Share

8.Hujan dan Sepi

Author: Salah Adegan
last update Huling Na-update: 2025-08-13 02:02:11

Malam itu hujan turun deras, memukul atap seng seperti irama yang tak pernah berhenti. Airin duduk sendirian di teras, memeluk lututnya sambil memandangi lampu jalan yang meredup di kejauhan. Udara dingin menusuk, tapi dingin di hatinya jauh lebih menusuk. Perutnya kini mulai membesar, tanda kehidupan yang ia rawat dengan sepenuh hati, meski tak pernah sekalipun mendapat belaian atau kata manis dari suami.

Dari dalam rumah terdengar suara Arlan, lembut dan hangat—nada yang tak pernah ia dapatkan. Airin menutup telinganya, namun suaranya merayap masuk, menembus setiap retakan di hatinya. Ia tahu, tanpa harus menebak, kepada siapa suara itu diarahkan. Nama Inayah terasa bergema di kepalanya, meski tak pernah disebut.

Airin menarik napas panjang. “Kenapa… aku selalu merasa seperti bayangan di rumah ini?” bisiknya lirih, nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan. Ia menatap tetesan air yang jatuh dari ujung atap, pecah di tanah, seperti pecahnya hatinya sendiri. Sesekali, ia merasakan gerakan kecil dari janin di dalam perutnya. “Nak… kalau kau dengar Ibu, bertahanlah ya,” bisiknya, menahan air mata agar tak jatuh.

Dari balik jendela, ia melihat siluet Arlan tersenyum tipis sambil berbicara di telepon—senyum yang tak pernah ia lihat untuknya. Airin memejamkan mata, memeluk perutnya, mencoba mengalirkan kehangatan melalui telapak tangannya sendiri. “Ibu di sini, Nak… Ibu nggak akan ninggalin kamu,” ucapnya pelan.

Hujan mulai mereda, meninggalkan aroma tanah basah. Airin masih memandangi jalanan kosong di depan rumah, berharap ada seseorang yang datang dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Namun yang terdengar hanyalah tetesan air dari atap. Dari balik jendela, Arlan mondar-mandir sambil menatap ponsel. Tidak untuknya.

Airin menelan ludah. “Aku harus kuat… untukmu, Nak,” bisiknya, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis. Setiap detik yang lewat terasa panjang. Di antara rasa dingin dan sepi, ia membangun benteng kecil di hatinya: tempat di mana cinta untuk anaknya akan tumbuh, tak tersentuh kebencian atau penolakan siapa pun.

Sekilas, Arlan berhenti dan menoleh ke arah teras, seolah menangkap gerakan Airin. Namun ia hanya mengangkat alis dan kembali sibuk dengan ponselnya. Airin menelan sesak. “Aku bahkan tak bisa berharap sedikitpun padanya…”

Tiba-tiba, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah amplop putih tipis tergeletak di kursi bambu tempatnya duduk. Airin tersentak. “Amplop ini… dari mana?” gumamnya. Dengan hati-hati, ia meraih amplop itu. Tangannya gemetar saat membuka lipatan kertas di dalamnya.

Tulisan tangan yang asing, tinta hitam agak pudar, terbaca jelas:

"Kau tidak tahu siapa sebenarnya Arlan. Jangan percaya siapa pun di rumah ini."

Airin menggenggam kertas itu, napasnya tercekat. “Apa maksudnya? Siapa yang menulis ini?” pikirnya. Ia mencoba mengingat, namun semua wajah tetangga dan teman di pasar berputar samar. Perempuan paruh baya itu… iya, ia yang sempat menatapnya penuh rahasia.

Malam itu, Airin duduk lama di dapur, mencoba mengupas bawang, tapi jemarinya gemetar. Tatapan ibu mertua yang sedang merajut di sudut ruangan menusuk hatinya. “Jangan percaya siapa pun…” gumam Airin, menatap tajam perempuan tua itu.

Ketika Arlan pulang, suasana makin tegang. Airin berdiri, menahan napas.

“Mas… bisa bicara sebentar?” suaranya nyaris serak.

Arlan meletakkan jasnya di gantungan, menoleh singkat. “Ada apa sekarang?”

Airin menelan ludah. “Aku… tadi menemukan amplop ini di teras. Ada tulisan… tentang Mas.” Ia menatap Arlan, menunggu reaksi.

Arlan menatapnya, mata agak terbelalak. “Amplop? Tulisan? Apa maksudmu?”

Airin bergetar. “Kata di dalamnya… kau… bukan seperti yang kita lihat di rumah ini. Maksudnya… aku bingung, Mas. Siapa sebenarnya kau?”

Arlan menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rin… jangan terjebak dalam imajinasi atau gosip. Aku… aku memang tidak mudah menunjukkan perasaan. Tapi itu bukan berarti aku berbahaya.”

Airin menggigit bibir. “Tapi kata tulisan itu…”

Arlan mendekat, suaranya rendah. “Rin, dengar aku. Kau harus percaya sedikit pada hatimu sendiri. Jangan biarkan kata orang asing merusak yang kita punya… walaupun itu memang tidak sempurna.”

Airin menatap Arlan lama. Ada ketegangan, ada keraguan, tapi juga… ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Namun keraguan itu lebih kuat dari kepercayaan. “Aku… aku hanya ingin tahu… aku harus bisa percaya padamu, Mas. Tapi bagaimana aku bisa yakin?”

Arlan menunduk, memandang lantai. “Kadang, Rin… percaya tidak selalu mudah. Bahkan untukku sendiri.”

Airin memeluk perutnya. “Nak… Ibu janji, apapun yang terjadi, Ibu akan menjaga kita berdua.”

