Ayo ... siapa yang sujojon dengan Aditama di bab sebelumnya? Hihi ...
Aditama membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Setelah keduanya terdiam beberapa saat, Aditama malah tertawa. Ia mendekat—sedikit membungkuk menatap wajah Kinara sambil mencolek hidung mancung wanita itu.“Sengaja bilang begitu biar aku menjauh darimu, hmm?”“A–aku nggak bohong. Aku ini istri dari seorang pria, Mas,” tekan Kinara dengan nada sungguh-sungguh.Aditama menelisik wajah Kinara. Ia kecewa karena tidak menemukan kebohongan di mata wanita kecil itu.“Kalau begitu, beri tahu aku siapa pria itu,” ucap Aditama dengan rahang mengeras.Kinara mundur—masih duduk di sofa—saat Aditama semakin dekat. Tatapan lelaki itu begitu tajam, membuat lidahnya kelu.“Tentu saja Mas nggak kenal dia,” bisik Kinara nyaris tak terdengar.“Katakan, Ara!”Dering ponsel Kinara menginterupsi ketegangan. Keduanya serentak melirik ke arah meja tempat ponsel itu tergeletak. Kinara segera mendorong tubuh Aditama dan meraih telepon.“Sebaiknya Mas Adit pergi,” ucapnya menjauh, lalu meneri
Kinara ketar-ketir sejak tadi ditatap tajam oleh Aditama.Seperti biasa, lelaki itu kembali duduk berlama-lama di kafe miliknya usai beraktivitas seharian, menyeruput kopi favorit sambil terus mengamati Kinara."Ke mana sih Aji?" gumam Kinara kesal, matanya sesekali melirik layar ponselnya.“Dia nggak bilang, ya?” sahut Ve, santai tanpa mengalihkan pandangan dari tablet desain di tangannya. “Dari kampus dia nyusul Mama dan Papa-nya ke Batu Pahat.”“Hah? Batu Pahat?” suara Kinara meninggi tak percaya.Kesal, Kinara mendesah. Suami macam apa yang pergi tanpa kabar? Tidak bisa diandalkan. Kalau begini rencana Kinara berantakan. Ve menelisik wajah sahabatnya janggal, tapi dia tidak ambil pusing—mengedikkan bahunya dan melanjutkan kegiatannya dengan tab-nya.Menjelang malam, Kinara memutuskan pulang lebih awal. Ia hanya ingin segera sampai di apartemen, membersihkan diri, lalu tidur. Namun niatnya terhenti saat matanya beradu dengan Aditama. Lelaki itu menatapnya menusuk, membuat Kinara men
“Nggak usah datang,” ujar Kinara saat berdebat dengan Aji.Aji sangat menyayangkan hal itu. Padahal, ia baru saja mendapatkan ilham untuk judul skripsinya dan ingin berkonsultasi dengan Aditama.Kinara mengatakan bahwa ia akan merekomendasikan kakak lelakinya, Dito, untuk menjadi tempat konsultasi Aji. Dito adalah kakak dari pihak ibu tirinya. Dito yang lebih bisa diandalkan. Sayangnya, Dito memilih untuk tidak terlibat dalam bisnis keluarga. Ia bekerja secara profesional di sebuah perusahaan terkemuka di bidangnya.“Datanglah, paling nggak. Bayangin gimana rasanya kalau kamu ulang tahun tapi nggak ada yang datang. Aku janji, setelah ini aku nggak akan menemuinya lagi kalau itu memang membuatmu nggak nyaman. Tapi, jangan lupa bantu atur komunikasiku dengan Mas Dito,” pinta Aji.Sejujurnya, berat rasanya bagi Kinara untuk kembali bertemu dengan Adit. Namun, akhirnya ia mengangguk setuju. Toh, ini akan menjadi yang terakhir kalinya ia berurusan dengan Adit.Kinara menghubungi Dito. Baru
