Beranda / Romansa / Cinta di Ujung Perpisahan / Bab 7 : Lelaki dari Masa Lalu

Share

Bab 7 : Lelaki dari Masa Lalu

Penulis: Dinis Selmara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-18 22:00:53

Ada apa dengan lelaki itu? Sok paling kenal, pikir Kinara.

“Mundur, Wir! Modusmu kelewatan,” pekik Kinara saking kesalnya.

Tentu saja yang sedang dibicarakan tidak ada, ya …. Mana berani Kinara mengatai di depan orangnya langsung. Melihat tatapannya yang tajam saja takut, seperti akan melahap orang hidup-hidup.

Kinara tidak ambil pusing karena dia memang tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan lelaki.

Di hotel, Aji bolak-balik berjalan ke sana-sini seperti setrikaan berusaha menghubungi Kinara. Nomornya sudah aktif, tapi panggilan tidak kunjung diangkat.

“Jadi apa mau ke kantor polisi saja?” tanya Ve, ketakutan.

Aji menjelingkan matanya jengah karena Ve masih saja bungkam. Ve mengatakan kalau pun harus membuka rahasia Kinara itu hanya pada polisi nanti saat bersaksi.

“Mau apa ke kantor polisi?” tanya Kinara melangkah masuk ke kamar yang sengaja disanggah hingga sedikit terbuka.

Aji dan Ve segera menoleh saat seseorang melangkah masuk tanpa rasa bersalah, lalu menjatuhkan diri di sofa dan menyandarkan tubuhnya dengan santai. Tanpa aba-aba, keduanya kompak melempar bantal sofa ke arah Kinara, yang baru saja hendak memejamkan mata.

"Aaahh!" pekiknya tertahan. Belum sempat merapikan duduknya, Ve langsung mencubitinya tanpa ampun.

"Ke mana saja kamu, huh?" tanya Ve sambil terus menghujani Kinara dengan cubitan sambil mengoceh. Tiba-tiba, ia berhenti. Wajahnya berubah curiga saat mengendus tubuh Kinara, menangkap aroma asing yang melekat.

"Apa? Ada apa?" tanya Kinara bingung ketika Ve memberi isyarat kepada Aji untuk ikut mendekat dan mengendusnya.

“Check-in, lu, ya?” kata Ve, menunjuk Kinara dengan telunjuknya. “Temu kangen, lu, ‘kan dengan suami gaib itu? Ngaku, lu!”

Aji mengembuskan napas panjang, lalu terduduk di lantai bersandar di sofa. Perasaannya campur aduk—kesal sekaligus lega. Lega karena Kinara kembali dalam keadaan baik-baik saja, tetapi kesal karena lagi-lagi topik yang mereka bahas adalah suami gaib yang entah siapa.

"Eh, mana ada," sangkal Kinara.

Ve memicingkan mata, jelas tak percaya.

Akhirnya, meski sedikit enggan, Kinara menceritakan semuanya—dari pengakuan cinta Erik, pertemuannya dengan Adit, hingga kejadian tadi malam saat Erik mencoba melecehkannya. Ia juga menambahkan bahwa Adit muncul kembali dan membantunya.

"Sialan!" geram Aji, mengepalkan tangan mendengar pengakuan Kinara. Sementara itu, Ve sudah lebih dulu merengkuh Kinara dalam pelukannya.

Kinara melanjutkan, mengatakan bahwa Adit membawanya ke apartemennya setelah melindunginya. Erik bahkan sempat menyerang dengan pisau kecil, membuat Adit terluka.

Aji menatap Kinara. "Lelaki itu, dia nggak memanfaatkan keadaan, ‘kan?" tanyanya memastikan.

Kinara menggeleng cepat. "Enggak. Justru aku kasihan sama dia. Lukanya di lengan, meski nggak dalam, tapi cukup panjang."

Tanpa banyak kata, Aji langsung bangkit, bersiap pergi untuk menghajar Erik. Kinara mencoba menahannya, tapi Ve justru membiarkan.

"Erik memang pantas dapat balasan, Ra," ucapnya dingin.

Ve menatap iba pada sahabatnya, mengelus lembut lengan Kinara yang masih berada dalam pelukannya. Kinara meminta maaf karena sudah membuat kedua sahabatnya khawatir. Ponselnya mati dan saat bangun pagi tadi, ia mendapati lelaki yang ia kenal Adit itu membantu mengisikan daya ponselnya.

“Ra. Btw, Adit-nya ganteng atau nggak?”

Kinara melepas pelukan Ve mengingat-ingat wajah lelaki itu. “Lumayan.”

“Hiih! Apaan jawaban lumayan. Aku hanya memastikan kamu tidak klepek-klepek setelah dibantu oleh pahlawan itu dan melupakan statusmu yang sudah memiliki suami.”

