LOGINHiks hiks
"Diamlah, tangismu tidak akan membuat orang itu hidup kembali!" ucap seorang laki-laki yang berada di hadapan Feli. Ia ingat betul siapa gadis itu, gadis berambut sebahu yang tadi pagi ia tabrak. Feli tidak tahu jika kematian gadis itu adalah hari ini, jika saja ia tahu pasti dirinya akan mencegah hal itu terjadi. Gadis itu tahu persis bagaimana cara kakak kelas perempuannya itu meninggal, karena ia telah melihat terlebih dahulu peristiwa ini pagi tadi lewat tatapan mata mereka yang tak sengaja bertemu. "Ini salahku karena tidak mencegahnya," ucap Feli disela isak tangisnya. Ucapan gadis itu membuat laki-laki yang berdiri tak jauh darinya menoleh. "Apa yang telah kamu lakukan?" tanya laki-laki itu. Feli tak menjawab, isak tangisnya masih mendominasi membuatnya hanya bisa menggeleng. "Siapa namamu tadi? Feli, ya? Itu namamu, 'kan?" tanya lagi laki-laki bermanik hitam legam itu. Feli mengangkat wajahnya dan mengusap air matanya. Gadis itu melihat sebuah tangan yang mengulurkan sebuah sapu tangan yang bergambar bintang ke arahnya, Feli menerima sapu tangan itu. "Ba-bagaimana kamu tahu?" tanya balik Feli dengan suara serak akibat dari tangisannya yang baru saja berhenti. "Kamu tidak ingat? Kita teman sekelas, kamu tidak mendengarkan aku saat aku maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri." Reflek Feli mendongak, hampir saja ia menatap mata laki-laki itu. Namun Feli buru-buru kembali menundukkan kepala, sudah cukup ia melihat peristiwa kematian kakak kelas hari ini. Akhirnya Feli hanya menggeleng lemah untuk menjawab ucapan dari laki-laki itu. "Aku Aland," ucap laki-laki itu. "Karena sekolah sudah sepi dan banyak guru yang sudah pulang kita harus menunggu Pak Satpam menelepon para guru terlebih dahulu, kamu boleh pulang duluan! Aku yang akan di sini menunggu mereka datang." Feli menggeleng, ia tidak ingin meninggalkan laki-laki yang ia ketahui bernama Aland itu sendirian di tempat ini. Meskipun ia seorang laki-laki, namun berada di satu ruang dengan seorang mayat perempuan yang baru saja meninggal dalam keadaan tragis bukanlah hal yang menyenangkan apalagi dia hanya sendirian di sini. "Pulanglah!" ucap lagi Aland memerintahkan Feli untuk segera pulang. "Aku akan tetap di sini, bersamamu." Gadis itu tetap bersikeras tidak ingin pulang sampai bala bantuan datang. Dalam diam Aland menatap Feli yang sejak tadi menundukkan kepala, gadis itu sama sekali tidak pernah mengangkat kepalanya. Apakah dia takut, batin Aland. Jika dia takut seharusnya dia mau saat Aland menyuruhnya pulang, akan tetapi ia tidak bergerak walau semili dari tempatnya berjongkok. Tak lama terdengar suara sirine ambulance datang ke halaman sekolah, Aland segera berlari menuju segerombolan orang berpakaian serba putih yang baru saja keluar dari mobil ambulance. "Ayo!" Aland berbalik arah dan menarik tangan Feli sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. "Di mana tempatnya?" tanya salah satu bapak guru yang ikut datang ke sekolahan. "Di kamar mandi, Pak." Para orang berpakaian serba putih dengan masker yang menutup hampir separuh wajahnya itu berlari menuju arah yang ditunjuk oleh Aland. "Kalian berdua, ayo ikut saya ke kantor guru!" Aland dan Feli mengikuti Bapak Guru yang berjalan terlebih dulu di depannya. "Ma-maaf!" Perlahan Feli menarik tangannya yang masih berada di genggaman Aland membuat laki-laki itu menoleh pada Feli tanpa menghentikan langkah kaki mereka. "Sorry," ucap Aland. Gadis itu hanya mengangguk sekilas dan berjalan bersisian dengannya mengikuti Bapak Guru dengan wajah yang masih menunduk. "Duduklah!" ucap Guru laki-laki itu saat mereka bertiga telah masuk ke ruang guru yang memiliki luas 4x6 meter itu. "Bapak tahu, kalian pasti merasa takut dan tertekan setelah menyaksikan ada seorang siswa yang bunuh diri di kamar mandi. Tapi Bapak harus tetap bertanya kepada kalian berdua