“Cinta itu seperti cahaya proyektor, menerangi tapi juga bikin bayang-bayang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo
Malam di Sidomulyo terasa dingin setelah festival lumpur kemarin. Angin membawa aroma tanah basah dari sawah dan suara katak yang nyanyi pelan dari parit. Bioskop keliling parkir di lapangan dekat pasar dan layar kain putih tergantung di antara dua pohon sawo besar.
Warga mulai ngumpul dan bawa tikar anyaman atau termos teh panas dan anak-anak lari-larian sambil teriak kegirangan. Lampu minyak kuning menerangi lapangan dan bikin bayang-bayang panjang seperti rahasia yang menari di bawah cahaya.
Radio kecil di warung Pak Haji main lagu Chrisye, “Kisah Kasih di Sekolah,” dan bikin suasana penuh nostalgia 80-an. Di sudut lapangan, penjual kacang rebus dan jagung bakar berteriak menawarkan dagangan dan asap tipis membumbung di udara malam.
Ardi Santoso melangkah pelan menuju truk bioskop dan hatinya deg-degan seperti pertama kali ketemu Sari di pasar sebulan lalu. Dia gak cuma datang buat film laga Jakarta yang katanya penuh tembak-tembakan malam ini. Dia mau bantu Sari Wulandari seperti janji di Festival Popokan.
Dia pasti capek jual tiket sendirian, pikirnya sambil nyari Sari di antara kerumunan warga yang ramai. Bau oli truk bercampur aroma ketan kukus dari bakul Mbok Siti dan bikin malam terasa hidup seperti pasar malam. Ardi ngerasa udara malam bikin semangat, apalagi bayangin ngobrol sama Sari di bawah sinar proyektor.
“Mbak Sari, perlu bantuan gak?” tanya Ardi saat ngeliat Sari di dekat meja kayu kecil. Dia lagi ngatur kotak uang dan jarinya lincah hitung kembalian buat Mbok Siti yang antri sambil ngomel soal harga tiket naik dua ratus perak.
Sari menoleh dan senyumnya bikin Ardi lupa dingin malam. “Ardi, kamu datang juga! Ya, bantu aku angkat kursi lipat buat warga lansia. Truknya penuh barang, Paman lagi ribet sama proyektor yang rewel tadi sore.”
Ardi langsung bantu dan angkat kursi kayu dari belakang truk tua. Mereka kerja bareng dan ngobrol ringan soal festival kemarin. “Kamu jago banget lempar lumpur, Ardi. Kalo gak ada Pak Darmo, aku pasti ikut main,” kata Sari sambil nyeka keringat di dahi dengan ujung kebaya birunya.
Ardi ngerasa hangat di dada. Dia ingat detail itu, pikirnya sambil nyengir. “Iya, Mbak. Sayang lumpurnya gak nyasar ke loe. Kalo loe ikut, pasti aku kalah soalnya loe kelihatan tangguh. Pake kebaya gini aja loe kayak pahlawan desa.”
Sari terkekeh dan matanya berbinar. “Tangguh? Aku cuma pinter ngelupas ketan, Ardi. Tapi loe, kayaknya gak cuma jago lempar lumpur, ya? Cerita dong, apa lagi yang loe suka selain sawah?”
Ardi malu-malu tapi akhirnya cerita. “Aku suka baca buku pelajaran di sawah, Mbak. Bapak bilang itu buang waktu, tapi aku pengen kuliah. Mimpinya jadi guru, biar anak-anak desa pinter kayak loe. Loe kan dulu juara lomba cerdas cermat, ya?”
Sari mangut-mangut dan matanya penuh kagum. “Guru? Bagus banget, Ardi. Aku juga punya mimpi, tahu. Bikin bioskop permanen di Sidomulyo, biar anak-anak desa bisa nonton tiap minggu, gak cuma nunggu truk ini. Bayangin, layar besar di tengah kampung, lampu warna-warni, dan popcorn buatan Mbok Siti.”
Ardi nyengir lebar dan ngerasa deket banget sama Sari. “Aku dukung, Mbak. Kalo perlu bantu bangun, bilang aja. Sawah keluarga gue deket, bisa pinjam tanah buat bioskop loe. Keren, kan, nonton di bawah pohon sawo?”
Sari ketawa dan jarinya nyenggol lengan Ardi saat ngasih kursi. Cahaya proyektor bikin matanya berkilau seperti bintang, pikir Ardi. Mereka duduk sebentar di samping truk dan ngeliat warga yang antri masuk. Suara proyektor berderum pelan dan bau oli mesin bercampur aroma teh warga. Sari cerita soal film favoritnya, “Gita Cinta dari SMA,” dan Ardi mangut-mangut meski gak tahu film itu. “Itu film soal cinta anak sekolah, Ardi. Romantis, tapi sedih. Kayak hidup di desa ini, ya? Penuh mimpi tapi banyak rintangan.”