Kinara mendorong, Ve, menjauh. Bukannya terhibur Kinara semakin ‘bete’ mengingat Aditama.

Tadi Kinara sempat mengecek ponselnya dan suami gaibnya itu benar-benar mengirim nomor asistennya. Apa coba maksudnya? Sok sibuk.

***

Hari ini, Kinara menghabiskan waktu dengan beristirahat di kamar. Usai mandi pagi, ia kembali tidur.

Siang harinya, Ve membangunkannya dan menunjukkan sebuah foto yang dikirim Aji, gambar Erik yang dihajar oleh teman-temannya. Sayang sekali, karena kurangnya bukti, Aji tidak bisa melaporkan Erik ke pihak universitas. Meski begitu, ia mengancam akan membuat hidup Erik sengsara jika berani mengganggu Kinara lagi.

Melihat foto itu, ekspresi Kinara tetap datar. Ia bersyukur tidak ada terjadi apa-apa padanya hari itu dan beruntung ia mendapat penanganan yang tepat sehingga tidak sampai mengalami trauma. Meski begitu, ia tetap tak ingin bertemu Erik lagi.

Kinara memilih kembali tidur. Namun, deringan ponsel mengusik lelapnya. Di layar, terpampang nama Adit. Tanpa berpikir panjang, Kinara segera mengangkat panggilan itu.

“Halo,” sapa Aditama dari seberang telepon.

Kinara yang memejamkan matanya—tersentak bangun dan duduk memastikan kalau dia sedang berbicara dengan Adit, tapi kenapa suaranya mirip seseorang, ya, pikirnya.

“Halo!” kesal Aditama karena sejak tahu ber halo-halo ria tidak mendapatkan balasan.

“I—iya, Mas?”

Kini giliran Aditama yang menatap layar ponselnya—menjauhkan dari telinganya untuk memastikan dia menghubungi Ara, bukan Kinara. Meski baru sekali mendengar suara Kinara kemarin, entah kenapa suaranya mudah dikenal karena sama lembut dan manjanya.

“Ara,” panggil Aditama dan Kinara menyahut. Aditama berdehem untuk menenangkan dirinya. “Mau kabur kamu, huh? Sudah hampir sore nggak ke sini juga? Sejak pagi saya belum ganti perban di lengan,” ketusnya.

Kinara menghentak-hentakkan kakinya dalam selimut geram dengan sikap lelaki di seberang telepon sana.

“Nggak mau tanggung jawab? Bilang!” ketus Aditama lagi.

“Maauuu,” lirih Kinara. “Sepuluh menit, ya—”

“Lima menit,” pangkas Aditama, menutup sambungan telepon sepihak.

“Hah, eh! Woy! Halo.”

Ve sampai masuk ke kamar Kinara mendengar kepanikan sahabatnya. Ia terkejut melihat Kinara yang melompat dari atas kasur memakai kemeja oversize, mengambil tas, dan tertatih memakai sepatu lalu berpamitan pada Ve.

“Ra, kamu mau ke mana? Itu sepatunya—”

Belum sempat Ve mengutarakan maksudnya, Kinara sudah menghilang di balik pintu, berlari menuju apartemen Aditama yang memang tidak begitu jauh.

Kinara tiba dan langsung menekan bel unit Aditama seraya terengah-engah. Entah apa yang ada dipikirannya. Begitu mendengar titah Aditama, tubuhnya langsung merespon secepat mungkin.

Pintu unit Aditama terbuka lelaki itu menatap Kinara dari atas hingga ke bawah. Kinara mengenakan kemeja oversize dengan dalaman tanktop dan celana rok pendek di atas lutut, menjinjing tas kain.

Kedua sudut bibir Aditama terangkat tipis saat melihat Kinara mengenakan sepatu dengan model berbeda, meski warnanya sama. Jelas sekali wanita itu terburu-buru.

“Kamu telah empat menit—”

“Stt! Cepat, sini saya ganti perban dan oleskan lukanya,” kata Kinara yang masih berusaha mengatur napasnya.

“Sepatunya belinya di mana?” tanya Aditama saat Kinara akan melepas sepatunya.

Matanya membulat melihat sepatu yang baru saja terlepas dari kakinya. Ia memejam sesaat menahan malu.

“Jauhlah pokoknya naik pesawat,” balasnya sombong, nyelonong melewati Aditama yang mengulum senyumnya.

Kinara memanggil Aditama mendekat duduk di sofa dekat balkon. Tidak ada canggung sama sekali karena Kinara bukan tipe wanita yang gampang ‘baper’. Kerasnya hidup membuatnya tidak mudah tersentuh oleh tampang.

