Share

6.Ujian di Meja Makan

Penulis: Salah Adegan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-13 01:51:37

Malam itu, suasana meja makan seolah dibungkus udara yang pekat dan dingin. Lampu gantung di atas kepala memancarkan cahaya kekuningan, memantul di permukaan meja kayu tua yang dipenuhi piring nasi dan lauk sederhana. Aroma sayur asam bercampur dengan sambal terasi menusuk hidung, tapi bagi Airin, rasanya semua kehilangan selera.

Ia duduk di samping Arlan, sementara di hadapan mereka, ibu mertua duduk tegak. Sendok sayurnya bergerak pelan, menyendokkan kuah ke mangkuk. Matanya sempat melirik ke arah Airin, dingin, penuh penilaian.

Dan tiba-tiba, kalimat itu meluncur dari bibirnya—tajam, dingin, menusuk jantung.

“Kalau Arlan menikah sama Inayah,” ucapnya pelan tapi jelas, “mungkin keluarganya gak akan sesusah ini.”

Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar nyaring, lalu sunyi. Tak ada suara lain, kecuali detak jam dinding yang berjalan lambat.

Airin membeku. Tangan yang memegang sendok ikut bergetar, hampir menjatuhkan potongan tahu yang tadi hendak ia makan. Wajahnya terasa panas, bukan karena marah, tapi malu. Malu yang menelusup dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki.

“Ibu…” suara Airin nyaris tak terdengar. Ia ingin menanyakan maksud perkataan itu, tapi lidahnya kelu.

Arlan, yang duduk di sampingnya, tetap menunduk menatap nasi. Ia mengunyah perlahan, seolah tak mendengar apa pun. Tak ada bantahan. Tak ada pembelaan.

“Ibu…” Airin mencoba lagi, suaranya bergetar, “apa maksudnya—”

Belum sempat ia lanjutkan, ibu mertua menaruh sendoknya di piring. Tatapannya menusuk seperti belati.

“Maksud ibu jelas, Rin,” katanya tanpa ragu. “Kamu tahu sendiri, Inayah lebih pantas. Dia pintar, rajin, bisa diandalkan. Arlan gak akan kesulitan kalau istrinya Inayah.”

Airin menunduk, menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk. Hatinya diremas dari dalam.

“Ibu, jangan begitu,” akhirnya suara Arlan keluar, namun lemah. “Airin sudah jadi istriku.”

“Memang sudah,” jawab ibunya datar, “tapi bukan berarti pilihan itu yang terbaik.”

Arlan kembali diam. Sunyi.

Airin menelan ludah, tapi tenggorokannya kering. “Bu… saya akan berusaha. Saya akan belajar jadi istri yang baik.”

Ibu mertuanya mendengus. “Berusaha? Jangan cuma ngomong. Hidup ini bukan tempat belajar terus-menerus, Rin. Apalagi jadi istri Arlan. Kamu harusnya sudah siap, bukan coba-coba.”

Airin tak sanggup menatap. Nasi di piringnya kabur, bercampur dengan air mata yang jatuh. Ia buru-buru menunduk lebih dalam.

Makan malam berlanjut dengan percakapan singkat antara ibu dan anak, tentang harga bahan pokok, tentang pekerjaan Arlan, seolah tak pernah ada kalimat yang menusuk barusan. Airin hanya mendengar sayup-sayup, jiwanya melayang entah ke mana.

Begitu meja makan beres, Airin membawa piring ke dapur. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Di depan wastafel, air keran mengalir deras. Ia sengaja membiarkannya menutupi isak kecil yang akhirnya lolos dari bibirnya.

“Kenapa, Rin?” suara pelan muncul di belakangnya.

Airin tersentak, cepat-cepat menyeka pipinya dengan punggung tangan. Arlan berdiri di pintu dapur, wajahnya tanpa ekspresi.

“Gak apa-apa,” jawab Airin singkat, kembali mencuci piring.

Arlan menghela napas panjang. “Ibu memang begitu. Jangan dimasukin hati.”

Airin berhenti, menoleh, menatapnya dengan mata yang basah. “Kalau kamu tahu ibu seperti itu, kenapa kamu diam aja di depan tadi, Lan?”

Arlan tak langsung menjawab. Ia menunduk, menggosok tengkuknya. “Aku cuma gak mau memperpanjang. Udah, jangan dipikirin.”

