Home / Romansa / Cinta di Antara Sawah / 6 I Bayang Preman

Share

6 I Bayang Preman

Author: Sriyatoen
last update Last Updated: 2025-09-16 03:19:01

“Hutang itu seperti lumpur di sawah, makin dilupain makin dalam.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo

Siang di Sidomulyo membakar kulit, matahari tinggi di atas pasar desa yang ramai. Bau ikan asin dari lapak Mbok Sari bercampur aroma ketan kukus dan minyak goreng dari warung makan. Pedagang teriak-taiak nawarin dagangan, dari sayur kolplay sampai kaset dangdut Rhoma Irama yang laku keras. Anak-anak main layangan di pinggir pasar, tali nilonnya nyanyi ditiup angin. Radio tua di warung Pak Haji main lagu “Pergilah Kasih” dari Chrisye, bikin suasana penuh nostalgia 80-an.

Ardi Santoso jalan pelan di antara kerumunan, tangannya megang keranjang bambu berisi beras dan gula jawa buat ibunya. Pikirannya masih ke Sari Wulandari, ke senyumnya di warung kemarin, dan ketegangannya pas dengar sirene razia ABRI di bioskop. Dia sembunyikan apa? pikirnya sambil ngeliatin sepeda ontel yang lewat bawa poster film “Catatan Si Boy” yang robek di ujungnya.

Di ujung pasar, Ardi ngeliat Sari bantu Pak Wulan ngemas peralatan bioskop keliling ke truk tua. Sari pake kain ikat kepala dan baju katun sederhana, tapi tetap kelihatan anggun meski keringat menetes di dahinya. Truk itu penuh karat, stiker film laga Jakarta di sampingnya jadi daya tarik warga. “Mbak Sari, loe di sini! Perlu bantuan gak?” tanya Ardi sambil nyamperin, nyengir biar gak kelihatan kepo.

Sari nengok dan senyumnya bikin jantungan Ardi balapan. “Ardi, loe lagi! Bantu angkat rol kain layar ini, dong. Berat, Paman udah capek beresin proyektor yang rewel dari semalem,” katanya sambil nunjuk gulungan kain besar di samping truk.

Ardi langsung bantu dan angkat kain itu bareng Sari. Mereka kerja sambil ngobrol ringan soal pasar yang ramai. “Mbak, loe gak capek bolak-balik bantu bioskop? Truk ini tua banget, kapan ganti baru?” tanya Ardi, coba buka obrolan sebelum nanya soal ketegangan semalem.

Sari ketawa pelan dan nyeka keringat dengan ujung kain ikat kepala. “Truk ini udah kayak keluarga, Di. Tua tapi setia. Nabungku buat bioskop permanen, bukan buat truk. Bayangin, bioskop beneran di Sidomulyo, layar besar, lampu warna-warni, warga bawa tikar sama ketan kukus,” katanya, matanya berbinar penuh mimpi.

Ardi ngerasa hangat di dada. Dia punya mimpi besar, kayak aku, pikirnya. “Mbak, aku serius bilang kemarin. Sawah keluarga aku bisa dipake buat lahan bioskop loe. Loe cuma bilang kapan, aku bantu pasang tiang layar,” katanya sambil nyengir lebar.

Sari nyenggol bahu Ardi dan ketawa. “Loe ngomong kayak di film ‘Gita Cinta dari SMA,’ Di. Tapi aku suka. Deal, loe yang pasang tiang pertama kalo bioskop ini jadi.” Matanya berkilau, bikin Ardi lupa panas siang. Dia beda, gak cuma cantik tapi punya hati, pikirnya.

Tiba-tiba, suasana pasar berubah. Pak Darmo, preman yang dikenal di Sidomulyo, muncul dari gang sempit dekat lapak ikan. Jaket kulitnya lusuh, tapi matanya tajam kayak elang. Dia nyamperin Ardi dengan langkah santai, tangannya megang rokok kretek yang asapnya nyebar. “Ardi, anak petani pinter. Bapak loe lagi susah, ya? Hutang keluarga loe ke Pak Haji udah numpuk, katanya,” ucap Pak Darmo, suaranya pelan tapi berat.

Ardi ngerasa dadanya sesak. Dia tahu soal hutang Bapak? pikirnya. “Maksudnya apa, Pak?” tanya Ardi, nadanya sopan tapi waspada.

Pak Darmo nyengir, memperlihatkan gigi kuningnya. “Gue tawarin kerja sampingan, Di. Gampang, cuma antar paket ke kota. Bayarannya lumayan, bisa nutup hutang Bapak loe. Loe anak pinter, gak mau kan keluarga loe susah?” katanya sambil ngelirik ke Sari, yang kelihatan tegang di samping truk.

Sari melangkah mendekat, tangannya megang kotak tiket erat. “Pak Darmo, Ardi gak perlu kerja sama Bapak. Dia udah bantu kami di bioskop,” katanya, suaranya tegas tapi matanya penuh khawatir.

Pak Darmo ketawa kecil. “Sari, loe urus bioskop aja. Jangan ikut campur urusan laki-laki. Ardi, pikirin tawaran gue. Besok ketemu di warung Pak Haji, ya?” Dia berbalik dan jalan pergi, asap rokoknya ninggalin jejak di udara.