karena kalian yang melaporkan dan yang menemukan siswa itu," ucap Bapak guru, suara baritonnya memenuhi ruangan yang sunyi ini. Feli dan Aland mengangguk mengerti maksud dari ucapan Guru di hadapan mereka. "Siapa yang pertama kali masuk ke kamar mandi?" tanya Bapak Guru. "Saya melihat Feli masuk ke kamar mandi perempuan, Pak. Lalu tiba-tiba saya mendengar dia berteriak, reflek saya langsung lari masuk ke kamar mandi dan kakak kelas perempuan itu sudah tidak bernyawa," Aland menjelaskan kronologi saat ia pertama kali menemukan mayat siswa perempuan itu. "Bagaimana denganmu, Feli?" Kali ini Bapak Guru menoleh pada Feli yang menundukkan kepalanya. "Sa-saya hendak ke kamar mandi, Pak. Saat saya masuk tiba-tiba ada suara keras. Ternyata suara itu berasal dari kursi tempat kakak kelas tadi berpijak, dia sudah tercekik sebelum saya bisa menghalanginya." Bapak Guru dan Aland mendengarkan ucapan Feli dengan seksama. "Kalian tahu kenapa dia bunuh diri?" tanya Bapak Guru lagi. Aland dan Feli pun serempak menggeleng, walaupun mereka yang menemukan mayat kakak kelas itu akan tetapi mereka tidak saling kenal. Bahkan Aland dan Feli baru saja masuk sekolah. "Baiklah, kalian harus segera pulang karena hari sudah semakin petang, aku akan mengirim pesan untuk orang tua kalian agar mereka tidak khawatir karena kalian pulang terlambat." Mereka berdua hanya mengangguk mematuhi perkataan Bapak Guru dan keluar dari ruangan untuk segera pulang ke rumah. "Kamu tahu lebih dari itu, 'kan?" tanya Aland pada Feli saat mereka telah keluar. "A-apa maksudmu?" Feli tak mengerti apa yang dimaksud oleh laki-laki di hadapannya ini. "Kamu bilang tadi merasa bersalah karena tidak bisa mencegahnya, berarti kamu tahu jika kakak kelas itu akan bunuh diri," jelas Aland. Laki-laki itu menatap Feli dengan intens, sementara Feli menundukkan wajahnya semakin dalam. Saat ini dirinya takut ketahuan memiliki kemampuan bisa melihat kematian seseorang. "Kamu siapa? Kamu terlihat misterius sejak pertama kali masuk ke kelas," tambah Aland. Feli semakin terpojok, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Aland. Ia tidak mungkin menceritakan kebenarannya kepada laki-laki yang baru saja ia kenal. Toh, laki-laki itu tidak mungkin percaya dengan ceritanya, batin Feli. "Kenapa kamu selalu menunduk? Kenapa kamu terlihat aneh," ucap Aland lagi. "Cepat jawab!" ucap Aland tegas, ia tidak sabar karena Feli hanya diam tak menjawab pertanyaannya sejak tadi. “Kamu tidak perlu tahu!” ucap Feli tanpa menghiraukan tatapan curiga dari Aland. “Kamu sungguhan terlibat dengan kematian kakak kelas itu, jika tidak menceritakannya kepadaku aku akan mengatakan kepada Bapak Guru kalau kamu terlibat!” ucap Aland. “Kamu tidak perlu ikut campur, toh kamu tidak akan percaya jika aku menceritakannya,” teriak Feli kesal. Aland menatap kepergian Feli dengan tatapan curiga yang semakin besar."Ini buku menunya, kamu mau pesan apa?""Aku mau nasi goreng pedas sama cokelat hangat saja," ucap Feli memberitahu menu yang ia inginkan.Aland segera memanggil pelayan dan memberitahukan pesanannya, pelayan itu segera pergi menyiapkan makanan yang mereka pesan.Sementara rasa canggung seolah memenuhi suasana karena tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara."Jangan sedih terus!" ucap Aland mencairkan suasana.Sementara Feli hanya menghela napas pelan mendengar ucapan laki-laki itu."Coba ketawa!" perintah Aland membuat Feli menaikkan sebelah alisnya."Coba bikin lelucon biar aku ketawa!" ucao Feli menantang Aland."Ehhh, aku tidak bisa membuat lelucon," jawab Aland jujur."Baiklah, selagi menunggu makanan dan kebetulan sekali kamu menyuruhku untuk tertawa. Makanya kamu harus mencoba leluconku!" ucap Feli membuat Aland merasa curiga dengan perilakunya."Bagaimana itu?" tanya Aland."Coba katakan 'kuku kaki kakak-kakakku kayak kuku kaki kakek-kakekku kaku-kaku' dengan cepat!"
