Syilla yang merasa paling tersakiti disini, memutuskan untuk pergi dengan cepat ia mengemas buku-bukunya. Saat hendak pergi dari hadapan pemuda yang sangat ia cintai itu tiba-tiba lengannya dicekal erat oleh lelaki itu membuat Syilla meringis. Izzuddin mulai menunjukkan tatapan tajam, akan jawaban gadisnya yang mengisi hatinya selama tiga tahun lebih.
Kecewa, sakit, cinta, penghianatan melebur menjadi satu dalam hati Izzuddin, bagaimana bisa gadis itu menghianatinya seperti ini. Di manakah janji setianya dulu? Di manakah gadis kecilnya dulu? Hari ini, detik ini Izzuddin tak lagi melihat mata indah miliknya dulu terpancar begitu indah, ia hanya bisa melihat tatapan membunuh itu menghumus dalam kedalam kornea sepasang mata coklatnya.
"Bukan urusan anda." potong Syilla dingin.
Ini pertama kalinya ia melihat gadisnya bersikap seperti itu padanya, karena ia tahu betul sikap dan sifat gadis itu luar dalam sekalipun. Tapi lelaki itu cukup sadar akan kesalahannya tujuh hari yang lalu, yang mengakhiri hubungannya tanpa berpikir dua kali, hanya untuk membongkar rasa ingin tahunya selama ini.
Karena tingkah Syilla yang cukup aneh baginya, selama tiga tahun lebih menjalani hubungan asmara tak ada sikap dingin, acuh tak acuh seperti ini. Ya, Izzuddin akui ini karena salahnya, karena hanya untuk membongkar jati diri Syilla yang sebenarnya.
Ia seperti Seorang Idiot disaat-saat seperti ini-itulah yang ia rasakan saat ini.
"Jangan lari dari kenyataan, kemana saja kamu seminggu ini, huh! Meninggalkan Tunanganmu di Rumah Sakit sendirian." desis Izzuddin menahan emosinya sendiri.
"Lepas!" pekik Syilla mengema. Gadis itu sedang berusaha melepas cekalan kuat dari Izzuddin, menahan diri agar tak menangis juga memohon karena ia tahu Izzuddin hanya mengertaknya saja.
"Cepat jawab! Jangan mengelak terus, Oh... Apa lelaki itu yang sudah mengajarimu berlaku kurang ajar padaku? ralat pada Nenekmu sendiri, huh? Apa selama ini aku mendidikmu menjadi gadis membangkang seperti ini??" cerca Izzuddin tak tahan lagi, ia merasa sudah gagal menjadi calon iman yang baik untuk gadis kecilnya.
"Tutup mulutmu, atau--"
"Atau apa? Membunuhku? Memukulku? Atau me-"
"Aku akan membencimu, aku akan-- hiks..." pekik Syilla tertahan. Runtuh sudah pertahanannya, air matanya mengalir begitu deras dengan nafas tersengal-sengal sambil menggelengkan kepala lemah. Bukan ini yang dia mau, membenci Izzuddin sama saja membunuh kepercayaan Mr. Frezzer padanya.
"Cih! Membenciku? Sama saja kamu menghancurkan kepercayaan lelaki itu! Tapi baiklah, tak apa, sekalian bunuh aku saat ini juga, dengan tangan ini." ucap Izzuddin disertai decihan remeh, sambil menggenggam kedua tangan Syilla lembut.
Izzuddin sebenarnya tak tega ketika melihat gadisnya menangis keras sampai kesengukan seperti itu, sekitar beberapa menit Syilla hanya bisa menangis sambil menunduk. Seperti tak mampu membalas atau menatap Izzuddin sedikitpun, membuat Izzuddin semakin dibuat gusar sendiri.
Ini yang ia tak suka, gadisnya menangis karena dirinya, di rengkuhlah tubuh mungil itu seolah sama-sama mencari ketenangan disana.
"Baiklah! Lakukan sesukamu, jika kamu ingin pergi jauh dariku, silahkan! Tapi tolong jelaskan dulu, jangan lari dari kenyataan seperti ini."
Masih betah memeluk gadis kecilnya untuk yang terakhir kalinya, namun gadis itu hanya menunduk bibirnya begitu kelu untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang Izzuddin lontarkan. Biarlah semuanya seperti ini dulu sebelum Syilla benar-benar kehilangan sosok Izzuddin setelah ini.
