LOGINHujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan
Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men
Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan
Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l
Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot
Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma







