Home / Romansa / Cinta di Ujung Perpisahan / Bab 6 : Pertanggungjawaban

Share

Bab 6 : Pertanggungjawaban

Author: Dinis Selmara
last update Huling Na-update: 2025-03-18 00:45:29

Kinara mengeratkan pelukannya menikmati aroma tubuh yang menenangkan. Tubuh? Kinara membuka matanya perlahan mengerjap saat tubuh kecilnya berada dalam pelukan seseorang.

“Aahh …!” Kinara memekik mendorong tubuh di hadapannya hingga jatuh dari ranjang tersungkur mengerang kesakitan. “Ka—kamu?”

Berusaha mengumpulkan kesadarannya lelaki itu pasrah terbaring telentang di lantai menahan sakit memegangi lengannya.

“Ka—kamu nggak apa-apa?” tanya Kinara merasa bersalah karena lelaki itu terlihat sangat kesakitan.

Kinara sangat mengenal wajah ini. Lelaki ini adalah lelaki yang kemarin tidak terima dimintai tolong saat Kinara mengelabui Erik. Sebentar, dia juga yang memukuli Erik malam saat ….

“Kamu sudah sadar, sebaiknya pergi dari apartemen saya,” kata lelaki itu dengan nada dingin, sudah terduduk di lantai dan berusaha bangkit dari duduknya.

Kinara cepat turun dari ranjang dan berusaha membantu lelaki itu tapi yang ingin ditolong menolak.

“Bukankah saya sudah ingatkan jangan menampakkan diri kamu di hadapan saya?” katanya sambil menatap Kinara tajam.

“Siapa juga yang sengaja mau ketemu Mas-nya lagi,” gerutu Kinara.

Kinara tersulut emosi mendengar perkataan Aditama. Bukan keinginannya bertemu dengan lelaki itu. Ia mundur, menyilangkan tangan di depan dada, membuat Aditama mengernyit.

Kinara menuduh Aditama mencari kesempatan dalam kesempitan, menuntut pertanggungjawaban karena mereka tidur di ranjang yang sama. Ia merasa seperti lepas dari kandang singa, tetapi justru masuk ke kandang buaya.

Aditama terbelalak tak percaya. Menanyakan siapa yang buaya? Ia menegaskan bahwa justru Kinara-lah yang menarik dan memeluknya lebih dulu.

Mendengar itu, Kinara mengerjap, mengingat kembali ucapan Ve yang tidak pernah mau tidur dengannya karena akan berakhir menjadi guling Kinara.

Kinara menggigit bibir bawahnya, mencoba mengingat kejadian semalam. Benarkah ia yang lebih dulu memeluk Aditama? Jika iya, rasanya ia ingin menghilang saat itu juga.

Masalahnya, Kinara memang tidak bisa tidur tanpa memeluk guling. Dan kini ia sadar, di ranjang lelaki itu tidak ada guling sama sekali.

“Kenapa diam? Yang harus meminta pertanggungjawaban di sini adalah saya. Lihat semua luka yang saya dapatkan saat membantu kamu. Dan juga tubuh saya yang sudah kamu nodai,” ucap Aditama.

“Mas! Kalau ngomong dipilih dulu, dong, kata-katanya,” pangkas Kinara tidak terima dengan kata ‘nodai’ yang Aditama maksud. Sejak awal pertemuan mereka Aditama selalu mengatakan dirinya yang menodai lelaki itu.

“Kenapa? Memang kamu menyentuh semua bagian tubuh saya—”

“Nggak semua doongg …! Nggak semua ‘kan?” tanya Kinara meringis, sementara Aditama menatapnya tajam seolah ingin melahapnya hidup-hidup. “Tapi …, Mas-nya nggak menyentuh saya ‘kan?” tanyanya hati-hati.

“Gak sudi,” jawab Aditama singkat, lalu berusaha bangkit dari duduknya.

“Eh, mulutnya, ya!”

Kinara kembali tersulut emosi. Ia mengatakan mulut Aditama terlalu kasar terhadap perempuan. Tegas Kinara menyatakan akan pergi dan berjanji tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Ia bahkan meminta Aditama untuk mengabaikannya jika tak sengaja berpapasan di lain waktu.

Kinara melangkah menuju pintu, tapi langkahnya terhenti saat Aditama mengingatkan bahwa tasnya tertinggal. Ia pun mengurungkan niatnya keluar, berbalik, dan mengambil tas yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur.

Baru saja akan melangkah lagi, Aditama kembali menyela, mengingatkan bahwa sepatu Kinara masih berada di dekat pintu walk-in closet. Dengan mendengus kesal, Kinara berbalik untuk mengambilnya.

Untuk ketiga kalinya, langkah Kinara kembali terhenti. Kali ini, Aditama memberitahu bahwa ponselnya masih terpasang di charger di meja kerjanya.

