“Anak petani kudu setia sama sawah, bukan ngelamun soal buku.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo
Pagi di Sidomulyo masih diselimuti kabut tipis yang melayang di atas sawah. Matahari baru muncul separuh dan sinarnya nyapu padi hijau yang bergoyang pelan ditiup angin. Ardi Santoso berdiri di pematang sawah keluarga, tangannya megang cangkul tua yang gagangnya udah licin dipake bertahun-tahun. Dia ngeliat sawah yang luas dan ngerasa beban berat di pundak. Mimpi kuliah kayaknya cuma angan, pikirnya sambil nyanyi kecil lagu “Gugur Bunga” yang kedengeran dari radio tetangga. Aroma tanah basah dan suara burung pipit bikin suasana damai, tapi hati Ardi gak tenang setelah kejadian di bioskop keliling semalem.
Bapaknya, Pak Santoso, berdiri di ujung sawah dengan topi caping lusuh. Wajahnya keras seperti kayu jati yang udah kena panas bertahun-tahun. “Ardi! Jangan bengong! Sawah ini harapan keluarga, loe kudu kerja keras. Bukan kayak anak Wijaya yang cuma pamer motor CB 100!” suaranya menggelegar dan bikin burung di pohon mangga kabur.
Ardi nyengir kecut dan nunduk. “Iya, Pak. Aku kerja kok,” jawabnya sambil nyangkul tanah. Tapi pikirannya melayang ke Sari Wulandari, ke senyumnya di bawah cahaya proyektor, dan ke rahasia yang dia sembunyikan pas razia ABRI semalem. Apa dia beneran takut razia? pikir Ardi.
Pak Santoso melangkah mendekat dan narik napas panjang. “Ardi, dengar Bapak. Rendra itu anak orang kaya, tapi loe beda. Loe anak petani. Jangan kebanyakan ngelamun sama anak perempuan atau buku-buku pelajaran itu. Sawah ini masa depan loe, nak.”
Ardi ngerasa dadanya sesak. Bapak gak ngerti, pikirnya. “Pak, aku cuma pengen bantu Mbak Sari di bioskop semalem. Dia baik, orangnya pinter. Aku juga pengen pinter, biar bisa kuliah, jadi guru.”
Pak Santoso mendengus dan matanya menyipit. “Guru? Kuliah? Loe tahu berapa biayanya? Sawah ini yang bayar kebutuhan kita, bukan mimpi loe. Terus, Rendra itu ngapain deket-deket Sari? Loe jangan sampe kalah sama dia, Ardi. Dia cuma pamer harta, tapi loe kudu buktiin anak petani juga punya harga diri!”
Ardi cuma angguk pelan, tapi hatinya panas. Rendra emang pamer, tapi aku gak suka Bapak benciin dia cuma karena dia orang kaya, pikirnya. Dia ingat sindiran Rendra di bioskop, asap knalpot motor CB 100-nya, dan lagu Rhoma Irama yang sengaja dinyanyiin keras. Ardi ngerasa ada saingan yang gak cuma soal Sari, tapi juga soal harga diri di desa ini.
Siang itu, Ardi ketemu Sari di warung Pak Haji pas istirahat. Warung kecil itu penuh aroma kopi tubruk dan asap rokok kretek. Sari duduk di bangku kayu sambil nyatet sesuatu di buku kecil, mungkin soal tiket bioskop. Rambutnya diikat rapi dan kebaya cokelatnya bikin dia kelihatan anggun meski cuma di warung. “Ardi, loe kok murung? Sawah loe banjir apa gimana?” tanya Sari sambil nyengir.
Ardi ketawa kecil dan duduk di depan Sari. “Bukan sawah, Mbak. Bapak tadi ngomel. Katanya aku kebanyakan ngelamun soal kuliah dan… loe.” Dia nunduk, malu ngaku yang terakhir.
Sari berhenti nulis dan matanya melebar. “Hah? Bapak loe tahu soal aku? Loe ceritain apa, Di?” Suaranya genit tapi ada nada khawatir.
“Bukan gitu, Mbak. Bapak cuma bilang aku kudu fokus ke sawah, jangan ngelamunin anak perempuan. Apalagi Rendra juga kayaknya naksir loe,” kata Ardi sambil nyengir kecut. Dia pasti tahu Rendra suka pamer, pikirnya.
Sari ketawa pelan dan geleng-geleng kepala. “Rendra? Dia cuma pamer motor sama lagu Rhoma Irama. Tapi loe beda, Ardi. Loe tulus. Aku suka ngobrol sama loe soal mimpi. Ingat gak, semalem aku cerita soal bioskop permanen?”
