Share

Dijebak

Author: Dinis Selmara
last update Last Updated: 2025-04-23 23:36:45
Sheila memberanikan diri. Ini kali pertamanya, tapi ia rela jika harus menyerahkan segalanya kepada Aditama. Mereka akan kembali bersama hingga tak ada satu pun yang mampu memisahkan.

Wanita itu tersenyum puas saat melihat langkah lunglai Adit mendekatinya. Ia sengaja tidak menutup pintu, memberi jalan agar pria itu bisa masuk dengan mudah. Tidak tega melihat langkah lemah itu, Sheila mendekatkan diri—memapah tubuh yang hampir tumbang itu.

Namun aroma menyengat menyergap hidungnya dalam temaram cahaya lampu, Sheila tertegun. Itu bukan Aditama. Ia tahu betul, ia tak pernah memberinya alkohol.

Sheila segera mendorongnya perlahan, malah menyadarkan si pria. Saat wajah pria itu terangkat, mata Sheila membulat. Di hadapannya berdiri atasannya sendiri—menatapnya nanar. Pria itu mabuk dan kehilangan arah.

“Mr. Andro?”

“Kamu?” Suara pria itu terdengar serak. “Kamu yang dengan sukarela menawarkan tubuhmu, Sheila?”

Sheila membeku. Bukan seperti ini rencananya. Ia seharusnya mengarahkan Mr. Andro
Dinis Selmara

Baca pelan-pelan, alurnya maju mundur syantik. Terjawab syudah ya... dan hampir semua sepemikiran ya, tapi bagaimana kelanjutannya? Nantikan terus yaaa...

| 18
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (49)
goodnovel comment avatar
Siti Rofikoh
kira2 adit percaya ndk yaa ma sheila??
goodnovel comment avatar
Dilla dilawan
kalau emang jodohnya ga akan kemana yah. walau udah dikasih kartu kamarnya sheila, tetep aja adit masuknya ke kamar kinara. emang si maklampir jodoh nya ama si bandot emang. kasihan juga sih liat kinara sampe ngeblank gitu.terlalu rumit hubungan kalian soalnya
goodnovel comment avatar
Dilla dilawan
ini namanya senjata makan tuan ga sih? berharap di jebol ama cecayangan. malah dijebol sama buaya darat.wkwwkk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Pantang Menyerah

    Kinara sudah terlambat dari janji temu yang dijadwalkan pagi ini, membuat para pemegang saham terlihat gelisah. Beberapa dari mereka mulai saling berbisik—menatap jam tangan dengan ekspresi jenuh. Di antara mereka, Dita duduk tenang di salah satu kursi, kedua tangannya terlipat di depan dada. Senyumnya samar."Belum juga menjabat, tapi sudah begini," gumam Dita pelan, cukup terdengar oleh orang-orang di dekatnya.Dengan percaya diri, Dita mengambil alih perhatian ruangan. Ia memaparkan latar belakang pendidikan Kinara yang berasal dari dunia fashion, seorang desainer, jauh dari relevansi dunia teknologi informasi yang menjadi fokus utama perusahaan ini.“Saya rasa kita semua perlu mempertimbangkan kembali apakah keputusan ini tepat,” ujarnya tegas. “Dengan segala kekurangan yang ada, terutama dari sisi pengalaman dan pemahaman industri, apakah kita benar-benar siap menyerahkan perusahaan sebesar ini ke tangan yang belum terbiasa menghadapi kompleksitasnya?”Sejumlah kepala hanya diam—

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Kilas Balik Masa Lalu

    Haruskah apresiasi seintim ini? pikir Kinara, saat Aditama memeluknya dari belakang.Kini bahkan jarak wajah Aditama sudah kian mendekat. Sorot mata lelaki itu terlalu dalam,--menghipnotis. Berbahaya. Kinara harus sadar diri tidak boleh hanyut.Begitu Aditama hendak menyentuhkan bibirnya, Kinara cepat-cepat menahan dada pria itu dengan telapak tangannya. “Duduk,” ujarnya tegas, menarik Aditama untuk duduk di pinggir kasur.Aditama menatapnya, bingung tapi tetap menuruti. Aditama sampai dibuat sedikit melongo, apalagi saat ini Kinara langsung duduk bersila menghadapnya, penuh keseriusan yang mendadak—jauh dari nuansa romantis barusan.“Jadi … aku mau nanya,” kata Kinara.“Bertanya?” Aditama menyahut, masih belum sepenuhnya sadar dari momen yang nyaris tadi terjadi.“Benar. Tips kiat-kiat selama audit nanti. Baik itu tahapan, prosedur, dan poin penting yang harus diperhatikan,” lanjut Kinara serius.Aditama menggeleng pelan tidak percaya. Barusan... ia nyaris mencium Kinara. Nyaris mera

