Debi duduk di depan kos-kosannya. Pikirannya mengingat kejadian saat di taman. Ucapan Bu Carina masih teringat jelas di benaknya. "Tadi Marko juga ada di taman? Berarti tadi aku tidak salah lihat. Marko memang masuk ke taman bareng sama Rafa. Kalau begitu, mungkinkah mereka saling mengenal?" Memikirkan ini, Debi jadi pusing. Yah, pasalnya Debi khawatir jika Rafa dan Marko memang saling mengenal. Dan itu artinya Debi menambah masalah di hidupnya. "Ya Tuhan, pusing sekali kepalaku."Dretttt dretttt drettttDebi mengalihkan pandangannya. Debi melihat ponselnya yang saat ini berbunyi."Lisa telpon? Ada apa ya?"Debi yang merasa penasaran pun, mengangkat panggilan dari Lisa."Halo Lisa, ada apa?""Debi, kamu bisa menolongku tidak?""Menolong apa Lisa?""Motorku mogok di jalan yang sepi. Aku mau minta tolong, tapi tidak ada satu pun orang yang lewat.""Sekarang kamu ada di mana?""Aku ada di pelosok desa yang pernah kita datangi waktu itu.""Baiklah, aku akan ke sana secepatnya. Kamu tung
"Sialan."Maya membanting ponselnya saat Marko yang ia hubungi tak kunjung menjawab panggilannya. Maya benar-benar kesal. Padahal nomor Marko aktif, tapi tak satu pun pesan atau pun panggilan Maya direspon."Tenang Maya, mungkin Marko sedang sibuk," kata Lidya."Iya Maya," sahut Mira."Sibuk apaan. Ini hari minggu, aku yakin dia hanya di rumah atau kalau pun tidak mungkin dia sedang kumpul sama teman-temannya.""Iya kan siapa tahu Maya."Maya sangat kesal. Ia pun berjalan ke sana kemari seperti setrikaan. Maya ingin mengamuk, namun pada siapa ia ingin melampiaskan."Sial," umpatnya untuk kesekian kalinya.Di tengah kekesalan Maya. Maya tidak sengaja melihat Debi yang saat ini tengah berada di rumah makan. Maya melihat Debi tersenyum senang sembari menikmati makanannya."Debi."Mendengar Maya menyebutkan nama Debi. Kedua teman Maya pun mengalihkan pandangan mereka. "Aku yakin, ini semua gara-gara anak haram itu.""Bagaimana kamu bisa menyalahkan Debi, Maya. Dia kan tidak melakukan apa-
CklekPintu pun terbuka. Debi yang duduk di kursi tunggu langsung beranjak dari duduknya. Debi melangkahkan kakinya mendekati dokter yang berjalan keluar dari dalam ruangan."Bagaimana dok, keadaan Bapak tadi?" ucapnya dengan raut wajah cemas. "Maaf Mbak, Bapak tadi mengalami cindera yang cukup parah karena benturan yang sangat keras di kepalanya. Saya harus melakukan operasi sebagai tidak lanjut selanjutnya. Apakah anda keluarganya? Untuk kelancaran operasisilakan tanda tangan sebagai persetujuan.""Saya bukan keluarganya dok.""Kalau begitu silakan hubungi keluarganya agar operasi ini bisa segera dilakukan.""Maaf dok, saya tidak punya kontaknya.'"Kalau begitu, anda juga tidak masalah. Jika ditunda terus, takutnya akan terjadi hal yang buruk dengan pasien.""Ta-tapi dok......""Baiklah, kalau begitu pihak kami akan melakukan operasi secara mendadak sama pasien.""I-iya dok."Dokter pun kembali masuk ke dalam ruangan, sementara Debi kembali duduk di tempatnya.Pikiran Debi memikirk
"Ada apa? Kelihatannya serius banget."Debi dan juga Doni mengalihkan perhatian mereka. "Kak Renata. Iya nih Kak, memang lagi serius.""Memangnya ada apa?" "Ini si Debi mau pinjam uang 50 juta," sahut Doni."Apa? Pinjam uang 50 juta?""Iya Kak, apa Kak Renata bisa meminjami aku? Aku janji kok Kak, nanti kalau aku sudah punya uang secepatnya akan aku kembalikan.""Bukannya gak mau bantu. Masalahnya aku gak punya uang sebanyak itu Debi.""Yah, ya sudah deh Kak. Enggak apa-apa kalau gitu."Debi terus dari kursi. Dengan langkah lemah. Debi melangkahkan kakinya."Mau buat apa sih Debi uang sebanyak itu?""Aku gak tahu.""Memangnya kamu gak dikasih tahu?" "Dia gak bilang apa-apa." Hari semakin malam, dan pengunjung semakin banyak berdatangan. Debi berjalan ke sana kemari untuk mengantarkan pesanan. Meskipun seperti itu, pikiran Debi masih memikirkan cara agar dia mendapatkan uang banyak dengan cara cepat. BrukkkDebi tersadar dari pikirannya saat menyadari jika dirinya menabrak seseoran
