Liana POV
"Aku akan kembali saja pak Azfer..." Katanya kemudian setelah tidak menyambut tanganku. Dia bangkit tapi Azfer lebih cepat mencegahnya.
"Tunggu pak, kita akan berusaha mengeluarkan anda" Azfer mencoba mencegah Emir.
"Biarlah saya disini saja pak, percuma hasilnya akan tetap sama" yang punya diri terlihat sekali putus asa. Aku berdiri mematung melihat mereka berdebat.
"Kita harus berusaha setidaknya" Azfer menyemangati dengan tegas. Sepertinya karena Azfer sering membawa lawyer untuk dia, dua orang ini jadi akrab. Aku menarik kembali tanganku, percuma aku tidak disambut, kesan yang sangat buruk.
"Pak saya akan berusaha untuk bapak, saya mohon pak, bantu saya" akhirnya kataku keluar setelah sekian ratus yang ku rangkai, sangking tercekatnya tengorokanku.
Emir melihatku sekian detik, ia menelisik kedalam mataku ku kira. Sekian detik kemudian dia luluh dan menganguk pelan. Akhirnya dia bersedia duduk kembali tanpa terpaksa. Azfer yang melihat interaksi aku dan orang ini wajahnya sedikit rileks.
"Saya memang mahasiswa sementer akhir profesi disini pak, tapi saya optimis bisa membantu agar bapak bisa keluar dari tempat ini, dan nama baik bapak kembali seperti dulu" Ana menyakinkan.
"Kalau penyelidikan ini lebih dari tiga bulan, saya rasa anda harus menyerah" kata Emir tegas, ku pandang Azfer. Sedangkan yang dipandang hanya menatapku dalam.
"Apakah itu syarat dari bapak?" Tanyaku kelu.
"Iya" mereka bertemu mata dan pandangan keduanya dalam. Secarik sinar dari dalam mata Emir adalah dia tidak perlu pembuktian yang bagaimana untuk kasus ini, toh waktu sudah berjalan hampir lima tahun.
"Baiklah" Aku menyangupi.
"Pak detektif yang mendampinginku adalah orang yang luar biasa, ku rasa kita optimis bisa menemukan juru kunci lainya selain anda" kataku tenang.
"Azfer yang dikatakan begitu langsung melotot tajam"Ana mulai dengan berbagai pertanyaanya, satu persatu pertanyaan dijawab dengan mudah hingga pada pertanyaan saat malam kejadian.
"Bagaimana kondisi ketika bapak masuk tempat kejadian, setelah bapak menerima massange itu " Emir menarik nafasnya panjang, lalu mulai dengan ceritanya untuk TKP.
"Saya berjalan menyusuri halaman depan yang luas, saya tau itu rumah saudara Hatice yang memang disewakan pada Hatice sampai dia lulus kuliah, rumah itu senyap, dan tidak sepeti biasanya, aku berlari ke lantai atas dikamar yang biasa Hatice ceritakan, dia sering bercerita dia suka menempati kamar lantai atas, karena di lantai satu dia seperti tidak nyaman, aku berlari menaiki tangga, sa-"
"Stop!"
Emir lansung menoleh tajam, sedangkan Azfer langsung memelototiku, mungkin menurut mereka adalah harus konsentrasi dengan masalah itu baik, tapi tidak dalam psikologi, masalah yang membuat ingatan seorang terluka tidak baik untuk dibuat konsentrasi, itu hanya akan memunculkan trauma yang sama dan hasilnya pasti nihil.
"Tenang dulu... Maksud aku, biar pak Emir tidak sampai pingsan" kataku kikuk karena aku dipandangi dua orang dengan sorot tajam sekarang.
"Jadi bapak berdiri ikuti saya" Emir pun akhirnya mengikuti saya berdiri.
"Pak Azfer ngapain ikut?" Aku bengong melihat Azfer mengikuti kata kataku agar berdiri seperti pak Emir.
"Katanya disuruh berdiri?"