Usai adegan peluk-pelukan, Kinara menjauh dari Aditama dan mencari Aji yang ternyata tengah sibuk menyantap hidangan pembuka di hadapannya. Semua makanan telah tersaji rapi di meja prasmanan, tak jauh dari tempat Aji duduk.Kinara melirik Aji dengan kesal. Lelaki itu malah menawarinya makan tanpa rasa bersalah.“Sumpah, malah asik makan,” omel Kinara.“Diambilin tadi sama pelayan, ini hidangan pembuka,” jawab Aji sambil menunjuk menu di depannya.Pandangan Kinara kemudian jatuh pada Aditama yang tengah mendekat.“Kita makan di luar—” ucap Aditama, tapi terpotong.“Di sini saja,” potong Kinara ketus.Aditama tak melanjutkan kalimatnya, hanya mengangguk paham. Ia lalu menarik kursi di samping Aji dan duduk di sana, karena kursi di sebelah Kinara sudah wanita itu tempati tasnya.Aditama meminta pelayan untuk menyajikan makanan di meja mereka. Mata Kinara membulat melihat semua menu yang terhidang—semuanya adalah makanan kesukaannya. Ia juga baru menyadari bahwa bunga-bunga yang menghiasi
Rindu belum puas dengan penjelasan Aditama. Namun, dari tutur kata putra sulungnya, jelas terlihat bahwa Aditama menginginkan wanita itu.“Jadi, dia gadis yang Mas temui di Singapura waktu itu?” tanya Rindu, mengingat cerita sang anak tiga tahun lalu. “Memangnya tidak ada niatan untuk memperbaiki hubungan dengan Kinara—”“Mas nggak mau bahas dia, Ma.”Rindu tersenyum tipis. Hari itu, ia sengaja memberikan afirmasi positif kepada calon menantunya, karena tahu betul Aditama masih menyimpan kebencian yang dalam terhadap istrinya. Bukan hanya enggan memiliki anak dari Kinara—mendengar namanya saja sudah membuat Aditama muak. Ia tahu, Kinara tak akan pernah diterima. Yang menanti wanita itu hanyalah penolakan. Rindu tdak menyukai Kinara karena keluarga besannya tidak ada yang benar.***“Gantiin gue, Ve,” bujuk Kinara pada Ve yang sedang menikmati camilan yang Aji pegang. Sesekali lelaki itu menyuapi Ve dengan manja.“Nggak bisa, Sayangku, Cintaku. Tugasku numpuk. Tumben banget nggak mau ik
“Jadi kalian sudah officialy?” tanya Kinara dan pasangan di hadapannya mengangguk bersamaan. “Dan Ve ini wanita yang kamu maksud waktu itu? Wanita yang ingin kamu perjuangkan?” Kinara bertanya lagi.Ve menoleh, menatap Aji yang mengangguk membenarkan.“Aaa… co cweeeeet,” ujar Ve dengan nada manja, lalu bergelayut di lengan pacar barunya. Kinara mendengus pelan, merasa risih.“Oh ya, aku pinjam dulu pacar barumu ini,” kata Kinara sambil tersenyum nakal, membuat Aji berdehem gugup. “Aku sewa jadi suami dadakan,” lanjutnya, menyesap minuman di tangannya.“Jangan bilang ini untuk mengelabui Mamas-mu, ya?” tanya Ve sambil menyipitkan mata. Kinara hanya mengangguk tenang.Aji menggigit bibir bawahnya, menahan ucapan. Saat bertemu Aditama tadi, dia sudah terlanjur basah dan berakhir jujur bahwa hubungannya dengan Kinara hanyalah sandiwara. Aditama terlihat begitu bahagia mendengarnya. Tapi, ia meminta Aji untuk tetap bersikap seolah tidak tahu apa-apa—seolah kebenaran itu tak pernah diungkapk
Kinara terpaku. Tatapan mereka bertemu dalam diam, saling mengunci seolah waktu berhenti. Aditama perlahan meraih tangan Kinara, mengecup punggung tangannya dengan penuh kelembutan.“Makan malam denganku, ya?” pintanya lirih.Kinara mengangguk pelan. Wajah polosnya membuat senyum merekah di wajah Aditama. Entahlah, rasanya Kinara seperti terhipnotis. Ia terlalu merindukan sosok Adit.Aditama? Jangan ditanya. Lelaki itu tampak begitu bahagia. Ia menuntun Kinara kembali duduk sebelum melangkah ke dapur. Katanya, malam ini dia yang akan memasak.Kinara tersenyum tipis melihat Aditama yang tampak lihai di dapur. Sesekali lelaki itu menoleh, melempar senyum hangat ke arahnya.Namun pikiran Kinara justru melayang entah ke mana. Ia memikirkan banyak hal—tentang langkah yang harus diambil, tentang perasaannya sendiri. Ia baru tersadar saat merasakan sentuhan lembut di pipinya.“Mikirin apa, hmm?” tanya Aditama lembut.Kinara menggeleng pelan.“Ayo, kita makan,” ajaknya.Ia menatap nasi goreng