Aditama meringis sakit saat Kinara mengolesi obat pada lukanya.

“Ini yang di lengan nggak mau dibawa ke rumah sakit saja?” tanya Kinara, Aditama menggeleng tidak mau. “Kalau infeksi bagaimana?”

“Ya, salah kamu. Siapa suruh tidak becus mengurusnya.”

“Heh! Saya ini calon desainer bukan dokter! Mana paham, hanya sekedarnya saja,” kesalnya.

Percayalah Aditama sekuat hati menahan tawanya melihat betapa juteknya wanita di hadapannya ini.

“Ara,” panggil Aditama pelan.

“Hm.”

“Benar kamu tidak mengenali saya?” tanyanya lagi membuat Kinara menatap wajah Aditama begitu lama. Sementara yang ditatap berharap sekali diingat.

Karena tidak ada jawaban, Aditama mengangkat sebelah tangannya memamerkan gelang yang ia kenakan dengan mainan berbentuk kunci.

“Mbak, kok, kencangan tangisan mbak-nya, ya?” kata Aditama membuat darah Kinara berdesir. Ia membeku sesaat, mengingat momen tiga tahun silam, malam itu, di Gardens by The Bay.

“Mas Adit?”

Dinis Selmara

Mas Adit? Ayo ... capa? Ingat-ingat coba. Jadi sampai saat ini Kinara dan Aditama tidak saling mengenal suami atau istrinya, ya ... Mereka hanya mengenal diri masing-masing dipertemuan ini sebagai Ara dan Adit. Absen yang nungguin cerita ini dongss biar aku cemangat nulisnya hihi ...

| 57
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (51)
goodnovel comment avatar
Dinis Selmara
ayo klik lanjut kak. bisa buka dengan koinn dan iklann
goodnovel comment avatar
Dinis Selmara
kaaakk ... >_<
goodnovel comment avatar
Amy Shanty
gimana klu mau ngikutin kelnjutan nya..info nya donk..soalny cerita nya seruuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 122 : Acara Keluarga

    Dua hari terakhir, Aditama disibukkan oleh agenda perusahaan di Bandung. Kinara pun tak kalah padat aktivitasnya. Meski begitu, ia tetap memastikan suaminya mendapat perhatian penuh dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Sarapannya, pakaiannya, dan setiap malam ketika pria itu pulang, senyuman hangat serta pelukan lembut selalu menyambutnya.Ah, semoga kebersamaan ini segera menjadi rutinitas yang utuh bagi mereka.Hari ini giliran Aditama menjalani pemeriksaan. Ia mengikuti serangkaian tes dan hasilnya pun sama seperti Kinara, sehat. Tidak ditemukan masalah medis yang berarti. Dokter hanya menyarankan mereka untuk menjaga pola makan, cukup istirahat, serta tetap tenang dan berpikir positif.Rindu tak banyak berkomentar lagi. Namun dalam diam beliau menunjukkan dukungannya. Dengan mengirim makanan sehat setiap hari ke apartemen anak dan menantunya. Bukan makanan biasa, melainkan hasil masakan dari tangan chef pribadi. Inilah alasan kenapa Kinara hanya menyiapkan sarapan untuk suaminya.Ma

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 121 : Melepas Rindu

    “Siapa kamu—lepas!” seru Kinara panik.Saat mereka beradu pandang, mata Kinara menyipit—menatap sosok di hadapannya. Manik mata itu tampak tak asing. Sesaat kemudian, lelaki itu mengulurkan tangan, menarik masker dari wajahnya.“Mas?” suara Kinara terdengar terkejut, matanya membulat. “Mas Adit?” ulangnya tak percaya, melihat senyum merekah dari bibir sang suami.“Ihh … jahat banget!” rajuknya sambil memukul dada Aditama dengan kesal. “Aku hampir jantungan!”“Argh … sakit, Sayang!” Aditama pura-pura meringis kesakitan. Kinara mendesis kesal, lalu langsung memeluknya erat. Meski sempat kesal, rindu yang selama ini dipendamnya tak bisa ditahan lebih lama.“Mas, kok nggak bilang kalau pulang hari ini?” gumamnya dalam dekapan.Aditama bahkan belum sempat menjawab, Kinara terlalu banyak mencecarnya dengan sederet pertanyaan penuh rasa ingin tahu, membuatnya hanya bisa tersenyum.“Masuk dulu, Sayang,” usul Aditama.Mereka melangkah masuk. Begitu pintu tertutup rapat, Kinara masih tetap dalam