"Ya saya nyuruh pak Emir aja, bukan bapak juga" kataku menahan tawa, aku tidak ingin tertawa dan berakhir membuat suasana jadi drama komedi. Lalu kemudian dia duduk kembali.
"Bapak tarik nafas perlahan keluarkan perlahan sampai tiga kali" kataku memperagakan, kalau kita ingin meracuni otak yang melakukan prilaku yang sama yang menimbulkan hal negatif, coba pecahkan siklus yang sama, sehingga otak tidak lagi lagi melakukan hal yang sama karena siklusnya telah di belokkan.
"Lebih baik pak" kataku
"Bapak loncat tiga kali"
Hah!" Azfer yang menyahuti sekarang
"Ini bagian dari materi psikologi pak, jadi memang begini" aku menejelaskan
"Bapak ikut saya" aku lalu melompat lompat, ia melihatku tersenyum akhirnya senyuman tulus yang sedari tadi tidak ku dapatkan dari clien ku ini.
Akhirnya di lompatakanku yang ke dua dia akhirnya melompat dan mengikutiku, setelah ketiga aku tersenyum pada Emir.
"Bagaiaman pak? Agak rileks?" Tanyaku penuh senyuman.
"Mendingan..." Katanya tersenyum lagi lalu duduk.
"Bagaimana pak, setelah bapak berlari ke tangga"
"Saya menemui kekasih saya sudah tidak bernyawa, dan seseorang bertopeng hitam melakukanya berkali kali, merobek perutnya, aku terjatuh, kau tau aku sedikit phobia tentang darah, pelaku itu tau dan...." Emir kehilangan keseimbanganya, dia memijit kepalanya sebentar. kata-katanya sudah hilang. Dia oleng ke kiri untung Azfer sigap menangkapnya sebelum dia berakhir dilantai yang dingin ini. Emir sudah tidak sadarkan diri dalam tangan Azfer.
"Tolong bantu aku" pinta Azfer aku langsung sigap membantu Azfer melekakkan Emir ke bangku, aku mengeleng perlahan.
**
Bersambung
Author POV Azfer telah bersiap untuk pulang hari ini, dia tersenyum lembut ke Istrinya-Liana, wanita yang sedang membereskan semua barang itu terlihat sangat sibuk, beberapa kali dia mondar mandir untuk mengecek barang-barangnya. "sayang..." Azfer memangil dengan suara yang lembut sekali. Liana menoleh dalam mode pelan, matanya mengerjap beberapa kali ketika bertemu dengan manik mata suaminya. "ada apa sayang?" tanyanya, dia sedang serius dan berkonsentrasi penuh. Azfer tersenyum sekilas lalu mengeleng pelan. "kamu jangan terlalu capek" ucapnya, Liana kemudian tersenyum dan menghampiri suaminya itu. Liana tentu saja tidak memperbolehkan Azfer untuk ikut serta membereskan semua barang-barang, kesehatanya belum sepenuhnya pulih. "aku kayak De-javu ya, kayak adengannya kebalik gitu" Liana lalu tertawa berderai, Azfer ikut tersenyum lebar mendapati tawa istrinya yang renyah itu. "dulu kamu yang kayak gini di Ista
Liana POVaku tidak pernah menyangka akan melibatkan diriku pada urusan yang sangat pelik ini, ku pikir semuanya akan terkendali. nyatanya tidak satupun yang dapat ku kendalikan.Suamiku terbujur dengan peralatan medis di sekujur tubuhnya, bahkan tadi aku bergetar hebat ketika menelephone ibuku dan mama Dilara, entahlah apa yang akan mereka katakan padaku nanti, Mama bahkan menangis hebat dan langsung memesan penerbangan ke Indonesia malam ini juga, tapi jarak istanbul-Indonesia yang mencapai hampir delapan jam perjalanan udara.dokter sudah memeriksa Azfer tadi dan melakukan tindakan operasi cepat, kalau Azfer dapat melewati masa kritisnya dalam waktu kurang dari 24 jam kemungkinan dia akan sembuh lebih besar, tapi lain lagi jika ia tidak dapat melewati masa kritis, mungkin aku harus bersiap dengan kemungkinan terparah.aku menekan-nekan ponselku sebentar aku menghubungi Ismet, mukanya langsung muncul dalam layar ponselku ketika panggilanku dijawab
