LOGIN
BRAKKK
"Ma-maaf, Kak. Saya tidak sengaja," ucap Feli pada seorang gadis yang tak sengaja ia tabrak. Selama berjalan gadis itu selalu menunduk membuatnya tak fokus pada jalanan dan menabrak seorang siswa lain di lorong sekolah. "Hmt," gumam gadis itu yang Feli yakini sebagai kakak kelasnya "Saya bantu, Kak." Gadis itu menerima uluran tangan Feli yang ingin membantunya berdiri dari posisi jatuhnya. Pada saat itu pula Feli tak sengaja menatap mata gadis berambut sebahu itu. Sejenak Feli mematung, dirinya seolah ditarik ke dalam sebuah ruang tiga dimensi yang di sana ia bisa melihat sebuah kejadian. Seorang gadis sedang berusaha menarik sebuah kursi mendekati jendela, Feli tak mengerti apa yang sedang gadis dengan rambut sebahu itu lakukan. Feli rasa ia sedang berada di sebuah kamar mandi, akan tetapi ia tidak tahu di mana itu. Manik biru laut Feli terbelalak kaget saat gadis berambut sebahu itu telah berdiri di atas kursi dan mengeluarkan sebuah tali tambang dari dalam tasnya. Gadis itu mengikat tali tambang dengan jendela, dan ujung lainnya ia membuat tali simpul berbentuk lingkaran besar. Feli berlari mendekati gadis itu saat ia memasukkan kepalanya ke dalam lingkaran tali itu. Feli berusaha untuk berteriak dan menggapai gadis berambut sebahu itu, meski ia tahu jika gadis itu tak akan bisa melihat dan mendengarnya. "Aakhhh." Reflek Feli menarik tangannya dari kakak kelas yang ia tabrak tadi, membuat gadis itu menaikkan sebelah alisnya menatap Feli heran. Kesadaran Feli telah kembali, ia masih berada di lorong sekolah yang sepi. "Ma-maaf, Kak. Saya pergi duluan!" Feli segera melangkah meninggalkan gadis itu yang berdiri mematung menatap punggungnya. "Lupakan! Lupakan Feli! Lupakan!" gumam Feli seorang diri. Saat ini ia melangkahkan kakinya menuju kelas pertamanya di sekolah menengah atas. Bukan kali pertama Feli melihat hal seperti itu, gadis bermanik biru laut ini memiliki keistimewaan yaitu bisa melihat moment kematian seseorang hanya dengan menatap matanya. Hal ini telah terjadi berulang kali, sebagian dari mereka meninggal dengan akhir hidup yang bahagia, namun tak sedikit pula Feli melihat peristiwa kematian yang mengenaskan. Bahkan dulu ia pernah berhari-hari menangis dan tak tega menelan sesuap nasi karena melihat kematian tragis dari seorang bocah laki-laki. Saat ini Feli telah memasuki kelas pertamanya, seperti kebiasaan di sekolah menengah pertama, gadis itu akan berjalan dan mencari bangku paling belakang dan duduk menunduk di sana. "Hai, namaku Pinkan, siapa namamu?" sapa seorang gadis yang duduk di hadapan Feli. "Ha-hai, na-namaku Feli," jawab Feli kikuk. Gadis itu tetap menundukkan kepala tak berani menatap mata gadis di hadapannya. Ia tidak ingin melihat moment kematian teman sekelasnya ini. "Senang bertemu denganmu, Feli." Feli hanya mengangguk sebagai jawaban, sementara Pinkan kembali menatap ke depan karena guru telah masuk ke kelas. Setelah semua siswa duduk manis menatap guru yang sedang berbicara di depan kelas, baru Feli berani mengangkat wajahnya. Gadis itu ikut menatap ke depan kelas dengan telinga yang ia pasang dengan seksama mendengarkan penjelasan guru paruh baya itu yang sedang menjelaskan beberapa hal yang perlu diketahui oleh siswa baru. "Saatnya kalian maju ke depan dan memperkenalkan diri!" ucap guru yang berjalan menuju mejanya, ia sengaja menyingkir dari depan kelas karena siswa mulai maju satu persatu memperkenalkan diri. Feli mengusap peluh yang mengalir di pelipisnya, ia sangat takut jika harus memperkenalkan diri di depan kelas. Bukan takut kepada Bapak Guru atau teman-temannya, akan tetapi gadis itu tak sanggup jika harus bersitatap dengan puluhan orang di dalam kelas. Bayangan kematian mereka, Feli tak sanggup melihat itu. Hal ini membuat gadis itu takut berteman dengan siapapun, karena itu Feli lebih suka duduk di bangku paling belakang