Kinara yang sudah hampir memegang gagang pintu menarik napas panjang, sadar betul bahwa lelaki itu sengaja mengerjainya. Aditama berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil ponselnya, sementara Kinara mengikutinya dengan wajah kesal.

"Sini. Mana ponsel saya," ujar Kinara ketus tanpa menatap Aditama.

"Begini caramu berterima kasih pada seseorang yang sudah menyelamatkan hidupmu sampai harus mengorbankan dirinya?" balas Aditama, membuat Kinara mengangkat kepala dan mengernyit.

"Terima kasih," sahutnya singkat, lalu berusaha meraih ponselnya. Namun, Aditama justru menjauhkannya.

"Lalu, bagaimana kamu akan mempertanggungjawabkan semua yang terjadi pada tubuh saya ini?" lanjutnya, memamerkan luka-lukanya.

Kinara menawarkannya untuk pergi ke rumah sakit, tapi Aditama menolak. Ia berdalih bahwa semua ini salah Kinara, jadi perempuan itu yang harus bertanggung jawab.

"Ya sudah, sini. Saya obati."

"Kotak obatnya di walk-in closet, rak sebelah kiri," ujar Aditama, lalu berlalu duduk di sofa.

Wah… wah… ngebossy sekali. Luar biasa, batin Kinara.

Dengan malas, ia berjalan mengambil kotak obat, lalu duduk di samping Aditama yang tengah menyandarkan tubuh dan memejamkan mata.

Sementara di hotel tempat Kinara menginap, Aji pontang-panting mencari keberadaan sahabatnya. Sementara, Ve duduk diam, meski ada banyak hal yang dia pikirkan.

Tidak biasanya Kinara seperti ini. Mana ponselnya tidak aktif pula keduanya.

“Apa dia menemui suami gaibnya?” tanya Ve berulang kali pada dirinya sendiri.

“Ini bukan saat yang tepat untuk main rahasia-rahasiaan, Ve!” Kesal Aji karena Ve tidak juga memberi tahu siapa suami gaib yang mereka maksud sejak semalam. Pasalnya terakhir berpamitan, Kinara mengatakan akan menghubungi seseorang yang Ve tahu siapa lelaki itu, tapi memilih bungkam.

“Aku akan lapor polisi,” kata Aji.

***

"Wajah dulu," titah Aditama tanpa membuka mata.

"Iyaaa…." Kinara mendengus pelan.

Suka-suka Aditama saja memberi perintah dan entah kenapa ia menurut begitu saja. Rasa bersalah mulai menyelinap saat Aditama menceritakan detail bagaimana Erik memukulnya hingga akhirnya menyayat lengannya dengan pisau kecil. Untung saja Aditama sempat menghindar, sehingga lukanya tidak terlalu parah.

Aditama mengerang tertahan ketika Kinara mengobatinya. Mendengar itu, rasa bersalah Kinara semakin dalam. Seolah ikut merasakan sakitnya.

"Lelaki itu kekasih kamu?" tanya Aditama tiba-tiba.

Kinara buru-buru menepis. Tegas ia mengatakan kalau Erik cuma teman satu angkatan. Kinara juga tidak segan menceritakan motif Erik melakukan hal sekeji itu.

Aditama mengangguk paham, matanya menelisik wajah Kinara dari dekat.

"Sudah, Mas," kata Kinara akhirnya.

"Sudah apanya? Sampai lusa pun belum tentu semua luka ini sembuh," ketus Aditama.

"Mas yang lanjutin. Ya masa saya harus bolak-balik ke sini buat ngobatin sampai sembuh—"

Cepat-cepat Aditama memotongnya mengatakan kalau ide Kinara bagus. Lelaki itu juga menambahkan akan maafkan Kinara kalau dia merawatnya sampai luka-lukanya sembuh.

“Saya nggak minta dimaafin—”

“Saya pendendam,” pangkas Aditama mengusir Kinara dari sisinya karena dia ingin merebahkan tubuhnya di sofa.

Kinara menatap Aditama tak percaya. Bukankah tadi lelaki itu sendiri yang mengatakan tidak ingin melihatnya lagi?

Mendengar celotehnya, Aditama hanya menanggapinya dengan acuh. Mengatakan kalau ini cuma bentuk tanggung jawab Kinara terhadapnya, itu saja.

Kinara pamit pulang. Namun, sebelum ia pergi, Aditama meminta agar Kinara meninggalkan identitasnya sebagai jaminan agar wanita itu tidak lari. Kinara menolak, tetapi berjanji akan menepati ucapannya. Sebagai gantinya, ia memberikan nomor telepon—hanya nomor luar negerinya.

"Memangnya kamu tinggal di mana?" tanya Aditama.