Ardi nyengir dan ngerasa suasana ringan seperti sawah habis hujan. Sari beda, dia ngerti apa yang aku rasain, pikirnya. Mereka lanjut bantu Pak Wulan betulin proyektor yang suka mati sendiri. Pak Wulan ngomel pelan soal mesin tua itu tapi senyum ke Ardi. “Kamu pinter, Ardi. Kalo gak di sawah, bisa kerja di kota. Beneran, nak, loe punya bakat.”
Tapi dari kejauhan, Rendra Wijaya ngeliatin mereka dari motor CB 100-nya yang parkir di pinggir lapangan. Dia megang stang motor kuat dan matanya menyipit penuh cemburu. Loe terlalu deket sama Sari, Di, pikirnya. Rendra melangkah mendekat dan bikin suara keras biar diperhatikan. “Mbak Sari! Gue bawa minum dari warung Pak Haji. Loe pasti haus, kan?” katanya sambil sodorin botol air putih dengan gaya sok keren.
Sari ambil botol itu dan senyum sopan. “Makasi, Mas Rendra. Kamu gak nonton? Filmnya udah mulai, lho. Aksi laga, katanya seru.”
Rendra nyengir dan lirik Ardi dengan tajam. “Gue nonton tapi dari motor gue aja. Lebih nyaman. Eh, Di, loe gak pulang? Bapak loe pasti nunggu di sawah besok pagi. Sawah kan gak bisa nunggu, bro.”
Ardi ngerasa ada sindiran tapi cuma nyengir. “Gak buru-buru, Rend. Malam ini seru, mending bantu Mbak Sari ketimbang bengong di motor. Motor loe emang keren, tapi bantu orang lebih keren, kan?”
Rendra geleng-geleng kepala dan balik ke motornya tapi matanya masih ngeliatin Ardi dan Sari. Gue gak bakal biarin loe menang, Di, pikirnya sambil ngegas motor pelan dan bikin asap knalpot nyebar. Warga di dekatnya batuk dan ngeluh tapi Rendra cuma nyengir sambil nyanyi kecil lagu Rhoma Irama, “Gitar Tua,” kayak pamer ke semua orang.
Tiba-tiba, suara sirene polisi dari jalan raya bikin warga berbisik. Razia ABRI lagi, katanya, nyari orang yang bawa pamflet politik atau film terlarang. Pak Wulan mendekat dan berbisik ke Sari. “Awas, Sari. Jangan sampai mereka ngecek truk. Film ini ada yang dilarang pemerintah. Kalo ketahuan, bisa repot.”
Sari cuma angguk dan matanya agak khawatir. Ardi ngeliat itu dan ngerasa curiga. Kenapa Sari takut razia? Apa hubungannya sama Pak Darmo? pikirnya. Dia ingat bayangan preman itu di festival kemarin dan cerita soal upeti di pasar. Malam berlanjut dan film diputer tapi udara terasa tegang seperti awan sebelum hujan. Warga tetep nonton dan ketawa liat aksi di layar tapi Ardi cuma mikirin Sari yang sibuk di samping truk dan matanya sesekali melirik ke jalan raya.
“Perjuangan itu seperti sawah kering, butuh hujan untuk tumbuh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Pagi di Sidomulyo ramai, warga berkumpul di lapangan desa di bawah sinar matahari yang terik. Sari Wulandari berdiri di tengah, batik birunya rapi meski matanya merah karena menangis semalaman. Aku harus selamatin Ardi dan bioskop, pikirnya, tangannya mencengkeram mikrofon tua berkarat. Warga berbisik, beberapa ragu, tapi mata mereka penuh harap.Rendra Wijaya berdiri di samping Sari, luka di lengannya dibalut kain lusuh, darah merembes pelan. “Mbak Sari, loe yakin ngadepin Pak Darmo?” tanyanya pelan, matanya cemas. Gue dukung loe, tapi ini bahaya, pikirnya. Sari mengangguk, suaranya tegas. “Mas Rendra, ini demi Sidomulyo,” katanya. Aku gak akan nyerah, pikirnya.Sari mengangkat mikrofon, suaranya menggema di lapangan. “Warga Sidomulyo, Ardi gak bersalah! Pak Darmo jebak dia!” ter
“Kesetiaan itu seperti pohon di sawah, akarnya kuat meski badai datang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Tengah malam di Sidomulyo, penjara desa yang dingin dan lembap menelan Ardi Santoso. Borgol di tangannya menggigit kulit, lantai semen kasar menggores lutut. Cahaya lampu minyak tanah redup dari luar jeruji, bayang polisi bergerak pelan. Ayah, gue gak akan nyerah, pikirnya, matanya menatap dinding penuh lumut.Sari Wulandari berdiri di pematang sawah, batik birunya compang-camping, angin malam membekukan tulang. Ardi, loe gak boleh nyerah, pikirnya, air mata membasahi pipi. Dia menatap penjara dari kejauhan, tangannya mencengkeram ilalang. Ibu, aku harus selamatin bapak, pikirnya.Rendra Wijaya bersandar di pohon sawo dekat rumah Pak Lurah, luka di lengannya dibalut kain lusuh. Di, gue bikin loe masuk penjara, pikirnya, rasa bersalah menggerogoti. Dia mengepal tangan, wajahnya pucat di bawah bulan p