Debi melangkahkan kakinya, namun Rafa langsung menariknya."Aku mohon dengarkan aku dulu Debi.""Aku tidak mau mendengarkan pembohong seperti kamu."Debi menarik tangannya. Ia pun melangkahkan kakinya dan langsung meninggalkan Rafa seorang diri. Langkah Debi berderap dengan diiringi perasaan kesal. Saking kesalnya. Debi sampai tidak menghiraukan teriakan dari Rafa.CitttttttDebi terkejut saat tiba-tiba sebuah motor berhenti di depannya. Debi melihat pemilik motor yang melihat kearahnya."Gimana sih Mbak, kalau mau nyebrang lihat-lihat dong. Untung aku tidak sampai menabrak kamu," ucapnya penuh kekesalan."Ma-maaf Pak.""Maaf-maaf, makanya lain kali kalau nyebrang pakek mata.""I-iya Pak, maaf."Rafa yang melihat itu pun panik dan berlari mendekati Debi. "Kamu tidak apa-apa Debi?""A-aku tidak apa-apa kok.""Kamu siapa?" tanya laki-laki tadi."Saya temannya Pak. Saya mengucapkan banyak maaf atas kesalahan teman saya." "Bilang temannya Mas, kalau mau nyebrang pakek mata. Jangan asal
DegDebi dikejutkan saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Yah, saat itu Debi panik dan ketakutan. Huh, suasana dan ponselnya berbunyi di saat yang tidak tepat. "Huh, ngagetin saja."Ponsel Debi terus berbunyi, membuat Debi mengambilnya di dalam tas. Debi mengerutkan keningnya saat melihat seseorang yang melakukan panggilan kepadanya. "Ini nomornya siapa ya?" kata Debi saat melihat nomor baru yang tengah menelponya. Karena merasa penasaran. Debi pun mengangkat panggilan itu. "Halo, ini siapa ya?""Ini saya, Mbak. Istri dari laki-laki yang kamu tabrak."DegDebi pun langsung terkejut. Debi baru ingat jika dia masih punya beban untuk membayar biaya rumah sakit laki-laki tua yang ia tabrak. "Halo.""Eh, iya Bu.""Bagaimana Mbak? Kapan kamu bisa melunasi biaya rumah sakit? Pihak rumah sakit terus menanyakannya sama saya.""Eh, iya Bu. Secepatnya akan saya bayar kok Bu.""Kapan Mbak? Saya tidak mau dibohongi.""Saya janji, saya tidak akan membohongi Ibu. Saya akan bertanggung jawab sesuai
"Berhenti Pak.""Iya Mbak.""Ini ongkosnya ya Pak!""Iya Mbak, terima kasih."Debi langsung berlari menuju rumah sakit. Langkahnya berderap masuk menuju ruangan laki-laki yang ia tabrak. "Mbak Debi," kata istri laki-laki yang Debi tabrak."Bagaimana Bu? Apakah Ibu sudah bilang sama dokter?""Belum Mbak, soalnya saya belum melihat dokternya masuk ruangan suami saya. Sementara saya tidak tahu ruangan dokternya Mbak.""Nanti biar saya urus.""Iya Mbak, tolong bantu ya Mbak. Soalnya saya tidak tahu bagaimana caranya.""Iya Bu, biar saya ke ruangannya dokter.""Iya Mbak."Debi pun melangkahkan kakinya menuju ruangan dokter yang tidak jauh dari tempatnya saat ini. Baru saja Debi sampai di depan ruangan. Saat itu Debi langsung disambut suster yang keluar dari ruangan dokter."Ada yang bisa saya bantu Mbak?""Maaf suster, dokter yang merawat pasien di ruang Mawar nomor 18 apakah sudah datang?" "Belum Mbak, ini sedang perjalanan ke sini.""Memangnya ada apa ya Mbak?""Itu suster pasien yang
Deg Debi pun langsung panik saat dia melupakan jika hari ini, hari di mana ia harus masuk kerja."Debi, kamu dengar ucapanku atau tidak?""Eh, iya Lisa. Aku dengar kok." "Ya sudah, kalau begitu cepat berangkat.""Iya."Debi mengakhiri panggilan itu, dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Debi buru-buru berjalan masuk ke dalam ruangan."Mbak Debi, ada apa?" tanya istri laki-laki tua yang ia tabrak. Ia melihat Debi yang terlihat buru-buru."Saya harus pulang Bu.""Lo, bukannya Mbak Debi sudah janji kalau hari ini Mbak Debi akan melunasi biaya rumah sakit suami saya?""Iya Bu, tapi saya harus pulang, karena pagi ini saya harus masuk kerja. Nanti kalau saya sudah pulang kerja. Saya akan mengurus biaya rumah sakit suami Ibu.""Tapi janji ya Mbak? Jangan sampai membohongi saya.""Iya Bu, saya janji.""Kalau begitu saya pamit pulang dulu.""Iya Mbak Debi, hati-hati di jalan.""Iya."Debi melangkahkan kakinya kembali untuk keluar dari dalam ruangan. Tap tap tapDebi berlari keluar dari dal