Kinara menjelaskan bahwa ia hanya berada di Singapura selama dua minggu dan menyebutkan nama hotel tempatnya menginap. Aditama mengangguk paham.

"Baguslah! Apartemen ini tidak jauh dari hotel kamu. Jadi, tidak ada alasan untuk lupa atau bilang tidak tahu jalan," ujarnya santai.

Kinara menganga tak percaya. Ia berjalan ke arah jendela melihat hotelnya dari kejauhan. Ternyata tempat tinggal Aditama sangat dekat dengannya.

"Kamu belum menyimpan nomor saya," kata Aditama, lalu langsung menelepon nomor Kinara. "Itu nomor saya."

"Namanya siapa?" tanya Kinara ketus.

"Adit," jawabnya singkat.

Kinara hanya mengangguk saja menambah kontak Aditama dalam ponselnya. Lelaki itu juga memberikan nomor luar negerinya.

Kinara mengangkat pandangannya, lalu mengerutkan kening saat Aditama menatapnya begitu dalam.

"A—ada apa?" tanyanya ragu.

Aditama tidak langsung menjawab, hanya menatapnya lebih lama sebelum akhirnya berkata, "Kamu benar-benar tidak mengenali saya?"

Dinis Selmara

Jangan bilang Adit suka, ya, sama Ara huhu ...

| 48
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (43)
goodnovel comment avatar
Neng Saroh
ini lucu sih pengen ceraikan istri gaib tapi nggak tau istri nya seperti apa dan bagaimana wis lah terserah kalean
goodnovel comment avatar
ida Sari
lucu banget mereka ya suami istri tp malah ga saling tau sama lain .tp maksud Adit apa ya klu Ara ga ingat Sama dia,apa mngkn mereka sebelum nya pernah ketemu hanya saja Ara lupa.
goodnovel comment avatar
Muktie Prilly
bisa"a suami istri udh satu thn nga tau wajahnya satu sama lain dan nga ngeh apa dengan nomor tlp mreka
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 122 : Acara Keluarga

    Dua hari terakhir, Aditama disibukkan oleh agenda perusahaan di Bandung. Kinara pun tak kalah padat aktivitasnya. Meski begitu, ia tetap memastikan suaminya mendapat perhatian penuh dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Sarapannya, pakaiannya, dan setiap malam ketika pria itu pulang, senyuman hangat serta pelukan lembut selalu menyambutnya.Ah, semoga kebersamaan ini segera menjadi rutinitas yang utuh bagi mereka.Hari ini giliran Aditama menjalani pemeriksaan. Ia mengikuti serangkaian tes dan hasilnya pun sama seperti Kinara, sehat. Tidak ditemukan masalah medis yang berarti. Dokter hanya menyarankan mereka untuk menjaga pola makan, cukup istirahat, serta tetap tenang dan berpikir positif.Rindu tak banyak berkomentar lagi. Namun dalam diam beliau menunjukkan dukungannya. Dengan mengirim makanan sehat setiap hari ke apartemen anak dan menantunya. Bukan makanan biasa, melainkan hasil masakan dari tangan chef pribadi. Inilah alasan kenapa Kinara hanya menyiapkan sarapan untuk suaminya.Ma

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 121 : Melepas Rindu

    “Siapa kamu—lepas!” seru Kinara panik.Saat mereka beradu pandang, mata Kinara menyipit—menatap sosok di hadapannya. Manik mata itu tampak tak asing. Sesaat kemudian, lelaki itu mengulurkan tangan, menarik masker dari wajahnya.“Mas?” suara Kinara terdengar terkejut, matanya membulat. “Mas Adit?” ulangnya tak percaya, melihat senyum merekah dari bibir sang suami.“Ihh … jahat banget!” rajuknya sambil memukul dada Aditama dengan kesal. “Aku hampir jantungan!”“Argh … sakit, Sayang!” Aditama pura-pura meringis kesakitan. Kinara mendesis kesal, lalu langsung memeluknya erat. Meski sempat kesal, rindu yang selama ini dipendamnya tak bisa ditahan lebih lama.“Mas, kok nggak bilang kalau pulang hari ini?” gumamnya dalam dekapan.Aditama bahkan belum sempat menjawab, Kinara terlalu banyak mencecarnya dengan sederet pertanyaan penuh rasa ingin tahu, membuatnya hanya bisa tersenyum.“Masuk dulu, Sayang,” usul Aditama.Mereka melangkah masuk. Begitu pintu tertutup rapat, Kinara masih tetap dalam

