Debi tertegun di depan makanan yang dibelikan Rafa. Huh, pikiran dan Debi masih berandai mengingat Marko. "Mungkin jika hubunganku dan Marko tidak renggang. Pagi ini aku pasti menikmati sarapan bersama."Memikirkan Marko seperti ini, membuat Debi menjadi sedih. Debi menjadi malas untuk berangkat kuliah, dan melakukan aktivitas apapun."Berhenti memikirkan Marko, Debi. Kamu harus fokus memikirkan masa depanmu."Yah, seperti itulah tekad Debi. Debi tidak ingin memikirkan apapun selain masa depannya. Debi ingin menciptakan masa depan yang cerah. Debi tidak ingin hidup seperti ini. Dalam kesusahan dan sebatang kara. Debi menikmati makanannya dengan lahap. Debi benar-benar bersemangat hari ini. "Om Rafa yakin mau ikut aku ke kampus lagi?" tanya Marko disela-sela mengunyahnya."Iya, Om yakin.""Sebenarnya Om mau ngapain sih ikut aku ke kampus terus?""Ya mau ketemu sama calon tantemu.""Kalau aku jadi Om Rafa. Aku akan langsung mengungkapkan perasanku dan setelah itu ajak dia menikah.""Ti
Debi terkejut mendengar bentakan dari Maya. Saat itu Debi melihat Maya berjalan mendekatinya. Huh, jika sudah seperti ini. Debi bisa menebak akhirnya akan seperti apa."Pasti perubahan sikap Marko ada hubungannya sama kamu.""Masalah Marko tidak ada urusannya denganku.""Alah, aku yakin kamu pasti yang mempengaruhi Marko untuk bersikap tidak baik padaku.""Sepertinya kamu kurang update." "Maya, kamu lupa ya? Sekarang kan Marko sudah tidak perduli lagi sama anak haram ini," sahut Lidya."Oh iya, aku sampai lupa. Kasihan sekali ya kamu. Sekarang dicampakkan, dan Marko lebih memilih aku," kata Maya bangga. Meski Debi mendengarnya, namun Debi tidak memperdulikannya sama sekali. Debi lebih menyibukkan dirinya dengan buku yang ia baca."Berani sekali kamu mengabaikan aku."Saat Maya hendak melayangkan tangannya. Suara Debi langsung menghentikannya."Aku tidak pernah mengganggu kamu, tapi kamu suka sekali menggangguku. Apa kamu memang hobi membuat masalah denganku?""Oh, jadi sekarang kamu
"Marko?"DegDebi merutuki mulutnya yang salah ucap. Bisa-bisanya Debi memanggil Rafa dengan panggilan Marko. "Ma-maaf, maksudku Rafa."Rafa sempat terdiam, dan Debi melihat itu. Mendengar Debi menyebut nama Marko. Rafa jadi ingat dengan keponakannya. Rafa melihat Debi penuh tanya. "Apa mungkin yang Debi maksud Marko keponakanku? Jika itu benar, berarti Marko dan Debi ada hubungan yang tidak aku ketahui?" bisiknya."Rafa.""Eh iya, ada apa?""Kenapa kamu bengong?""Aku hanya kaget saja kamu salah menyebutkan namaku. Kalau aku boleh tahu, memangnya Marko itu siapa?"Debi menundukkan kepalanya. Wajahnya berubah menjadi sendu, dan Rafa melihat itu. Debi merasa enggan untuk bercerita tentang Marko. Apalagi menceritakan tentang Marko sama halnya membuka luka yang sekuat tenaga ia kubur. "Kenapa kamu diam Debi? Apakah Marko seseorang yang kamu sukai?""Enggak kok, Marko hanya sahabat dekatku.""Kalau boleh tahu, nama panjangnya Marko itu siapa ya Debi?""Kenapa kamu menanyakan hal itu?" b
Marko dan teman-temannya mengalihkan perhatian mereka saat mendengar suara seseorang wanita."Maya, ngapain kamu di sini?" tanya Bima penasaran."Mau ketemu pacarku lah.""Pacar kamu? Pacar kamu yang mana?" Huh, Marko mendengus kesal mendengar jawaban Maya. Marko pikir Maya orang yang bisa menjaga janji, tapi tidak disangka Maya orang yang suka ingkar. Melihat itu, Marko semakin muak dengan Maya. Apalagi Maya mengatakannya di depan teman-temannya."Iya Maya, pacar kamu siapa?" sahut Bagas yang tak kalah penasaran. "Ini pacarku."Maya menggandeng tangan Marko posesif, membuat pemiliknya merasa risih. Marko berusaha melepaskan tangannya, tapi Maya terlalu erat menggandengnya."Kamu sama Marko pacar?" balas mereka terkejut."Iya, aku dan Marko sudah resmi pacaran.""Sepertinya Maya jadi gila gara-gara sering ditolak Marko," ucap Gilang yang langsung membuat Maya marah."Jangan sembarang bicara kamu ya! Aku sama Marko beneran sudah resmi pacaran. Iya kan sayang?"Rasanya Marko ingin munt