Lelaki itu mengurai pelukannya untuk melihat gadisnya yang masih setia menunduk dengan derai air mata dan sesengukan karena terlalu lama menangis. Di bungkuslah pipi cubby-nya dengan kedua tangannya agar bisa melihat wajah cantik gadisnya, lelehan air mata masih terlihat jelas disana. Mata indahnya sembab, tatapan tajam meredup menjadi sayu, wajahnya memerah karena terlalu banyak menangis.
Izzuddin tidak dapat mengerti bahasa mata gadisnya tapi hatinya mengatakan jika gadis itu tak ingin jauh-jauh darinya, tapi otaknya berkata lain, mungkin memilih mundur lebih baik daripada saling menyakiti seperti ini.
"Maafkan aku." Ucapnya lirih.
Kemudian mengecup puncak kepala gadisnya cukup lama, seakan dengan cara ini gadisnya itu akan jauh lebih tenang, lalu beralih mengecup kedua mata indah itu agar berhenti menangis.
Karena Izzuddin tak suka orang tersayangnya menangis, kemudian mengecup kedua pipi cubby kesukaannya. Di sana tampak pipi itu memerah, inilah yang paling Izzuddin suka, dengan mencium pipi cubby itu hingga merona bak kepiting rebus. Aneh bukan! Tapi itulah kenyataannya.
Puas memandangi pipi merah tomat itu, Izzuddin mencium bibir ranum merah milik Syilla untuk yang pertama kalinya, tanpa ada lumatan dan nafsu hanya menempel saja.
Oh ayolah, tanpa Izzuddin sadari gadis itu sudah memeluk lehernya dengan agresif, menekan tengkuknya, melumat bibirnya dengan rakus, Izzuddin terkejut bukan main akan tingkah agresif gadisnya.
Beruntung perpustakaan dalam keadaan sepi, karena memang Izzuddin kosongkan sedari tadi sebelum menemui gadisnya itu. Izzuddin tersenyum samar sambil membalas ciuman pertama dan terakhir yang terasa menyakitkan itu. Menikmati sensasi ini dengan hati perih.
Bahkan, Izzuddin merasakan lelehan air mata lagi dari sudut mata gadis itu, sadar atau tidak ia langsung memeluk tubuh mungil itu agar dengan mudah ia merasakan betapa terlukanya gadis itu selama ini. Dalam hatinya ia berjanji akan membebaskannya hari ini juga hanya demi kebahagiaan gadisnya.
Biarlah! Biarlah ia melanggar janjinya sendiri, selagi ada kesempatan kenapa tidak ia manfaatkan. Hampir saja ia kalap segera ia melepaskan tautan itu, keduanya sama-sama terengah-engah.
"Maaf." Kata 'maaf' lagi yang keluar dari bibir lelaki itu. Di usaplah bibir merah itu dengan ibu jarinya lembut, mengecup sekilas dahi gadis itu dan langsung pergi begitu saja.
Meninggalkan Syilla yang menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca, air mata gadis itu luruh kembali begitu derasnya. Syilla mengakui jika ia rapuh tanpa kehadiran Izzuddin dalam hati dan hidupnya, tapi dia bisa apa? Jika ini karena keegoisannya sendiri, bahkan lelaki itu pergi dengan membawa salah satu sayapnya yang baru saja Izzuddin patahkan.
Syilla tak sanggup lagi menahan rasa sakit juga rasa rindunya pada Izzuddin. Bagaimana bisa, ia hidup tanpa belahan jiwanya? ingin rasanya ia berlari mengejar langkah lelaki itu lalu memeluknya erat dan menjerit.
'Jangan pergi! Aku mohon, Jangan pernah tinggalkanku sendiri.'
Namu ia tak mampu, hatinya begitu sesak, kakinya tak kuasa untuk digerakan bahkan ia merasa lumpuh sesaat. Saat punggung lebar milik Izzuddin hilang dibalik pintu, gadis itu menangis histeris, kakinya tak mampu menahan beban tubuhnya lagi, ia jatuh terduduk, dinginnya lantai tak ia hiraukan lagi. Dunianya hancur sudah dalam hitungan detik.
Tiba-tiba Siska datang dengan membawa tumpukan buku-buku tebal, gadis itu tampak puas karena sudah menemukan buku yang ia cari. Kemudian mengajak Syilla pulang, seakan-akan tak mengerti kejadian barusan.
Tapi, Syilla tampak menatap kosong kearah pintu, dengan susah payah gadis itu bangkit dari duduknya.