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 120 : Sosok Misterius

    Hari ini rapat umum pemegang saham, hasil rapat diputuskan bahwa struktur perusahaan akan mengalami perubahan. Seluruh jabatan Chief (seperti CEO, CMO, CFO) dibubarkan dan digantikan dengan jabatan tunggal. Aditama diangkat sebagai Chairman/Direktur Utama, sesuai dengan wasiat dari Darius yang memberikan tiga puluh persen saham kepadanya. Rahman, kerabat mereka yang sebelumnya menjabat sebagai CFO, mendapatkan sepuluh persen saham dan diangkat sebagai Managing Director/Direktur Operasional.Semua pihak sepakat perubahan ini bukan hanya restrukturisasi, tapi juga strategi untuk memperkuat ekspansi ke Indonesia.Perusahaan induk tetap berjalan di Singapura, sementara Aditama juga akan memimpin langsung pembukaan cabang di Bandung. Rahman akan menjalankan operasional di kantor pusat Singapura, mereka memastikan dua entitas ini bisa berjalan beriringan dengan baik.Ruang rapat itu perlahan lengang. Satu per satu peserta meninggalkan ruangan usai pengumuman penting disampaikan—pengumuman y

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 119 : Beda Pandangan

    Rindu jelas tak menyetujui keputusan anak dan menantunya yang berencana mengurus adik Kinara. Bukan tanpa alasan—baginya, kehidupan Kinara sudah cukup padat. Pekerjaan yang menumpuk. Bagaimana dengan program kehamilan yang belum juga membuahkan hasil? Kini ditambah rencana mengasuh anak usia sekolah dasar yang tentu membutuhkan perhatian lebih.Bagi Rindu, keputusan itu terlalu berisiko. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan.Aditama sebenarnya sudah menjelaskan semuanya. Ia menyampaikan alasan di balik keputusan mereka berdua. Bahwa ini bukan sekadar keinginan Kinara semata, melainkan langkah yang telah mereka pikirkan bersama.Namun, penjelasan Aditama justru membuat Rindu semakin gusar. Setiap kali sang anak membela keputusan itu, hatinya memanas. Bukan karena ia membenci Fani, tapi karena ia terlalu khawatir pada menantunya. Pada rumah tangga yang, baginya, seharusnya difokuskan dulu untuk saling menjaga dan menumbuhkan cinta, bukan memperumit keadaan.Bagi Rindu, niat baik tetap h

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 118 : Beda Pendapat

    Langkah Kinara melambat ketika keluar dari gedung rumah sakit. Ia baru saja menjalani konsultasi dan pemeriksaan kesuburan bersama dokter SPOG, teman dari ibu mertuanya.Meski tidak ada hasil yang mencemaskan, dokter menyarankan beberapa hal yaitu istirahat cukup, menghindari stres, dan pola makan yang lebih sehat. Ada pula daftar vitamin dan suplemen yang harus dikonsumsi secara rutin.Kinara tersentak lalu menoleh saat punggung belakangnya diusap lembut oleh ibu mertuanya.“Pikirin apa?” tanya Rindu hati-hati.Kinara hanya bisa tersenyum seraya menggeleng. Keduanya melangkah terus ke pelataran parkir. Di mana Nana sudah menunggunya sambil berdiri bersandar pada mobil. Melihat mertua dan menantu itu, Nana segera menjemput dan membukakan pintu untuk keduanya."Bagaimana, Bu?" tanya Nana lembut, merujuk pada hasil pemeriksaannya.Kinara duduk tepat di samping ibu mertuanya, menjawab, “Nggak apa-apa, saya sehat, Na. Hanya disarankan lebih banyak istirahat.”"Syukurlah," balas Nana."Dan

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Bab 117 : Kecewa, Lagi

    Dada Kinara terasa sesak. Hasil test pack yang baru saja ia lihat belum juga sanggup dicerna sepenuhnya.Garis satu. Kinara sampai mengerjap untuk kembali menyakinkan penglihatannya. Dan hasilnya tetap sama dan sangat jelas. Tegas dan begitu mengecewakan.“Garisnya satu, lagi,” gumam Kinara dengan mata berkaca-kaca.Kinara meremas tangan satu sama lainnya, gugup. Bagaimana dia mengatakan pada mertuanya yang sedang menunggu di luar sana penuh harap?Dengan langkah pelan, Kinara keluar dari kamarnya, menggenggam test pack itu erat-erat. Bolehkah Kinara berharap hasilnya bisa berubah?Kinara menatap sekali lagi, menghentikan langkahnya. Namun … tidak. Harapannya belum dijawab kali ini. Wajahnya berusaha ia tenangkan, bibirnya dipaksakan untuk melengkung walau hanya sedikit.Rindu menatap putri menantunya dengan penuh harap. Wanita paruh baya itu tengah duduk di meja makan, menunggu jawaban.“Gimana hasilnya?” tanyanya lembut, tapi tidak bisa menyembunyikan sedikit ketegangan di balik nada

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status