Kinara mengeratkan pelukannya menikmati aroma tubuh yang menenangkan. Tubuh? Kinara membuka matanya perlahan mengerjap saat tubuh kecilnya berada dalam pelukan seseorang.
“Aahh …!” Kinara memekik mendorong tubuh di hadapannya hingga jatuh dari ranjang tersungkur mengerang kesakitan. “Ka—kamu?”
Berusaha mengumpulkan kesadarannya lelaki itu pasrah terbaring telentang di lantai menahan sakit memegangi lengannya.
“Ka—kamu nggak apa-apa?” tanya Kinara merasa bersalah karena lelaki itu terlihat sangat kesakitan.
Kinara sangat mengenal wajah ini. Lelaki ini adalah lelaki yang kemarin tidak terima dimintai tolong saat Kinara mengelabui Erik. Sebentar, dia juga yang memukuli Erik malam saat ….
“Kamu sudah sadar, sebaiknya pergi dari apartemen saya,” kata lelaki itu dengan nada dingin, sudah terduduk di lantai dan berusaha bangkit dari duduknya.
Kinara cepat turun dari ranjang dan berusaha membantu lelaki itu tapi yang ingin ditolong menolak.
“Bukankah saya sudah ingatkan jangan menampakkan diri kamu di hadapan saya?” katanya sambil menatap Kinara tajam.
“Siapa juga yang sengaja mau ketemu Mas-nya lagi,” gerutu Kinara.
Kinara tersulut emosi mendengar perkataan Aditama. Bukan keinginannya bertemu dengan lelaki itu. Ia mundur, menyilangkan tangan di depan dada, membuat Aditama mengernyit.
Kinara menuduh Aditama mencari kesempatan dalam kesempitan, menuntut pertanggungjawaban karena mereka tidur di ranjang yang sama. Ia merasa seperti lepas dari kandang singa, tetapi justru masuk ke kandang buaya.
Aditama terbelalak tak percaya. Menanyakan siapa yang buaya? Ia menegaskan bahwa justru Kinara-lah yang menarik dan memeluknya lebih dulu.
Mendengar itu, Kinara mengerjap, mengingat kembali ucapan Ve yang tidak pernah mau tidur dengannya karena akan berakhir menjadi guling Kinara.
Kinara menggigit bibir bawahnya, mencoba mengingat kejadian semalam. Benarkah ia yang lebih dulu memeluk Aditama? Jika iya, rasanya ia ingin menghilang saat itu juga.
Masalahnya, Kinara memang tidak bisa tidur tanpa memeluk guling. Dan kini ia sadar, di ranjang lelaki itu tidak ada guling sama sekali.
“Kenapa diam? Yang harus meminta pertanggungjawaban di sini adalah saya. Lihat semua luka yang saya dapatkan saat membantu kamu. Dan juga tubuh saya yang sudah kamu nodai,” ucap Aditama.
“Mas! Kalau ngomong dipilih dulu, dong, kata-katanya,” pangkas Kinara tidak terima dengan kata ‘nodai’ yang Aditama maksud. Sejak awal pertemuan mereka Aditama selalu mengatakan dirinya yang menodai lelaki itu.
“Kenapa? Memang kamu menyentuh semua bagian tubuh saya—”
“Nggak semua doongg …! Nggak semua ‘kan?” tanya Kinara meringis, sementara Aditama menatapnya tajam seolah ingin melahapnya hidup-hidup. “Tapi …, Mas-nya nggak menyentuh saya ‘kan?” tanyanya hati-hati.
“Gak sudi,” jawab Aditama singkat, lalu berusaha bangkit dari duduknya.
“Eh, mulutnya, ya!”
Kinara kembali tersulut emosi. Ia mengatakan mulut Aditama terlalu kasar terhadap perempuan. Tegas Kinara menyatakan akan pergi dan berjanji tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Ia bahkan meminta Aditama untuk mengabaikannya jika tak sengaja berpapasan di lain waktu.
Kinara melangkah menuju pintu, tapi langkahnya terhenti saat Aditama mengingatkan bahwa tasnya tertinggal. Ia pun mengurungkan niatnya keluar, berbalik, dan mengambil tas yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur.
Baru saja akan melangkah lagi, Aditama kembali menyela, mengingatkan bahwa sepatu Kinara masih berada di dekat pintu walk-in closet. Dengan mendengus kesal, Kinara berbalik untuk mengambilnya.
Untuk ketiga kalinya, langkah Kinara kembali terhenti. Kali ini, Aditama memberitahu bahwa ponselnya masih terpasang di charger di meja kerjanya.