##Li.Qiaofeng
Walaupun sebenarnya ia tak sanggup berdiri, berjalan tertatih keluar perpustakaan karena hatinya terasa sangat nyeri, jika berlama-lama ditempat saksi bisu perpisahannya dengan Izzuddin barusan. Menghapus kasar sisa air matanya tanpa peduli Siska yang menatapnya iba, dengan sekuat tenaga ia berlari kearah Taman belakang Sekolah yang jarang dikunjungi para siswa-siswi Sekolah. Di taman itu, dibawah pohon belimbing manis yang cukup lebat, Syilla menangis histeris lagi, lagi dan lagi. Sambil menutup wajahnya, menjambak rambut panjangnya, gadis itu tampak frustasi, ia kalut ia hancur tak tersisa lagi. 'Aaarrrggghhh... aku benci ini, aku benci.. hiks..' bathinnya menjerit tak terima. Tiba-tiba gadis itu meringis karena kepalanya terasa begitu nyeri, pandangannya mulai memburam, dalam hitungan detik ia merasa pandangannya mulai mengelap hingga hilang sudah kesadarannya dan tumbang tergeletak disana.
"Aduhhh... sakit, sayang! Aduhh.. ampunn..." ringis Izzuddin ketika Syilla menghadiahinya cubitan pedas di pinggangnya. "Dasar menyebalkan, mentang-mentang pintar, sombongnya minta ampun, makanya ajarin Syilla. Jangan cuma bicara doang tapi nggak di ajarin." Gerutu gadis itu sambil mencebik lucu. "Mau minta ajarin, hm? Tapi Kakak nggak pintar-pintar amat, tapi kalo minta ajarin panas-panasan diranjang, wah... ayo, hari ini juga Kakak siap, gimana?" goda Izzuddin sedikit, padahal ia hanya menjahili kekasihnya saja. "Kyaa... dasar mesum, tenggelam sana di lautan... bugh.. bugh.." pekik Syilla geregetan sendiri sambil memukul-mukul lengan lelaki itu dengan brutal. Si korban pun bukannya meminta ampun malah tertawa berbahak-bahak, sore ini pasangan Zuddilla terisi dengan canda-tawa bersama, membuat yang menyaksikan tawa sepasang kekasih itu iri dibuatnya. "Syilla." Panggil lelaki itu tiba-tiba dengan nada mengi
Izzuddin Elbarak, hanya bisa memandangi wajah polos gadis kecilnya miris dengan keadaan terlelap dikamar pribadinya. Lelaki itu membawa gadis kecilnya ke Apartemen pribadinya pasca tak sadarkan diri beberapa jam lalu, dari mata indahnya yang masih setia tertutup. Lelaki itu bisa menganalisis jika gadis kecilnya ini kebanyakkan menangis juga memikul beban berat yang selama ini ia tutupi dengan senyuman polos nan manjanya. Bukan berarti Izzuddin tak peka selama ini, tapi sudah beberapa kali ia menanyakan; 'ada masalah apa? Ceritakan sama Kakak keluh kesahmu, bukannya selama ini kamu menganggap Kakak bukan hanya kekasihmu, tapi juga seorang Kakak pada adiknya?' Bukannya menjawab, Gadis kecilnya itu malah berlagak bodoh dan polosnya minta ampun. Hanya untuk mengalihkan perhatian dengan alasan lapar, haus, ngantuk kadang manja bak anak kecil pada Ayahnya. Izzuddin
"Jika dengan membunuhku bisa membuatmu sembuh, maka lakukanlah sekarang... itu jauh lebih baik daripada setelah memukulku, kamu malah repot-repot membawaku ke Rumah sakit dan pergi begitu saja. Inikah cinta yang selalu kamu ucapkan padaku? Membiarkan diriku opname di Rumah sakit tanpa kamu rawat sendiri, Oh... barusan kamu mengigau minta agar aku tak pergi, tapi kamu sendiri yang menyuruhku pergi, lalu katakan apa mau mu, hm?" Tanpa banyak kata-kata yang keluar dari bibirnya, Izzuddin mencium dahi, pipi, hidung dan terakhir bibir merah yang berani-beraninya melumat bibirnya dengan agresif, bibir yang tak pernah ia sentuh. Biarlah di tanggal ini, di jam ini sebagai saksi bisu dua pasang kekasih tak saling mencintai itu merasakan apa yang dinamakan first kiss untuk pertama dan terakhir kalinya. Ciuman yang paling menyakitkan hingga tanpa sadar lelehan cairan bening di sudut mata lelaki itu menetes. Kini sinar matahari pagi m
