Akhirnyaaa... ini yang kalian inginkan kaaa? Fakta sudah terungkap, tapi Kinara masih ogah-ogahan. Yuhu ... kalau ramai kolom komentarnya aku up lagi malam
“Aku kira yang mendampingi Darius adalah wanita berkelas,” ucap Kinara, tangannya mencengkeram rambut lurus Zoe dan menariknya ke belakang. Pekik tertahan lolos dari bibir Zoe, tubuhnya nyaris limbung saat kepala terpaksa menengadah karena tarikan Kinara. “Ternyata cuma remahan kayak kamu.”“Jaga mulutmu,” seru Zoe. “Sakit! Lepas—” suara Zoe tercekat saat cengkeraman Kinara makin kuat.Sementara itu, di ruang rapat, Aditama segera menutup laptopnya. Rapat telah usai, ia bergegas meninggalkan ruangan. Langkahnya cepat menuju ruang kerja—rasa rindu mendesak membuatnya tak sabar ingin bertemu Kinara.Namun, setibanya di ruangan itu, Kinara tak ada di sana. Aditama mengerutkan kening, matanya menelusuri setiap sudut, tapi sang istri tidak ada.Tak ingin membuang waktu, ia pun melangkah menuju pantry di lantai direksi, tapi tempat itu pun kosong.Kening Aditama semakin berkerut. Ada perasaan tak tenang yang perlahan menyusup.Lalu suara jerit tertahan terdengar dari arah toilet wanita.Lant
Pagi itu, Kinara bangun lebih dulu. Ia mendekat ke sisi Aditama—telungkup—memandangi wajah lelaki yang terlelap di sebelahnya. Dengan senyum geli, ia sengaja mengusik tidur sang suami—jarinya menyentuh pelan bulu mata Aditama.Ia tertawa tertahan setiap kali melihat respons kecil dari lelaki itu—alis yang berkerut pelan, bibir yang bergerak seolah ingin mengusir gangguan kecil itu. Namun tetap saja, Aditama enggan membuka matanya. Lelaki itu betah dalam tidurnya.Kinara tersenyum—mengingat rencana besar Aditama. Ia melafalkan doa agar apa yang Aditama bicarakan kemarin berjalan lancar, mereka bisa berada di kota yang sama, atap yang sama, dan ranjang yang sama setiap hari tanpa ada lagi jarak yang membentang.Wanita itu masih asyik menikmati setiap lekuk wajah suaminya yang tertidur pulas. Tampan—Aditama sungguh tampan. Hatinya menghangat, membayangkan kemungkinan bahwa pergulatan penuh cinta semalam bisa saja menjadi awal kehadiran Aditama kecil—anak laki-laki. Kinara berharap … wajah
No way! Hampir satu jam tidak kunjung pulang, ke mana perginya Aditama?Kinara mondar-mandir di depan pintu unit apartemen mereka. Sejak membaca pesan masuk dari Zoe di ponsel suaminya, perasaannya kacau tak karuan. Ia bukan tipe pencemburu membabi buta, tapi pesan itu terlalu … hah, sulit untuk diabaikan.Ia tak ingin berpikir buruk. Ia percaya pada Aditama. Tapi apa pun yang terjadi malam ini … terlalu menggoda logika untuk tak membuat hatinya bergemuruh.Sungguh tidak akan ada maaf untuk Aditama jika berani bermain api.Kinara baru saja akan kembali masuk ke dalam unit ketika suara lift terbuka dan langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Sosok yang ia tunggu sedari tadi muncul di ujung lorong.“Sayang?” gumam Aditama di kejauhan.Begitu melihat istrinya berdiri dengan wajah tegang di depan pintu, lelaki itu panik. Ia langsung mempercepat langkah, menghampiri Kinara lalu memeriksa keadaan sang istri.“Ada apa, Sayang? Kamu kenapa berdiri di luar?” tanyanya cemas, penuh kekhawatira
“Mas jemput kamu, Sayang.” Kinara tersenyum menatap kesayangannya dari sambungan panggilan video. “Mas, nggak perlu. It’s okay, take your time. Aku bisa langsung ke pemakaman, itu juga kalau sempat. Aku akan kabari kamu kalau sudah landing, ya,” ujar Kinara, tenang. Aditama tampak tak puas dengan jawaban sang istri. “Kalau begitu izinkan Vano yang jemput kamu. Please, Sayang,” tawar Aditama. “Iya, boleh, Mas,” jawab Kinara, akhirnya mengalah. Kinara tersenyum melihat Aditama menghembuskan napas lega. “Mas … tabah ya,” lirih Kinara. “Hal ini tidak pernah terbayangkan sama sekali, Ra. Tetap di sisi Mas, ya. Mas butuh kamu.” “Soon. Bisa peluk-peluk sepuasnya—Mas, aku mau masuk pesawat. See you, ya.” “Kabari Mas ya, Sayang.” Panggilan suami istri itu berakhir menyisakan hangat di hati Aditama. Secinta itu Kinara pada Aditama, tidak ingin suaminya melewati kesedihannya seorang diri, wanita itu memilih terbang dari Bandung menuju Singapura begitu mengetahui kabar tentang Darius.
Sejak panggilan telepon dari Zoe berlalu, pikiran Aditama tidak pernah tenang. Kata-kata panik perempuan itu terus menggema di kepalanya, mengiringi setiap detik yang ia habiskan di balik kemudi. Mobilnya melaju cepat menembus derasnya hujan malam, membelah jalanan basah yang kosong dan sepi. Pandangan di depan semakin buram oleh jejak hujan. Aditama tak memperlambat lajunya. Tangannya yang menggenggam setir bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena kegelisahan yang terus mencengkeram dadanya. Hatinya tak tenang—perasaannya berkecamuk, panik, dan cemas. Tiba-tiba, layar di dashboard mobilnya menyala. Suara nada sambung singkat terdengar sebelum sebuah nama muncul Vano. Aditama segera menekan tombol terima melalui setir. “Nona Zoe sudah bersama saya, Pak,” suara Vano terdengar jelas, meski samar-samar terselimuti desir hujan. Aditama menggertakkan rahangnya. “Bawa dia ke rumah sakit, Vano,” ucapnya cepat, penuh tekanan. “Siap, Pak.” Sambungan terputus. Aditama menambah gas,
“Wow, fans Aditama,” gumamnya, berusaha terdengar santai meski hatinya mulai sesak.“No, Sayang,” balas Aditama cepat.Aditama sudah mengambil jarak, ia tak lagi mau terlibat terlalu dalam dengan pasangan menyusahkan itu, terutama Zoe. Bukan tanpa alasan—Aditama menyadari bahwa sikap Zoe kian hari kian melewati batas. Perhatian yang semula tampak profesional perlahan berubah menjadi pendekatan personal yang tidak pantas.“Benar, kan? Apa dia ada bilang kalau dia punya perasaan sama kamu, Mas?” tanya Kinara, kali ini serius.“Tidak, Sayang.”Kinara menarik napas panjang. Lalu dengan penuh tekanan, ia berkata, “Mas, jangan pernah ada drama orang ketiga dalam hubungan kita, ya. Aku nggak akan mentoleransi itu, baik sengaja atau nggak. Tidak sengaja yang aku maksud termasuk 'dijebak'.”“Sayang ….”“Aku serius, Mas. Kamu bisa kehilangan aku kalau sampai itu terjadi.”Aditama menghela napas di ujung sambungan. “Sayang, tolong jangan berandai yang buruk. Mas nggak akan melakukan hal bodoh sep