan.
"Ya udah, kita ke Dokter aja yuk! Biar kamu mendapatkan perawatan. Sekalian Mas pengen tahu, kamu sakit apa? Ataukah ini gejala hamil?" timpal Mas Anton, seraya memijat kepalaku. Ia bergeser dari duduknya, lalu menarik tubuhku dan merebahkannya di sofa, kepalaku berada di pangkuannya.
Aku menggeleng, "Gak apa-apa Mas, aku gak mau, aku cuma minta obat sakit kepala aja, istirahat sejenak juga pasti sembuh," tolakku sembari menggenggam tangan Mas Anton.
"Mendingan berobat aja! Dari tadi kamu pusing terus, kalau sakit parah gimana? Bukannya kemarin juga kamu sakit, kata Anton, kamu juga habis berobat kan, di klinik kantor," ucap kak Novi dengan nada cepat, dia memang cerewet, tapi, sangat perhatian padaku.
"Oh iya, obatnya, masih ada
"Benar katamu Nov, kita cari bukti, pasang cctv aja untuk memastikan, jangan berasumsi dulu, yang enggak-enggak! Sebelum kita dapat buktinya, rencana kita jangan sampai gagal, kita harus selidiki pasangan kita!" ucap Mas Anton, dengan suara rendah dan mantap. Kak Novi dan Mas Anton, tak tahu kalau aku menguping percakapannya di belakang sofa yang mereka duduki. Kupincingkan mata seraya memiringkan kepala, untuk menajamkan pendengaran, karena suara Mas Anton sedikit ditahan, ku mencoba tetap tenang dan jangan sampai menimbulkan suara, agar keberadaanku disini tidak disadarinya. "Ton, jam berapa semalam Intan ngilang dari kamar?" suara kak Novi, begitu pelan tapi beruntung telingaku berfungsi dengan sangat baik. "Sekitar, jam dua pagi, dan kembali pukul setengah empat," ucap Mas Anton setengah berbisik. "Sama. Mas Arkan juga pergi dari kamar, sekitar jam dua, tapi dia gak ada di mana-mana, pas aku cariin. Nah, yang bikin aku heran,
Mobil sedan berwarna putih itu menepi di depan gerbang pagar rumahku, tak lama setelah aku memesannya lewat aplikasi transportasi online. "Dengan, Mbak Intan kan?" tanya Lelaki bertubuh agak kurus dengan stelan kemeja putih lengan pendek, dia melongok dari jendela mobil setelah usai menatap layar gawainya dan ia letakan kembali di Dashboard mobil. "Iya Pak, betul," jawabku di barengi anggukan. Aku pun membuka pintu lalu masuk dan duduk di kursi belakang setelah ia mempersilahkanku. "Kemana Mbak?" tanyanya sembari menoleh ke belakang di mana aku berada. "Sesuai aplikasi ya, Pak!" balasku. Aku enggan mengucapkannya ada rasa malu dan risih, jika mengatakan tempat penginapan itu, meskipun aku ini bukan perempuan baik. Walau sebenarnya aku akan masuk ke tempat itu menemuiMas Arkan, kekasihku. "Baik, Mbak," jawabnya singkat dengan anggukkan, lelaki itu melajukan
POV Arkan. "Memang, kamu gak ada duanya Mas, aku benar-benar bahagia, dengan apa yang sudah kamu berikan padaku," ucap Intan dengan wajah merona di barengi dengan senyum dari bibir indahnya yang ranum. "Betulkah," tanyaku, mengangkat alis menggodanya. "Iya, Mas. Kamu lah kebahagiaanku, dan segalanya bagiku," ujar intan. Dadanya naik turun, seiring dengan napasnya yang tersengal. "Aku makin cinta Mas, sama kamu, rasanya aku gak mau pulang, aku ingin terus bersamamu, aku gak mau berpisah denganmu! untuk mengakhiri kebersamaan ini, yang mengharuskan kita berjarak." Intan membelai bidang dadaku dengan jemari lembutnya. "Bukan hanya kamu sayang. Mas juga gak mau lepas dari kamu, kamu
Pov Intan. "Intan, mulai sekarang kita bersikaplah layaknya kakak dan adik ipar. Tapi Mas janji, kalau di luar rumah. Mas akan selalu membahagiakan dan selalu membuatmu puas," ujar Mas Arkan penuh kepastian. "Aku percaya padamu, Mas," ucapku mendongak seraya mengangkat kedua alisku menatap wajah Mas Arkan yang begitu tampan. "Iya, karena hanya kamu yang Mas cintai." Mas Arkan menarik tubuhku ke dalam pelukannya, ia mencium keningku begitu lembut penuh cinta. Kutampilkan lengkungan di sudut bibir dengan sempurna. Kedua netraku berbinar saat menatapnya, menyiratkan bahwa aku sangat bahagia, melalui waktu bersama Mas Arkan. "Terus, gimana, dengan kak Novi?" tanyaku, tangan kananku masih melingkar di tubuhnya yang kekar dan berotot, lalu kuayunkan tangan dan kuusap dada bidangnya yang berkeringat, selepas beraktivitas panas di tempat tidur. "Mas gak mencintai kakakmu. Apalagi, sekarang kamu selalu memberikan kehangatan dan kepuasan untuk M