“Jangan dipikirin?” Airin tertawa getir. “Kamu tahu rasanya jadi aku? Duduk di meja makan, dijadikan bahan perbandingan sama kakakku sendiri… di depan kamu… lalu kamu diam aja? Kamu tahu rasanya seperti apa, Lan?”

Arlan terdiam. Napasnya terdengar berat, tapi bibirnya tak membuka.

Airin kembali menunduk, menyelesaikan cucian. “Udah, aku ngerti. Kamu memang gak akan pernah belain aku. Karena di hati kamu, yang ada tetap Inayah.”

Arlan mendongak cepat, menatapnya tajam. “Jangan bawa-bawa Inayah lagi, Rin.”

“Tapi itu kenyataan, kan?” suara Airin pecah. “Aku tahu. Aku cuma bayangan buat kamu. Bahkan ibumu aja bilang aku gak pantas. Jadi buat apa aku di sini, Lan?”

Arlan mengepalkan tangan, tapi memilih pergi tanpa jawaban. Langkahnya menjauh, meninggalkan Airin sendirian bersama suara air yang masih mengalir deras.

Malam itu, di kamar, Arlan masuk tanpa kata. Ia meletakkan ponselnya, mematikan lampu, lalu membalikkan badan, membelakangi Airin.

“Lan…” suara Airin lirih, nyaris berbisik.

Arlan tidak merespons.

Airin menatap punggung itu lama, berharap akan berbalik. Tapi yang terdengar hanya napas teratur, tanda ia memilih tidur dan meninggalkan percakapan yang bahkan belum dimulai.

Airin menutup wajah dengan bantal, menahan tangis yang pecah lagi.

Waktu berjalan lambat. Tiba-tiba pintu kamar berderit. Airin buru-buru menyeka matanya, menoleh dengan harapan.

“Lan?” suaranya ragu.

Tapi bukan Arlan. Sesosok bayangan berdiri di ambang pintu, samar oleh cahaya koridor.

“Siapa…?” suara Airin tercekat.

Bayangan itu menatapnya, lalu berkata dengan nada rendah, nyaris berbisik:

“Airin… kamu sadar, kan? Kamu gak pernah benar-benar diinginkan di rumah ini.”

Airin membeku. Dadanya berdesir dingin.

Bayangan itu menutup pintu perlahan. Gelap kembali menelan kamar.

Airin menegakkan tubuh di ranjang, memeluk dirinya sendiri. Kata-kata itu menggema, menambah sesak di dada.

“Gak diinginkan…?” bisiknya pada diri sendiri.

Matanya menatap cermin di sudut kamar. Dari balik bayangan, ia melihat sosok perempuan dengan wajah pucat, rambut kusut, mata bengkak. Perempuan yang hampir tak ia kenali lagi.

“Apakah aku masih sanggup bertahan?” tanyanya pada pantulan itu.

Hening. Tak ada jawaban.

Hujan di luar turun deras, mengguyur genting dengan suara riuh. Airin berjalan ke jendela, menatap ke luar. Dadanya bergejolak, pikirannya kalut.

“Mungkin aku harus… melepaskan,” bisiknya pada hujan. “Tapi bagaimana caranya?”

Langkah mendekat terdengar dari balik pintu. Airin menoleh cepat. Pintu kamar kembali berderit.

Suara itu muncul lagi—dingin, misterius, tapi jelas menusuk telinga:

“Kalau kamu ingin selamat, Rin… jangan tunggu Arlan. Ambil keputusanmu sendiri.”

Airin terperanjat, jantungnya hampir meloncat keluar.

Pintu menutup kembali. Gelap. Sunyi.

Airin berdiri mematung, tubuhnya bergetar hebat. Suara itu bukan suara ibunya, bukan suara Arlan, dan bukan pula suara mertuanya.

Lalu… siapa?

Airin menutup mulutnya, menahan napas. Untuk pertama kalinya, ia sadar—ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pernikahan tanpa cinta. Ada rahasia yang disembunyikan di rumah ini. Rahasia yang bisa menghancurkan dirinya… atau justru membebaskannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    171.Tamat

    Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    170.Di Antara Cinta dan Dosa

    Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    169.Surat dari Bawah Tanah

    Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    168.Seseorang di Balik Reruntuhan

    Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    167.Ketukan dari Dinding yang Bernapas

    Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    166.Antara Dunia yang Tidak Sepenuhnya Hidup

    Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status