Kegiatan keduanya terhenti saat dering telepon dari ponsel Kinara memecah suasana. Ia tersentak, panik menyadari sejauh apa mereka telah melangkah. Dengan cepat, ia melepaskan diri, meraih ponselnya, dan menjauh.“Ma—mas, aku harus pulang—”“Ra,” panggil Aditama, mencoba menahan. Tapi Kinara sudah melangkah pergi.“Ra, kamu nggak bisa ninggalin aku seperti ini lagi—”Aditama memejamkan mata sesaat setelah pintu tertutup. Ia mengusap wajahnya kasar, frustrasi.Kenapa dirinya selalu kehilangan kendali saat bersama Kinara? Padahal dulu, bersama Sheila, bahkan untuk menyentuh pun ia tak pernah berani.Ia selalu mampu menahan diri. Tapi pada Kinara... rasanya seperti terikat terlalu dalam, terlalu kuat.“Halo, Mas—” sapa Kinara, pada panggilan kedua dari Dito.“Darimana saja?” ujar Dito, ketus.Kinara mengigit bibir bawahnya teringat apa yang ia dan Aditama lakukan tadi. “Ra,” panggil Dito karena hanya kesunyian yang menyapa. “Kinara …!”“Iya, Mas?”“Mas mau minta kontak Aji—”“Untuk apa?”
Air mata Aditama jatuh saat melihat kelopak mata Kinara perlahan terbuka. Dari balik dinding kaca ruang ICU, ia menyaksikan wanita yang dicintainya mulai merespons arahan dokter—kepala yang sedikit mengangguk, jemari yang bergerak perlahan. Kinara sadar, ini adalah anugerah terindah bagi Aditama.Sesaat kemudian, dokter spesialis keluar dari ruang ICU. Senyum puas terpancar di wajahnya, disertai anggukan mantap sebagai isyarat bahwa semuanya berjalan baik. Di belakangnya, dr. Sagara juga mengangguk, memberi keyakinan tambahan kepada Aditama.“Istri Anda sudah sadar dan kondisinya stabil, Pak. Silakan jika ingin menemuinya,” ujar sang dokter ramah.Namun Aditama hanya diam terpaku. Matanya masih memandang ke dalam ruang ICU, dadanya sesak oleh rasa haru dan bersalah yang saling berebut ruang.“Saya… saya takut memperburuk keadaannya, Pak,” lirihnya, nyaris tak terdengar.Kedua dokter saling bertukar pandang. Lalu, dokter spesialis menepuk pelan pundak Aditama dan berkata lembut, “Masuk
Panggilan telepon itu terputus begitu saja, meninggalkan Aditama dalam kepanikan. Percakapan tadi singkat, padat, dan sangat jelas—menyisakan tekanan yang luar biasa.Aditama tidak ingin berpisah. Apa pun caranya, ia akan memperjuangkan Kinara.Ia mencoba menghubungi sang ayah, tapi panggilannya berulang kali diabaikan.Frustrasi membuncah dalam diri Aditama, tapi di sisi lain, ia sedikit lega—paling tidak, sang ayah tidak membahas soal Sheila. Mungkin memang belum tahu.Tama lebih sering berada di Jepang, menjalani hidup terpisah dari keluarganya—bekerja. Sesekali, istri dan anaknya menyusul hanya untuk melepas rindu.***Sudah dua hari ini Aditama hanya beristirahat di ruang tunggu khusus wali pasien yang disediakan rumah sakit. Rindu, sang ibu, mengirim asisten untuk membawa mobil anak sulungnya ke rumah sakit sekaligus mengantar keperluan pribadinya. Ia sempat menyarankan Aditama untuk pulang dan beristirahat dengan layak—tapi Aditama menolak. Ia tidak sanggup meninggalkan Kinara s
Seorang dokter muda menawarkan diri untuk mendonorkan darah setelah mengetahui golongan darahnya sama dengan Kinara dan berhasil.“Satria Sagara,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Aditama.Aditama langsung menggenggam tangan itu erat, suaranya bergetar menahan haru. “Terima kasih... terima kasih banyak, Dok.”Dokter Sagara hanya tersenyum hangat, berusaha menenangkan Aditama yang terlihat kalut. Kehadirannya membawa sedikit ketenangan di tengah situasi mencekam itu.Dua jam berlalu dalam kecemasan. Hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka dan salah satu dokter keluar.“Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita masuk tahap observasi pasca operasi,” ujar dokter tersebut. Dokter Sagara yang masih menemani Aditama—menoleh seraya mengangguk.“Istirahatlah,” saran Dokter Sagara.Aditama menghela napas panjang, menolak saran itu. Mana bisa dia beristirahat sementara wanitanya terbaring lemah di dalam sana.“Paling tidak, sebaiknya kamu ganti dulu bajumu. Lihatlah itu penuh noda da