Kinara yang sudah hampir memegang gagang pintu menarik napas panjang, sadar betul bahwa lelaki itu sengaja mengerjainya. Aditama berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil ponselnya, sementara Kinara mengikutinya dengan wajah kesal.
"Sini. Mana ponsel saya," ujar Kinara ketus tanpa menatap Aditama.
"Begini caramu berterima kasih pada seseorang yang sudah menyelamatkan hidupmu sampai harus mengorbankan dirinya?" balas Aditama, membuat Kinara mengangkat kepala dan mengernyit.
"Terima kasih," sahutnya singkat, lalu berusaha meraih ponselnya. Namun, Aditama justru menjauhkannya.
"Lalu, bagaimana kamu akan mempertanggungjawabkan semua yang terjadi pada tubuh saya ini?" lanjutnya, memamerkan luka-lukanya.
Kinara menawarkannya untuk pergi ke rumah sakit, tapi Aditama menolak. Ia berdalih bahwa semua ini salah Kinara, jadi perempuan itu yang harus bertanggung jawab.
"Ya sudah, sini. Saya obati."
"Kotak obatnya di walk-in closet, rak sebelah kiri," ujar Aditama, lalu berlalu duduk di sofa.
Wah… wah… ngebossy sekali. Luar biasa, batin Kinara.
Dengan malas, ia berjalan mengambil kotak obat, lalu duduk di samping Aditama yang tengah menyandarkan tubuh dan memejamkan mata.
Sementara di hotel tempat Kinara menginap, Aji pontang-panting mencari keberadaan sahabatnya. Sementara, Ve duduk diam, meski ada banyak hal yang dia pikirkan.
Tidak biasanya Kinara seperti ini. Mana ponselnya tidak aktif pula keduanya.
“Apa dia menemui suami gaibnya?” tanya Ve berulang kali pada dirinya sendiri.
“Ini bukan saat yang tepat untuk main rahasia-rahasiaan, Ve!” Kesal Aji karena Ve tidak juga memberi tahu siapa suami gaib yang mereka maksud sejak semalam. Pasalnya terakhir berpamitan, Kinara mengatakan akan menghubungi seseorang yang Ve tahu siapa lelaki itu, tapi memilih bungkam.
“Aku akan lapor polisi,” kata Aji.
***
"Wajah dulu," titah Aditama tanpa membuka mata.
"Iyaaa…." Kinara mendengus pelan.
Suka-suka Aditama saja memberi perintah dan entah kenapa ia menurut begitu saja. Rasa bersalah mulai menyelinap saat Aditama menceritakan detail bagaimana Erik memukulnya hingga akhirnya menyayat lengannya dengan pisau kecil. Untung saja Aditama sempat menghindar, sehingga lukanya tidak terlalu parah.
Aditama mengerang tertahan ketika Kinara mengobatinya. Mendengar itu, rasa bersalah Kinara semakin dalam. Seolah ikut merasakan sakitnya.
"Lelaki itu kekasih kamu?" tanya Aditama tiba-tiba.
Kinara buru-buru menepis. Tegas ia mengatakan kalau Erik cuma teman satu angkatan. Kinara juga tidak segan menceritakan motif Erik melakukan hal sekeji itu.
Aditama mengangguk paham, matanya menelisik wajah Kinara dari dekat.
"Sudah, Mas," kata Kinara akhirnya.
"Sudah apanya? Sampai lusa pun belum tentu semua luka ini sembuh," ketus Aditama.
"Mas yang lanjutin. Ya masa saya harus bolak-balik ke sini buat ngobatin sampai sembuh—"
Cepat-cepat Aditama memotongnya mengatakan kalau ide Kinara bagus. Lelaki itu juga menambahkan akan maafkan Kinara kalau dia merawatnya sampai luka-lukanya sembuh.
“Saya nggak minta dimaafin—”
“Saya pendendam,” pangkas Aditama mengusir Kinara dari sisinya karena dia ingin merebahkan tubuhnya di sofa.
Kinara menatap Aditama tak percaya. Bukankah tadi lelaki itu sendiri yang mengatakan tidak ingin melihatnya lagi?
Mendengar celotehnya, Aditama hanya menanggapinya dengan acuh. Mengatakan kalau ini cuma bentuk tanggung jawab Kinara terhadapnya, itu saja.
Kinara pamit pulang. Namun, sebelum ia pergi, Aditama meminta agar Kinara meninggalkan identitasnya sebagai jaminan agar wanita itu tidak lari. Kinara menolak, tetapi berjanji akan menepati ucapannya. Sebagai gantinya, ia memberikan nomor telepon—hanya nomor luar negerinya.
"Memangnya kamu tinggal di mana?" tanya Aditama.
Kinara menjelaskan bahwa ia hanya berada di Singapura selama dua minggu dan menyebutkan nama hotel tempatnya menginap. Aditama mengangguk paham.
"Baguslah! Apartemen ini tidak jauh dari hotel kamu. Jadi, tidak ada alasan untuk lupa atau bilang tidak tahu jalan," ujarnya santai.
Kinara menganga tak percaya. Ia berjalan ke arah jendela melihat hotelnya dari kejauhan. Ternyata tempat tinggal Aditama sangat dekat dengannya.
"Kamu belum menyimpan nomor saya," kata Aditama, lalu langsung menelepon nomor Kinara. "Itu nomor saya."
"Namanya siapa?" tanya Kinara ketus.
"Adit," jawabnya singkat.
Kinara hanya mengangguk saja menambah kontak Aditama dalam ponselnya. Lelaki itu juga memberikan nomor luar negerinya.
Kinara mengangkat pandangannya, lalu mengerutkan kening saat Aditama menatapnya begitu dalam.
"A—ada apa?" tanyanya ragu.
Aditama tidak langsung menjawab, hanya menatapnya lebih lama sebelum akhirnya berkata, "Kamu benar-benar tidak mengenali saya?"
Jangan bilang Adit suka, ya, sama Ara huhu ...
“Kamu masih di rumah Abi, Sayang?” tanya Aditama lewat sambungan telepon.Beberapa hari terakhir ia berada di Singapura untuk menghadiri rapat umum pemegang saham. Meski sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan pada ketiga putranya, Aditama tetap setia menemani urusan besar yang membutuhkan kehadirannya. Namun, di balik semua itu, ia lebih menikmati masa tuanya berdua bersama sang istri.“Masih, aku mau extend, deh. Dua hari lagi,” jawab Kinara santai.“Mas pulang besok, lho. Kamu malah nambah hari nginap di sana? Mas sendirian dong di rumah?” nada suaranya terdengar seperti rajuk manja.Kinara tersenyum mendengar itu. “Tapi kan aku tetap pulang, Mas. Aku masih kangen sama cucuku.”“Suamimu ini lho juga kangen banget sama kamu.” Kinara terkekeh geli mendengar pengakuan jujur itu.“Boleh ya, Mas? Dua hari aja…,” pintanya lembut. Mana mungkin Aditama bisa menolak. Apa yang tidak bisa ia usahakan untuk istrinya? Mau tidak mau, ia hanya bisa mengalah, meski dalam hati sebenarnya tak rela.
“Kamu itu anak yang paling susah keluarnya. Selama hamil kamu, Mama sampai harus bed rest,” keluh Kinara saat menelepon si bungsu yang kini sibuk berkelana di negeri orang.“Bed rest di Bintan, maksud Mama?” sahut Dion santai dari seberang.Kinara melirik sekilas ke arah Aditama yang duduk santai membaca koran. Sang suami hanya tersenyum tipis, ikut mendengarkan percakapan itu.“Pokoknya kamu itu anak yang paling bikin Mama susah,” lanjut Kinara, meski kenyataannya justru berbanding terbalik. Kehamilan Dion adalah yang paling ringan, ia bisa bepergian lintas udara hingga menyeberang lautan tanpa keluhan berarti.“Tapi paling disayang ‘kan?” goda Dion.“Pulanglah, Nak,” lanjut Kinara akhirnya melemah. “Mama kangen banget sama Dion. Tolonglah bantu Mas Nadeo sama Mas Abi. Papa kamu sudah tidak sanggup lagi menanggung semuanya di perusahaan,” ujarnya dengan nada manja sekaligus serius.“Ujung-ujungnya disuruh kerja rodi. Jadi sebenarnya Mama kangen anaknya atau butuh tenaga kerja?” balas
Pagi pertama di villa terdengar suara burung laut dan sinar matahari menembus tirai besar membangunkan Kinara lebih dulu. Ia duduk di teras sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Sesekali menoleh melihat suami dan anaknya masih terlelap. Di hadapannya, laut biru membentang luas, ombak kecil berkejaran pelan membuatnya bersemangat hingga beranjak berdiri di sisi pagar balkon. Tak lama kemudian, Nadeo berlari keluar dengan piyamanya, langsung menghambur ke pelukan ibunya.“Bunda, sudah bangun? Lagi lihat laut ya? Mas senang sekali di sini,” gumamnya. “Tidurnya nyenyak.”“Oh, ya? Enak tidurnya?” Nadeo mengangguk setuju. Ia mendekat ke arah perut Kinara berbisik, “Adik suka juga nggak di sini? Sayang sekali tidak bisa main air dan pasir. Mas semalam main pasir pantai dengan Abi,” katanya menceritakan keseruan versinya. Kinara terkekeh, mencium rambut putranya.Ia tersentak saat merasakan pelukan dari belakang. Aditama muncul membenamkan wajahnya di ceruk leher sang istri. “Selama
Kehamilan kali ini benar-benar terasa berbeda bagi Kinara. Tidak ada drama seperti dua kehamilan sebelumnya. Justru ia merasa jauh lebih rileks, tenang, dan dimanja oleh Aditama. Setiap hari berjalan dengan penuh cinta, seakan waktu tak ingin berlari terlalu cepat. Karena itulah, sore itu saat mereka duduk di ruang tengah, Kinara tiba-tiba mengutarakan keinginannya. “Mas, aku ingin babymoon,” ujarnya sembari mengusap lembut perutnya yang mulai membuncit. Aditama menoleh dengan senyum geli. “Babymoon atau honeymoon?” tanyanya menggoda. “Mas …,” rajuknya manja. “Mau ke mana, Sayang?” Kinara tersenyum penuh arti. “Ke Bintan, yuk!” Sejenak Aditama terdiam, menatap istrinya yang tampak begitu serius. “Berdua saja?” tanya Aditama menggoda. Kinara langsung menggeleng tegas. “Nggak, dong. Aku nggak tega meninggalkan Nadeo dan Abi. Mereka bagian dari kita, masa ditinggal. Babymoon hanya istilah, aslinya pengen liburan di pantai.” Aditama menghela napas, tidak bisa menolak.
“Kamu menerima kehamilan ini, Mas?” tanya Kinara pelan, sorot matanya ragu.“Kenapa nanya begitu?” Aditama mengernyit. “Jelas Mas terima, itu anak Mas.”“Tapi… Abi masih kecil banget, baru satu tahun lebih. Kayak… kebobolan gitu.”Aditama terkekeh kecil, menggeleng. “Nggak ada istilah kebobolan, Ra. Kita melakukannya dengan sadar dan sama-sama mau. Kamu ini lucu, punya suami malah takut hamil.”Kinara menunduk, pipinya bersemu. Namun Aditama segera meraih jemarinya, menggenggam hangat.“Mas tahu, mengandung, melahirkan, sampai menyusui itu bukan hal mudah. Karena itu, Mas janji bakal bikin kamu senyaman mungkin. Kamu nggak sendirian, Sayang. Suruh saja Nadeo kalau kamu butuh apa-apa,” kekehnya saat melihat mata sang istri membulat dan mulutnya sedikit terbuka ingin melayangkan protes. “Atau Abi,” lanjutnya sedikit memutar tubuh mungil di pangkuannya. “Jagain Mama, ya! Jangan maunya nyusu aja kerjanya. Papa udah banyak ngalah sama Abi—”“Heh … heh …! Ngomong apa sih,” protes Kinara menu
Empat tahun berlalu sejak perjalanan panjang Kinara dan Aditama sebagai orang tua. Waktu telah menjadikan mereka lebih dewasa, lebih utuh, dan semakin menyadari betapa berharga kebersamaan yang kini mereka miliki.Kinara memutuskan untuk tidak lagi fokus mendesain. Waktunya kini telah sepenuhnya ia abdikan untuk kedua putranya—Nadeo, si sulung yang beranjak semakin pintar dan penuh rasa ingin tahu, serta si kecil Abinza Deo Aditama yang hari ini genap berusia satu tahun. Baginya, menjadi seorang ibu sepenuhnya bukan berarti meninggalkan impian, melainkan menggantinya dengan kebahagiaan yang lebih nyata.Pokoknya Kinara adalah wanita paling cantik seisi rumah, memiliki tiga bodyguard—suami tampan dan dua anak lelakinya yang tak kalah tampan. Pesona alaminya tak pernah luntur meski sudah menjadi ibu dua anak.Fany, sang adik, kini telah menempuh sekolah khusus desain di luar negeri dan tinggal di asrama atas permintaannya sendiri. Meski begitu, rumah mereka tak pernah terasa sepi. Justru