Home / Rumah Tangga / Cinta Yang Tak Pernah Dipilih / 9.Retak yang Mulai Terasa

Share

9.Retak yang Mulai Terasa

Author: Salah Adegan
last update Last Updated: 2025-08-13 02:06:37

Hari-hari di rumah itu terasa semakin panjang dan hening bagi Airin. Bukan hening yang menenangkan, melainkan hening yang membungkam. Jarak antara dirinya dan Arlan semakin melebar seperti jembatan yang perlahan runtuh, papan demi papan, hingga yang tersisa hanya jurang.

Setiap kali ia mencoba mengajak bicara, Arlan selalu menjawab singkat, kadang hanya dengan satu kata.

“Iya.”

“Nggak.”

“Nanti.”

Atau lebih sering lagi, hanya anggukan tanpa menatap wajahnya.

Airin mulai merasa seperti bayangan di rumah sendiri—ada, tapi tak dianggap. Keberadaannya di meja makan tak pernah mengubah suasana. Bahkan ketika ia mencoba menyajikan makanan yang ia tahu Arlan suka, pria itu hanya memindahkan piringnya tanpa sepatah kata, lalu makan dengan tatapan kosong.

Suatu malam, Airin memberanikan diri bertanya saat mereka duduk di meja makan.

“Lan…” suaranya pelan. “Masih suka sambal buatan aku, kan?”

Arlan menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Iya.”

“Hm… kalau ada yang kurang enak, bilang aja, biar aku perbaiki.”

“Udah, nggak usah banyak tanya,” jawab Arlan cepat, sebelum kembali fokus pada piringnya.

Kata-kata singkat itu membungkam Airin. Ia kembali menunduk, menahan sesak di dada.

Ibu mertua pun semakin keras. Setiap hari, selalu saja ada yang salah di mata perempuan itu. Kalau lantai sedikit berdebu, Airin yang disalahkan. Kalau jemuran terlambat diangkat, Airin yang dimarahi.

Pernah suatu kali, Airin terlambat membuat teh pagi karena ia merasa mual akibat kehamilannya. Saat itu, ibu mertua langsung berteriak dari dapur.

“Kalau nggak bisa kerja, jangan numpang di sini! Hamil bukan alasan untuk malas!”

Airin menelan ludah, mencoba menjawab lembut.

“Maaf, Bu… tadi saya agak mual.”

Ibu mertuanya mendengus sinis. “Mual, mual terus. Jangan manja! Zaman dulu, perempuan hamil masih bisa ke sawah, nggak kayak kamu—baru lima bulan udah rewel.”

Kata-kata itu menusuk seperti duri. Airin hanya menunduk, menyelesaikan pekerjaan sambil menahan air mata. Ia tahu, kalau ia membalas, semua akan semakin buruk.

Malam-malamnya pun tak lebih baik. Arlan sering pulang larut, dan saat pulang pun ia jarang mengajak Airin bicara. Kadang Airin mendengar suara dering ponsel di kamar, lalu suara Arlan yang berubah lembut.

“Udah makan?” suara Arlan terdengar samar dari balik pintu kamar.

Ada jeda sebentar sebelum ia menambahkan, “Kamu jangan tidur malem-malem, ya.”

Nada lembut itu bukan pernah untuknya. Airin tahu kepada siapa suara itu ditujukan. Nama Inayah, kakaknya sendiri, seperti terus menghantui, menjadi bayang-bayang yang tak bisa ia usir dari hidupnya.

Airin mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, Sampai kapan aku bisa bertahan?

Ia memandangi tangannya yang mulai kurus, kulitnya yang pucat, dan lingkar hitam di matanya. Ia tak lagi punya tenaga untuk membantah, apalagi bermimpi. Satu-satunya alasan ia tetap bertahan adalah bayi di perutnya. Hanya itu yang membuatnya bangun setiap pagi.

Malam itu, sambil menatap lampu jalan dari balik jendela, Airin membisikkan janji pada dirinya sendiri.

“Apapun yang terjadi, aku akan melindungi anak ini… meski harus sendirian.”

Udara malam terasa lembap, menempel di kulit seperti embun. Dari jendela kamar, Airin bisa melihat jalan kecil di depan rumah. Sesekali, angin menggerakkan dedaunan pohon mangga, menimbulkan suara gesekan yang lirih namun menusuk kesepian.

Airin memeluk perutnya perlahan.

“Kamu cuma punya Ibu, Nak. Dan Ibu janji, Ibu nggak akan pernah ninggalin kamu,” bisiknya pelan.

Suara tawa dari ruang tamu memecah lamunannya. Tawa itu bukan milik Arlan, melainkan ibu mertua dan kerabat yang sedang berkunjung.

“Kalau nggak hamil, anak ini udah saya suruh pulang ke orang tuanya,” suara ibu mertua terdengar jelas.

Airin tercekat. Ia ingin sekali keluar dan membela diri, tapi kakinya berat. Ia tahu, jika berbicara, perdebatan akan meledak.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Arlan pulang larut dengan wajah letih. Bau parfum asing menyeruak. Airin menoleh sebentar.

“Mas, capek? Mau aku bikinin teh hangat?” tanyanya hati-hati.

Arlan meletakkan ponselnya di meja. “Nggak usah.”

“Mas… besok kita bisa jalan bareng ke dokter kandungan? Aku—”

“Nggak bisa. Aku ada urusan,” potong Arlan cepat, lalu berbalik.

Airin menggenggam tangannya erat, berusaha menahan gemetar. Ia ingin marah, ingin menuntut penjelasan, tapi semua kata hanya tersangkut di tenggorokannya.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika Arlan berbaring membelakanginya. Tak ada ucapan selamat malam. Airin pun memalingkan wajah ke jendela, menatap lampu jalan yang kini mulai berkabut oleh embun.

