Liana POV
Didepan memang disekat dengan pintu pagar besi, hanya orang orang tertentu yang dapat masuk untuk kepentingan tertentu. Disebelah kanan pintu masuk ini adalah ruangan besar terdapat penjaga disana. Azfer dengan lihainya berbicara. Bernegosiasi dengan sipir penjara itu. Aku hanya diam melihat cara dia bicara. secara keseluruhan cara bicara Azfer ini tegas, tidak banyak lelucon, lugas dan langsung pada intinya. Sorot matanya yang tajam kadang membuat lawan bicara seolah diintimidasi yang sangat dalam.
Dia manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasan sifir penjara, beberapa negoisasi dilakukanya dengan sang sipir, termasuk memberikanku ijin bertemu dengan tahanan saat Azfer tidak ada, jadi mereka membuat kartu akses khusus yang bisa digunakan untuk kepentingan lawyer, itulah tadi intinya negoisasi Azfer.
"Kita masuk ruang paling belakang" kata Azfer akhirnya setelah ia selesai berterima kasih. Dia berjalan cepat didepan sana, 'ya Tuhan berapa meter sih sekali melangkah?' batinku pilu, baru juga dua langkah aku sudah tertinggal jauh.
" Teşekkürler " kataku menunduk sekilas pada sifir yg didepan ruangan itu. Sang sipir tersenyum akhirnya, Sedangkan Azfer sudah jangan dikatakan lagi dia sudah satu meter dan sekarang sedang membuka handle pintu masuk ruangan lain. Dia memandangiku yang telah lari mengejarnya. Tapi rasanya dia juga tidak peduli, dia langsung saja masuk ruangan.
Dia langsung duduk begitu melihatku masuk ruangan,
"Kita bicara kasus" katanya tanpa ba-bi-bu. Aku menganguk perlahan memandanginya serius.
"Ceritakan padaku bagaimana awalnya?" Azfer memulai sebuah cerita cinta panjang entahlah, seakan aku masuk untuk melihatnya, benar benar merasakanya.
"Awalnya mereka Emir dan hatice adalah sepasang kekasih pada umumnya, mereka menjalani kehidupan seperti pasangan muda pada umumnya, Emir anak orang kelas bawah, sedangkan Hatice anak orang menengah, ayahnya seorang pegawai sipil dan ibunya seorang dosen, mereka kuliah di sebuah kampus yang sama, pada suatu hari Emir menemukan Hatice sedang bertemu dengan seseorang pria, Emir sendiri tidak mengenal pria ini, entah bagaimana yang dilihat Emir adalah Hatice sedang bertengkar hebat dengan pria ini, Emir diam tidak mau hadir, lalu ikut masalah Hatice, dia diam sehingga pada keesokan harinya Emir bertanya pada Hatice, Hatice menjawab dengan beberapa elakan, lalu mereka bertengkar akhirnya, bertengkar hingga berlarut-larut, pada suatu malam Emir mendapatkan massange kalau Hatice sedang butuh bantuanya untuk menjemput, dia berkata sedang dalam keadaan yang kurang baik sehingga meminta bantuan Emir, Emir akhirnya datang kerumahnya, saat ditempat tersebut Emir melihat Hatice sudah dalam keadaan yang tidak bisa dijelaskan, dia diam dalam, dia melihat hal yang mengerikan didepannya, sampai disitu cerita terputus, tidak ada ada lagi terusan dari cerita itu, setiap kali Emir mengingat terusanya, saat itupulah dia selalu mengeleng kemudian pingsan, dan setelah pingsan yang terjadi adalah kesadaranya tidak lagi pada dirinya, kecuali gumanan seperti merampal mantra yang tidak jelas" jelas Azfer padaku.
“Setelah seperti itu saya membutuhkan waktu satu minggu untuk kembali menginterogasinya, tapi ya seperti itu kembali, kunci satu satunya hanya dia" sambungnya.
"lalu Emir adalah tersangka kuat dalam kasus ini"
"Tepat, itu karena barang bukti kuat menunjukkan Emir membunuhnya, sidik jari Emir ada penuh di barang bukti" Kata Azfer dia lugas. Aku memandangi Azfer meneliti.
"Apakah orang yang bertengkar dengan Hatice ini ditemukan?"
