Home / Rumah Tangga / Cinta Yang Tak Pernah Dipilih / 32. Kata yang Tak Terucap

Share

32. Kata yang Tak Terucap

Author: Salah Adegan
last update Huling Na-update: 2025-09-26 00:23:47

Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.

Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.

“Arlan…” suaranya bergetar.

Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:

“Anak itu… darah dagingmu…”

Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.

Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.

“Arlan, aku tahu
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    32. Kata yang Tak Terucap

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah. Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. “Arlan…” suaranya bergetar. Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya: “Anak itu… darah dagingmu…” Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan. Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas. “Arlan, aku tahu

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    33. Pertemuan Rahasia

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.“Arlan…” suaranya bergetar.Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:“Anak itu… darah dagingmu…”Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.“Arlan, aku tahu ada sesuatu yang dia katakan padamu. Kau k

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    31. Tatapan yang Membisu

    Lorong rumah sakit itu terasa begitu panjang, seakan tak berujung. Cahaya lampu neon di langit-langit memantul di lantai yang mengilap, menimbulkan bayangan langkah-langkah Arlan yang goyah. Hatinya masih bergetar hebat sejak kalimat dokter menusuk gendang telinganya. "Tentang seorang anak… anak yang ternyata tidak pernah Anda ketahui." Kata-kata itu berputar tanpa henti di kepalanya, seolah menggema di setiap dinding rumah sakit. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketika sampai di depan ruang ICU, Arlan berdiri kaku. Dari balik kaca besar, ia melihat Inayah. Perempuan itu, yang dulu begitu hidup dalam setiap detak jantungnya, kini terbaring rapuh di ranjang dengan selang-selang medis menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, bibirnya kering. Ada getaran halus di dada Arlan. Antara rindu yang lama ia pendam, rasa bersalah yang menyesakkan, dan ketakutan akan kehilangan.

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    30: Bunga Layu di Halaman Rumah

    Pagi itu, cahaya matahari menerobos lewat celah tirai kamar. Suara ayam berkokok dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Namun, di dalam rumah itu, suasana tetap dingin—dingin yang bukan berasal dari udara, melainkan dari hati yang beku oleh pertengkaran semalam.Airin membuka matanya perlahan. Kelopak matanya masih sembab, sisa tangisan panjang yang ia biarkan menemaninya sampai lelap. Ia menoleh ke sisi ranjang, kosong. Arlan tidak ada di sana. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada sisa keberadaan. Hanya dingin pada sprei yang dingin, seolah menunjukkan betapa jauh jarak yang memisahkan mereka, meski tidur di rumah yang sama.Dengan langkah gontai, Airin bangkit. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan dari balik kaca ia melihat halaman rumah.Bunga mawar yang pernah ia tanam dengan penuh kasih, yang dulu mekar indah di sudut halaman

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    29. Pertanyaan yang Menggantung

    Hari itu, suasana rumah seperti ruang hampa. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan, bahkan bunyi langkah pun terasa berat. Hanya denting jam dinding yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski hati mereka berhenti pada luka yang sama.Airin duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar ketika memegang jilbab yang belum ia kenakan. Matanya sayu, berulang kali menatap cermin di hadapannya. Wajah itu… bukan lagi wajah seorang istri yang baru menikah, melainkan wajah perempuan yang terlalu sering menelan tangis sendiri."Kenapa semua harus begini, Ya Allah?" batinnya lirih.Air matanya jatuh, membasahi pipi.Di ruang tamu, Arlan duduk termenung. Rokok di tangannya sudah separuh habis, tapi ia bahkan tidak menyadari kepulan asap yang mengepul di sekitarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan Inayah—bayangan yang terus ia bawa, sekalipun ia tahu kehadiran itu adalah racun bagi rumah tangganya sendiri.Suara langkah

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    28. Sepi yang Panjang

    Malam itu rumah terasa dingin meski udara tidak sedingin biasanya. Airin duduk di kursi ruang makan, menatap piring yang sudah ia tata sejak dua jam lalu. Nasi masih mengepul saat pertama kali ia menaruhnya, tapi kini sudah mulai mengeras, menempel di pinggir mangkuk. Lauk yang ia masak pun tak lagi beraroma sedap. Lampu ruang tamu menyala redup. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar, berdetak keras seolah mengejek dirinya. Tik-tok… tik-tok… Airin menunduk, memeluk kedua tangannya sendiri. Sejak sore ia menunggu, berharap Arlan pulang sebelum larut. Namun seperti biasa, harapannya sia-sia. Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar dari luar. Airin bergegas berdiri, hatinya berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu, menyambut, meski wajahnya masih dipenuhi rasa lelah. Arlan masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Jas kerjanya basah oleh gerimis, dasi tergantung longgar di lehernya. “Kau ba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status