Home / Rumah Tangga / Cinta Yang Tak Pernah Dipilih / 7.Kehamilan yang Tak Disambut

Share

7.Kehamilan yang Tak Disambut

Author: Salah Adegan
last update Last Updated: 2025-08-13 01:56:29

Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Airin mulai merasakan sesuatu yang berbeda pada tubuhnya. Setiap pagi, kepalanya terasa ringan, perutnya mual, dan tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga menguap entah ke mana. Awalnya ia pikir hanya masuk angin atau kelelahan karena pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.

Namun, ketika jadwal haidnya tak juga datang, sebuah firasat muncul. Ada harapan kecil yang bergetar di dalam dadanya—harapan yang mungkin bisa mengubah segalanya.

Pagi itu, diam-diam ia pergi ke bidan desa. Ruangan bidan sederhana, berbau antiseptik dan sedikit aroma herbal. Bidan yang ramah menyapanya.

“Kenapa, Rin? Ada yang dirasa aneh?” tanya bidan dengan senyum hangat.

Airin mengangguk pelan. “Saya… beberapa minggu ini sering mual, Bu. Lemas juga. Saya takut… sakit.”

Bidan tersenyum sambil mengambil alat sederhana untuk memeriksa. Setelah beberapa menit, ia menepuk lembut tangan Airin.

“Selamat, Bu Airin. Ibu sedang hamil.”

Kata-kata itu bergema di telinga Airin seperti melodi indah yang sudah lama ia tunggu. Matanya memanas, bibirnya bergetar menahan senyum.

“Benar, Bu? Saya… saya hamil?” suaranya nyaris tak percaya.

Bidan mengangguk mantap. “Iya. Jaga makan, jangan terlalu capek. Dan yang paling penting, jangan stres. Janin butuh ibu yang tenang.”

Airin menunduk, menepuk pelan perutnya yang masih datar. “Terima kasih, Bu…” bisiknya lirih. Ada kehidupan kecil di sana, darah dan dagingnya sendiri. Untuk pertama kalinya sejak menikah, ia merasa benar-benar memiliki sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak bisa direbut siapa pun.

Sepanjang jalan pulang, ia tersenyum. Hujan rintik-rintik membasahi wajahnya, tapi ia tak peduli. Di kepalanya, ia membayangkan Arlan akan terkejut, lalu tersenyum bahagia. Ia berharap Arlan akan menyentuh perutnya, membisikkan kata-kata manis, dan mengatakan bahwa mereka akan menjadi keluarga yang baik.

Sore itu, ketika Arlan pulang kerja, Airin sudah menunggunya di ruang tamu. Degup jantungnya berpacu.

“Mas…” suaranya bergetar, namun ia mencoba tersenyum. “Aku… aku hamil.”

Arlan berhenti membuka sepatu, menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke arah tas kerjanya.

“Oh.”

Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Datar, dingin, tanpa sedikit pun cahaya kebahagiaan.

Airin terpaku. “Mas… kamu nggak senang?” tanyanya hati-hati.

Arlan menghela napas panjang. “Ya sudah. Kalau memang hamil, ya hamil. Apa yang harus aku bilang?”

Airin mencoba tersenyum, meski hatinya runtuh. “Aku kira… Mas bakal bahagia. Ini anak kita…”

Arlan berjalan melewatinya begitu saja. “Aku capek, Rin. Jangan bikin drama. Aku mau istirahat.”

Airin terdiam, dadanya nyeri. Ia menoleh ke arah pintu kamar yang baru saja ditutup Arlan. Harapannya hancur begitu saja.

Belum sempat rasa kecewanya mereda, suara ibu mertua terdengar dari dapur. “Siapa yang suruh hamil? Nambah beban saja,” katanya sinis sambil mengaduk sayur di panci.

Airin tertegun, melangkah ke dapur dengan wajah pucat. “Bu… ini cucu Ibu.”

“Nggak usah manis-manis begitu!” potong ibu mertua, menatap tajam. “Anak orang lain aja belum tentu mau, ini malah mau nambah mulut buat makan. Pikir pakai otak, Rin. Rumah ini sudah penuh masalah, kau malah menambah.”

Airin menggenggam perutnya. “Tapi Bu… ini darah daging keluarga kita. Saya janji akan jaga baik-baik, nggak akan merepotkan.”