Bau antiseptik memenuhi ruangan.“Tolong selamatkan istri saya, Dok,” pinta Aditama dengan suara serak kepada dokter yang akan menangani Kinara—tak sabaran.“Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Silakan menuju administrasi sementara saya lakukan pemeriksaan awal,” jawab dokter itu.Sementara perawat meminta Aditama untuk memberikan tanda pengenal Kinara, perhatian Aditama justru teralih pada sesuatu yang ia temukan di dalam tas sang istri. Ia mengeluarkan botol obat dan menyerahkannya kepada perawat.“Ini ada di dalam tas istri saya, Dok,” lirih Aditama. “Obat apa ini?”Perawat memeriksa botol obat tersebut dengan teliti, sementara Aditama mencari tanda pengenal Kinara. Hatinya terasa terkoyak saat ia melihat kartu identitas Kinara.‘Kinara Ayudia Riyani’, tertulis jelas.Aditama memejamkan matanya saat melihat kartu nama Kinara sebagai desainer muda bertuliskan ‘Ara Riyani’.Bagaimana bisa takdir seperti ini yang menghampirinya? Aditama merutuki dirinya atas semua yang terjadi pada
“Silakan dilanjutkan, Pak—”“Mohon beri saya waktu untuk bicara, Pak,” potong Aditama, menghentikan ucapan Kinara sambil memohon pada petugas. Hakim dan para pihak saling bertukar pandang—berdiskusi singkat sejenak sebelum akhirnya mengangguk, mempersilakan Aditama berbicara.Tanpa membuang waktu, Aditama melangkah menuju meja Kinara. Namun, wanita itu sama sekali enggan menoleh—tatapannya lurus, dingin, dan tegas.“Kita perlu bicara,” ucap Aditama pelan tapi terdengar mantap.“Bicara saja di sini, di depan hakim,” balas Kinara tajam. Nada suaranya ketus, menyiratkan luka dan kekecewaan yang mendalam.“Saya ingin membatalkan perceraian ini, Pak,” ujar Aditama, tegas dan penuh keyakinan.“Mas…!” suara Kinara meninggi, matanya menatap Aditama dengan syok yang tidak bisa ia sembunyikan.“Saya tidak bersedia bercerai dari Kinara Ayudia Riyani,” lanjut Aditama, tetap berdiri tegak meski jelas wajahnya menyimpan gentar.Kinara menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan ucapan lelaki itu. Ia
“Saya tidak akan lama di Bandung. Mengenai perusahaan keluarga Kinara, saya tetap ingin melanjutkan partisipasi dalam putaran investasinya,” kata Aditama kepada Vano, asistennya.Kinara mempercepat proses perceraian. Aditama tidak tahu apa rencana wanita itu, tapi ia tidak keberatan. Ia setuju. Namun, Aditama bukan pria licik. Meski akan bercerai, ia tetap memilih untuk tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Ada satu hal yang terus mengganjal pikirannya, mengapa orang-orang di dalam perusahaan itu tampak tidak becus menjalankan perusahaan yang sudah punya itu dengan baik?Meski bercerai, Aditama telah menyiapkan banyak untuk Kinara. Ia memastikan wanita itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Uang tunai, aset, semuanya sudah dibagi. Jadi dia tidak terlalu heran kenapa Kinara memilih untuk mempercepat perceraian, karena apa yang ia berikan sangat menggiurkan, begitulah pikirnya.Di tengah kekacauan hidupnya, Aditama tak tahu bahwa Rindu sedang bersemangat menyambut cucu pertamanya.
