Malam itu, suasana meja makan seolah dibungkus udara yang pekat dan dingin. Lampu gantung di atas kepala memancarkan cahaya kekuningan, memantul di permukaan meja kayu tua yang dipenuhi piring nasi dan lauk sederhana. Aroma sayur asam bercampur dengan sambal terasi menusuk hidung, tapi bagi Airin, rasanya semua kehilangan selera.
Ia duduk di samping Arlan, sementara di hadapan mereka, ibu mertua duduk tegak. Sendok sayurnya bergerak pelan, menyendokkan kuah ke mangkuk. Matanya sempat melirik ke arah Airin, dingin, penuh penilaian. Dan tiba-tiba, kalimat itu meluncur dari bibirnya—tajam, dingin, menusuk jantung. “Kalau Arlan menikah sama Inayah,” ucapnya pelan tapi jelas, “mungkin keluarganya gak akan sesusah ini.” Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar nyaring, lalu sunyi. Tak ada suara lain, kecuali detak jam dinding yang berjalan lambat. Airin membeku. Tangan yang memegang sendok ikut bergetar, hampir menjatuhkan potongan tahu yang tadi hendak ia makan. Wajahnya terasa panas, bukan karena marah, tapi malu. Malu yang menelusup dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. “Ibu…” suara Airin nyaris tak terdengar. Ia ingin menanyakan maksud perkataan itu, tapi lidahnya kelu. Arlan, yang duduk di sampingnya, tetap menunduk menatap nasi. Ia mengunyah perlahan, seolah tak mendengar apa pun. Tak ada bantahan. Tak ada pembelaan. “Ibu…” Airin mencoba lagi, suaranya bergetar, “apa maksudnya—” Belum sempat ia lanjutkan, ibu mertua menaruh sendoknya di piring. Tatapannya menusuk seperti belati. “Maksud ibu jelas, Rin,” katanya tanpa ragu. “Kamu tahu sendiri, Inayah lebih pantas. Dia pintar, rajin, bisa diandalkan. Arlan gak akan kesulitan kalau istrinya Inayah.” Airin menunduk, menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk. Hatinya diremas dari dalam. “Ibu, jangan begitu,” akhirnya suara Arlan keluar, namun lemah. “Airin sudah jadi istriku.” “Memang sudah,” jawab ibunya datar, “tapi bukan berarti pilihan itu yang terbaik.” Arlan kembali diam. Sunyi. Airin menelan ludah, tapi tenggorokannya kering. “Bu… saya akan berusaha. Saya akan belajar jadi istri yang baik.” Ibu mertuanya mendengus. “Berusaha? Jangan cuma ngomong. Hidup ini bukan tempat belajar terus-menerus, Rin. Apalagi jadi istri Arlan. Kamu harusnya sudah siap, bukan coba-coba.” Airin tak sanggup menatap. Nasi di piringnya kabur, bercampur dengan air mata yang jatuh. Ia buru-buru menunduk lebih dalam. Makan malam berlanjut dengan percakapan singkat antara ibu dan anak, tentang harga bahan pokok, tentang pekerjaan Arlan, seolah tak pernah ada kalimat yang menusuk barusan. Airin hanya mendengar sayup-sayup, jiwanya melayang entah ke mana. Begitu meja makan beres, Airin membawa piring ke dapur. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Di depan wastafel, air keran mengalir deras. Ia sengaja membiarkannya menutupi isak kecil yang akhirnya lolos dari bibirnya. “Kenapa, Rin?” suara pelan muncul di belakangnya. Airin tersentak, cepat-cepat menyeka pipinya dengan punggung tangan. Arlan berdiri di pintu dapur, wajahnya tanpa ekspresi. “Gak apa-apa,” jawab Airin singkat, kembali mencuci piring. Arlan menghela napas panjang. “Ibu memang begitu. Jangan dimasukin hati.” Airin berhenti, menoleh, menatapnya dengan mata yang basah. “Kalau kamu tahu ibu seperti itu, kenapa kamu diam aja di depan tadi, Lan?” Arlan tak langsung menjawab. Ia menunduk, menggosok tengkuknya. “Aku cuma gak mau memperpanjang. Udah, jangan dipikirin.” “Jangan dipikirin?” Airin tertawa getir. “Kamu tahu rasanya jadi aku? Duduk di meja makan, dijadikan bahan perbandingan sama kakakku sendiri… di depan kamu… lalu kamu diam aja? Kamu tahu rasanya seperti