Ibu mertua mengibaskan tangan. “Janji, janji! Kau pikir janji bisa kasih makan? Kau itu belum bisa bikin suami betah, sekarang malah mau nambah tanggungan. Jangan sok jadi pahlawan, Rin.”

Airin menunduk, bibirnya kelu. Ia ingin membalas, tapi tak ada tenaga.

Malam itu, Airin berbaring memeluk perutnya sendiri. Kamar terasa semakin dingin. Arlan sibuk di depan laptop, tidak menoleh sedikit pun.

“Mas…” suara Airin pelan, nyaris tenggelam oleh bunyi ketikan laptop.

“Apa lagi?” sahut Arlan tanpa menoleh.

“Boleh… aku bicara?” Airin memberanikan diri.

Arlan mendesah. “Bicara cepat. Aku sibuk.”

Airin menelan ludah. “Aku tahu… Mas belum bisa menerima. Tapi… bayi ini nggak salah. Aku ingin Mas… setidaknya coba melihatnya sebagai harapan, bukan beban.”

Arlan menutup laptop, menatapnya sebentar. “Rin, aku sudah bilang. Aku nggak pernah minta kau hamil. Aku nggak siap. Jadi jangan harap aku tiba-tiba berubah jadi suami idaman hanya karena ada janin di rahimmu.”

Airin menahan tangis. “Jadi… Mas nggak peduli sama sekali?”

Arlan berdiri, menuju ranjang. “Aku peduli atau tidak, apa bedanya? Yang jelas, jangan berharap banyak dariku.” Ia lalu membaringkan tubuhnya, memalingkan wajah.

Airin menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak. Ia membisikkan kata-kata pada janinnya, “Nak… Ibu senang sekali kamu ada. Meski tak semua orang menyambutmu, Ibu akan melindungimu. Ibu akan sayang sama kamu, lebih dari apa pun.”

Air matanya jatuh, membasahi bantal. Ia sadar, kebahagiaan yang ia bayangkan tak akan datang dari orang lain. Ia hanya bisa menggantungkan harapan pada dirinya sendiri dan kehidupan kecil yang kini ia bawa.

Hari-hari berikutnya, Airin mulai merasakan perubahan. Meski rumah itu tetap dingin, ia punya alasan untuk tersenyum diam-diam. Saat memasak, ia membayangkan kelak menyiapkan makanan untuk anaknya. Saat menyapu, ia membayangkan langkah-langkah kecil berlari di atas lantai itu.

Namun kenyataan tidak pernah mudah. Suatu siang, ibu mertua kembali menegurnya.

“Kau jangan banyak tidur, Rin. Hamil bukan alasan untuk malas. Aku dulu hamil tiga kali, tetap kerja di sawah.”

Airin menahan sabar. “Iya, Bu. Saya nggak malas, cuma tadi pusing sedikit.”

“Pusing, pusing! Kau itu memang lemah. Entah anakmu nanti jadi apa kalau ibunya seperti ini.”

Airin menggenggam perutnya erat. “Anak ini… akan kuat, Bu. Saya janji.”

Ibu mertua mendengus. “Janji lagi. Sudahlah, Rin. Jangan bikin aku tambah pusing.”

Malam lain, Airin memberanikan diri bicara lagi pada Arlan.

“Mas…”

Arlan mendengus. “Apa lagi? Jangan bilang soal anak itu lagi.”

Airin menahan perih. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma ingin… izin untuk membesarkan anak ini dengan caraku. Biarkan aku memberinya dunia yang penuh kasih sayang, meski aku harus melakukannya sendiri.”

Arlan menatapnya lama, lalu kembali menoleh ke arah jendela. “Lakukan sesukamu. Aku nggak peduli.”

Jawaban dingin itu menusuk, tapi bagi Airin, keberanian untuk mengatakannya sudah cukup. Ia merasa lega karena telah menyuarakan isi hatinya.

Malam itu, ia kembali berbaring sendirian. Namun kali ini, tangannya tak lagi kosong. Ia memeluk perutnya yang masih lemah, seolah memeluk masa depan yang sedang ia jaga.