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Support System

    “Kamu yang mengirim laporan keuangan itu?” tanya Kinara, menatap Aditama dalam.Kini hanya tersisa mereka berdua di ruang rapat. Aditama duduk di samping Kinara, siku-nya bertumpu di meja, tangannya menyangga dagu sambil menatap sang istri. Ia mengangguk pelan, sebagai jawaban atas pertanyaan Kinara.Kinara menunduk, matanya menerawang jauh. Benaknya langsung melayang pada malam kemarin.Malam itu, ia tidak bisa tidur.Ucapan Aditama terus terngiang di kepalanya. ‘Bagaimana dengan harapan ibu dan ayahmu? Bagaimana dengan jerih payah mereka dan keringat yang keluar untuk mempertahankan perusahaan itu?’Kinara mengenang sang Ayah. Meski kesehatannya terganggu beliau tetap survive untuk perusahaan demi mengantarkan perusahaan ini untuk kinara, begitu kata sang ayah dulu. ‘Saat Kinara memimpin perusahaan nanti, Ayah pastikan semuanya sudah settle. Tinggal kamu lanjutkan, Sayang,’ ujar almarhum Fahri waktu itu.Namun takdir punya cerita lain—ayahnya pergi sebelum sempat melihat putrinya du

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Calon Direktur Utama

    Aditama duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen. Ponselnya berdering—nama Vano muncul di layar.Vano mengatakan ia berhasil mendapatkan salinan wasiat almarhumah ibu kandung Kinara. Aditama berdiri, menatap lurus ke arah jendela. “Katakan.”“Perusahaan akan diwariskan sepenuhnya kepada Kinara, tapi dengan syarat. Hak penuh atas perusahaan hanya bisa ia pegang setelah ia mencapai usia dua puluh satu tahun—atau setelah ia menyelesaikan pendidikan sarjananya. Mana yang lebih dulu tercapai.”Aditama terdiam sejenak, mencerna setiap kata.“Artinya... Kinara memang belum punya kuasa apa pun secara hukum,” gumamnya pelan.“Betul, Pak. Sejak kepergian mendiang Pak Fahri, semua keputusan yang diambil selama ini berada di bawah pengelolaan sementara, Dita Arimbi,” jelas Vano.Aditama memejamkan mata. Kini semuanya lebih masuk akal—sikap diam Kinara, ketidakterlibatannya, bahkan ketidakinginnya perihal perusahaan.“Meski begitu, pengangkatan Dita Arimbi seharusnya atas sepengetahua

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Kebenaran yang Terungkap

    Aditama panik, hari mediasi sama dengan putaran investasi. Begitu tiba di rumah, dia langsung menghubungi Vano—mencocokkan jadwal kegiatannya. Namun, kemudian Aditama mengembuskan napas lega karena ternyata mediasi masih di penghujung weekday. Aditama tersenyum mengingat tatapan kinara tadi. Padahal wajahnya sangat meyakinkan.“Ternyata pandai bercanda juga,” gumamnya, melirik kamar utama yang tertutup rapat.Meski sekamar, Aditama tidak berani menyentuh Kinara. Tatapannya saja sudah tajam, tidak tahu apa jadinya kalau dia tidak bisa menahan diri. Bisa-bisa kehilangan kepercayaan Kinara. Kejadian kecupan singkat waktu itu saja Kinara sudah langsung memasang tembok tak kasat mata.Ciuman hari itu masih teringat jelas dalam ingatan Aditama. Lembut bibir ranum itu dan tatapan mata Kinara yang masih memancarkan cinta untuknya. Ah, Aditama tidak pernah sebegitu menginginkan wanita sebesar ini.Deringan telepon dari Mahesa, membuat Aditama sigap menerimanya. Lelaki itu mengatakan dia akan m

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Masih Mencintai?