"Tidak ada yang tau orang ini sedikit sekali informasi" Aku terdiam.
"Apakah Emir melihat mukanya full? Atau hanya sebagian saja?"
"Emir tidak bisa di interogasi seperti apa muka orang ini" Azfer mengeleng"Kenapa keluarga Hatice ini ngotot mempenjarakan Emir?, Padahal belum tentu Emir yang membunuh Hatice?" Pertanyaan besar muncul dikepalaku.
"Hatice adalah anak perempuan mereka paling besar, mereka mempercayainya karena banyak bukti yang mengarah ke Emir, sedangkan Emir yang merupakan saksi kunci depresi sampai sekarang, jadi kita tidak bisa menjatuhkam hukuman secara langsung, jadi kemungkinan sampai kasus ini dibelum diputuskan adalah menampung Emir dalam tahanan" Azfer menjelaskan dengan sangat lugas.
Ana terdiam sekarang mencoba menerka kemungkinan terjadi, dia harus bekerja keras sekarang meyakinkan Ardan bukan perkara mudah bagi Liana. Apalagi dia hanya seorang mahasiswa magang, sedangkan kasusnya saksi kunci mengalami ganguan kejiwaan. lalu saksi lain adalah orang yang tidak ditemukan yang pernah bertengkar dengan Hatice seminggu sebelum dia terbunuh.
"Permisi pak" Sipir memasuki ruangan dengan membawa seorang yang mukanya sangat lusuh dengan baju tahanan seadanya. Orang itu memang terlihat memandang kami dengan pandangan yang tak enak, ia memandang Azfer sekilas sebelum memandangiku tajam.
"Teşekkürler..." Azfer bangkit dan sipir itu menyerahkan tahanan itu kepada Azfer.
"Tidak lebih dari 2 jam sir"
" Itu sudah cukup" jawab Azfer santai.
Dia membantu tanahan itu duduk dikursi depan kami, kemudian sipir keluar dari ruangan kami. Setelah pintu tertutup Azfer memperkenalkanku.
"Pak Emir, ini lawyer anda yang baru, ibu Liana"
"Ini bapak Emir yang saya ceritakan pada anda"
Aku mengulurkan tangan ramah dan tersenyum, sebagaimana orang Indonesia berkenalan, tapi dia hanya melihat tanganku, dan tersenyum miring tidak percaya. Bagimana bisa orang ini memandang rendah meremahkanku, sedangkan dia baru saja bertemu denganku beberapa detik saja.
**
bersambung
Author POV Azfer telah bersiap untuk pulang hari ini, dia tersenyum lembut ke Istrinya-Liana, wanita yang sedang membereskan semua barang itu terlihat sangat sibuk, beberapa kali dia mondar mandir untuk mengecek barang-barangnya. "sayang..." Azfer memangil dengan suara yang lembut sekali. Liana menoleh dalam mode pelan, matanya mengerjap beberapa kali ketika bertemu dengan manik mata suaminya. "ada apa sayang?" tanyanya, dia sedang serius dan berkonsentrasi penuh. Azfer tersenyum sekilas lalu mengeleng pelan. "kamu jangan terlalu capek" ucapnya, Liana kemudian tersenyum dan menghampiri suaminya itu. Liana tentu saja tidak memperbolehkan Azfer untuk ikut serta membereskan semua barang-barang, kesehatanya belum sepenuhnya pulih. "aku kayak De-javu ya, kayak adengannya kebalik gitu" Liana lalu tertawa berderai, Azfer ikut tersenyum lebar mendapati tawa istrinya yang renyah itu. "dulu kamu yang kayak gini di Ista
Liana POVaku tidak pernah menyangka akan melibatkan diriku pada urusan yang sangat pelik ini, ku pikir semuanya akan terkendali. nyatanya tidak satupun yang dapat ku kendalikan.Suamiku terbujur dengan peralatan medis di sekujur tubuhnya, bahkan tadi aku bergetar hebat ketika menelephone ibuku dan mama Dilara, entahlah apa yang akan mereka katakan padaku nanti, Mama bahkan menangis hebat dan langsung memesan penerbangan ke Indonesia malam ini juga, tapi jarak istanbul-Indonesia yang mencapai hampir delapan jam perjalanan udara.dokter sudah memeriksa Azfer tadi dan melakukan tindakan operasi cepat, kalau Azfer dapat melewati masa kritisnya dalam waktu kurang dari 24 jam kemungkinan dia akan sembuh lebih besar, tapi lain lagi jika ia tidak dapat melewati masa kritis, mungkin aku harus bersiap dengan kemungkinan terparah.aku menekan-nekan ponselku sebentar aku menghubungi Ismet, mukanya langsung muncul dalam layar ponselku ketika panggilanku dijawab