Dan di dalam kesunyian itu, Airin tahu: sekalipun dunia tidak pernah memberinya ruang, ia akan menciptakan ruangnya sendiri—ruang di mana cinta bukan sekadar janji, melainkan nafas yang ia berikan setiap hari pada anaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    32. Kata yang Tak Terucap

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah. Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. “Arlan…” suaranya bergetar. Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya: “Anak itu… darah dagingmu…” Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan. Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas. “Arlan, aku tahu

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    33. Pertemuan Rahasia

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.“Arlan…” suaranya bergetar.Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:“Anak itu… darah dagingmu…”Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.“Arlan, aku tahu ada sesuatu yang dia katakan padamu. Kau k

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    31. Tatapan yang Membisu

    Lorong rumah sakit itu terasa begitu panjang, seakan tak berujung. Cahaya lampu neon di langit-langit memantul di lantai yang mengilap, menimbulkan bayangan langkah-langkah Arlan yang goyah. Hatinya masih bergetar hebat sejak kalimat dokter menusuk gendang telinganya. "Tentang seorang anak… anak yang ternyata tidak pernah Anda ketahui." Kata-kata itu berputar tanpa henti di kepalanya, seolah menggema di setiap dinding rumah sakit. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketika sampai di depan ruang ICU, Arlan berdiri kaku. Dari balik kaca besar, ia melihat Inayah. Perempuan itu, yang dulu begitu hidup dalam setiap detak jantungnya, kini terbaring rapuh di ranjang dengan selang-selang medis menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, bibirnya kering. Ada getaran halus di dada Arlan. Antara rindu yang lama ia pendam, rasa bersalah yang menyesakkan, dan ketakutan akan kehilangan.

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    30: Bunga Layu di Halaman Rumah

    Pagi itu, cahaya matahari menerobos lewat celah tirai kamar. Suara ayam berkokok dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Namun, di dalam rumah itu, suasana tetap dingin—dingin yang bukan berasal dari udara, melainkan dari hati yang beku oleh pertengkaran semalam.Airin membuka matanya perlahan. Kelopak matanya masih sembab, sisa tangisan panjang yang ia biarkan menemaninya sampai lelap. Ia menoleh ke sisi ranjang, kosong. Arlan tidak ada di sana. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada sisa keberadaan. Hanya dingin pada sprei yang dingin, seolah menunjukkan betapa jauh jarak yang memisahkan mereka, meski tidur di rumah yang sama.Dengan langkah gontai, Airin bangkit. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan dari balik kaca ia melihat halaman rumah.Bunga mawar yang pernah ia tanam dengan penuh kasih, yang dulu mekar indah di sudut halaman

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    29. Pertanyaan yang Menggantung

    Hari itu, suasana rumah seperti ruang hampa. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan, bahkan bunyi langkah pun terasa berat. Hanya denting jam dinding yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski hati mereka berhenti pada luka yang sama.Airin duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar ketika memegang jilbab yang belum ia kenakan. Matanya sayu, berulang kali menatap cermin di hadapannya. Wajah itu… bukan lagi wajah seorang istri yang baru menikah, melainkan wajah perempuan yang terlalu sering menelan tangis sendiri."Kenapa semua harus begini, Ya Allah?" batinnya lirih.Air matanya jatuh, membasahi pipi.Di ruang tamu, Arlan duduk termenung. Rokok di tangannya sudah separuh habis, tapi ia bahkan tidak menyadari kepulan asap yang mengepul di sekitarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan Inayah—bayangan yang terus ia bawa, sekalipun ia tahu kehadiran itu adalah racun bagi rumah tangganya sendiri.Suara langkah

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    28. Sepi yang Panjang

    Malam itu rumah terasa dingin meski udara tidak sedingin biasanya. Airin duduk di kursi ruang makan, menatap piring yang sudah ia tata sejak dua jam lalu. Nasi masih mengepul saat pertama kali ia menaruhnya, tapi kini sudah mulai mengeras, menempel di pinggir mangkuk. Lauk yang ia masak pun tak lagi beraroma sedap. Lampu ruang tamu menyala redup. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar, berdetak keras seolah mengejek dirinya. Tik-tok… tik-tok… Airin menunduk, memeluk kedua tangannya sendiri. Sejak sore ia menunggu, berharap Arlan pulang sebelum larut. Namun seperti biasa, harapannya sia-sia. Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar dari luar. Airin bergegas berdiri, hatinya berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu, menyambut, meski wajahnya masih dipenuhi rasa lelah. Arlan masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Jas kerjanya basah oleh gerimis, dasi tergantung longgar di lehernya. “Kau ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status