apa, Lan?” Arlan terdiam. Napasnya terdengar berat, tapi bibirnya tak membuka. Airin kembali menunduk, menyelesaikan cucian. “Udah, aku ngerti. Kamu memang gak akan pernah belain aku. Karena di hati kamu, yang ada tetap Inayah.” Arlan mendongak cepat, menatapnya tajam. “Jangan bawa-bawa Inayah lagi, Rin.” “Tapi itu kenyataan, kan?” suara Airin pecah. “Aku tahu. Aku cuma bayangan buat kamu. Bahkan ibumu aja bilang aku gak pantas. Jadi buat apa aku di sini, Lan?” Arlan mengepalkan tangan, tapi memilih pergi tanpa jawaban. Langkahnya menjauh, meninggalkan Airin sendirian bersama suara air yang masih mengalir deras. Malam itu, di kamar, Arlan masuk tanpa kata. Ia meletakkan ponselnya, mematikan lampu, lalu membalikkan badan, membelakangi Airin. “Lan…” suara Airin lirih, nyaris berbisik. Arlan tidak merespons. Airin menatap punggung itu lama, berharap akan berbalik. Tapi yang terdengar hanya napas teratur, tanda ia memilih tidur dan meninggalkan percakapan yang bahkan belum dimulai. Airin menutup wajah dengan bantal, menahan tangis yang pecah lagi. Waktu berjalan lambat. Tiba-tiba pintu kamar berderit. Airin buru-buru menyeka matanya, menoleh dengan harapan. “Lan?” suaranya ragu. Tapi bukan Arlan. Sesosok bayangan berdiri di ambang pintu, samar oleh cahaya koridor. “Siapa…?” suara Airin tercekat. Bayangan itu menatapnya, lalu berkata dengan nada rendah, nyaris berbisik: “Airin… kamu sadar, kan? Kamu gak pernah benar-benar diinginkan di rumah ini.” Airin membeku. Dadanya berdesir dingin. Bayangan itu menutup pintu perlahan. Gelap kembali menelan kamar. Airin menegakkan tubuh di ranjang, memeluk dirinya sendiri. Kata-kata itu menggema, menambah sesak di dada. “Gak diinginkan…?” bisiknya pada diri sendiri. Matanya menatap cermin di sudut kamar. Dari balik bayangan, ia melihat sosok perempuan dengan wajah pucat, rambut kusut, mata bengkak. Perempuan yang hampir tak ia kenali lagi. “Apakah aku masih sanggup bertahan?” tanyanya pada pantulan itu. Hening. Tak ada jawaban. Hujan di luar turun deras, mengguyur genting dengan suara riuh. Airin berjalan ke jendela, menatap ke luar. Dadanya bergejolak, pikirannya kalut. “Mungkin aku harus… melepaskan,” bisiknya pada hujan. “Tapi bagaimana caranya?” Langkah mendekat terdengar dari balik pintu. Airin menoleh cepat. Pintu kamar kembali berderit. Suara itu muncul lagi—dingin, misterius, tapi jelas menusuk telinga: “Kalau kamu ingin selamat, Rin… jangan tunggu Arlan. Ambil keputusanmu sendiri.” Airin terperanjat, jantungnya hampir meloncat keluar. Pintu menutup kembali. Gelap. Sunyi. Airin berdiri mematung, tubuhnya bergetar hebat. Suara itu bukan suara ibunya, bukan suara Arlan, dan bukan pula suara mertuanya. Lalu… siapa? Airin menutup mulutnya, menahan napas. Untuk pertama kalinya, ia sadar—ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pernikahan tanpa cinta. Ada rahasia yang disembunyikan di rumah ini. Rahasia yang bisa menghancurkan dirinya… atau justru membebaskannya.Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah. Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. “Arlan…” suaranya bergetar. Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya: “Anak itu… darah dagingmu…” Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan. Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas. “Arlan, aku tahu
Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.“Arlan…” suaranya bergetar.Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:“Anak itu… darah dagingmu…”Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.“Arlan, aku tahu ada sesuatu yang dia katakan padamu. Kau k