Arlan menghela napas, lalu meninggalkan dapur tanpa kata. Airin menatap punggungnya, jantungnya berdebar. Malam semakin larut, hujan kembali turun, menepuk atap dengan ritme yang lebih keras.

Airin berdiri di jendela, menatap gelap luar rumah. Dalam diam, ia berbisik pada diri sendiri:

“Jika rumah ini penuh kebohongan… aku akan membangun kebenaranku sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu anakku.”

Tiba-tiba terdengar ketukan halus di jendela. Airin menoleh, jantungnya hampir berhenti. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya kegelapan dan tetesan hujan yang menetes di kaca. Namun di balik ketakutan itu, sebuah pertanyaan muncul:

Apakah rahasia yang ditulis di amplop itu hanya permulaan? Atau badai yang lebih besar akan segera datang, mengancam bukan hanya rumah tanggaku, tapi hidupku dan anakku?

Airin menggenggam perutnya erat, tubuhnya gemetar. Dalam hati ia berbisik, suara hampir hilang di gemuruh hujan:

“Apapun yang terjadi… Ibu akan tetap bertahan. Tapi… apa aku benar-benar siap menghadapi semua ini sendirian?”

Malam itu berakhir dengan hujan yang tak kunjung reda, dan Airin duduk di teras, memeluk janinnya… menyadari bahwa hidupnya akan berubah selamanya, dan rahasia di balik Arlan baru saja membuka pintu menuju konflik yang jauh lebih besar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    32. Kata yang Tak Terucap

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah. Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. “Arlan…” suaranya bergetar. Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya: “Anak itu… darah dagingmu…” Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan. Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas. “Arlan, aku tahu

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    33. Pertemuan Rahasia

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.“Arlan…” suaranya bergetar.Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:“Anak itu… darah dagingmu…”Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.“Arlan, aku tahu ada sesuatu yang dia katakan padamu. Kau k

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    31. Tatapan yang Membisu

    Lorong rumah sakit itu terasa begitu panjang, seakan tak berujung. Cahaya lampu neon di langit-langit memantul di lantai yang mengilap, menimbulkan bayangan langkah-langkah Arlan yang goyah. Hatinya masih bergetar hebat sejak kalimat dokter menusuk gendang telinganya. "Tentang seorang anak… anak yang ternyata tidak pernah Anda ketahui." Kata-kata itu berputar tanpa henti di kepalanya, seolah menggema di setiap dinding rumah sakit. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketika sampai di depan ruang ICU, Arlan berdiri kaku. Dari balik kaca besar, ia melihat Inayah. Perempuan itu, yang dulu begitu hidup dalam setiap detak jantungnya, kini terbaring rapuh di ranjang dengan selang-selang medis menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, bibirnya kering. Ada getaran halus di dada Arlan. Antara rindu yang lama ia pendam, rasa bersalah yang menyesakkan, dan ketakutan akan kehilangan.

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    30: Bunga Layu di Halaman Rumah

    Pagi itu, cahaya matahari menerobos lewat celah tirai kamar. Suara ayam berkokok dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Namun, di dalam rumah itu, suasana tetap dingin—dingin yang bukan berasal dari udara, melainkan dari hati yang beku oleh pertengkaran semalam.Airin membuka matanya perlahan. Kelopak matanya masih sembab, sisa tangisan panjang yang ia biarkan menemaninya sampai lelap. Ia menoleh ke sisi ranjang, kosong. Arlan tidak ada di sana. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada sisa keberadaan. Hanya dingin pada sprei yang dingin, seolah menunjukkan betapa jauh jarak yang memisahkan mereka, meski tidur di rumah yang sama.Dengan langkah gontai, Airin bangkit. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan dari balik kaca ia melihat halaman rumah.Bunga mawar yang pernah ia tanam dengan penuh kasih, yang dulu mekar indah di sudut halaman

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    29. Pertanyaan yang Menggantung

    Hari itu, suasana rumah seperti ruang hampa. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan, bahkan bunyi langkah pun terasa berat. Hanya denting jam dinding yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski hati mereka berhenti pada luka yang sama.Airin duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar ketika memegang jilbab yang belum ia kenakan. Matanya sayu, berulang kali menatap cermin di hadapannya. Wajah itu… bukan lagi wajah seorang istri yang baru menikah, melainkan wajah perempuan yang terlalu sering menelan tangis sendiri."Kenapa semua harus begini, Ya Allah?" batinnya lirih.Air matanya jatuh, membasahi pipi.Di ruang tamu, Arlan duduk termenung. Rokok di tangannya sudah separuh habis, tapi ia bahkan tidak menyadari kepulan asap yang mengepul di sekitarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan Inayah—bayangan yang terus ia bawa, sekalipun ia tahu kehadiran itu adalah racun bagi rumah tangganya sendiri.Suara langkah

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    28. Sepi yang Panjang

    Malam itu rumah terasa dingin meski udara tidak sedingin biasanya. Airin duduk di kursi ruang makan, menatap piring yang sudah ia tata sejak dua jam lalu. Nasi masih mengepul saat pertama kali ia menaruhnya, tapi kini sudah mulai mengeras, menempel di pinggir mangkuk. Lauk yang ia masak pun tak lagi beraroma sedap. Lampu ruang tamu menyala redup. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar, berdetak keras seolah mengejek dirinya. Tik-tok… tik-tok… Airin menunduk, memeluk kedua tangannya sendiri. Sejak sore ia menunggu, berharap Arlan pulang sebelum larut. Namun seperti biasa, harapannya sia-sia. Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar dari luar. Airin bergegas berdiri, hatinya berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu, menyambut, meski wajahnya masih dipenuhi rasa lelah. Arlan masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Jas kerjanya basah oleh gerimis, dasi tergantung longgar di lehernya. “Kau ba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status