Ardi ngerasa gak enak. Kerja sampingan? Paket apa? pikirnya. Dia ngeliat wajah Sari yang pucat. “Mbak, loe kenapa takut sama Pak Darmo? Dia ada hubungan sama bioskop, ya?” tanya Ardi pelan, coba nyari tahu.

Sari geleng kepala cepat. “Ardi, jangan tanya. Loe gak usah deket-deket dia. Aku cuma gak mau Paman kena masalah. Bantu aku angkat kotak ini, ya?” katanya, buru-buru ganti topik.

Ardi bantu, tapi pikirannya penuh tanya. Pak Darmo pasti ada sangkut-paut sama razia semalem, pikirnya. Dia inget bayang-bayang preman di festival lumpur dan cerita upeti di pasar. Apa bioskop Sari kena tekanan dia? pikirnya lagi.

Sore itu, Rendra Wijaya muncul di pasar dengan motor CB 100-nya. Knalpotnya ngebul, bikin pedagang ngeluh. Dia parkir dekat warung Pak Haji dan nyanyi kecil lagu “Kerinduan,” suaranya sengaja keras. “Mbak Sari, apa kabar? Eh, Di, loe kok selalu deket Mbak Sari? Sawah loe gak kangen?” katanya sambil nyengir sinis.

Ardi ngerasa panas, tapi cuma nyengir. “Sawah aku baik-baik aja, Rend. Loe gak capek pamer motor? Warga pada batuk gara-gara asap loe,” balas Ardi, nadanya santai tapi nyindir.

Rendra turun dari motor, jaket kulitnya kekecilan bikin dia kelihatan sok keren. “Gue gak pamer, Di. Ini gaya hidup. Loe anak petani, susah ngerti. Mbak Sari pasti suka cowok yang punya kelas, kan?” katanya, ngelirik Sari dengan senyum genit.

Sari geleng kepala sambil nyengir. “Mas Rendra, gaya loe emang top, tapi aku lebih suka yang tulus. Ardi bantu aku angkat kain tadi, loe mau bantu gak?” tanyanya, nada genit tapi nyindir halus.

Rendra mendengus. “Gue sibuk, Mbak. Tadi di SMA, anak-anak cerita soal demo mahasiswa di Semarang. Katanya ABRI mulai keras, nyari orang-orang yang bikin gaduh. Loe berdua hati-hati, ya,” katanya, matanya nyipit ke arah truk bioskop.

Ardi ngerasa curiga. Demo mahasiswa? Apa hubungannya sama razia di desa? pikirnya. Dia ngeliat Sari yang buru-buru masukin kotak tiket ke truk, tangannya gemetar. Dia takut ABRI atau Pak Darmo? pikirnya lagi.

Pasar mulai sepi sore itu, tapi udara terasa berat kayak awan hujan. Dua polisi ABRI lewat dengan sepeda motor, berhenti dekat warung Pak Haji, dan mulai tanya pedagang soal “orang baru” di desa. Warga berbisik, sebagian buru-buru nutup lapak. Pak Wulan mendekat ke Sari dan berbisik cepat. “Sari, sembunyiin kotak film itu. Jangan sampai mereka nanya.”

Sari angguk, wajahnya pucat. Ardi bantu angkat kotak, tapi pikirannya penuh. Pak Darmo, razia ABRI, bioskop… semua nyambung, pikirnya. Dia ngerasa harus tahu, tapi takut nanya langsung bikin Sari menjauh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Antara Sawah   38 I Sari Melawan

    “Perjuangan itu seperti sawah kering, butuh hujan untuk tumbuh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Pagi di Sidomulyo ramai, warga berkumpul di lapangan desa di bawah sinar matahari yang terik. Sari Wulandari berdiri di tengah, batik birunya rapi meski matanya merah karena menangis semalaman. Aku harus selamatin Ardi dan bioskop, pikirnya, tangannya mencengkeram mikrofon tua berkarat. Warga berbisik, beberapa ragu, tapi mata mereka penuh harap.Rendra Wijaya berdiri di samping Sari, luka di lengannya dibalut kain lusuh, darah merembes pelan. “Mbak Sari, loe yakin ngadepin Pak Darmo?” tanyanya pelan, matanya cemas. Gue dukung loe, tapi ini bahaya, pikirnya. Sari mengangguk, suaranya tegas. “Mas Rendra, ini demi Sidomulyo,” katanya. Aku gak akan nyerah, pikirnya.Sari mengangkat mikrofon, suaranya menggema di lapangan. “Warga Sidomulyo, Ardi gak bersalah! Pak Darmo jebak dia!” ter