Author Pov Mobil metalik hitam jenis sedan keluaran terbaru itu, memasuki area istana gubernur Jawa barat, lebih tepatnya di kota kembang Bandung. Seorang dengan pakaian formal berwarna merah berkelas menuruni mobil tersebut, lalu mobil dibelakangnya juga mengikuti, seorang berwajah sangat rupawan di ikuti seorang pria paruh baya keluar dari mobilnya. "Ibu Liana" panggil Sancar "Iya pak" wanita itu menjawab dengan santai, siapa lagi kalau bukan Liana. "Bagaimana persiapan untuk presentasinya?" "Sudah saya siapkan pak" katanya mantap, kedua laki-laki itu saling pandang dan mangut-mangut sekilas, kemudian mereka berjalan memasuki gedung besar itu di ikuti Liana dibelakang mereka. -- Pertemuan itu berjalan dengan sangat baik, bahkan tidak ada kendala yang berarti bagi pihak AHA, sumber daya manusia indonesia yang mengelola pertanian sangat besar apalagi dijawa barat, gubernur sangat senang atas inve
Author POV Lampu merah itu terjadi sangat lama dipertengahan jalan, kini mobil sudah sampai pada jalan palgura mobil mengerem mendadak, membuat Xavi hampir tersungkur kedepan. "Akhh.... " ucapan Xavi terputus setelah beberapa orang berkaos hitam mengendor pintu mereka. Ada empat orang sekarang yang mengerumuni mobil mereka. "Buka pintunya!!!" teriaknya lantang, sebuah pistol sudah ditodongkan tepat disamping kaca, memaksa ujang langsung tiarap. "Buka sebelum semua orang berkerumun Nona!!!" Teriak yang disamping Xavi, dengan cepat Ujang membuka kunci pintu mobil, dan dengan cepat orang-orang itu membuka mobil dan memaksa Xavi keluar. "Ikut kami baik baik nona" kata mereka dengan halus Xavi yang tidak mengerti bahasa
Author POV Dipulau Bali, Xavi terlihat berjalan santai didekat pantai Kuta, ia sering menikmati matahari dipantai cantik itu, tidak sulit untuk menginjakkan kaki setiap hari dipantai itu, karena jarak rumah yang dibangun Liana dikuta tidak jauh dari pusat gemerlap pantai kuta. Langkah kakinya berjalan telanjang menyusuri pantai yang penuh dengan turis dari berbagai negara itu, dia senang karena tidak perlu bersapa atau ramah pada orang-orang itu karena toh orang-orang itu juga tidak mengenalnya, dia juga tidak ingin mengenalkan dirinya ke semua orang, anggap saja, dia ingin melarikan diri dari kenyataaan bahwa orang yang telah mengisi hatinya bukan orang yang pantas untuk dia temani. Lalu Xavi duduk pada pasir putih, setelah matahari terbit dari arah barat dia beranjak dari tempat duduknya, dia berniat ingin kembali ke rumah, mungki n asisten rumahnya yang di
Author POV Welcome Soekarno-Hatta Akhirnya Arslan, Azfer dan Liana tiba dibandara Soekarno-Hatta, ibu Liana-Sumarni terlihat menunggu di penjemputan bandara bersama Sari, wajah mereka terlihat berbinar binar, Liana dan Azfer menggeret koper mereka, sedangkan Assisten mereka dan Arslan sedang berjalan kedepan. "Itu mereka Sari" kata Sumarni pada Sari, mata Sari langsung memandang ke arah kedatangan dan benar saja Azfer dan Liana terlihat tersenyum manis dari kejauhan, dengan cepat Sumarni menghampiri ke empatnya. "Sayang" Liana langsung memeluk ibunya begitu dekat, Azfer memeluk sari sekilas, merek bergantian berpelukan. "Ibu kangen nak" katanya disertai lelehan air mata dari sudut matanya.