"Apa?"Debi terkejut mendengar jawaban dari Doni. Rasanya Debi masih tidak percaya dengan yang dikatakan Doni barusan."Mas Doni tidak sedang bercanda kan?""He, apakah wajahku ini memperlihatkan kalau aku sedang bercanda?" Debi menelisik wajah Doni yang terlihat serius. Tidak ada kebohongan yang ia temukan di sana."Tidak mungkin. Jelas-jelas Rafa itu teman kuliahku, bukan Pak Juna," bisiknya. "Ngapain kamu masih bengong di sini? Ini, antarkan pesanan Pak Juna. Jangan biarkan beliau menunggu.""Eh, iya Mas Doni."Debi mengambil kopi yang sudah disajikan Doni. Dengan perasaan tak menentu. Debi melangkahkan kakinya mendekati Rafa.Rafa yang saat itu menyadari kedatangan Debi pun tersenyum. "Terima kasih ya?""Iya, sama-sama." Setelah mengantarkan kopi untuk Rafa. Debi tak langsung beranjak dari tempatnya. Debi masih memperhatikan Rafa yang tengah menikmati kopinya. "Masak iya sih, kalau Rafa itu ternyata Pak Juna? Kalau Rafa adalah Pak Juna. Kenapa dia masih terlihat sangat muda? P
Tap tap tapSemua karyawan bar pun pulang saat bar mulai tutup. Tidak terkecuali Debi yang saat ini berjalan bersama teman-temannya. Saat itu Renata yang berjalan di samping Debi. Melihat Doni yang terus melihat kearah Debi. Renata yang melihatnya pun menjadi penasaran."Kamu ini kenapa sih Don, dari tadi aku lihatin, kamu ngelihatin Debi terus. Naksir ya?" kata Renata sembari tersenyum."Mana berani aku suka sama Debi. Bisa-bisa dapat teguran lagi aku.""Maksud kamu apa?""Debi itu......."Dretttt dretttt drettttDoni menghentikan ucapannya saat mendengar ponselnya berbunyi. Doni mengambaikan ponselnya, dan saat itu Doni langsung menoleh ke belakang. DegDoni terkejut. Mulutnya mengatup untuk tidak lagi melanjutkan ucapannya."Debi itu apa Doni maksudnya? Jawab yang jelas," tanya Renata meminta penjelasan."Tidak apa-apa kok. Sudah, aku mau pulang duluan."Doni mempercepat langkahnya menuju motornya yang sudah terparkir."Aneh banget sih Doni itu.""Iya Kak Renata. Aku lihat Mas Don
Rafa yang awalnya hendak masuk ke dalam kamarnya. Mengurungkan niatnya saat melewati kamar keponakannya. Rafa pun mendekatinya.Tok tok tok "Siapa?""Ini Om, Marko.""Mau apa Om?""Om mau bicara sama kamu. Om boleh masuk?"Rafa tidak mendengar jawaban dari Marko. Meskipun seperti itu, Rafa tetap membuka pintu kamar keponakannya, dan masuk ke dalam.CklekSaat itu Rafa melihat keponakannya yang tengah terbaring di atas ranjang tidurnya. Rafa berjalan mendekatinya. Saat itu Marko masih tidak merespon kedatangan omnya. Marko masih diam di atas ranjang tidurnya. Rafa tersenyum dan duduk di samping keponakannya."Om tahu kamu kesal sama Mama kamu, Marko."Lagi-lagi Marko masih belum merespon. Marko melakukan itu karena sebenarnya dia kesal dengan omnya. Yah, bayangan omnya yang mengantarkan Debi pulang masih terngiang di benaknya. "Mama kamu memang selalu mengutamakan status daripada cinta yang tulus. Jika kamu memang benar mencintai wanita itu. Om akan mendukung kamu." Marko mengalihka
Debi dan juga Rafa duduk berdampingan. Mereka menikmati suasana pagi itu sembari diselangi obrolan."Kamu mau makan Debi?""Enggak, aku sudah kenyang. Memangnya kamu sudah lapar?""Enggak juga sih, aku hanya menawarkan saja. Siapa tahu kamu lapar.""Enggak kok, aku sedang tidak lapar."Hening, baik Rafa maupun Debi diam. Tidak ada pembahasan yang ingin mereka bicarakan saat itu. Di tengah keheningan mereka. Tiba-tiba Debi teringat dengan Marko dan juga Rafa yang berjalan masuk ke taman bersama-sama."Oh iya Rafa, aku boleh tanya?""Tanyakan saja kalau kamu mau tanya Debi.""Emz, sebenarnya ini bukan hal yang penting sih, tapi aku hanya ingin tahu saja. Apakah kamu mengenal seseorang yang bernama Marko?"Dretttt dretttt drettttRafa mengalihkan perhatian saat mendengar ponselnya berbunyi. Saat itu Rafa melihat nama Marko tertera di layar ponsel. Rafa pun ingat jika kedatangannya ke sini karena ada hal penting."Maaf Debi, aku harus pergi sekarang.""Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu buru-