“Tidak bisa, Lin!” tolak Elian setelah Maylin minta izin untuk ikut pergi bersamanya ke luar kota. “Semua telah diatur dari jauh hari. Hotel juga dibooking hanya satu kamar saja. Memangnya kau bersedia tidur satu ranjang denganku?” Elian menatap tegas ke arah Maylin.“Tidak masalah! Aku percaya padamu, El! Aku berjanji tak akan mengganggu kesibukanmu.” Maylin mencoba membuat penawaran dengan pria pemilik mata berwarna abu-abu itu. “Bila perlu, aku berdekam di kamar, menunggu sampai kau menyelesaikan pekerjaanmu. Bagaimana?”“Barang-barangnya sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil, Sir.” Suara salah seorang Pengawal menginterupsi pembicaraan mereka.Berbicara dalam bahasa Italia, Elian memerintah untuk menunggunya sebentar. Setelahnya, ia menatap Maylin. Tangannya terulur mengelus rambut wanita itu dengan lembut. “Kau tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu di sini begitu saja.”Masalahnya aku tidak suka menghabiskan waktu bersama keturunan Osborn. Aku benci semua keluarganya. Batin Maylin
Leonel telah menjelaskan pada Dalbert mengenai kemungkinan lambang Crusio adalah ciri khas mereka. Menempatkan lambang itu pada bagian tubuh mereka atau sebuah benda.Mengapa tidak sedari dulu saja dirinya memberi saran ini kepada bosnya? Terbukti setelah mereka terang-terangan menampakkan Eagle dengan menggunakan nama almarhum Hugo Norman, secepat ini mereka bertemu Crusio.“Barangnya?”Suara pertanyaan dari salah seorang kelompok itu terdengar kembali, membuat Dalbert mengalihkan fokusnya dari sosok di belakang mereka. Ia mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk ke arah sebuah koper yang tergeletak di lantai.“Di mana Hugo Norman?”Pertanyaan yang tiba-tiba tanpa basa-basi itu kontan membuat Dalbert bergidik seketika. Sosok yang ia lihat tadi, kini berjalan keluar dari barisannya, menunjukkan dirinya pada Dalbert beserta anak buahnya.“Aku lebih tertarik mendengar cerita Hugo Norman daripada barang yang kau bawa. Bersediakah berbincang sedikit tentang pria itu?” tanyanya lagi. Suara
Menuruti perintah, anak buah Nox segera mengeluarkan senjata tajam dan pertikaian itu pun berlanjut. Beberapa kali terdengar suara bentakan dan benturan keras. Dalbert balas menyerang dengan tendangan kakinya mengenai seorang lawan yang lantas jatuh terkapar.Ketika Dalbert melihat sebuah benda tajam mengayun pada salah seorang anak buahnya, ia lantas menangkap, memelintir tangan lawan dan merebut senjata tajam itu, lalu menusuk tepat di jantung.Di sisi lain, anak buah Nox lainnya berhasil menebas leher anak buah Dalbert hingga darah menyembur keluar bersamaan dengan suara letusan pistol dari anak buah Dalbert yang lolos dari serangan. Suara teriakan dan jeritan terdengar memenuhi ruang gudang, membuat suasana terasa menegangkan.Dalbert yang menyadari kekuatan mereka tidak seimbang dengan lawan, terpaksa memutar otaknya mencari cara agar dapat keluar dari gudang sebelum ia kehilangan anak buahnya lebih banyak. Kedua netranya mengedar ke seluruh ruangan.Melihat beberapa lampu yang m
Leonel bersama anak buah lainnya, melangkah keluar dari tempat persembunyian ketika melihat kepulan asap hitam membumbung ke langit.“Shit!” Leonel mengumpat, kemudian berlari secepat mungkin menghampiri asap itu berasal dari api yang sedang berkobar di satu-satunya gudang yang ada di lokasi itu.Dalbert memang meminta Leonel agar menunggu mereka di gubuk kecil yang letaknya tidak jauh dari gudang tersebut. Hanya untuk berjaga-jaga saja apabila mereka membutuhkan bantuan darurat, setidaknya mereka semua tidak dihadapkan dalam situasi berbahaya secara bersamaan.“Dalbert! Apa kau masih berada di dalam?” Leonel berteriak seraya menarik rantai gembok.Terdengar suara gedoran pintu dari dalam. Menandakan bahwa di dalam masih ada orang.“Cepat patahkan rantai ini!” titah Leonel yang langsung dituruti oleh anak buahnya.Leonel mengambil ponsel dengan terburu-buru lantas menghubungi kaki tangan kepercayaannya itu.[Maafkan … kami, tuan …. kami … gagal ….]Suara Dalbert terdengar berat seirin