Author Pov Mobil metalik hitam jenis sedan keluaran terbaru itu, memasuki area istana gubernur Jawa barat, lebih tepatnya di kota kembang Bandung. Seorang dengan pakaian formal berwarna merah berkelas menuruni mobil tersebut, lalu mobil dibelakangnya juga mengikuti, seorang berwajah sangat rupawan di ikuti seorang pria paruh baya keluar dari mobilnya. "Ibu Liana" panggil Sancar "Iya pak" wanita itu menjawab dengan santai, siapa lagi kalau bukan Liana. "Bagaimana persiapan untuk presentasinya?" "Sudah saya siapkan pak" katanya mantap, kedua laki-laki itu saling pandang dan mangut-mangut sekilas, kemudian mereka berjalan memasuki gedung besar itu di ikuti Liana dibelakang mereka. -- Pertemuan itu berjalan dengan sangat baik, bahkan tidak ada kendala yang berarti bagi pihak AHA, sumber daya manusia indonesia yang mengelola pertanian sangat besar apalagi dijawa barat, gubernur sangat senang atas inve
Author POV Lampu merah itu terjadi sangat lama dipertengahan jalan, kini mobil sudah sampai pada jalan palgura mobil mengerem mendadak, membuat Xavi hampir tersungkur kedepan. "Akhh.... " ucapan Xavi terputus setelah beberapa orang berkaos hitam mengendor pintu mereka. Ada empat orang sekarang yang mengerumuni mobil mereka. "Buka pintunya!!!" teriaknya lantang, sebuah pistol sudah ditodongkan tepat disamping kaca, memaksa ujang langsung tiarap. "Buka sebelum semua orang berkerumun Nona!!!" Teriak yang disamping Xavi, dengan cepat Ujang membuka kunci pintu mobil, dan dengan cepat orang-orang itu membuka mobil dan memaksa Xavi keluar. "Ikut kami baik baik nona" kata mereka dengan halus Xavi yang tidak mengerti bahasa
Author POV Dipulau Bali, Xavi terlihat berjalan santai didekat pantai Kuta, ia sering menikmati matahari dipantai cantik itu, tidak sulit untuk menginjakkan kaki setiap hari dipantai itu, karena jarak rumah yang dibangun Liana dikuta tidak jauh dari pusat gemerlap pantai kuta. Langkah kakinya berjalan telanjang menyusuri pantai yang penuh dengan turis dari berbagai negara itu, dia senang karena tidak perlu bersapa atau ramah pada orang-orang itu karena toh orang-orang itu juga tidak mengenalnya, dia juga tidak ingin mengenalkan dirinya ke semua orang, anggap saja, dia ingin melarikan diri dari kenyataaan bahwa orang yang telah mengisi hatinya bukan orang yang pantas untuk dia temani. Lalu Xavi duduk pada pasir putih, setelah matahari terbit dari arah barat dia beranjak dari tempat duduknya, dia berniat ingin kembali ke rumah, mungki n asisten rumahnya yang di
Author POV Welcome Soekarno-Hatta Akhirnya Arslan, Azfer dan Liana tiba dibandara Soekarno-Hatta, ibu Liana-Sumarni terlihat menunggu di penjemputan bandara bersama Sari, wajah mereka terlihat berbinar binar, Liana dan Azfer menggeret koper mereka, sedangkan Assisten mereka dan Arslan sedang berjalan kedepan. "Itu mereka Sari" kata Sumarni pada Sari, mata Sari langsung memandang ke arah kedatangan dan benar saja Azfer dan Liana terlihat tersenyum manis dari kejauhan, dengan cepat Sumarni menghampiri ke empatnya. "Sayang" Liana langsung memeluk ibunya begitu dekat, Azfer memeluk sari sekilas, merek bergantian berpelukan. "Ibu kangen nak" katanya disertai lelehan air mata dari sudut matanya.