Takut banget Kinara tambah capek di dalam kamar eh >_< Fyi : appliqué (hiasan tempel)/ bagian bodice gaun (bagian atas gaun yang menutupi badan dari bahu sampai pinggang. Sering menjadi bagian paling detail, penuh payet, atau renda)
Kinara duduk bersila di ranjang hotel, ponsel dan sebuah peta lipat Roma di tangannya. Mata cokelatnya berbinar, bibirnya sibuk mengucapkan daftar tempat yang ingin ia kunjungi, lengkap dengan alasan dan foto pendukung. Sesekali ia menunjuk layar ponsel yang memperlihatkan gambar Piazza Navona di sore hari, Trevi Fountain yang berkilauan di bawah lampu malam, dan Campo de’ Fiori dengan pasar bunganya.“Terus ini, Mas, kita harus ke sini juga. Katanya gelatonya juara. Oh, sama ini! Ada kafe kecil di dekat Pantheon yang review-nya bagus banget,” ucapnya antusias, jarinya bergerak cepat di layar.Aditama yang duduk bersandar di sandaran ranjang sambil memangku satu bantal, hanya menatap istrinya tanpa banyak bicara. Senyum setipis tisu menghiasi bibirnya, matanya tidak beralih sedikit pun dari wajah Kinara yang asik berbicara. Baginya, bukan peta atau foto-foto itu yang menarik, tapi ekspresi wanita yang kini menjadi pusat dunianya.“Gimana, Mas?” Kinara menghentikan penjelasannya, menat
Tubuh mereka bertemu, kulit dengan kulit, napas bercampur menjadi satu. Gerak mereka penuh irama—kadang tergesa, kadang melambat—seakan ingin menghafal setiap detail rasa. Jemari Kinara mencengkeram punggung suaminya, bibirnya memanggil nama Aditama di sela-sela desah.Peluh mulai membasahi dahi dan pelipis, namun tak ada yang mundur. Dunia seakan menyisakan mereka berdua di ruang waktu yang tak berbatas.Bagi Kinara, entah kenapa rasanya benar seperti malam pertama karena Aditama memperlakukannya berbeda dari biasanya. Nyatanya mereka telah melewat hujan badai—entah berapa kali. Malam ini … benar-benar indah.Ketika akhirnya mereka terkulai dalam pelukan, dada masih naik-turun, Kinara menatap wajah Aditama di bawah cahaya lampu yang temaram.Aditama tersenyum kecil, membelai pipinya. “Kamu bahagia hari ini, Sayang?”“Banget. Mas bagaimana?”“Mas yang paling berbahagia karena kamu bahagia.”Malam itu berakhir dengan mereka saling memeluk erat, membiarkan detak jantung yang berpacu menj
The dayHari yang selama ini hanya ada di kepingan-kepingan mimpi akhirnya tiba. Ruangan tempat Kinara berdiri terasa begitu sunyi, hanya suara detik jam dan tarikan napasnya yang terdengar. Di depannya, cermin besar memantulkan sosok wanita dengan gaun putih anggun—gaun impian yang pernah ia kubur jauh di dalam hati, kini menjadi kenyataan. Jemari Kinara yang halus menyusuri permukaan gaun, merasakan tekstur halus satin yang dihiasi applique bunga-bunga lembut.“Cantik sekali,” puji sang MUA dengan nada tulus, sambil memandangi Kinara dari ujung kepala hingga kaki.Kinara menoleh dan tersenyum malu.“Kalau tidak diberi tahu ini acara anniversary, pasti kukira kamu pengantin baru. Manglingin banget,” lanjutnya sambil merapikan veil yang menjuntai lembut di punggung Kinara.Kinara hanya membalas dengan senyum lembut. Ada kilau hangat di matanya—rasa syukur tak terhingga dalam dadanya.Ia melangkah pelan keluar dari kamar rias. Di ujung lorong, Aditama sudah berdiri menunggunya. Lelaki i
Akhir pekan ini, acara anniversary pernikahan Kinara dan Aditama akhirnya resmi digelar. Undangan sudah tersebar ke kerabat dekat, kolega, serta rekan kerja. Bahkan tim dari perusahaan mereka masing-masing pun diundang. EO sudah memastikan semua berjalan sesuai rencana—dan rencana itu terbilang megah, bahkan bisa dibilang setara resepsi pernikahan sungguhan.Membayangkan hasil presentasi EO kemarin sore saja sudah membuat bulu kuduk Kinara meremang. Ia benar-benar tak percaya, acara yang awalnya ingin ia buat sederhana kini menjelma seperti pesta besar.“Mas, ini nggak keterlaluan, ya?” tanya Kinara ragu, menoleh pada suaminya yang sedang mengemudi. Aditama akan membawa Kinara ke suatu tempat. “Acaranya… kok kayaknya kebesaran. Maksudnya, dekorasinya bukan yang seadanya gitu. Aku malu, masa cuma ulang tahun pernikahan sampai semegah itu?”Aditama menatap istrinya dengan senyum penuh keyakinan. “Kenapa harus malu? Istri Aditama cantik, pintar, dan sukses. Mas bangga. Mas mau kasih tahu
Sore itu, Kinara menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah ceria Fany. Di belakang gadis itu tampak ruang keluarga rumah mertuanya. “Lagi ngapain kamu?” tanya Kinara. “Lagi nemenin Mama Rindu baking,” jawab Fany sambil sedikit menoleh, memperlihatkan sosok Rindu yang sibuk mengulen, menatap ke arah kamera dan melambaikan tangan. “Besok Kak Ara jemput, ya?” “Okay, Kak,” balas Fany. "Cepat banget," rajuk Rindu. Ada rasa hangat yang mengalir di dada Kinara. Dulu ia sempat khawatir Fany akan canggung atau sulit beradaptasi. Tapi nyatanya, gadis itu justru menemukan ritmenya sendiri bahkan bersama mertuanya. Rindu pun bersemangat jika bersama Fany. Ia ada teman akhir-akhir ini. Panggilan pun berakhir. Layar ponsel meredup, meninggalkan pantulan wajah Kinara yang masih tersenyum. Ada lega sekaligus syukur dalam hatinya—melihat Fany diterima dengan tulus oleh Rindu, bahkan lebih dari yang ia bayangkan. “Okay … kita sampai,” kata Aditama. Kinara menyimpam ponselnya, menelisik s
Waktu berjalan cepat. Tahun demi tahun berganti, namun kebahagiaan tak pernah alpa menyertai. Pernikahan Aditama dan Kinara kini telah genap lima tahun. Hidup mereka stabil—suami tampan, istri cantik, ekonomi mapan, dan karier keduanya bersinar. Seolah segalanya telah berada di tempat yang tepat. Hari ini, Kinara benar-benar dibuat terkejut. Dalam rangka ulang tahun pernikahan mereka yang kelima, Aditama membawanya ke sebuah bangunan ruko dua lantai, dengan dominasi kaca modern yang memikat. “Mas?” Kinara melirik penuh tanya. Aditama hanya tersenyum, lalu memeluknya dari belakang, menatap bangunan yang berdiri gagah di depan mereka. “Hari ini aku janjian sama desain interiornya,” ujar Aditama. “Lantai atas akan jadi ruang kerja kamu—khusus buat sang desainer. Bagian bawah, area VIP. Nah, sisi sana,” katanya menunjuk ke area kanan bangunan, “di situ akan terpajang semua koleksi kamu yang selama ini cuma ada di draft.” Kinara menutup mulutnya, matanya membelalak. “No way! Aku p