MasukMalam itu hujan turun deras, memukul atap seng seperti irama yang tak pernah berhenti. Airin duduk sendirian di teras, memeluk lututnya sambil memandangi lampu jalan yang meredup di kejauhan. Udara dingin menusuk, tapi dingin di hatinya jauh lebih menusuk. Perutnya kini mulai membesar, tanda kehidupan yang ia rawat dengan sepenuh hati, meski tak pernah sekalipun mendapat belaian atau kata manis dari suami.
Dari dalam rumah terdengar suara Arlan, lembut dan hangat—nada yang tak pernah ia dapatkan. Airin menutup telinganya, namun suaranya merayap masuk, menembus setiap retakan di hatinya. Ia tahu, tanpa harus menebak, kepada siapa suara itu diarahkan. Nama Inayah terasa bergema di kepalanya, meski tak pernah disebut. Airin menarik napas panjang. “Kenapa… aku selalu merasa seperti bayangan di rumah ini?” bisiknya lirih, nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan. Ia menatap tetesan air yang jatuh dari ujung atap, pecah di tanah, seperti pecahnya hatinya sendiri. Sesekali, ia merasakan gerakan kecil dari janin di dalam perutnya. “Nak… kalau kau dengar Ibu, bertahanlah ya,” bisiknya, menahan air mata agar tak jatuh. Dari balik jendela, ia melihat siluet Arlan tersenyum tipis sambil berbicara di telepon—senyum yang tak pernah ia lihat untuknya. Airin memejamkan mata, memeluk perutnya, mencoba mengalirkan kehangatan melalui telapak tangannya sendiri. “Ibu di sini, Nak… Ibu nggak akan ninggalin kamu,” ucapnya pelan. Hujan mulai mereda, meninggalkan aroma tanah basah. Airin masih memandangi jalanan kosong di depan rumah, berharap ada seseorang yang datang dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Namun yang terdengar hanyalah tetesan air dari atap. Dari balik jendela, Arlan mondar-mandir sambil menatap ponsel. Tidak untuknya. Airin menelan ludah. “Aku harus kuat… untukmu, Nak,” bisiknya, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis. Setiap detik yang lewat terasa panjang. Di antara rasa dingin dan sepi, ia membangun benteng kecil di hatinya: tempat di mana cinta untuk anaknya akan tumbuh, tak tersentuh kebencian atau penolakan siapa pun. Sekilas, Arlan berhenti dan menoleh ke arah teras, seolah menangkap gerakan Airin. Namun ia hanya mengangkat alis dan kembali sibuk dengan ponselnya. Airin menelan sesak. “Aku bahkan tak bisa berharap sedikitpun padanya…” Tiba-tiba, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah amplop putih tipis tergeletak di kursi bambu tempatnya duduk. Airin tersentak. “Amplop ini… dari mana?” gumamnya. Dengan hati-hati, ia meraih amplop itu. Tangannya gemetar saat membuka lipatan kertas di dalamnya. Tulisan tangan yang asing, tinta hitam agak pudar, terbaca jelas: "Kau tidak tahu siapa sebenarnya Arlan. Jangan percaya siapa pun di rumah ini." Airin menggenggam kertas itu, napasnya tercekat. “Apa maksudnya? Siapa yang menulis ini?” pikirnya. Ia mencoba mengingat, namun semua wajah tetangga dan teman di pasar berputar samar. Perempuan paruh baya itu… iya, ia yang sempat menatapnya penuh rahasia. Malam itu, Airin duduk lama di dapur, mencoba mengupas bawang, tapi jemarinya gemetar. Tatapan ibu mertua yang sedang merajut di sudut ruangan menusuk hatinya. “Jangan percaya siapa pun…” gumam Airin, menatap tajam perempuan tua itu. Ketika Arlan pulang, suasana makin tegang. Airin berdiri, menahan napas. “Mas… bisa bicara sebentar?” suaranya nyaris serak. Arlan meletakkan jasnya di gantungan, menoleh singkat. “Ada apa sekarang?” Airin menelan ludah. “Aku… tadi menemukan amplop ini di teras. Ada tulisan… tentang Mas.” Ia menatap Arlan, menunggu reaksi. Arlan menatapnya, mata agak terbelalak. “Amplop? Tulisan? Apa maksudmu?” Airin bergetar. “Kata di dalamnya… kau… bukan seperti yang kita lihat di rumah ini. Maksudnya… aku bingung, Mas. Siapa sebenarnya kau?” Arlan menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rin… jangan terjebak dalam imajinasi atau gosip. Aku… aku memang tidak mudah menunjukkan perasaan. Tapi itu bukan berarti aku berbahaya.” Airin menggigit bibir. “Tapi kata tulisan itu…” Arlan mendekat, suaranya rendah. “Rin, dengar aku. Kau harus percaya sedikit pada hatimu sendiri. Jangan biarkan kata orang asing merusak yang kita punya… walaupun itu memang tidak sempurna.” Airin menatap Arlan lama. Ada ketegangan, ada keraguan, tapi juga… ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Namun keraguan itu lebih kuat dari kepercayaan. “Aku… aku hanya ingin tahu… aku harus bisa percaya padamu, Mas. Tapi bagaimana aku bisa yakin?” Arlan menunduk, memandang lantai. “Kadang, Rin… percaya tidak selalu mudah. Bahkan untukku sendiri.” Airin memeluk perutnya. “Nak… Ibu janji, apapun yang terjadi, Ibu akan menjaga kita berdua.” Arlan menghela napas, lalu meninggalkan dapur tanpa kata. Airin menatap punggungnya, jantungnya berdebar. Malam semakin larut, hujan kembali turun, menepuk atap dengan ritme yang lebih keras. Airin berdiri di jendela, menatap gelap luar rumah. Dalam diam, ia berbisik pada diri sendiri: “Jika rumah ini penuh kebohongan… aku akan membangun kebenaranku sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu anakku.” Tiba-tiba terdengar ketukan halus di jendela. Airin menoleh, jantungnya hampir berhenti. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya kegelapan dan tetesan hujan yang menetes di kaca. Namun di balik ketakutan itu, sebuah pertanyaan muncul: Apakah rahasia yang ditulis di amplop itu hanya permulaan? Atau badai yang lebih besar akan segera datang, mengancam bukan hanya rumah tanggaku, tapi hidupku dan anakku? Airin menggenggam perutnya erat, tubuhnya gemetar. Dalam hati ia berbisik, suara hampir hilang di gemuruh hujan: “Apapun yang terjadi… Ibu akan tetap bertahan. Tapi… apa aku benar-benar siap menghadapi semua ini sendirian?” Malam itu berakhir dengan hujan yang tak kunjung reda, dan Airin duduk di teras, memeluk janinnya… menyadari bahwa hidupnya akan berubah selamanya, dan rahasia di balik Arlan baru saja membuka pintu menuju konflik yang jauh lebih besar.Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan
Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men
Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan
Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l
Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot
Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma







