Ada apa dengan lelaki itu? Sok paling kenal, pikir Kinara.
“Mundur, Wir! Modusmu kelewatan,” pekik Kinara saking kesalnya. Tentu saja yang sedang dibicarakan tidak ada, ya …. Mana berani Kinara mengatai di depan orangnya langsung. Melihat tatapannya yang tajam saja takut, seperti akan melahap orang hidup-hidup.
Kinara tidak ambil pusing karena dia memang tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan lelaki.
Di hotel, Aji bolak-balik berjalan ke sana-sini seperti setrikaan berusaha menghubungi Kinara. Nomornya sudah aktif, tapi panggilan tidak kunjung diangkat.
“Jadi apa mau ke kantor polisi saja?” tanya Ve, ketakutan.
Aji menjelingkan matanya jengah karena Ve masih saja bungkam. Ve mengatakan kalau pun harus membuka rahasia Kinara itu hanya pada polisi nanti saat bersaksi.
“Mau apa ke kantor polisi?” tanya Kinara melangkah masuk ke kamar yang sengaja disanggah hingga sedikit terbuka.
Aji dan Ve segera menoleh saat seseorang melangkah masuk tanpa rasa bersalah, lalu menjatuhkan diri di sofa dan menyandarkan tubuhnya dengan santai. Tanpa aba-aba, keduanya kompak melempar bantal sofa ke arah Kinara, yang baru saja hendak memejamkan mata.
"Aaahh!" pekiknya tertahan. Belum sempat merapikan duduknya, Ve langsung mencubitinya tanpa ampun.
"Ke mana saja kamu, huh?" tanya Ve sambil terus menghujani Kinara dengan cubitan sambil mengoceh. Tiba-tiba, ia berhenti. Wajahnya berubah curiga saat mengendus tubuh Kinara, menangkap aroma asing yang melekat.
"Apa? Ada apa?" tanya Kinara bingung ketika Ve memberi isyarat kepada Aji untuk ikut mendekat dan mengendusnya.
“Check-in, lu, ya?” kata Ve, menunjuk Kinara dengan telunjuknya. “Temu kangen, lu, ‘kan dengan suami gaib itu? Ngaku, lu!”
Aji mengembuskan napas panjang, lalu terduduk di lantai bersandar di sofa. Perasaannya campur aduk—kesal sekaligus lega. Lega karena Kinara kembali dalam keadaan baik-baik saja, tetapi kesal karena lagi-lagi topik yang mereka bahas adalah suami gaib yang entah siapa.
"Eh, mana ada," sangkal Kinara.
Ve memicingkan mata, jelas tak percaya.
Akhirnya, meski sedikit enggan, Kinara menceritakan semuanya—dari pengakuan cinta Erik, pertemuannya dengan Adit, hingga kejadian tadi malam saat Erik mencoba melecehkannya. Ia juga menambahkan bahwa Adit muncul kembali dan membantunya.
"Sialan!" geram Aji, mengepalkan tangan mendengar pengakuan Kinara. Sementara itu, Ve sudah lebih dulu merengkuh Kinara dalam pelukannya.
Kinara melanjutkan, mengatakan bahwa Adit membawanya ke apartemennya setelah melindunginya. Erik bahkan sempat menyerang dengan pisau kecil, membuat Adit terluka.
Aji menatap Kinara. "Lelaki itu, dia nggak memanfaatkan keadaan, ‘kan?" tanyanya memastikan.
Kinara menggeleng cepat. "Enggak. Justru aku kasihan sama dia. Lukanya di lengan, meski nggak dalam, tapi cukup panjang."
Tanpa banyak kata, Aji langsung bangkit, bersiap pergi untuk menghajar Erik. Kinara mencoba menahannya, tapi Ve justru membiarkan. "Erik memang pantas dapat balasan, Ra," ucapnya dingin.
Ve menatap iba pada sahabatnya, mengelus lembut lengan Kinara yang masih berada dalam pelukannya. Kinara meminta maaf karena sudah membuat kedua sahabatnya khawatir. Ponselnya mati dan saat bangun pagi tadi, ia mendapati lelaki yang ia kenal Adit itu membantu mengisikan daya ponselnya.
“Ra. Btw, Adit-nya ganteng atau nggak?”
Kinara melepas pelukan Ve mengingat-ingat wajah lelaki itu. “Lumayan.”
“Hiih! Apaan jawaban lumayan. Aku hanya memastikan kamu tidak klepek-klepek setelah dibantu oleh pahlawan itu dan melupakan statusmu yang sudah memiliki suami.”
Kinara mendorong, Ve, menjauh. Bukannya terhibur Kinara semakin ‘bete’ mengingat Aditama.
Tadi Kinara sempat mengecek ponselnya dan suami gaibnya itu benar-benar mengirim nomor asistennya. Apa coba maksudnya? Sok sibuk.
***
Hari ini, Kinara menghabiskan waktu dengan beristirahat di kamar. Usai mandi pagi, ia kembali tidur.
Siang harinya, Ve membangunkannya dan menunjukkan sebuah foto yang dikirim Aji—gambar Erik yang dihajar oleh teman-temannya. Sayang sekali, karena kurangnya bukti, Aji tidak bisa melaporkan Erik ke pihak universitas. Meski begitu, ia mengancam akan membuat hidup Erik sengsara jika berani mengganggu Kinara lagi.
Melihat foto itu, ekspresi Kinara tetap datar. Ia bersyukur tidak ada terjadi apa-apa padanya hari itu dan beruntung ia mendapat penanganan yang tepat sehingga tidak sampai mengalami trauma. Meski begitu, ia tetap tak ingin bertemu Erik lagi.
Kinara memilih kembali tidur. Namun, deringan ponsel mengusik lelapnya. Di layar, terpampang nama Adit. Tanpa berpikir panjang, Kinara segera mengangkat panggilan itu.
“Halo,” sapa Aditama dari seberang telepon.
Kinara yang memejamkan matanya—tersentak bangun dan duduk memastikan kalau dia sedang berbicara dengan Adit, tapi kenapa suaranya mirip seseorang, ya, pikirnya.
“Halo!” kesal Aditama karena sejak tahu ber halo-halo ria tidak mendapatkan balasan.
“I—iya, Mas?”
Kini giliran Aditama yang menatap layar ponselnya—menjauhkan dari telinganya untuk memastikan dia menghubungi Ara, bukan Kinara. Meski baru sekali mendengar suara Kinara kemarin, entah kenapa suaranya mudah dikenal karena sama lembut dan manjanya.
“Ara,” panggil Aditama dan Kinara menyahut. Aditama berdehem untuk menenangkan dirinya. “Mau kabur kamu, huh? Sudah hampir sore nggak ke sini juga? Sejak pagi saya belum ganti perban di lengan,” ketusnya.
Kinara menghentak-hentakkan kakinya dalam selimut geram dengan sikap lelaki di seberang telepon sana.
“Nggak mau tanggung jawab? Bilang!” ketus Aditama lagi.
“Maauuu,” lirih Kinara. “Sepuluh menit, ya—”
“Lima menit,” pangkas Aditama, menutup sambungan telepon sepihak.
“Hah, eh! Woy! Halo.”
Ve sampai masuk ke kamar Kinara mendengar kepanikan sahabatnya. Ia terkejut melihat Kinara yang melompat dari atas kasur memakai kemeja oversize, mengambil tas, dan tertatih memakai sepatu lalu berpamitan pada Ve.
“Ra, kamu mau ke mana? Itu sepatunya—”
Belum sempat Ve mengutarakan maksudnya, Kinara sudah menghilang di balik pintu—berlari menuju apartemen Aditama yang memang tidak begitu jauh.
Kinara tiba—menekan bel unit Aditama seraya terengah-engah. Entah apa yang ada dipikirannya. Begitu mendengar titah Aditama, tubuhnya langsung merespon secepat mungkin.
Pintu unit Aditama terbuka lelaki itu menatap Kinara dari atas hingga ke bawah. Kinara mengenakan kemeja oversize dengan dalaman tanktop dan celana rok pendek di atas lutut—menjinjing tas kain.
Kedua sudut bibir Aditama terangkat tipis saat melihat Kinara mengenakan sepatu dengan model berbeda, meski warnanya sama. Jelas sekali wanita itu terburu-buru.
“Kamu telah empat menit—”
“Stt! Cepat, sini saya ganti perban dan oleskan lukanya,” kata Kinara yang masih berusaha mengatur napasnya.
“Sepatunya belinya di mana?” tanya Aditama saat Kinara akan melepas sepatunya.
Matanya membulat melihat sepatu yang baru saja terlepas dari kakinya. Ia memejam sesaat menahan malu. “Jauhlah pokoknya naik pesawat,” balasnya sombong, nyelonong melewati Aditama yang mengulum senyumnya.
Kinara memanggil Aditama mendekat duduk di sofa dekat balkon. Tidak ada canggung sama sekali karena Kinara bukan tipe wanita yang gampang ‘baper’. Kerasnya hidup membuatnya tidak mudah tersentuh oleh tampang.
Aditama meringis sakit saat Kinara mengolesi obat pada lukanya.
“Ini yang di lengan nggak mau dibawa ke rumah sakit saja?” tanya Kinara, Aditama menggeleng tidak mau. “Kalau infeksi bagaimana?”
“Ya, salah kamu. Siapa suruh tidak becus mengurusnya.”
“Heh! Saya ini calon desainer bukan dokter! Mana paham, hanya sekedarnya saja,” kesalnya.
Percayalah Aditama sekuat hati menahan tawanya melihat betapa juteknya wanita di hadapannya ini.
“Ara,” panggil Aditama pelan.
“Hm.”
“Benar kamu tidak mengenali saya?” tanyanya lagi membuat Kinara menatap wajah Aditama begitu lama. Sementara yang ditatap berharap sekali diingat.
Karena tidak ada jawaban, Aditama mengangkat sebelah tangannya memamerkan gelang yang ia kenakan dengan mainan berbentuk kunci.
“Mbak, kok, kencangan tangisan mbak-nya, ya?” kata Aditama membuat darah Kinara berdesir. Ia membeku sesaat—mengingat momen tiga tahun silam, malam itu, di Gardens by The Bay.
“Mas Adit?”
Mas Adit? Ayo ... capa? Ingat-ingat coba. Jadi sampai saat ini Kinara dan Aditama tidak saling mengenal suami atau istrinya, ya ... Mereka hanya mengenal diri masing-masing dipertemuan ini sebagai Ara dan Adit. Absen yang nungguin cerita ini dongss biar aku cemangat nulisnya hihi ...
Mobil yang Aditama kendarai melaju senyap di jalanan malam, melewati kawasan industri tua yang tampak tak berpenghuni. Mobilnya berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunannya gelap dan tampak tak terawat dari luar. Aditama berjalan mendekati beberapa pria berbadan besar berjaga di pintu masuk.Anak buah Mahesa Rein sudah mengetahui Aditama—mempersilakannya masuk.Aditama melangkah ke dalam gudang. Suasana di dalam berubah drastis. Bau logam dan debu menyengat. Aditama di tuntun ke sebuah ruangan oleh anak buah Mahesa Rein. Di tengah ruangan yang luas, ada satu ruangan kecil yang dibatasi kaca satu arah. Dari sisi luar, mereka bisa melihat ke dalam ruangan itu. Namun dari dalam ruangan, sang tahanan tidak bisa melihat ke luar. Mahesa mengangkat tangannya, memberi isyarat Aditama untuk mendekat.Aditama mendekat. Di balik kaca, tampak seorang pria duduk di kursi besi, kedua tangannya terikat ke belakang. Wajahnya babak belur, darah mengering di pelipis dan ujung bibir. Namu
Hari itu, sejak pagi, Aditama memilih untuk bekerja dari kantor Kinara. Bukan karena ia tak punya kesibukan, tetapi ada sesuatu yang terus mengganggunya—perasaan waspada yang tak kunjung surut sejak insiden demi insiden yang membayangi sang istri.Kinara tak menolak kehadirannya, meski sempat mengernyit saat tahu sang suami akan menemaninya seharian di ruang kerjanya. Pria itu duduk santai di sofa panjang di sudut ruangan, laptop terbuka di pangkuan, tapi sesekali pandangannya melirik ke arah meja kerja Kinara—atau lebih tepatnya, ke arah Wisnu, sekretaris sang istri.Tak ada yang janggal. Wisnu bekerja dengan sangat baik, menjelaskan rundown jadwal dengan rapi, tanggap terhadap permintaan Kinara, dan menjaga batas profesional.Okay, tidak ada yang perlu Aditama terlalu khawatirkan pada lelaki ini. Sepertinya keberadaan Wisnu di lingkungan kerja juga bukan ide yang buruk—untuk ikut menjaga sang istri.“Mas, tadi Wisnu pesankan kita makan siang. Aku pilih nasi liwet komplit untuk kamu,”
Udara malam itu hangat, menyelimuti kamar dengan cahaya lampu temaram dan aroma lembut dari diffuser yang terus menghembuskan wangi lavender. Tirai terbuka setengah, memperlihatkan langit yang gelap, hanya dihiasi bintang—meski tidak banyak. Di ranjang, dua insan yang telah lama menahan rindu kini saling bersandar dalam dekapan yang nyaris tak berjarak. Sentuhan tangan Aditama di punggung Kinara terasa ringan tapi penuh makna. Bibir mereka saling menyentuh, napas mereka memburu. Tawa kecil sesekali menyela di antara kecupan, seperti biasa, manis dan hangat. Rindu mereka semakin menggebu, tapi pelan-pelan dinikmati. "Mas ...," bisik Kinara pelan, jemarinya bermain di tengkuk suaminya—turun ke dada bidangnya. Kinara tidak malu lagi mengungkapkan rindunya dalam bentuk sentuhan. "Hmm?" Kinara tidak sempat bicara karena Aditama kembali membungkam bibirnya. Tubuh mereka kembali menyatu dalam pelukan panas. Kinara tak dapat menahan desahan yang akhirnya lolos ketika Aditama menjelajahi l
Pintu apartemen terbuka perlahan. Aditama menghela napas dalam, aroma khas rumah langsung memenuhi hidungnya—bau lavender dari diffuser di ruang tamu yang dipilih Kinara. Entah kenapa, malam ini baunya terasa lebih dalam, membuatnya semakin rindu.Langkah kakinya cepat. Koper dibiarkan di dekat pintu, jaket hanya digantung seadanya. Matanya mencari-cari satu sosok yang selama lima hari ini hanya bisa ia lihat melalui layar ponsel. Hatinya berdegup, tak sabar. Lima hari … bukan lima minggu, memang. Tapi bagi Aditama mana tahan berjauhan dari sang istri lama-lama.Kinara sedang bersandar di sisi dinding kamar—bersembunyi—mengenakan piyama berwarna salem yang membingkai tubuh mungilnya. Rambutnya masih sedikit basah, wajah bersih tanpa riasan. Ia mengejutkan Aditama yang perlahan masuk ke dalam kamar.“Sayang,” panggil Aditama.Aditama melonjak kaget saat Kinara sengaja mengejutkannya.“Mas,” panggilnya tiba-tiba.Aditama mengembuskan napas panjang, sementara Kinara sudah memeluknya dari
Aditama masih enggan melepaskan pelukannya dari tubuh mungil Kinara. Koper di sudut kamar sudah rapi, paspor dan tiket elektronik telah disimpan di dalam tas jinjingnya, tapi dia sendiri belum juga bergerak dari ranjang.“Mas … baju kamu sudah rapi kok masih dibawa berbaring lagi, sih?” ujar Kinara pelan sambil menepuk lengan suami-nya.Aditama hanya menggumam. Wajahnya masih tenggelam di tempat favorit-nya saat ini yaitu dada sang istri. Pelukannya kencang, nyaris posesif, seakan memaku istrinya agar tak ke mana-mana.Padahal hanya tiga hari. Tapi seolah akan berpisah satu purnama saja.“Mas, nanti kamu terlambat,” ujar Kinara sekali lagi. Ia membelai rambut suaminya yang sedikit berantakan, menunduk mencium dahinya.Aditama akhirnya melepaskan diri, perlahan. Matanya memandangi wajah istrinya. Sedang hangat-hangatnya malah harus berpisah.“Wajib video call tiap hari,” ujarnya, seperti perintah yang dibungkus perhatian.Kinara tersenyum, berdiri di depannya sambil merapikan kerah keme
Keluarga Aditama cukup besar. Ia memiliki lima adik—dua perempuan dan tiga laki-laki. Namun di rumah hanya ada satu adik laki-laki dan dua adik perempuannya, Gania dan Seina. Adik laki-laki tepat di bawa Aditama sudah menikah dan menetap di Jogja, sementara satu lagi sedang menempuh kuliah di Jepang. Kebersamaan Kinara dengan Gania dan Seina terasa begitu hangat dan menyenangkan. Mereka cepat akrab, terutama karena ketiganya memiliki ketertarikan yang sama yaitu fashion. Obrolan mereka bisa melompat dari tren warna musim ini ke diskusi seru soal gaya vintage dan makeup. Yang lucu, Gania—meski usianya lebih tua dari Seina—terlihat seperti adik karena sifat manja dan wajahnya yang imut. Sebaliknya, Seina justru tampak lebih dewasa dan tenang. Dinamika mereka unik, tapi justru itulah yang membuat suasana makin hidup dan menghibur. *** Malam menjelang saat Kinara dan Aditama tiba kembali di apartemen mereka. Aditama menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menghela napas panjang. “Akhirny