“Baiklah, terima kasih. Cukup sampai di sini,” ucap Valo sembari meletakkan tablet berlogo apel tergigit yang digunakannya dalam rapat di atas meja, kemudian meng-klik opsi keluar dari meet room pada layar laptopnya.Riccardo dengan sigap membantu menyingkirkan perangkat laptop Bosnya yang baru saja selesai melakukan meeting melalui rapat virtual.Valo melepaskan jas dan melonggarkan ikatan dasi di lehernya, melepaskan tiga kancing di bagian atas kemeja putihnya sehingga memperlihatkan otot dadanya yang kekar.“Sebenarnya, Anda tidak perlu bersusah payah seperti ini, Sir.” Riccardo menyuarakan komentarnya.Valo menggulung lengan kemejanya hingga sampai ke siku. “Kau tahu alasanku melakukannya. Selagi Elian pergi ke luar kota, aku harus menggunakan kesempatan ini untuk menarik perhatian wanita itu.” Mengambil gelas dari tangan Riccardo yang berisikan vodka, lalu menandaskan separuh isinya sekali teguk.“Naikkan suhu penghangat ruangan ini, Ric!” perintah Valo yang dituruti Riccardo ber
Suara panggilan intercom masuk pada saluran telepon di meja berbunyi ketika Maylin tengah sibuk melakukan pekerjaannya.“Anda memerlukan bantuan?” tanyanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.[Siapkan menu makan siang. Aku makan siang di sini.]“Anda ingin menu apa?”[Bagaimana kalau kau yang menjadi menu makan siangku?]“Boleh saja. Saya sudah menargetkan salah satu bagian inti tubuh anda. Barangkali gigitan saya waktu itu tidak cukup membuat anda puas merintih kesakitan.” Ancaman bercampur cemoohan dari mulut Maylin, membuat Valo tertawa terbahak-bahak.Maylin memutar bola mata malas. Sepertinya Iblis mesum satu ini masih belum jera juga. “Anda bisa memerintah asisten anda, membelikan makan siang untuk anda, sir.”[Dia sibuk membantuku periksa dokumen, sedangkan posisimu pasti lebih banyak menganggur.]Mendengar alasan Valo itu lantas Maylin menggeram kesal.Apa katanya tadi? Menganggur? Jika menyimpan arsip penting dan melakukan korespondensi bukan pekerjaan sekretaris, lantas peke
Tampak Maylin tengah menopang kepalanya yang menyamping dengan satu tangan di atas meja. Kerutan di keningnya makin dalam, larut dalam pemikirannya mencari cara agar bisa lolos dari pengawal Elian.“Ini pesanan Anda, Miss,” tiba-tiba muncul seorang pria berbadan besar, memberikan paper bag berisi makanan dan minuman kepada Maylin.“Gosh! Kau mengagetkanku!” maki Maylin.“Maaf telah mengejutkan, Miss.”“Terima kasih. Kau boleh istirahat. Aku tak akan ke mana-mana. Atasan bosmu memintaku makan siang bersamanya.” Maylin menerima paper bag dari Glax dan dibalas pria itu mengangguk.*****Mata besar Valo melirik angka di sudut kanan layar komputernya. Kurang dari lima menit lagi, jam makan siang akan tiba. Merasa tidak ingin membuang waktunya, ia hendak menghubungi sekretaris Elian melalui intercom. Namun, tangannya berhenti di udara tatkala ada ketukan dari pintu.“Makan siang sudah disiapkan, Sir. Anda ingin makan sekarang ata—”“Sekarang saja! Perutku sudah lapar,” Valo menyela dengan c
Jantungnya berpacu cepat dan bibirnya bergetar. Bayangan dirinya akan kehilangan wanita itu, membuat rasa cemasnya berlipat-lipat. Ia berdiri di dekat sofa, menatap nanar wanita itu sedang diperiksa oleh Dokter pribadinya.“Bagaimana?” tanyanya begitu melihat Dokter Derloy melepaskan stetoskop yang menggantung di leher. Suaranya terdengar khawatir saat berucap.“Wanita ini mengalami post-traumatic stress disorder.”“Gangguan stress pascatrauma?” Valo tersentak kaget mendengar jawaban Dokter Derloy.“Gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis seperti perang, kecelakaan, bencana alam dan pelecehan seksual. Usahakan hindari pasien teringat pada salah satu peristiwa yang membuatnya trauma.” Dokter Derloy menulis sesuatu pada secarik kertas.Trauma? Dari hal apa? Terakhir dalam perbincangan kami mengenai kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan. Apakah hal itu yang memicu penyakitnya kambuh? Pertanyaan berputar dalam benak Valo.“Ini resep obat antidep