Dunia itu bagaikan roda berputar, kadang kita ada dibawah, kadang kita ada diatas, semuanya terjadi tanpa kita sadari. Manusia hidup di bumi hanya untuk menjalani skenario yang Tuhan susun begitu rapi disaat kita dilahirkan ke dunia. Skenario itu bisa saja berubah sesuai doa dan permohonan kita pada sang kuasa, tapi yang tidak bisa kita ubah adalah Jodoh, Rezeki dan Ajal. Seperti hidup gadis malang yang menatap kosong isi kamar, sudah dua bulan lebih 7 hari ralat sudah 9 minggu Syilla tak melakukan apapun dikamar milik lelaki yang telah meninggalkan rumahnya 2 bulan lalu. Bagaikan mayat hidup terkena penyakit kering, tubuh mulai mengkurus, pipi mulai menirus, kantong mata menghitam karena insomnia, jejak air mata yang mengering pun terlihat, sementara kedua tangannya bergemetar sambil memeluk dua bingkai foto yang selama dua bulan ini menjadi kekuatannya untuk tetap h
Kini gadis itu duduk tegak didepan Victo, seakan siap untuk di interview. Victo tersenyum geli ketika melihat raut wajah tegas gadis itu. Seakan tahu jika Victo tak menerima Syilla sebagai karyawannya, maka gadis itu akan mengamuk atau merayunya, licik benar gadis berwajah polos di depannya itu. "Ceritakan?" "Ceritakan apanya? Syilla tak punya pengalaman pekerjaan." Jawab gadis itu polos. "Maksudku? Selama ini kamu tinggal di-" "Kakak ingin menginterogasiku atau menginterview ku?" Potongnya kesal. "Melamarmu? Bagaimana apa diterima?" Jawabannya enteng. "Kau benar-benar menyebalkan, apa kau tak takut pada sepupumu itu?" "Ngapain harus takut sama Izzu, jika sama-sama suka makan nasi." jawab Victo enteng. "Oh," jawab Syilla hanya ber'oh ria saja sambil mengangguk polos. "Syilla, katakan bagaimana bisa kamu berada di daerah
"Maaf, Tuan! Jam kerja saya sudah selesai, permisi--" pamit Syilla lirih, gadis itu langsung pergi meninggalkan Izzuddin sambil menahan ribuan pisau menghujam hatinya. Tetapi, saat berada di depan cafe spontan ada yang menarik tangannya, menyeretnya masuk mobil sport merah tanpa diduga-duga, Syilla panik akan tindakan Izzuddin sore ini. "Tuan, tolong! Saya ingin pulang--" "Tempatmu bukan di tempat laknat itu, akan saya antar kamu pulang ke rumah yang sebenarnya." desis Izzuddin dingin, lelaki itu langsung menancap gas diatas rata-rata. "Tidak!! Saya mohon, turunkan saya disini." teriak Syilla panik disertai derai air mata. "Jangan membantah, Ibu mencarimu di rumah." "Aku tak peduli, cepat turunkan aku." Pekik gadis itu frustasi. Gadis itu langsung merebut setir mobil agar putar balik, Izzudin tak bodoh, aksi gadisnya itu sangatlah gila, bisa-bisa ia mengalami kecelakaan jika tak bisa mengend
Sepasang mata elang itu berkaca-kaca, menatap nanar gadisnya dengan senyuman miris akan perubahan draktis gadisnya itu, di usaplah lembut kepala gadis itu. Izzuddin tidak pernah melepaskan gadis itu begitu saja selama ini, ia selalu mengawasinya dari kejauhan tapi kali ini ia ingin sekali membenturkan kepalanya sendiri yang berisi IQ diatas rata-rata, kelicikan melabuhi musuh, bahkan kemampuan yang jarang orang lain tahu pun dia miliki. Tapi apa? Dia tidak bisa menjaga gadisnya sendiri dengan baik, ia bagaikan manusia terbodoh di dunia. Keduanya juga sama-sama terluka, sama-sama frustasi, sama-sama menyalahkan diri sendiri tapi apa daya seluruh cinta, kasih sayang, janji, dan ketulusan yang keduanya bangun mati-matian sampai menerjang siapapun yang berani mengganggunya. Kini menguap begitu saja dikalahkan oleh ego, disaat kejujuran dan ketulusan hanya hiasan dinding. Kini hanya penyesalan dan kekecewaan terdalam yang keduanya rasa