Ardi mangut-mangut dan ngerasa hangat di dada. “Ingat, Mbak. Loe bilang mau bikin bioskop di Sidomulyo, biar anak-anak bisa nonton tiap minggu. Aku serius, kalo loe mau, sawah keluarga aku bisa dipake buat lahan. Bayangin, bioskop di tengah sawah, romantis banget.”
Sari tersenyum lebar dan matanya berbinar. “Romantis? Loe ngomong gitu kayak di film ‘Gita Cinta dari SMA,’ Ardi. Tapi serius, aku pengen bioskop itu jadi kenyataan. Aku udah nabung dari jual tiket. Paman bilang susah, apalagi sama razia ABRI kayak semalem. Tapi aku gak nyerah.”
Ardi ngerasa kagum, tapi juga curiga lagi. Razia ABRI itu bikin dia takut. Apa hubungannya sama bioskop? pikirnya. “Mbak, semalem loe kelihatan khawatir pas dengar sirene. Ada apa sih? Filmnya beneran terlarang?”
Sari nunduk dan jarinya mainin ujung buku catatannya. “Ardi, bukan gitu. Paman cuma hati-hati. Kadang ada film yang gak disetujui pemerintah, tapi warga desa suka. Aku gak bisa cerita banyak, tapi loe jangan khawatir. Aku gak macem-macem.”
Ardi cuma angguk, tapi pikirannya penuh tanya. Dia sembunyikan sesuatu, kayak Pak Darmo di festival, pikirnya. Dia ingat cerita soal upeti di pasar dan bayangan preman itu. Tapi dia gak mau maksa Sari cerita. “Oke, Mbak. Aku percaya loe. Kalo perlu bantuan buat bioskop, bilang aja.”
Sari senyum lagi dan ngelus lengan Ardi pelan. “Makasi, Ardi. Loe bener-bener temen yang baik. Eh, loe gak takut Bapak loe marah kalo tahu loe masih ngobrol sama aku?”
Ardi ketawa kecil. “Biarin, Mbak. Bapak ngomel, tapi aku gak mau berhenti ngobrol sama loe. Loe bikin aku semangat, tahu gak?”
Sari tersipu dan buru-buru nyeruput teh di gelasnya. Dia manis banget pas malu, pikir Ardi. Tapi suasana warung berubah pas Rendra masuk dengan jaket kulit dan celana jeans ketat. Dia nyanyi kecil lagu “Begadang” dan bawa botol air soda dari warung sebelah. “Mbak Sari, apa kabar? Eh, Di, loe kok selalu deket Mbak Sari? Sawah loe gak kesepian?” katanya sambil nyengir sinis.
Ardi ngerasa panas tapi cuma nyengir. “Sawah aku baik-baik aja, Rend. Loe gak capek pamer motor tiap hari? Knalpotnya bikin warga batuk, lho.”
Rendra ketawa keras dan duduk di meja sebelah. “Biarin, Di. Motor gue idola desa. Mbak Sari pasti suka cowok yang punya gaya, kan?” Dia ngedip ke Sari, tapi Sari cuma geleng kepala sambil nyengir.
Tiba-tiba, suara sepeda motor polisi lewat di depan warung. Warga di warung berbisik soal razia ABRI yang makin sering. Sari ngeliat ke jalan dan wajahnya tegang lagi. Ada apa sama dia? pikir Ardi. Dia ngerasa harus tahu, tapi takut nanya langsung bikin Sari menjauh.
“Perjuangan itu seperti sawah kering, butuh hujan untuk tumbuh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Pagi di Sidomulyo ramai, warga berkumpul di lapangan desa di bawah sinar matahari yang terik. Sari Wulandari berdiri di tengah, batik birunya rapi meski matanya merah karena menangis semalaman. Aku harus selamatin Ardi dan bioskop, pikirnya, tangannya mencengkeram mikrofon tua berkarat. Warga berbisik, beberapa ragu, tapi mata mereka penuh harap.Rendra Wijaya berdiri di samping Sari, luka di lengannya dibalut kain lusuh, darah merembes pelan. “Mbak Sari, loe yakin ngadepin Pak Darmo?” tanyanya pelan, matanya cemas. Gue dukung loe, tapi ini bahaya, pikirnya. Sari mengangguk, suaranya tegas. “Mas Rendra, ini demi Sidomulyo,” katanya. Aku gak akan nyerah, pikirnya.Sari mengangkat mikrofon, suaranya menggema di lapangan. “Warga Sidomulyo, Ardi gak bersalah! Pak Darmo jebak dia!” ter
“Kesetiaan itu seperti pohon di sawah, akarnya kuat meski badai datang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Tengah malam di Sidomulyo, penjara desa yang dingin dan lembap menelan Ardi Santoso. Borgol di tangannya menggigit kulit, lantai semen kasar menggores lutut. Cahaya lampu minyak tanah redup dari luar jeruji, bayang polisi bergerak pelan. Ayah, gue gak akan nyerah, pikirnya, matanya menatap dinding penuh lumut.Sari Wulandari berdiri di pematang sawah, batik birunya compang-camping, angin malam membekukan tulang. Ardi, loe gak boleh nyerah, pikirnya, air mata membasahi pipi. Dia menatap penjara dari kejauhan, tangannya mencengkeram ilalang. Ibu, aku harus selamatin bapak, pikirnya.Rendra Wijaya bersandar di pohon sawo dekat rumah Pak Lurah, luka di lengannya dibalut kain lusuh. Di, gue bikin loe masuk penjara, pikirnya, rasa bersalah menggerogoti. Dia mengepal tangan, wajahnya pucat di bawah bulan p