Lorong rumah sakit itu terasa begitu panjang, seakan tak berujung. Cahaya lampu neon di langit-langit memantul di lantai yang mengilap, menimbulkan bayangan langkah-langkah Arlan yang goyah. Hatinya masih bergetar hebat sejak kalimat dokter menusuk gendang telinganya. "Tentang seorang anak… anak yang ternyata tidak pernah Anda ketahui." Kata-kata itu berputar tanpa henti di kepalanya, seolah menggema di setiap dinding rumah sakit. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketika sampai di depan ruang ICU, Arlan berdiri kaku. Dari balik kaca besar, ia melihat Inayah. Perempuan itu, yang dulu begitu hidup dalam setiap detak jantungnya, kini terbaring rapuh di ranjang dengan selang-selang medis menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, bibirnya kering. Ada getaran halus di dada Arlan. Antara rindu yang lama ia pendam, rasa bersalah yang menyesakkan, dan ketakutan akan kehilangan.
Pagi itu, cahaya matahari menerobos lewat celah tirai kamar. Suara ayam berkokok dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Namun, di dalam rumah itu, suasana tetap dingin—dingin yang bukan berasal dari udara, melainkan dari hati yang beku oleh pertengkaran semalam.Airin membuka matanya perlahan. Kelopak matanya masih sembab, sisa tangisan panjang yang ia biarkan menemaninya sampai lelap. Ia menoleh ke sisi ranjang, kosong. Arlan tidak ada di sana. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada sisa keberadaan. Hanya dingin pada sprei yang dingin, seolah menunjukkan betapa jauh jarak yang memisahkan mereka, meski tidur di rumah yang sama.Dengan langkah gontai, Airin bangkit. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan dari balik kaca ia melihat halaman rumah.Bunga mawar yang pernah ia tanam dengan penuh kasih, yang dulu mekar indah di sudut halaman
Hari itu, suasana rumah seperti ruang hampa. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan, bahkan bunyi langkah pun terasa berat. Hanya denting jam dinding yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski hati mereka berhenti pada luka yang sama.Airin duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar ketika memegang jilbab yang belum ia kenakan. Matanya sayu, berulang kali menatap cermin di hadapannya. Wajah itu… bukan lagi wajah seorang istri yang baru menikah, melainkan wajah perempuan yang terlalu sering menelan tangis sendiri."Kenapa semua harus begini, Ya Allah?" batinnya lirih.Air matanya jatuh, membasahi pipi.Di ruang tamu, Arlan duduk termenung. Rokok di tangannya sudah separuh habis, tapi ia bahkan tidak menyadari kepulan asap yang mengepul di sekitarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan Inayah—bayangan yang terus ia bawa, sekalipun ia tahu kehadiran itu adalah racun bagi rumah tangganya sendiri.Suara langkah
Malam itu rumah terasa dingin meski udara tidak sedingin biasanya. Airin duduk di kursi ruang makan, menatap piring yang sudah ia tata sejak dua jam lalu. Nasi masih mengepul saat pertama kali ia menaruhnya, tapi kini sudah mulai mengeras, menempel di pinggir mangkuk. Lauk yang ia masak pun tak lagi beraroma sedap. Lampu ruang tamu menyala redup. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar, berdetak keras seolah mengejek dirinya. Tik-tok… tik-tok… Airin menunduk, memeluk kedua tangannya sendiri. Sejak sore ia menunggu, berharap Arlan pulang sebelum larut. Namun seperti biasa, harapannya sia-sia. Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar dari luar. Airin bergegas berdiri, hatinya berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu, menyambut, meski wajahnya masih dipenuhi rasa lelah. Arlan masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Jas kerjanya basah oleh gerimis, dasi tergantung longgar di lehernya. “Kau ba