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 120 : Sosok Misterius

    Hari ini rapat umum pemegang saham, hasil rapat diputuskan bahwa struktur perusahaan akan mengalami perubahan. Seluruh jabatan Chief (seperti CEO, CMO, CFO) dibubarkan dan digantikan dengan jabatan tunggal. Aditama diangkat sebagai Chairman/Direktur Utama, sesuai dengan wasiat dari Darius yang memberikan tiga puluh persen saham kepadanya. Rahman, kerabat mereka yang sebelumnya menjabat sebagai CFO, mendapatkan sepuluh persen saham dan diangkat sebagai Managing Director/Direktur Operasional.Semua pihak sepakat perubahan ini bukan hanya restrukturisasi, tapi juga strategi untuk memperkuat ekspansi ke Indonesia.Perusahaan induk tetap berjalan di Singapura, sementara Aditama juga akan memimpin langsung pembukaan cabang di Bandung. Rahman akan menjalankan operasional di kantor pusat Singapura, mereka memastikan dua entitas ini bisa berjalan beriringan dengan baik.Ruang rapat itu perlahan lengang. Satu per satu peserta meninggalkan ruangan usai pengumuman penting disampaikan—pengumuman y

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 119 : Beda Pandangan

    Rindu jelas tak menyetujui keputusan anak dan menantunya yang berencana mengurus adik Kinara. Bukan tanpa alasan—baginya, kehidupan Kinara sudah cukup padat. Pekerjaan yang menumpuk. Bagaimana dengan program kehamilan yang belum juga membuahkan hasil? Kini ditambah rencana mengasuh anak usia sekolah dasar yang tentu membutuhkan perhatian lebih.Bagi Rindu, keputusan itu terlalu berisiko. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan.Aditama sebenarnya sudah menjelaskan semuanya. Ia menyampaikan alasan di balik keputusan mereka berdua. Bahwa ini bukan sekadar keinginan Kinara semata, melainkan langkah yang telah mereka pikirkan bersama.Namun, penjelasan Aditama justru membuat Rindu semakin gusar. Setiap kali sang anak membela keputusan itu, hatinya memanas. Bukan karena ia membenci Fani, tapi karena ia terlalu khawatir pada menantunya. Pada rumah tangga yang, baginya, seharusnya difokuskan dulu untuk saling menjaga dan menumbuhkan cinta, bukan memperumit keadaan.Bagi Rindu, niat baik tetap h

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 118 : Beda Pendapat

    Langkah Kinara melambat ketika keluar dari gedung rumah sakit. Ia baru saja menjalani konsultasi dan pemeriksaan kesuburan bersama dokter SPOG, teman dari ibu mertuanya.Meski tidak ada hasil yang mencemaskan, dokter menyarankan beberapa hal yaitu istirahat cukup, menghindari stres, dan pola makan yang lebih sehat. Ada pula daftar vitamin dan suplemen yang harus dikonsumsi secara rutin.Kinara tersentak lalu menoleh saat punggung belakangnya diusap lembut oleh ibu mertuanya.“Pikirin apa?” tanya Rindu hati-hati.Kinara hanya bisa tersenyum seraya menggeleng. Keduanya melangkah terus ke pelataran parkir. Di mana Nana sudah menunggunya sambil berdiri bersandar pada mobil. Melihat mertua dan menantu itu, Nana segera menjemput dan membukakan pintu untuk keduanya."Bagaimana, Bu?" tanya Nana lembut, merujuk pada hasil pemeriksaannya.Kinara duduk tepat di samping ibu mertuanya, menjawab, “Nggak apa-apa, saya sehat, Na. Hanya disarankan lebih banyak istirahat.”"Syukurlah," balas Nana."Dan

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 117 : Kecewa, Lagi

    Dada Kinara terasa sesak. Hasil test pack yang baru saja ia lihat belum juga sanggup dicerna sepenuhnya.Garis satu. Kinara sampai mengerjap untuk kembali menyakinkan penglihatannya. Dan hasilnya tetap sama dan sangat jelas. Tegas dan begitu mengecewakan.“Garisnya satu, lagi,” gumam Kinara dengan mata berkaca-kaca.Kinara meremas tangan satu sama lainnya, gugup. Bagaimana dia mengatakan pada mertuanya yang sedang menunggu di luar sana penuh harap?Dengan langkah pelan, Kinara keluar dari kamarnya, menggenggam test pack itu erat-erat. Bolehkah Kinara berharap hasilnya bisa berubah?Kinara menatap sekali lagi, menghentikan langkahnya. Namun … tidak. Harapannya belum dijawab kali ini. Wajahnya berusaha ia tenangkan, bibirnya dipaksakan untuk melengkung walau hanya sedikit.Rindu menatap putri menantunya dengan penuh harap. Wanita paruh baya itu tengah duduk di meja makan, menunggu jawaban.“Gimana hasilnya?” tanyanya lembut, tapi tidak bisa menyembunyikan sedikit ketegangan di balik nada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status