Double yak for tudey huhu ... see you besok yaa ... yuk monggo disawer lagiii couple ini ...
Mentari mulai merangkak turun, menciptakan semburat jingga yang melukis langit di atas laut Maldives. Cahaya keemasan memantul di permukaan air, seolah lautan menyulap dirinya menjadi cermin raksasa bagi sang surya yang hendak pulang. Angin hangat dari pantai berembus pelan, mengibaskan tirai putih di balkon vila mereka yang menghadap langsung ke samudra lepas.“Di sini aja ya makannya?” tanya Aditama sambil meletakkan keranjang rotan berisi makanan di meja kecil sudut balkon.Kinara mengangguk sambil merapikan rambutnya yang tertiup angin. “Senja terlalu cantik, sayang sekali untuk dilewatkan.”“Masa? Masih cantik istri Aditama,” goda Aditama, membuat Kinara membulatkan matanya dengan mulut sedikit menganga. Sementara Aditama terkekeh geli.Mereka duduk berdampingan di kursi rotan berpelapis linen putih. Kinara menyandarkan kepala di bahu Aditama, sementara lelaki itu menyeduh teh hangat ke dalam dua cangkir. Aroma rempah dari masakan yang dibawa pelayan resort tadi masih menggantung
Bandara Senai pagi itu tidak terlalu ramai. Udara masih terasa sejuk, Kinara menggenggam tangan Aditama. Mereka berjalan beriringan melewati pintu keberangkatan internasional.Aditama melirik jam tangannya. Karena akan transit di Kuala Lumpur dulu, mereka masih bersama Tama dan Rindu yang juga akan bertolak ke tempat yang sama. Dari sana mereka akan berpisah. Kinara dan Aditama akan melanjutkan perjalanan ke Malé.Kinara mengenakan cardigan tipis dan celana linen yang nyaman untuk perjalanan jauh. Rambutnya disanggul asal, tapi wajahnya tetap tampak segar.Penerbangan ke Kuala Lumpur hanya memakan waktu singkat, tak lebih dari satu jam. Setibanya di KLIA, mereka berpisah dengan Tama dan Rindu dan menikmati waktu transit dengan duduk santai di lounge.“Kenapa, Mas?” tanya Kinara karena sedari tadi Aditama menatapnya.Kini tangannya sudah terulur merapikan rambut Kinara yang menutupi sedikit wajahnya. “Cantik sekali. Istri siapa, sih?”Kinara tidak menjawab, hanya menggeleng melihat tin
“Mama nggak tahu kita mau ke Maldives, ya?” tanya Kinara pelan saat mereka berada di dalam lift menuju lantai bawah. Pagi ini, mereka akan sarapan bersama. Kedua orang tua Aditama sudah lebih dulu menunggu di restoran hotel.Aditama menarik tubuh istrinya mendekat—dari sampingnya hingga Kinara bergerak—berdiri di hadapannya, kemudian memeluk wanitanya dari belakang. Ia menunduk, meletakkan dagunya di bahu sang istri.“Mama belum tahu kalau kita akan bulan madu,” bisik Aditama.“Bulan madu?” ulang Kinara, menoleh ke arah suaminya dengan alis terangkat. Gerakan kecil itu membuat pipinya langsung dicium sekilas oleh Aditama. Untungnya, lift kosong saat itu.“Kalau bukan bulan madu, lalu apa namanya?” sahut Aditama santai. “Selama di sana, aku nggak mau sarungan lagi, Yang.”Mata Kinara langsung membulat. Ia mencubit lengan suaminya pelan, lalu menepuk tangan yang melingkari pinggangnya.“Mas, ya ampun ... jaga omongan, ini tempat umum,” tegurnya dengan nada setengah berbisik.Aditama ter
“Mama cantik nggak, Mas? Mama nggak mau malu-maluin Kinara ‘kan? Masa desainer muda sukses Mama-nya nggak fashionable,” ujar Rindu, membuat Aditama dan Tama mengulum senyumnya. “Ih, pada seriuslah. Apa Mama ganti tas, ya? Yang paling mahal?”“Mama cantik. Nggak akan malu Kinara, nggak. Dia sangat menanti momen ini. Mama dan Papa hadir saja, dia bahagia luar biasa,” balas Aditama.“Nggak bisa Mama kalau nggak paripurna. Nggak mau malu-maluin menantu Mama.”“Cantik,” puji Tama, membuat sang istri memicingkan matanya.“Wait! Aku sedang mencari kejujuran di mata kamu, Mas,” tunjuk Rindu pada wajah suaminya.“Buruan yuk! Nggak bikin malu Kinara, tapi malah bikin dia kecewa karena terlambat,” pangkas Tama.Ketiganya pun gegas menuju tempat pelaksanaan acara.Pagi itu, matahari bersinar cerah seolah turut merayakan pencapaian penting dalam hidup Kinara. Udara sejuk menyambutnya saat ia berdiri di depan cermin, mengenakan toga dengan selempang ungu melambangkan bidang Seni Reka, Seni Halus, Re
Kinara berdiri di depan pintu kedatangan, menunggu dengan sabar—dalam rengkuhan suami posesifnya—yang berada di belakangnya. Tangannya memeluk buket bunga kecil yang sengaja ia siapkan sore itu—bunga segar dengan dominasi warna pink dan putih. Matanya tak henti menelusuri wajah-wajah yang melintas, mencari dua sosok yang sudah seperti orangtuanya sendiri.“Sabar,” ujar Aditama, membuat sang istri menoleh dan mendongak menatap kesayangannya.“Mama suka nggak ya bunganya?” tanya Kinara kembali menatap bunga di tangannya.“Suka, Mama suka kejutan kecil seperti ini. Bunga apa saja sepertinya bukan masalah,” terang Aditama membuat senyum di wajah Kinara merekah.Begitu melihat pasangan paruh baya keluar dari pintu kaca besar bandara, Kinara melonjak girang kemudian berlari kecil menghampiri. Wajahnya langsung bersinar saat melihat senyum hangat sang ibu mertua, Rindu, dan tatapan penuh kasih dari papa mertuanya, Tama.“Mama! Papa!” serunya.“Kinara sayang ….” Rindu langsung merentangkan tan
Hujan masih berderai di luar sana, padahal sampai tadi sebelum mereka berpisah langit malam masih cerah. Bintang seolah ikut merayakan—menyambut kebersamaan mereka, kini suara hujan mengalun lembut seperti irama rindu yang tak kunjung padam. Di dalam kamar bernuansa hangat dengan temaram lampu kuning madu, Kinara dan Aditama merebah dalam keheningan yang dipenuhi degup jantung. Napas mereka saling bertukar hangat dan tatap mata yang tak henti saling mencari.Kinara menyelipkan jemarinya di sela-sela jari tangan Aditama. Lelaki itu langsung menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan yang tak menyisakan jarak sedikit pun di antara mereka.“Aku masih belum puas memelukmu,” bisik Aditama tepat di balik telinga Kinara. Suaranya dalam, berat, seperti getar dari ruang kosong yang lama menanti diisi.Kinara meringis kecil, tubuhnya tertahan dalam dekapan yang kelewat rapat. “Mas … lepas dulu, aku nggak bisa tidur kalau dipeluk seerat ini.”Alih-alih mengendurkan pelukannya, Aditama malah mengecup