Aku menatap prihatin dengan pasangan mesum tersebut, tapi, hati ini sungguh merasa gusar, bagaimana jika aku yang berada di posisi mereka, tak bisa kubayangkan. "Intan sayang, kamu jangan ikut larut dalam suasana! Kita tak kenal mereka, kenapa kamu begitu takut, dan khawatir?" "Ngeri, Mas jika hubungan kita diketahui kak Novi, dan berakhir seperti itu," "Jangan berpikiran terlalu jauh, berpikirlah positif! Mas sangat yakin hubungan kita aman-aman saja, selama kita bisa menjaganya dengan rapi!" Hati kecilku terus saja mengetuk pikiranku agar tersadar dari perbuatan ini, perbuatan terlarang yang aku jalani kini bersama kakak iparku, menjalin hubungan gelap di belakang pasangan kami, bahkan hubunganku dengan Kakak ip
"A-aku cuma khawatir, kalau itu terjadi pada kita. Mas, kita pasti akan hancur, bukan cuma harga diri kita, reputasimu juga akan ikut hancur," ucapku dengan suara gemetar. "Jangan terlalu parno gitu! Justru dengan sikapmu yang seperti ini, malah akan menunjukkan ke curigaan, bagi orang-orang yang melihat kita." Mas Arkan menatapku dalam. "Tetap saja Mas, aku cemas, meskipun aku berusaha tetap tenang, tapi aku seorang wanita, bagaimana jika aku yang ada di posisi Wanita itu, membayangkannya saja aku tak sanggup, malunya bisa sampai tujuh turunan Mas, apalagi kalau mengalaminya sendiri," tuturku dengan wajah memberengut dan kepala mulai berdenyut. "Gak usah terlalu berlebihan! Sudah kita putar balik, Mas akan segera membawamu ke rumah, sebelum kamu pingsan karena syok, dengan kejadian yang orang itu alami," ujarnya
"Maaf Mas, aku mau masuk," ucapku, masih menatap tangannya yang melingkar di pergelangan tanganku. "Iya. Silahkan," jawabnya datar, sembari melepas tangannya, dia membuang pandangannya ke arah lain, seolah enggan memandangku. Aku tau ini sangat pedih, dan memang teramat perih. Namun inilah yang terbaik. Mas Arkan melajukan mobilnya kembali ke luar gerbang pagar rumah kami tanpa berucap sepatah katapun. Aku menatap mobil yang di kendarai lelaki bertubuh tegap berparas tampan itu, hingga menghilang dari pandangan. Dengan langkah berat aku masuk ke dalam rumah yang terlihat sepi, semua perabotan masih sama di tempatnya seperti tadi pagi tertata rapi. Sepi yang kurasakan saat ini, aku merasa kehilangan separuh hidupku, karena memutuskan hubungan cinta dengan Mas Arkan.
"Mas sebaiknya jangan lakukan ini lagi, aku gak mau! Sudah kukatakan kita jalani ini semua seperti semula, layaknya seorang kakak dan adik ipar," ucapku, saat Mas Arkan mencium keningku. Jemari tangannya menyusup ke dalam sela-sela rambutku. "Jangan menolak! Mas akan menuruti keinginanmu, mengakhiri hubungan ini. Namun, ada satu permintaan terakhir." Bibir Mas Arkan menempel di telingaku, membuat seluruh tubuhku berdesir. "Apa?" jawabku gugup. Jujur aku tak bisa menahan gejolak di hati ini, yang kian bergemuruh. "Lakukan sekali lagi. Mas janji tidak akan mengganggumu lagi," tekannya menatapku tajam. "Jangan, Mas!" Nafasku tersengal dada pun terasa sesak, mendengar ucapannya. Aku khawatir Kak Novi dan Mas Anton pulang, dan menergoki kami, dengan keadaan yang seperti ini berada di kamar bersama Mas Arkan. "Sudah Mas, aku gak mau!" tolakku mengglengkan kepala. "Baiklah, kalau kamu menolakku." Mas Arkan menarik kepalaku d