“Kebenaran itu seperti padi di sawah, tumbuh pelan tapi tak bisa ditekan.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo terasa mencekam, angin dingin menerpa rumah Pak Lurah. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di loteng, napas mereka tersengal. Kotak besi bukti korupsi Pak Darmo tergeletak di samping Ardi, kertas tua di dalamnya penuh rahasia. Ini nyawa kita sekarang, pikirnya, jantungannya kencang.Sari duduk di sudut loteng, batik birunya basah lumpur, matanya penuh ketakutan. Ibu, mimpimu hancur, aku gagal, pikirnya, tangannya gemetar. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue selamatin loe sama bukti ini, pikirnya, tangannya mencengkeram kotak besi.Rendra bersandar di dinding kayu, lengan masih berdarah dari luka golok. “Di, Mbak Sari, kita harus bawa bukti ini ke pasar besok,” katanya pelan, suaranya serak. Bapak gue mungkin dalang, tapi gue pilih kebena
“Cinta itu seperti air di sawah, jernih tapi mudah keruh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo gelap, angin dingin menyapu sawah luas. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di gudang tua dekat pematang. Bau jerami basah menyengat, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di tangan Ardi. Kita hampir ketahuan tadi, pikirnya, jantungannya masih kencang.Sari duduk di sudut, batik birunya lusuh, wajahnya pucat setelah bioskop keliling hancur. Ibu, mimpimu hilang di tanganku, pikirnya, matanya berkaca. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue gak akan biarin loe sendiri, pikirnya.Rendra bersandar di dinding kayu, jaket jeansnya robek, darah kering di pelipis. “Di, Mbak Sari, kita harus ke Pak Lurah malam ini,” katanya pelan. Bapak gue mungkin di belakang ini, tapi gue pilih kalian, pikirnya. Ardi mengangguk, tapi matanya ke Sari. Ren, loe berani, tapi Mb
“Kenangan itu seperti layar bioskop, redup tapi tak pernah hilang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Sidomulyo hening, hanya suara jangkrik dan angin menerpa sawah. Bioskop keliling Sari Wulandari berdiri di ujung desa, layar putih compang-camping berkibar pelan. Sari berdiri di depan proyektor, wajahnya pucat tapi tegas. Ini pemutaran terakhirku, pikirnya, hatinya perih.Ardi Santoso duduk di barisan depan, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di pangkuannya. Mbak Sari, loe gak boleh nyerah, pikirnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia melirik penonton, warga desa yang datang meski tahu ancaman Pak Darmo. Mereka percaya sama Mbak Sari, pikirnya.Rendra Wijaya tiba, jaket jeansnya berdebu dari Semarang. “Di, Mbak Sari, gue datang,” katanya pelan, duduk di samping Ardi. Gue taruhan semuanya buat kalian, pikirnya, ingat demo dan borgol polisi. Ardi menatapnya, lega. Ren, loe beneran bal
“Perubahan itu seperti angin di sawah, tak terlihat tapi mengguncang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Semarang ramai, suara demo mahasiswa menggema di jalanan. Bau asap dan teriakan penuh semangat memenuhi udara. Rendra Wijaya berdiri di trotoar, jaket jeansnya berdebu, matanya menatap spanduk bertuliskan “Lawan Korupsi”. Gue gak bisa diam lagi, pikirnya, hatinya bergolak.Rendra ingat dokumen yang ditemukan Ardi di sawah. Bapak gue terlibat, tapi gue gak bisa tutup mata, pikirnya, amarahnya membuncah. Dia mengepal tangan, melihat mahasiswa menentang pejabat. Di, loe bener, kita harus lawan Pak Darmo, pikirnya.Di Sidomulyo, Ardi Santoso bersembunyi di gudang bioskop, kotak besi di tangannya. Ren, loe di mana? pikirnya, cemas. Sari Wulandari duduk di sampingnya, batik birunya lusuh. “Ardi, Mas Rendra bakal bantu kita, kan?” tanyanya sopan, suaranya penuh harap.Ardi mengangguk, tapi ragu. “Mbak Sari, Ren