“Kebenaran itu seperti padi di sawah, tumbuh pelan tapi tak bisa ditekan.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo terasa mencekam, angin dingin menerpa rumah Pak Lurah. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di loteng, napas mereka tersengal. Kotak besi bukti korupsi Pak Darmo tergeletak di samping Ardi, kertas tua di dalamnya penuh rahasia. Ini nyawa kita sekarang, pikirnya, jantungannya kencang.Sari duduk di sudut loteng, batik birunya basah lumpur, matanya penuh ketakutan. Ibu, mimpimu hancur, aku gagal, pikirnya, tangannya gemetar. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue selamatin loe sama bukti ini, pikirnya, tangannya mencengkeram kotak besi.Rendra bersandar di dinding kayu, lengan masih berdarah dari luka golok. “Di, Mbak Sari, kita harus bawa bukti ini ke pasar besok,” katanya pelan, suaranya serak. Bapak gue mungkin dalang, tapi gue pilih kebena
“Cinta itu seperti air di sawah, jernih tapi mudah keruh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo gelap, angin dingin menyapu sawah luas. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di gudang tua dekat pematang. Bau jerami basah menyengat, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di tangan Ardi. Kita hampir ketahuan tadi, pikirnya, jantungannya masih kencang.Sari duduk di sudut, batik birunya lusuh, wajahnya pucat setelah bioskop keliling hancur. Ibu, mimpimu hilang di tanganku, pikirnya, matanya berkaca. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue gak akan biarin loe sendiri, pikirnya.Rendra bersandar di dinding kayu, jaket jeansnya robek, darah kering di pelipis. “Di, Mbak Sari, kita harus ke Pak Lurah malam ini,” katanya pelan. Bapak gue mungkin di belakang ini, tapi gue pilih kalian, pikirnya. Ardi mengangguk, tapi matanya ke Sari. Ren, loe berani, tapi Mb
“Kenangan itu seperti layar bioskop, redup tapi tak pernah hilang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Sidomulyo hening, hanya suara jangkrik dan angin menerpa sawah. Bioskop keliling Sari Wulandari berdiri di ujung desa, layar putih compang-camping berkibar pelan. Sari berdiri di depan proyektor, wajahnya pucat tapi tegas. Ini pemutaran terakhirku, pikirnya, hatinya perih.Ardi Santoso duduk di barisan depan, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di pangkuannya. Mbak Sari, loe gak boleh nyerah, pikirnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia melirik penonton, warga desa yang datang meski tahu ancaman Pak Darmo. Mereka percaya sama Mbak Sari, pikirnya.Rendra Wijaya tiba, jaket jeansnya berdebu dari Semarang. “Di, Mbak Sari, gue datang,” katanya pelan, duduk di samping Ardi. Gue taruhan semuanya buat kalian, pikirnya, ingat demo dan borgol polisi. Ardi menatapnya, lega. Ren, loe beneran bal
“Perubahan itu seperti angin di sawah, tak terlihat tapi mengguncang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Semarang ramai, suara demo mahasiswa menggema di jalanan. Bau asap dan teriakan penuh semangat memenuhi udara. Rendra Wijaya berdiri di trotoar, jaket jeansnya berdebu, matanya menatap spanduk bertuliskan “Lawan Korupsi”. Gue gak bisa diam lagi, pikirnya, hatinya bergolak.Rendra ingat dokumen yang ditemukan Ardi di sawah. Bapak gue terlibat, tapi gue gak bisa tutup mata, pikirnya, amarahnya membuncah. Dia mengepal tangan, melihat mahasiswa menentang pejabat. Di, loe bener, kita harus lawan Pak Darmo, pikirnya.Di Sidomulyo, Ardi Santoso bersembunyi di gudang bioskop, kotak besi di tangannya. Ren, loe di mana? pikirnya, cemas. Sari Wulandari duduk di sampingnya, batik birunya lusuh. “Ardi, Mas Rendra bakal bantu kita, kan?” tanyanya sopan, suaranya penuh harap.Ardi mengangguk, tapi ragu. “Mbak Sari, Ren