“Tenanglah, Om Farhan pasti baik-baik saja.”Air mata Feli masih saja tak bisa dibendung, sesekali ia menyeka air matanya yang belum bisa berhenti. SEmjentara Aland dengan setia menemani gadis itu duduk di sampingnya dan mengusap pelan bahu Feli memberikan kekuatan bagi gadis itu agar tetap tegar.“Aku takut kehilangan Papa,” ucap gadis itu mengungkapkan kekhawatirannya.“Bukankah kamu bisa melihat peristiwa kematian seseorang? Bagaimana dengan Papamu? KAmu bisa melihatnya bukan?” tanya Aland.Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi walaupun ia sudah melihat peristiwa kematian Papanya, Feli tetap takut. Anak mana yang tega melihat Papanya sakit-sakitan seperti itu, begitu pula dengan Feli yang tidak tega melihat Papanya terbaring lemah di rumah sakit.“Apakah sudah dekat waktunya?” tanya lagi Aland dengan hati-hati, ia takut jika pertanyaannya akan semakin membuat Feli bersedih.“Aku tidak tahu kapan tepatnya seseorang yang aku lihat kematiannya itu meninggal, aku hanya tahu
Di lain tempat seorang gadis sedang duduk menatap wajah laki-laki paruh baya yang masih memejamkan mata sejak kemarin, Feli ingin sekali menatap mata Papanya itu dan memastikan jika peristiwa kematian Papanya itu masih sama seperti biasanya.Mati dalam keadaan bahagia dan tersenyum, menjadi peristiwa kematian yang paling melegakan yang pernah Feli lihat. Entah kenapa ia tiba-tiba takut jika peristiwa kematian itu akan berubah, namun ia belum pernah mengalami hal itu.“Semua pasti aik-baik saja!” gumam Feli meyakinkan diri sendiri.“Apanya?” Feli menoleh ke arah Farhan yang ternyata telah membuka mata.“Bu-bukan apa-apa, Pa," jawab Feli mencoba menutupi kekhawatirannya.Feli segera menatap manik abu-abu milik Papanya, perlahan ia seolah masuk ke dimensi lain. Feli melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi goyang dengan kedua tangan yang memegang koran. Manik abu-abu laki-laki itu dilapisi kaca mata dan menatap fokus ke arah koran itu. Feli pun melihat secangkir kopi y
“Maaf, Sayang.”“Ada apa? Kenapa Papa bisa masuk ke rumah sakit? Papa tidak pernah cerita sama Feli kalau Papa sakit.”Gadis itu sudah tak lagi bisa membendung air matanya, Aland yang melihat pemandangan itu dari daun pintu ikut terenyuh saat melihat Feli menangis.“Papa baik-baik saja, cuma telat makan.”“Maafin Feli, Pa.”“Ini bukan salahmu sayang, ini murni karena kesalahan Papa karena terlalu sibuk bekerja, sudahlah. Tidak perlu menangis! Kamu tidak malu dilihat oleh Aland sejak tadi?”Gadis itu mulai menyeka air matanya yang membasahi pipi, hatinya sedikit lega karena Papanya ini tidak mengalami sakit yang parah, ia hanya telat makan.Aland berjalan mendekati Papa Feli saat melihat kondisi sudah tenang dan Feli sudah bisa mengendalikan dirinya.“Halo, Om. Semoga Om Farhan lekas sembuh! Maaf karena saya tidak membawa buah tangan apapun,” ucap Aland pelan, ia benar-benar tidak berpikiran untuk membawa buah tangan karena Feli sangat panik tadi. “Tidak apa-apa, Al. Terima kasih kare
“Mana ada aku menguntitmu, di sini adalah tempat umum jadi siapapun bisa berada di sini, lagian sekarang hari minggu,” jawab Aland tidak terima dengan tuduhan Feli. Akan tetapi ia sendiri merasa sering bertemu di manapun Feli berada membuat gadis itu berpikiran buruk jika mungkin saja Aland menguntitnya.“Ehhh, Siapa, nih? Feli bukan sih?” suara laki-laki lain yang baru saja datang membuat Feli langsung menundukkan wajahnya. Laki-laki itu adalah teman Aland yang sedang lari pagi bersama, saat ia melihat Aland berhenti berlari dan duduk di sebelah seorang gadis, ia pun ikut berhenti dan menghampiri mereka.“Iya, dia Feli. Feli, kamu sudah kenal dia,’kan? Daren, teman sekelas kita juga,” ucap Aland yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.“Oh, maaf, Fel. Aku hampir tidak mengenali wajahmu, habisnya kamu selalu menunduk terus kalau di kelas.”Daren langsung menerima sikutan tangan dari Aland memberinya peringatan.“Duluan sana!” ucap Aland pada Daren, namun laki-laki itu justru terse
Seorang gadis memegangi tangannya yang nyeri akibat berbenturan dengan meja guru. Feli tidak tahu apa kesalahan yang ia lakukan hingga kedua gadis yang berada di hadapannya ini melakukan hal kasar terhadapnya.“Jadi cewek jangan kecentilan, kamu tuh tidak cocok sama Aland!” teriak seorang gadis bersurai coklat.“Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaramu, kenapa kamu terus-terusan menunduk. Tatap mata aku!”Gadis bersurai coklat itu menarik dagu Feli memaksa gadis itu untuk menatapnya. Feli tidak bisa mengelak, saat ini manik birunya sudah menatap manik cokelat milik gadis bersurai coklat itu.Pada saat itu juga Feli seolah ditarik ke dimensi lain dan melihat keramaian di sekitarnya, gadis itu menatap sekitar ternyata ia berada di halte bus depan sekolah. Saat ini ia bersama para siswa yang sedang menunggu jalanan sepi untuk menyeberang ke gedung sekolah.Dirasa jalanan sepi ada seorang gadis yang melangkah terlebih dahulu, gadis itu adalah gadis bersurai coklat yang ia kenali bern