agar tidak terlalu mencolok di antara siswa di kelas. "Felicia Angeline." "I-iya, Pak." Gadis itu langsung berjalan ke depan kelas setelah mendengar namanya dipanggil. Feli tidak bisa menolak, akhirnya ia terpaksa berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. "Na-nama saya, Felicia. Sa-salam kenal teman-teman semua!" ucap Feli memperkenalkan diri. Tidak ada tanggapan dari teman-teman sekelasnya, kelas sangat hening tak ada yang bersuara. "Feli, angkat wajahmu biar teman-temanmu bisa melihat wajahmu!" ucap guru paruh baya itu. Akan tetapi Feli justru semakin menundukkan kepalanya. "Ma-maaf, Pak!" ucap Feli. "Baiklah, kamu boleh mundur!" Gadis itu berjalan kembali ke meja paling belakang dengan wajah yang masih tertunduk. "Sepertinya teman kalian Feli adalah gadis pemalu, jangan lupa kalian harus sering-sering mengajaknya mengobrol!" ucap guru laki-laki paruh baya itu yang dijawab anggukan kepala oleh para murid. Selama pelajaran berlangsung, Feli selalu menundukkan kepalanya. Waktu berjalan dengan cepat, saat ini bel pulang telah berbunyi bersamaan dengan rintik hujan yang semakin padat menimpa atap membuat suara bergemuruh memenuhi lorong sekolah. Feli menghela napas malas, di hari pertamanya masuk sekolah ia justru lupa tidak membawa payung ataupun jas hujan. Gadis itu menatap langit yang gelap tertutup awan hitam, sementara banyak siswa lain yang menerobos hujan dan basah kuyup di perjalanan. Namun tak sedikit pula yang lebih memilih menunggu hujan reda karena tak ingin bersentuhan dengan air hujan yang dingin. "Feli, kamu tidak membawa jas hujan, ya?" Suara seorang gadis membuat Feli menoleh sejenak. Gadis itu menatap kancing baju Pinkan yang baru saja berdiri di hadapannya, ia tak berani menatap mata gadis berambut ikal itu. "I-iya, aku lupa tidak bawa," jawab Feli. "Kamu pulang naik apa?" "A-aku membawa sepeda." "Wah, rumahmu dekat, ya? Kalau aku dijemput, itu papaku sudah datang. Kamu mau ikut sekalian aku antar ke rumahmu!" ajak Pinkan yang disambut gelengan kepala oleh Feli. "Terima kasih untuk tawarannya, tetapi aku akan menunggu hujan reda saja," ucap Feli menolak dengan halus. Akhirnya Pinkan masuk ke mobil orang tuanya yang telah terparkir di halaman sekolah. Gadis berambut ikal itu telah pergi, saat ini Feli tinggal sendirian bersama beberapa siswa lain yang masih menunggu hujan reda. Namun Feli tidak mengenal mereka dan tidak ingin berkenalan dengan mereka. Gadis itu merasa kedinginan membuatnya ingin pergi ke kamar mandi, Feli berjalan perlahan menuju kamar mandi di ujung koridor ini. Awan mendung membuat koridor panjang ini terlihat gelap ditambah hujan deras membuat suasana koridor sedikit menakutkan bagi Feli. Ceklek GRUSAKK "Aakhhhh," teriak Feli saat melihat peristiwa di depan matanya. "Ada apa?" seorang laki-laki yang mendengar teriakan Feli berlari ke arahnya. "Mayat!""Ini buku menunya, kamu mau pesan apa?""Aku mau nasi goreng pedas sama cokelat hangat saja," ucap Feli memberitahu menu yang ia inginkan.Aland segera memanggil pelayan dan memberitahukan pesanannya, pelayan itu segera pergi menyiapkan makanan yang mereka pesan.Sementara rasa canggung seolah memenuhi suasana karena tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara."Jangan sedih terus!" ucap Aland mencairkan suasana.Sementara Feli hanya menghela napas pelan mendengar ucapan laki-laki itu."Coba ketawa!" perintah Aland membuat Feli menaikkan sebelah alisnya."Coba bikin lelucon biar aku ketawa!" ucao Feli menantang Aland."Ehhh, aku tidak bisa membuat lelucon," jawab Aland jujur."Baiklah, selagi menunggu makanan dan kebetulan sekali kamu menyuruhku untuk tertawa. Makanya kamu harus mencoba leluconku!" ucap Feli membuat Aland merasa curiga dengan perilakunya."Bagaimana itu?" tanya Aland."Coba katakan 'kuku kaki kakak-kakakku kayak kuku kaki kakek-kakekku kaku-kaku' dengan cepat!"