Dalam gelap, ia kembali berbisik lirih,

“Ibu akan melindungimu, Nak… walau harus berdiri sendirian.”

Dan entah bagaimana, di tengah segala keterpurukan itu, janji kecil itu justru membuatnya merasa sedikit lebih kuat—setidaknya untuk malam ini.

Dalam gelap, ia kembali berbisik lirih,

“Ibu akan melindungimu, Nak… walau harus berdiri sendirian.”

Entah bagaimana, di tengah segala keterpurukan itu, janji kecil itu justru membuatnya merasa sedikit lebih kuat—setidaknya untuk malam ini.

Namun tepat ketika matanya mulai terpejam, ponsel Arlan yang tergeletak di meja bergetar. Layar menyala, menampilkan sebuah nama yang membuat jantung Airin berhenti seketika.

Inayah.

Airin terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Ia hanya bisa menatap cahaya layar yang berkedip-kedip, seakan mengejeknya dalam hening.

Airin menggenggam perutnya lebih erat, bibirnya bergetar tanpa bersuara.

“Ya Tuhan… sampai kapan aku sanggup bertahan?”

“Esok, ia belum tahu badai besar apa yang menantinya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    32. Kata yang Tak Terucap

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah. Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. “Arlan…” suaranya bergetar. Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya: “Anak itu… darah dagingmu…” Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan. Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas. “Arlan, aku tahu

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    33. Pertemuan Rahasia

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.“Arlan…” suaranya bergetar.Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:“Anak itu… darah dagingmu…”Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.“Arlan, aku tahu ada sesuatu yang dia katakan padamu. Kau k

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    31. Tatapan yang Membisu

    Lorong rumah sakit itu terasa begitu panjang, seakan tak berujung. Cahaya lampu neon di langit-langit memantul di lantai yang mengilap, menimbulkan bayangan langkah-langkah Arlan yang goyah. Hatinya masih bergetar hebat sejak kalimat dokter menusuk gendang telinganya. "Tentang seorang anak… anak yang ternyata tidak pernah Anda ketahui." Kata-kata itu berputar tanpa henti di kepalanya, seolah menggema di setiap dinding rumah sakit. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketika sampai di depan ruang ICU, Arlan berdiri kaku. Dari balik kaca besar, ia melihat Inayah. Perempuan itu, yang dulu begitu hidup dalam setiap detak jantungnya, kini terbaring rapuh di ranjang dengan selang-selang medis menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, bibirnya kering. Ada getaran halus di dada Arlan. Antara rindu yang lama ia pendam, rasa bersalah yang menyesakkan, dan ketakutan akan kehilangan.

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    30: Bunga Layu di Halaman Rumah

    Pagi itu, cahaya matahari menerobos lewat celah tirai kamar. Suara ayam berkokok dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Namun, di dalam rumah itu, suasana tetap dingin—dingin yang bukan berasal dari udara, melainkan dari hati yang beku oleh pertengkaran semalam.Airin membuka matanya perlahan. Kelopak matanya masih sembab, sisa tangisan panjang yang ia biarkan menemaninya sampai lelap. Ia menoleh ke sisi ranjang, kosong. Arlan tidak ada di sana. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada sisa keberadaan. Hanya dingin pada sprei yang dingin, seolah menunjukkan betapa jauh jarak yang memisahkan mereka, meski tidur di rumah yang sama.Dengan langkah gontai, Airin bangkit. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan dari balik kaca ia melihat halaman rumah.Bunga mawar yang pernah ia tanam dengan penuh kasih, yang dulu mekar indah di sudut halaman

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    29. Pertanyaan yang Menggantung

    Hari itu, suasana rumah seperti ruang hampa. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan, bahkan bunyi langkah pun terasa berat. Hanya denting jam dinding yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski hati mereka berhenti pada luka yang sama.Airin duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar ketika memegang jilbab yang belum ia kenakan. Matanya sayu, berulang kali menatap cermin di hadapannya. Wajah itu… bukan lagi wajah seorang istri yang baru menikah, melainkan wajah perempuan yang terlalu sering menelan tangis sendiri."Kenapa semua harus begini, Ya Allah?" batinnya lirih.Air matanya jatuh, membasahi pipi.Di ruang tamu, Arlan duduk termenung. Rokok di tangannya sudah separuh habis, tapi ia bahkan tidak menyadari kepulan asap yang mengepul di sekitarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan Inayah—bayangan yang terus ia bawa, sekalipun ia tahu kehadiran itu adalah racun bagi rumah tangganya sendiri.Suara langkah

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    28. Sepi yang Panjang

    Malam itu rumah terasa dingin meski udara tidak sedingin biasanya. Airin duduk di kursi ruang makan, menatap piring yang sudah ia tata sejak dua jam lalu. Nasi masih mengepul saat pertama kali ia menaruhnya, tapi kini sudah mulai mengeras, menempel di pinggir mangkuk. Lauk yang ia masak pun tak lagi beraroma sedap. Lampu ruang tamu menyala redup. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar, berdetak keras seolah mengejek dirinya. Tik-tok… tik-tok… Airin menunduk, memeluk kedua tangannya sendiri. Sejak sore ia menunggu, berharap Arlan pulang sebelum larut. Namun seperti biasa, harapannya sia-sia. Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar dari luar. Airin bergegas berdiri, hatinya berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu, menyambut, meski wajahnya masih dipenuhi rasa lelah. Arlan masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Jas kerjanya basah oleh gerimis, dasi tergantung longgar di lehernya. “Kau ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status