    Aditama berdiri diam di sisi mobil, menggenggam setangkai bunga mawar putih yang telah ia beli di perjalanan tadi. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menjejakkan kaki ke tempat ini—sejak hari pemakaman ayah mertuanya, Fahri. Ia berjalan perlahan, menyusuri deretan nisan yang tampak asing dan berbeda dari yang ia ingat. Langkahnya ragu, matanya mencari-cari. Beberapa kali ia berhenti, menunduk, membaca nama pada batu nisan yang salah. Rasa sesal dan gelisah menyesaki dadanya. Masa sudah berada di sini, dia tidak menemukan makam ayah mertuanya. Hingga akhirnya Aditama mengembuskan napas lega, ia menemukannya. “Om,” sapanya lirih. Aditama berjongkok, menyentuhkan jemarinya pada nisan itu. Ia letakkan bunga mawar putih di atas pusara, mengusap pelan batu nisan dengan telapak tangannya yang gemetar. “Saya Aditama, Om. Maafkan baru datang hari ini.” Suaranya parau. “Harusnya dari dulu, tapi saya terlalu pengecut.” Ia menghela napas panjang, lalu menunduk lebih dalam. “Maafkan sa

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Pengakuan Kinara

    “Very good, Kinara,” puji dokter spesialis sambil tersenyum puas setelah memeriksa hasil pemeriksaan hari ini. Suaranya tenang dan jelas terdengar lega.Hari ini adalah jadwal kontrol pertama Kinara pasca rawat inap dan operasi. Kondisinya membaik cukup signifikan. Pemeriksaan tekanan darah, detak jantung, serta hasil lab terakhir menunjukkan kemajuan.“Luka operasinya membaik, tidak ada tanda infeksi. Kamu cukup kooperatif dan itu sangat membantu proses pemulihan,” lanjut dokter itu sambil mencatat sesuatu di berkas.Kinara mengangguk pelan. Aditama yang duduk di sampingnya ikut memperhatikan dengan seksama, senyum bangga menghiasi wajah lelaki itu.“Jadi … apakah saya masih perlu kontrol lagi, Dok?” tanya Kinara hati-hati, separuh berharap dia bisa segera pulang ke Malaysia dan hidup sendiri lagi.“Tentu saja,” jawab dokter, masih dengan nada profesional. “Kita akan jadwalkan satu kali kontrol lagi dua minggu ke depan. Kalau hasilnya tetap bagus, kamu sudah boleh lepas observasi inte

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Mencuri Kesempatan #2

    ‘Tidur seranjang dan memeluk Aditama erat-erat semalam?’ Omong kosong. Itu hanya akal-akalan Aditama semata. Lelaki itu puas bukan main melihat ekspresi terkejut Kinara. Jangankan tidur di ranjang yang sama, dibukakan pintu pun tidak. Kinara menguncinya rapat-rapat.Aditama heran bukan main—bagaimana bisa Kinara lupa kalau dia sendiri yang mengunci pintu malam itu? ‘Tidur seranjang dan memeluk Aditama erat-erat semalam?’ Bagaimana bisa? Bahkan dalam alam bawah sadarnya pun, Kinara tetap mengusirnya—enggan dekat dengannya. Tapi justru itu yang membuat Aditama semakin gemas. Ia senang menggoda Kinara. Apalagi saat wajah perempuan itu memerah seperti tomat, lucu sekali.Satu hal lain yang disyukuri Aditama adalah kemurahan hati sang mama yang mengirim Bi Isah untuk membantu mereka di apartemen.Seharian ini, meski terus diketusi dan dijudesi oleh Kinara, Aditama tetap berlapang dada. Ia tak sekalipun membalas—justru semakin rajin menunjukkan perhatiannya pada sang istri.Bi Isah sampai ge

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Mencuri Kesempatan #1

    “Maksud kamu apa?” tanya Sheila dengan nada kesal.“Sheila… jangan terlalu melambungkan harapan terlalu tinggi. Mungkin kamu cinta pertamanya, tapi aku cinta terakhirnya,” ucap Kinara, sombong.Setelah mengucapkan itu Kinara langsung memukul mulutnya sendiri—lancang sekali dia. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak sudi kalah dari perempuan yang tak tahu diri seperti Sheila.Kinara bahkan memanjangkan lehernya—menengok ke arah pintu, khawatir jika Aditama mendengar kata-katanya barusan—bisa-bisa makin besar kepala lelaki itu.Tawa sinis terdengar dari seberang telepon. Kinara spontan mengernyit.“Sayang sekali,” balas Sheila, angkuh. “Cinta terakhir itu ternodai oleh cinta pertama yang belum usai. Dan aku harus bilang ini Kinara, saat ini aku tengah mengandung buah cinta kami, aku dan Aditama.”Hati Kinara seperti disayat mendengarnya.“Bagaimana kalau anak itu bukan anak Aditama?” tantangnya dingin.Sheila terdiam sesaat. “Te-tentu saja ini anak Aditama,” jawabnya, terdengar tidak yakin.“

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status