“Tenanglah, Om Farhan pasti baik-baik saja.”Air mata Feli masih saja tak bisa dibendung, sesekali ia menyeka air matanya yang belum bisa berhenti. SEmjentara Aland dengan setia menemani gadis itu duduk di sampingnya dan mengusap pelan bahu Feli memberikan kekuatan bagi gadis itu agar tetap tegar.“Aku takut kehilangan Papa,” ucap gadis itu mengungkapkan kekhawatirannya.“Bukankah kamu bisa melihat peristiwa kematian seseorang? Bagaimana dengan Papamu? KAmu bisa melihatnya bukan?” tanya Aland.Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi walaupun ia sudah melihat peristiwa kematian Papanya, Feli tetap takut. Anak mana yang tega melihat Papanya sakit-sakitan seperti itu, begitu pula dengan Feli yang tidak tega melihat Papanya terbaring lemah di rumah sakit.“Apakah sudah dekat waktunya?” tanya lagi Aland dengan hati-hati, ia takut jika pertanyaannya akan semakin membuat Feli bersedih.“Aku tidak tahu kapan tepatnya seseorang yang aku lihat kematiannya itu meninggal, aku hanya tahu
Di lain tempat seorang gadis sedang duduk menatap wajah laki-laki paruh baya yang masih memejamkan mata sejak kemarin, Feli ingin sekali menatap mata Papanya itu dan memastikan jika peristiwa kematian Papanya itu masih sama seperti biasanya.Mati dalam keadaan bahagia dan tersenyum, menjadi peristiwa kematian yang paling melegakan yang pernah Feli lihat. Entah kenapa ia tiba-tiba takut jika peristiwa kematian itu akan berubah, namun ia belum pernah mengalami hal itu.“Semua pasti aik-baik saja!” gumam Feli meyakinkan diri sendiri.“Apanya?” Feli menoleh ke arah Farhan yang ternyata telah membuka mata.“Bu-bukan apa-apa, Pa," jawab Feli mencoba menutupi kekhawatirannya.Feli segera menatap manik abu-abu milik Papanya, perlahan ia seolah masuk ke dimensi lain. Feli melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi goyang dengan kedua tangan yang memegang koran. Manik abu-abu laki-laki itu dilapisi kaca mata dan menatap fokus ke arah koran itu. Feli pun melihat secangkir kopi y
“Maaf, Sayang.”“Ada apa? Kenapa Papa bisa masuk ke rumah sakit? Papa tidak pernah cerita sama Feli kalau Papa sakit.”Gadis itu sudah tak lagi bisa membendung air matanya, Aland yang melihat pemandangan itu dari daun pintu ikut terenyuh saat melihat Feli menangis.“Papa baik-baik saja, cuma telat makan.”“Maafin Feli, Pa.”“Ini bukan salahmu sayang, ini murni karena kesalahan Papa karena terlalu sibuk bekerja, sudahlah. Tidak perlu menangis! Kamu tidak malu dilihat oleh Aland sejak tadi?”Gadis itu mulai menyeka air matanya yang membasahi pipi, hatinya sedikit lega karena Papanya ini tidak mengalami sakit yang parah, ia hanya telat makan.Aland berjalan mendekati Papa Feli saat melihat kondisi sudah tenang dan Feli sudah bisa mengendalikan dirinya.“Halo, Om. Semoga Om Farhan lekas sembuh! Maaf karena saya tidak membawa buah tangan apapun,” ucap Aland pelan, ia benar-benar tidak berpikiran untuk membawa buah tangan karena Feli sangat panik tadi. “Tidak apa-apa, Al. Terima kasih kare
“Mana ada aku menguntitmu, di sini adalah tempat umum jadi siapapun bisa berada di sini, lagian sekarang hari minggu,” jawab Aland tidak terima dengan tuduhan Feli. Akan tetapi ia sendiri merasa sering bertemu di manapun Feli berada membuat gadis itu berpikiran buruk jika mungkin saja Aland menguntitnya.“Ehhh, Siapa, nih? Feli bukan sih?” suara laki-laki lain yang baru saja datang membuat Feli langsung menundukkan wajahnya. Laki-laki itu adalah teman Aland yang sedang lari pagi bersama, saat ia melihat Aland berhenti berlari dan duduk di sebelah seorang gadis, ia pun ikut berhenti dan menghampiri mereka.“Iya, dia Feli. Feli, kamu sudah kenal dia,’kan? Daren, teman sekelas kita juga,” ucap Aland yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.“Oh, maaf, Fel. Aku hampir tidak mengenali wajahmu, habisnya kamu selalu menunduk terus kalau di kelas.”Daren langsung menerima sikutan tangan dari Aland memberinya peringatan.“Duluan sana!” ucap Aland pada Daren, namun laki-laki itu justru terse
Seorang gadis memegangi tangannya yang nyeri akibat berbenturan dengan meja guru. Feli tidak tahu apa kesalahan yang ia lakukan hingga kedua gadis yang berada di hadapannya ini melakukan hal kasar terhadapnya.“Jadi cewek jangan kecentilan, kamu tuh tidak cocok sama Aland!” teriak seorang gadis bersurai coklat.“Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaramu, kenapa kamu terus-terusan menunduk. Tatap mata aku!”Gadis bersurai coklat itu menarik dagu Feli memaksa gadis itu untuk menatapnya. Feli tidak bisa mengelak, saat ini manik birunya sudah menatap manik cokelat milik gadis bersurai coklat itu.Pada saat itu juga Feli seolah ditarik ke dimensi lain dan melihat keramaian di sekitarnya, gadis itu menatap sekitar ternyata ia berada di halte bus depan sekolah. Saat ini ia bersama para siswa yang sedang menunggu jalanan sepi untuk menyeberang ke gedung sekolah.Dirasa jalanan sepi ada seorang gadis yang melangkah terlebih dahulu, gadis itu adalah gadis bersurai coklat yang ia kenali bern