  • Cinta di Antara Sawah   37 I Penjara Desa

    “Kesetiaan itu seperti pohon di sawah, akarnya kuat meski badai datang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Tengah malam di Sidomulyo, penjara desa yang dingin dan lembap menelan Ardi Santoso. Borgol di tangannya menggigit kulit, lantai semen kasar menggores lutut. Cahaya lampu minyak tanah redup dari luar jeruji, bayang polisi bergerak pelan. Ayah, gue gak akan nyerah, pikirnya, matanya menatap dinding penuh lumut.Sari Wulandari berdiri di pematang sawah, batik birunya compang-camping, angin malam membekukan tulang. Ardi, loe gak boleh nyerah, pikirnya, air mata membasahi pipi. Dia menatap penjara dari kejauhan, tangannya mencengkeram ilalang. Ibu, aku harus selamatin bapak, pikirnya.Rendra Wijaya bersandar di pohon sawo dekat rumah Pak Lurah, luka di lengannya dibalut kain lusuh. Di, gue bikin loe masuk penjara, pikirnya, rasa bersalah menggerogoti. Dia mengepal tangan, wajahnya pucat di bawah bulan p

  • Cinta di Antara Sawah   36 I Titik Balik

    “Kebenaran itu seperti padi di sawah, tumbuh pelan tapi tak bisa ditekan.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo terasa mencekam, angin dingin menerpa rumah Pak Lurah. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di loteng, napas mereka tersengal. Kotak besi bukti korupsi Pak Darmo tergeletak di samping Ardi, kertas tua di dalamnya penuh rahasia. Ini nyawa kita sekarang, pikirnya, jantungannya kencang.Sari duduk di sudut loteng, batik birunya basah lumpur, matanya penuh ketakutan. Ibu, mimpimu hancur, aku gagal, pikirnya, tangannya gemetar. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue selamatin loe sama bukti ini, pikirnya, tangannya mencengkeram kotak besi.Rendra bersandar di dinding kayu, lengan masih berdarah dari luka golok. “Di, Mbak Sari, kita harus bawa bukti ini ke pasar besok,” katanya pelan, suaranya serak. Bapak gue mungkin dalang, tapi gue pilih kebena

  • Cinta di Antara Sawah   35 I Pengakuan Cinta

    “Cinta itu seperti air di sawah, jernih tapi mudah keruh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo gelap, angin dingin menyapu sawah luas. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di gudang tua dekat pematang. Bau jerami basah menyengat, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di tangan Ardi. Kita hampir ketahuan tadi, pikirnya, jantungannya masih kencang.Sari duduk di sudut, batik birunya lusuh, wajahnya pucat setelah bioskop keliling hancur. Ibu, mimpimu hilang di tanganku, pikirnya, matanya berkaca. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue gak akan biarin loe sendiri, pikirnya.Rendra bersandar di dinding kayu, jaket jeansnya robek, darah kering di pelipis. “Di, Mbak Sari, kita harus ke Pak Lurah malam ini,” katanya pelan. Bapak gue mungkin di belakang ini, tapi gue pilih kalian, pikirnya. Ardi mengangguk, tapi matanya ke Sari. Ren, loe berani, tapi Mb

  • Cinta di Antara Sawah   34 I Bioskop Terakhir

    “Kenangan itu seperti layar bioskop, redup tapi tak pernah hilang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Sidomulyo hening, hanya suara jangkrik dan angin menerpa sawah. Bioskop keliling Sari Wulandari berdiri di ujung desa, layar putih compang-camping berkibar pelan. Sari berdiri di depan proyektor, wajahnya pucat tapi tegas. Ini pemutaran terakhirku, pikirnya, hatinya perih.Ardi Santoso duduk di barisan depan, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di pangkuannya. Mbak Sari, loe gak boleh nyerah, pikirnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia melirik penonton, warga desa yang datang meski tahu ancaman Pak Darmo. Mereka percaya sama Mbak Sari, pikirnya.Rendra Wijaya tiba, jaket jeansnya berdebu dari Semarang. “Di, Mbak Sari, gue datang,” katanya pelan, duduk di samping Ardi. Gue taruhan semuanya buat kalian, pikirnya, ingat demo dan borgol polisi. Ardi menatapnya, lega. Ren, loe beneran bal

  • Cinta di Antara Sawah   33 I Rendra yang Berubah

    “Perubahan itu seperti angin di sawah, tak terlihat tapi mengguncang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Semarang ramai, suara demo mahasiswa menggema di jalanan. Bau asap dan teriakan penuh semangat memenuhi udara. Rendra Wijaya berdiri di trotoar, jaket jeansnya berdebu, matanya menatap spanduk bertuliskan “Lawan Korupsi”. Gue gak bisa diam lagi, pikirnya, hatinya bergolak.Rendra ingat dokumen yang ditemukan Ardi di sawah. Bapak gue terlibat, tapi gue gak bisa tutup mata, pikirnya, amarahnya membuncah. Dia mengepal tangan, melihat mahasiswa menentang pejabat. Di, loe bener, kita harus lawan Pak Darmo, pikirnya.Di Sidomulyo, Ardi Santoso bersembunyi di gudang bioskop, kotak besi di tangannya. Ren, loe di mana? pikirnya, cemas. Sari Wulandari duduk di sampingnya, batik birunya lusuh. “Ardi, Mas Rendra bakal bantu kita, kan?” tanyanya sopan, suaranya penuh harap.Ardi mengangguk, tapi ragu. “Mbak Sari, Ren

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status