Kinara tersenyum getir. Dimadu? Rasanya ia ingin tertawa saja. Dengan mantap, ia menegaskan bahwa mama mertuanya tak perlu khawatir akan keberadaannya—karena ia telah sepakat untuk berpisah dari Aditama. Rindu mengatakan bahwa ada seorang wanita dari masa lalu Aditama yang kembali hadir dalam hidup putranya. Sheila. Ya, Sheila adalah wanita itu. Di tengah kekacauan hubungannya dengan Aditama—baik sebagai Ara maupun sebagai Kinara—kehadiran Sheila seolah memberi warna pikir Kinara. Terlebih, mama mertuanya tampak begitu mendukung kehadiran Sheila. Terlihat jelas, ia seperti ingin Kinara segera menyingkir dari kehidupan Aditama. “Apa kamu sengaja menunda semua ini sampai putaran investasi selesai?” tanya Rindu. “Tidak, Tante. Kinara bersedia memproses perpisahan ini bahkan sebelum putaran investasi berlangsung,” jawabnya tenang. Rindu menghela napas lega, seolah mendapat angin segar. 'Sheila hamil, Tante," ujar Sheila, waktu itu. Rindu kembali teringat percakapannya dengan Sheila,
Kinara semakin gelisah. Sebanyak apa pun ia mencoba berpikir positif, hatinya tetap saja tak tenang. Ia menggigit bibir bawah, menatap testpack yang tergeletak di sisi wastafel. Ya, akhirnya Kinara memberanikan diri untuk melakukan tes.‘Pregnant.’Tangannya bergetar saat meraih testpack lain. Darahnya seolah berdesir melihat dua garis, meski salah satunya tampak samar. Saking penasarannya tadi ia membeli dua testpack sekaligus."Ha–hamil?" lirihnya.Ia menutup mulut, matanya membulat tak percaya. Kakinya terasa lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.'Bagaimana ini?' batinnya.Dalam sekejap, semua rencana yang sudah disusunnya runtuh begitu saja.***Untuk memastikan kehamilannya, Kinara membuat janji temu dengan dokter obgyn. Sepanjang konsultasi, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia ingat, dokter hanya mengatakan bahwa kandungannya masih sangat muda—baru terbentuk sebuah kantung janin.Ingin rasanya bertanya, 'Apakah masih bisa digugurkan?'Namun lidahnya kelu, tak san
Dua minggu kemudianTidak ada angin segar bagi Aditama. Hilangnya rekaman CCTV hari itu menimbulkan keresahan, membuat langkahnya terasa penuh rintangan."Memang bukan hanya CCTV hari itu yang hilang, tapi aku tetap curiga," kata Mahesa Rein. "Sepertinya mereka sengaja melindungi orang besar yang terlibat di hotel itu. Sialnya, kejadianmu juga terjadi di hari yang sama," lanjutnya.Aditama mengusap wajahnya dengan kasar, tak tahu harus berkata apa. Ia gelisah, terlebih lagi karena tidak bisa menghubungi Ara. Entah kenapa, wanita itu menghilang seperti ditelan bumi dan akses Aditama terasa semakin terbatas."Aku akan tetap melanjutkan ini," kata Mahesa Rein.Aditama mengangguk setuju.***“How are you today, dear?” sapa Dito, pada Kinara yang menjeling matanya jengah. “Jelek sekali. Mas serius, how your feeling?” tanya Dito.“Jauh lebih baik, Mas,” balas Kinara, membuat senyum di wajah Dito merekah.Hari itu, saat Dito mengajak Kinara pergi bersamanya, tentu saja Kinara menolak. Bukan K